Cah Anyar
Cah Anyar
Saiful Maulana Ihsan
Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim
Bojonegoro
Pagi itu, cahaya matahari masuk lembut lewat
jendela mushola. Udara dingin sisa subuh masih terasa di ujung sajadah. Guntur
duduk bersila di samping Saiful. Dua santri baru yang masih kikuk dengan
suasana pondok.
“Aku masih belum hafal semua nama tempat di
sini,” kata Guntur lirih sambil menatap halaman.
Saiful tersenyum, “Santai aja, bro. Semua butuh
waktu.”
Suara sandal gesek di lantai terdengar. Seorang
santri bertubuh tinggi besar melintas, menatap mereka dari ujung mushola.
Jayen. Matanya tajam seperti ingin menelanjangi kelemahan orang lain. Ia
mendengar percakapan itu, lalu tersenyum miring—senyum yang menandakan sesuatu
yang tak baik.
“Cah anyar,” gumamnya pelan sambil berlalu.
…
Bakda dhuhur, ketika semua santri bersiap tidur
siang, Guntur berjalan ke dek—tempat menjemur pakaian di belakang
asrama. Langkahnya pelan, membawa gayung dan ember kecil. Ia ingin mengambil
bajunya yang kering.
Belum sempat ia sampai, suara kasar menyambar.
“Hei, cah anyar!”
Guntur menoleh, keningnya berkerut. “Maaf, saya
tidak mengerti.”
Tawa meledak di udara. Jayen bersama beberapa
santri lain memandangnya dengan pandangan mengejek.
“Dia gak ngerti bahasa Jawa, hahahaha!” seru salah satu dari mereka.
Jayen menepuk pundak temannya, “Santri macam
apa ini? Pondok di Bojonegoro tapi gak ngerti Jawa. Malu-maluin!”
Guntur menunduk. Ia tak mengerti sepenuhnya,
tapi tawa mereka menusuk seperti duri.
…
Menjelang sore, Saiful mulai gelisah. Ia
mencari Guntur di kamar, di dapur, bahkan di mushola—tak ada.
“Dia tadi ke dek,” gumamnya.
Langkahnya cepat menuju belakang asrama. Dan di
sanalah… di bawah langit yang mulai menguning, ia melihat sesuatu yang membuat
dadanya tercekat.
Guntur dikeroyok. Tiga orang menendangnya, satu
menahan tangannya. Jayen berdiri di depan, tertawa puas.
“Lucu kan, cah anyar ini?” katanya sambil
menendang ember di dekat kepala Guntur.
Saiful berteriak keras, “Ada perkelahian!”
Suara itu menggema, memecah keheningan pondok.
Jayen dan teman-temannya panik, berlari
terbirit-birit. Guntur terduduk, wajahnya memar, bibirnya pecah. Napasnya
tersengal, tapi matanya tetap lembut—tak ada benci, hanya luka yang dalam.
…
Tak lama, Pak Akom datang bersama Pak Misqol.
“Astaghfirullah, apa yang terjadi di sini?”
seru Pak Akom kaget.
Saiful menjawab cepat, “Guntur… dipukuli, Pak.”
Tanpa menunggu lama, mereka membawa Guntur ke
puskesmas. Dalam perjalanan, Guntur terus diam. Hanya matanya yang
berkaca-kaca. Saiful menggenggam tangannya erat.
“Tenang, Guntur. Mereka bakal dihukum berat.”
Di ruang puskesmas, Kyai Ihsan datang bersama
Ning Fifi. Wajah beliau teduh, tapi matanya memendam kecewa.
“Kekerasan tidak punya tempat di pondok ini,” ucap Kyai pelan namun tegas.
Malam itu, Jayen dan para pelaku dipanggil ke
kantor pengasuh. Setelah pembinaan dan musyawarah, mereka diputuskan harus
keluar dari pondok. Air mata menetes di wajah beberapa santri. Tapi Jayen tetap
menunduk dingin.
…
Beberapa hari kemudian, Guntur mulai membaik.
Saiful menemaninya belajar di mushola. Luka di wajahnya mulai hilang, tapi luka
di hatinya… entah kapan sembuhnya.
“Saiful,” bisiknya pelan, “aku nggak marah sama
mereka. Aku cuma sedih… kenapa orang bisa sekejam itu di tempat seindah ini.”
Saiful menatap langit-langit mushola. “Mungkin,
karena Allah ingin nunjukin siapa yang benar-benar kuat.”
Guntur tersenyum lemah. “Kuat itu bukan karena
bisa mukul, ya?”
Saiful mengangguk. “Tapi karena bisa
memaafkan.”
Dan di bawah cahaya lampu mushola yang redup,
dua santri baru itu berdoa dalam diam. Di luar, suara jangkrik mulai
bersahutan. Pondok kembali tenang.
Tapi di hati Guntur, luka hari itu akan
selamanya menjadi pengingat: bahwa bahkan di tempat yang penuh doa, masih ada
yang perlu disembuhkan — bukan tubuh, tapi hati manusia.
Comments