Posts

Melodi Cinta dalam Senja Pesantren

Image
  Melodi Cinta dalam Senja Pesantren Moh. Kholil Mughofar Senja menyisir lembut pucuk-pucuk pohon yang menaungi Pesantren Darussalam. Angin semilir membawa aroma khas kitab-kitab kuning yang tersusun rapi di perpustakaan pesantren. Di teras rumahnya yang berarsitektur Jawa, Kyai Harun As-Syarofi duduk termenung. Tasbeeh kayu di tangannya bergerak perlahan, seirama dengan doanya yang tak bersuara. Usia senja telah mengunjunginya. Enam puluh lima tahun dihabiskan untuk mengabdi pada ilmu dan santri-santrinya. Pesantren Darussalam yang dibangunnya dari nol kini menjadi salah satu pesantren terkemuka di Jawa Timur. Namun ada satu hal yang masih mengganjal di hatinya: masa depan putra semata wayangnya, Ahmad Fauzan. Fauzan, lulusan Universitas Al-Azhar Kairo, kini menjabat sebagai wakil pengasuh pesantren. Pemuda berusia tiga puluh tahun itu memiliki wawasan yang luas, hafal Al-Quran, dan ahli dalam ilmu nahwu dan fiqih. Para santri menyukainya karena cara mengajarnya yang menyena...

Sang Jenderal telah Menikah

Image
  Sang Jenderal telah Menikah 'Moh. Kholil Mughofar' Mentari pagi bersinar hangat di atas PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Derap langkah tegas Ustadz Santoso menggema di sepanjang lorong asrama putra yang terletak di selatan mushola pesantren. Wajahnya yang selalu tampak keras itu kini tampak lebih tegang dari biasanya. Para santri yang berpapasan dengannya langsung menunduk hormat, beberapa bahkan memilih mengambil jalan memutar untuk menghindari tatapan matanya yang tajam. "Assalamualaikum, Ustadz," sapa salah seorang santri dengan gugup. "Waalaikumsalam," jawab Santoso singkat, tanpa mengurangi kecepatan langkahnya. Di ujung koridor, Pak Akom, kepala asrama putra yang terkenal galak itu, tersenyum tipis melihat kedatangan Santoso. "Mau inspeksi pagi lagi, Tadz?" "Iya, Pak. Kemarin malam ada laporan beberapa santri bolos mengaji dengan alasan sakit. Saya mau periksa langsung siapa saja yang masih di kamar pagi ini," jawab Sant...

Aku Bukan Seorang Pencuri

Image
  Aku Bukan Seorang Pencuri Senja mulai menyapa ketika Aina berjalan menyusuri halaman PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Langkahnya gontai, tidak seperti biasanya. Mata gadis berkerudung biru itu sembab, bekas tangisan yang susah payah ia tahan sejak dipanggil ke kantor asrama putri tadi siang. Tuduhan yang dialamatkan kepadanya bagaikan petir di siang bolong—mencuri uang bendahara asrama. Seumur hidupnya di pesantren yang akrab disebut PP. Malibo ini, belum pernah ia merasa sehina ini. "Aina, tunggu!" terdengar suara Lina, sahabatnya sejak pertama kali mondok. Aina mempercepat langkahnya, enggan bertemu siapapun. Ia berbelok cepat ke arah mushola yang berada di tengah kompleks pesantren, berharap menemukan ketenangan di sana. Tapi langkahnya terhenti saat melihat sekelompok santri putri sedang bersiap untuk mengaji. Dengan tergesa, ia membalikkan badan menuju asrama putri yang terletak di utara mushola. "Aina, jangan lari terus. Aku percaya kamu tidak melakukann...

Ketika Mentari Terakhir Terbit

Image
  Ketika Mentari Terakhir Terbit Matahari belum sepenuhnya meninggi ketika aktivitas di Pesantren Darul Hikmah sudah dimulai. Para santri bergegas menuju masjid untuk salat Dhuha berjamaah, sementara beberapa guru tampak berdiskusi tentang jadwal pengajian hari ini. Di tengah kesibukan itu, seorang pemuda berusia 16 tahun dengan peci hitam yang sedikit miring sedang duduk sendirian di teras perpustakaan, tangannya sibuk menggambar di sebuah buku sketsa usang. "Gus Ajis! Sudah waktunya mengaji dengan Abah!" panggil seorang santri senior. Ajis—putra bungsu Kiai Zainuddin, pengasuh pesantren—menghela napas panjang sebelum menutup buku sketsanya. Dengan langkah enggan, ia berjalan menuju ndalem (rumah kiai). Di ruang utama ndalem, tiga baris santri senior dan dua kakak Ajis sudah duduk rapi menunggu pengajian dimulai. Gus Farid, kakak tertua Ajis yang berusia 28 tahun, sedang membacakan kitab kuning dengan fasih. Di sampingnya, Gus Hakim (25 tahun) mengangguk-angguk memahami,...

MUSIBAH SANDAL HILANG DI PESANTREN AL-BAROKAH

Image
  MUSIBAH SANDAL HILANG DI PESANTREN AL-BAROKAH Moh. Kholil Mughofar Kalau menurut saya, masalah terbesar di pesantren bukanlah hafalan Quran, bukan juga bangun tahajud, tapi sandal hilang. Ya, hilangnya sendal jepit merupakan bencana yang lebih menakutkan daripada ujian kitab kuning dadakan. Namaku Ahmad Ridwan, biasa dipanggil Iwan, santri tingkat akhir di Pesantren Al-Barokah yang terletak di pinggiran kota Jombang. Sebuah pesantren dengan 500-an santri putra yang semuanya punya hobi sama: koleksi sandal orang lain. Pagi itu, seperti biasa, saya bersiap untuk pergi ke kamar mandi. Masalahnya, kamar mandi di pesantren ini cuma ada 20 untuk 500 santri. Jadi, kalau kamu tidak bangun pagi-pagi buta, bersiaplah mengantre sambil menahan 'panggilan alam' selama 30 menit. Itupun kalau beruntung. Saya mengulurkan tangan ke bawah ranjang untuk mengambil sandal Swallow biru kesayangan saya. Sandal itu hadiah dari Mamak setelah saya berhasil menghafal Juz 30. Tapi yang saya temu...

JANJI YANG TERPATRI

Image
  JANJI YANG TERPATRI Moh. Kholil Mughofar Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Langit Jombang tampak kelabu menaungi Pesantren Darul Hikmah. Sarqowi menatap nanar butiran hujan yang berjatuhan dari langit. Seperti bening air mata yang menyimpan derita tak terucap. Sarqowi menarik nafas dalam, lalu membuka kitab Ihya' Ulumuddin yang tergeletak di sampingnya. Wama ta'jilul mushibah illa ridho bil qadha' . Tidak ada cara mempercepat terlewatinya musibah kecuali dengan ridha terhadap ketentuan Allah. Kalimat Imam Al-Ghazali itu begitu menghujam kalbunya. Sarqowi mencoba untuk ridha, namun hatinya bagai teriris sembilu. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan janji yang telah terpatri? Janji suci yang diikrarkannya bersama Nadirah di bawah pohon sawo di belakang pesantren tiga tahun silam. "Kita akan menikah setelah kita lulus dan mengabdi dua tahun," begitu janjinya dulu kepada gadis bermata teduh yang kini entah bagaimana perasaannya ...

Mutiara di Pulau Tak Bernama

Image
  Mutiara di Pulau Tak Bernama Moh. Kholil Mughofar Badai datang tanpa ampun. Gelombang setinggi tiga meter menghantam perahu kayu yang membawa dua belas santri Pesantren Darussalam. Mereka seharusnya hanya melakukan perjalanan singkat ke pulau seberang untuk menghadiri kompetisi tahfidz, namun takdir berkata lain. "Baca Ayat Kursi!" Teriak Ustadz Farid, pembimbing mereka, berusaha mengatasi deru angin. "Bersama-sama!" Santri-santri itu—enam laki-laki dan enam perempuan—bergegas membaca doa, suara mereka bergetar namun mantap. Namun gelombang berikutnya terlalu kuat. Perahu mereka terangkat tinggi, berputar di udara seperti mainan, sebelum hancur berkeping-keping saat menghantam permukaan laut. Ahmad membuka mata, merasakan pasir kasar di pipinya. Tenggorokannya perih oleh air laut. Ia terbatuk keras, merasakan sisa-sisa air keluar dari paru-parunya. "Alhamdulillah, kau sadar!" Sebuah suara yang ia kenal menyapanya. Itu Zaki, teman sekamarn...