Telat


Oleh: Same_

Adzan shubuh telah berkumandang beberapa menit lalu. Namun kenteng tiga tak kunjung terdengar. Hawa dingin dari hujan semalam masih terasa, membuat para santri menarik kembali selimut hangat mereka. Jam sudah menunjuk pukul 04:45. Namun sebagian besar santri masih terlelap. Mbak-mbak penguruspun menarik paksa selimut mereka dan memaksanya bangun.
Sinar terang matahari kini benar-benar telah terlihat. Jamaah baru saja usai.Karena hari Jumat kegiatan santri selanjutnya adalah mengikuti tahlil bersama di sarean. Mereka nampak sama sibuk berganti dengan baju putih, kerudung putih, dengan bawahan sarung dan tak lupa berdandan sekedarnya.
Berbeda dengan para santriyat yang lain, Izani dan keempat temannya; Ani, Fara, Lina dan Sinta masih berdiam diri di kamar mandi. Entah apa yang sedang mereka lakukan.
“Ran… sudah selesai? Aku sudah” Ani berteriak dari kamar mandi sebelah.
“Iya… sebentar lagi” Jawab Rani dengan suara malas.
Setelah meng-qodlo’ sholat shubuh barulah ke lima  gadis itu berangkat menyusuk ke sarean.
………………………….
“Amien… amien… amien…” Dengan kompak para santriyat mengamini doa Mbah Yai yang mengimami tahlil pagi itu. Dan seperti biasanya, selesai di sarean utara Mbah Yai pindah ke sarean selatan. Beliaupun segera beranjak ke sana.
Jauh dari arah jalan raya di selatan nampak 5 santri putri dengan baju putih-putih yang tak lain adalah Rani dan kawan-kawannya berjalan menuju sarean. Semakin dekat dan semakin dekat. Lalu tiba-tiba langkah mereka terhenti.
“O’o… bukannya itu Mbah Yai?!” Suara Shinta tertahan. Kaget.
“Tahlilnya sudah selesai setengah. Bagaimana ini??” Lina terlihat begitu bingung.
Dari sarean santriyat-santriyat yang duduk di barisan belakang melihat 5 teman mereka itu. Segera mereka lambai-lambaikan tangan mengisyaratkan agar Rani dan kawan-kawannya cepat-cepat menuju sarean. Setelah saling pandang kelimanya pun maju. Baru melangkah beberapa meter tiba-tiba isyarat datang lagi. Namun kali ini tangan yang tadinya menyuruh mereka mempercepat langkah malah menyuruh mereka untuk kembali saja. Jadi bingung. Akhirnya merekapun putar balik sesuai isyarat karena Mbah Yai juga terlihat semakin dekat. Dengan sedikit berlari mereka ikut sembunyi di warung nasi Mbok Sri.
“Fara, nanti kalau didukani bagaimana?” Tanya Ani sedikit berbisik.
“Ini kan salah Rani. Dia yang paling lama di kamar mandi” Fara’pun mulai emosi.
“Ini ada apa? Kenapa kalian malah sembunyi di sini?” Tanya Mbok Sri.
“Hehe... gara-gara semalam kami begadang, shubuh tadi susah dibangunin. Jadinya kami terlambat ke sarean” Sinta yang maju menjelaskan.
“Ah... begitu tidak apa-apa. Terlambat itu wajar, Nduk. Sudah ke sana saja. Kalian akan rugi kalau tidak ikut tahlil”
Mendengar tuturan Mbok Sri merekapun memberanikan diri untuk keluar dari warung dan melangkah kembali menuju sarean.Mereka mendengar tahlil yang dibacakan Mbah Yai. Tiba-tiba beribu pasang mata memicing kearah mereka.
“Kenapa jadi pusat perhatian begini?”
“Kita kan artis” Jawab Ani dengan PD’nya.
“Iya artis. Siapa coba yang berani ke sarean setelat ini? Cuma kita kan” Rani mendukung jawaban Ani. Mereka berdua memang selalu kompak.
Beberapa saat kemudian ratusan dari ribuan pasang mata itu berubah mengisyaratkan mereka untuk kembali saja ke pondok. Akhirnya kelima santriyat itu akhirnya kembali lagi ke warung Mbok Sri untuk mencari aman.Mereka memutuskan untuk menunggu sampai santriyat yang lain kembali ke pondok saja.
“Kok kalian kesini lagi? Nggak jadi ke sana?” Mbok Sri kembali menegur.
“Gak enak Mbok. Sudah hampir selesai”
“Makanya kalau malam gak usah begadang ya”
Mereka hanya tersenyum cengingisan karena malu.  Hal in menjadi hal yang paling memalukan bagi mereka. Hanya karena keasikan begadang jadi telat bangun. Telat ke sarehan dan mendapat qola-qola dari Mbok Sri. Padahal seorang santri seharusnya harus bisa menjadi contoh dalam kebaikannya. Menjadi anak rajin dan disenangi oleh orang umum karena akhlak dan budi mereka.



Kentheng Diniyah telah kudengar. Ah. Malas balik ke pondok. Aku masih duduk di tembok jemuran sambil membanting-banting bolpoinku ke tanah.
“Mbak Reni. Sudah kentheng masuk kok masih di sini?” tanya Sari.
“Urus saja urusanmu sendiri” jawabku ketus. Ranipun meninggalkanku dengan jengkel. Aku tak mau ambil pusing. Biarin.
Tak lama dari gerbang terlihat sosok paruh baya masuk dan tersenyum padaku. Wajah kusutku kurasa langsung terlihat cerah. Senyumku terbit. Ku tinggalkan bolpoinku dan berlari untuk memeluknya.
“Em... kenapa lama sekali, Buk?” Aku merengek. Beliau ibuku.
“Tadi ban sepeda Ibu kempes” Jawabnya santai. Kamipun berjalan menuju teras pondok tempat biasa santriyat disambang. Sudah genap 1 bulan aku belum disambang, Kamipun berbagi cerita. Melepas kangen. Banyak sekali yang ingin kuceritakan padanya.
“Kamu sudah makan, Ren?” tanya Ibu setelah aku menghabiskan ceritaku. Belum sempat menjawab sudah dibukanya tasnya “Ini ibu bawakan nasi. Makan gih selagi masih hangat”
“Iya, Buk. terimakasih” Kubuka bungkusan nasinya. “Lho? Kok kentang lagi sih, Buk? Aku nggak mau makan!” jadi jengkel. Aku menahan emosi. Kenapa Ibu tidak faham kalau aku sudah terlalu bosan dengan lauk kentang goreng sih. Suasana menjadi sangat tidak enak. Ibu dapat melihat jelas kalau bibirku sudah merengut.
“Kenapa? Bukankah selama ini juga kentang?”
“Ya karena selama ini selalu kentang jadinya aku sudah bosan dengan kentang. Lauk kentang, keripik kentang, sayur kentang. Apa tidak bisa sekali-sekali Reni makan daging?”
“Reni, kenapa kamu seperti ini nak? Ini juga rejeki dari Allah. Kita harus mensyukurinya”
“Buk... aku ingin seperti yang lain. Teman-temanku bisa makan daging setiap hari. Apa Ibu tidak kasihan denganku?”
“Di rumah tidak pernah ada daging Ren”
“Itu karena Bapak penjual kentang bukan daging”
“Sudah-sudah... jangan menyalahkan Bapak kamu. Lebih baik sekarang kamu makan. Sudah sore sebentar lagi Ibu mau pulang”
Dengan hati yang masih dongkol kumasukan makanan itu ke dalam mulutku. Ibu dengan senyum  mengembang terus memperhatikanku sampai makanan itu benar-benar habis. 
“Bagaimana? Enakkan. Kentang itu enak dan juga bermanfaat bagi tubuh. Dengan kandungan karbohidratnya kamu akan kuat menjalankan kegiatan pondok yang cukup melelahkan. Sejak kecil Ibu juga makan kentang” Ibu menarik nafas panjang.

“Kebanyakan makan daging akan berpengaruh jelek pada otakmu” mendengar kata-kata Ibu alisku terangkat. Bagaimana mungkin daging bsa berefek buruk? Batinku bertanya.

Comments

Unknown said…
Update lagi dong kang/mbak.
Bikin inget jaman di pondk hehe