Bisikan di Kamar Mandi
Bisikan di Kamar Mandi
Khalila
Alkyra Zaahid
Jam
dinding tua di ujung koridor asrama putri Pesantren Maulana Malik Ibrahim
berdentang satu kali, menandakan waktu telah lewat tengah malam. Keheningan
yang mencekam menyelimuti bangunan asrama yang biasanya dipenuhi celoteh dan
tawa para santri.
Khalila
terbangun dengan tiba-tiba, matanya terbuka lebar menatap langit-langit
kamarnya. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha mengingat mimpi apa yang baru
saja membuatnya tersentak dari tidur. Namun, yang terasa justru desakan yang
tak tertahankan dari kandung kemihnya.
"Ya
Allah," bisiknya pada diri sendiri seraya menyibakkan selimut.
Ia
melirik ke sekeliling kamar asrama. Ulfa, Husna, Rizka, dan Izza masih terlelap
dalam tidur mereka. Dengkuran halus Ulfa terdengar berirama, kontras dengan
keheningan malam yang mencekam. Khalila mengambil senter kecil dari bawah
bantalnya dan melangkah perlahan menuju pintu, berusaha tidak membangunkan
teman-temannya.
Koridor
asrama putri terasa lebih panjang dan lebih gelap dari biasanya. Lampu yang
biasanya dinyalakan sepanjang malam entah mengapa hanya menyala redup,
menciptakan bayangan-bayangan aneh di sepanjang dinding. Khalila menggenggam
senternya lebih erat, menyorotkan cahayanya ke depan meskipun tangannya sedikit
gemetar.
Kamar
mandi putri berada di belakang asrama, terpisah sekitar dua puluh langkah dari
bangunan utama. Bu Hawa selalu memperingatkan para santri putri untuk tidak
pergi ke kamar mandi sendirian di malam hari, tetapi Khalila tidak punya
pilihan. Ia berjalan cepat menyeberangi halaman kecil, merasakan hembusan angin
malam yang entah mengapa terasa lebih dingin dari biasanya.
Ketika
membuka pintu kamar mandi, Khalila disambut oleh kegelapan pekat. Ia menekan
saklar lampu, dan lampu neon di langit-langit berkedip beberapa kali sebelum
akhirnya menyala, memancarkan cahaya putih kebiruan yang memucat. Suasana kamar
mandi itu tiba-tiba membuatnya merinding. Lantai keramik yang basah memantulkan
cahaya lampu, dan suara tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat
menciptakan irama menakutkan dalam keheningan.
"Selesaikan
saja dengan cepat," gumam Khalila pada dirinya sendiri.
Ia
memasuki salah satu bilik dan menguncinya. Tepat saat itu, terdengar suara air
mengalir dari bilik di sampingnya. Khalila tertegun. Siapa yang berada di
kamar mandi sepagi ini?
"Assalamualaikum?"
panggilnya pelan. Tidak ada jawaban.
Suara
air terus mengalir tanpa henti. Khalila menyelesaikan urusannya dengan cepat,
lalu keluar dari bilik. Ia berdiri di depan wastafel, memandang bayangannya di
cermin yang sedikit retak di bagian ujungnya. Wajahnya tampak pucat, dan
matanya menyiratkan kecemasan yang tidak dapat ia sembunyikan.
"Permisi,
siapa di dalam?" tanyanya lagi, suaranya sedikit bergetar. Masih tidak ada
jawaban, namun suara air terus mengalir.
Khalila
menyalakan keran dan mulai membasuh tangannya. Air dingin membuat kulitnya
terasa kaku. Tepat ketika ia hendak meraih handuk kecil dari sakunya, sesuatu
jatuh ke tangannya. Sehelai rambut hitam panjang.
Dahinya
mengernyit. Rambut itu bukan miliknya, terlalu panjang dan terlalu hitam.
Khalila mendongak perlahan, sesuatu di dalam dirinya sudah menjerit untuk lari,
namun tubuhnya seakan membeku.
Di
langit-langit tepat di atasnya, sosok seorang perempuan bergelantungan
terbalik. Rambutnya yang hitam panjang menjuntai ke bawah, hampir menyentuh
puncak kepala Khalila. Wajahnya pucat pasi dengan mata yang melotot lebar, dan
bibirnya yang membiru menyunggingkan senyuman mengerikan. Bajunya yang putih
lusuh tampak basah kuyup, menetes-neteskan air ke lantai kamar mandi.
Khalila
ingin berteriak, tetapi suaranya tertahan di tenggorokan. Jantungnya berdebar
kencang, dan kakinya seakan terpaku ke lantai yang dingin.
Sosok
itu bergerak perlahan, kepalanya berputar dalam sudut yang tidak mungkin
dilakukan manusia normal. Matanya yang melotot tanpa berkedip menatap langsung
ke mata Khalila.
"Khalila..."
bisik sosok itu dengan suara serak yang terdengar seperti desisan ular.
"Aku menunggumu..."
Air
di wastafel tiba-tiba berubah warna menjadi merah kehitaman. Aroma anyir
menyeruak, membuat Khalila merasa mual.
"Ya
Allah..." Khalila akhirnya menemukan suaranya, meski hanya berupa bisikan
lemah. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia memaksa kakinya untuk bergerak,
berbalik dan berlari sekuat tenaga menuju pintu.
Namun
ketika tangannya meraih gagang pintu, pintu itu tidak bergerak. Terkunci.
Khalila menggedor-gedor pintu dengan panik.
"Tolong!
Siapapun, tolong!" teriaknya.
Suara
tawa melengking terdengar dari belakangnya, disusul suara air yang semakin
deras. Khalila menoleh ke belakang dan melihat sosok itu kini merayap di
langit-langit, bergerak seperti laba-laba menuju ke arahnya. Rambut panjangnya
menyapu lantai kamar mandi.
"Tidak
ada yang bisa mendengarmu, Khalila..." bisik sosok itu lagi. "Kita
akan bersama selamanya..."
Air
mulai meluap dari semua wastafel dan toilet, dengan cepat memenuhi lantai kamar
mandi. Khalila terisak, tangannya masih berusaha membuka pintu.
"Bismillahirrahmanirrahim,"
bisiknya berulang-ulang, air matanya mengalir deras. "Ya Allah, lindungi
aku..."
Tiba-tiba
terdengar ketukan dari luar.
"Khalila?
Kamu di dalam?" Suara Bu Hawa terdengar dari balik pintu.
"Bu
Hawa! Tolong! Ada se—" Khalila tidak menyelesaikan kalimatnya karena
merasakan sesuatu yang dingin menyentuh bahunya. Ia menutup matanya
rapat-rapat, tidak berani menoleh.
Pintu
terbuka dengan keras, dan cahaya lampu senter menyilaukan matanya. Khalila
membuka mata perlahan. Bu Hawa berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas, di
belakangnya berdiri Pak Misqol dan Gus Iib.
"Astaga,
Khalila! Apa yang kamu lakukan sendirian di sini malam-malam?" tanya Bu
Hawa, cepat-cepat menarik Khalila keluar dari kamar mandi.
Khalila
tidak dapat berkata-kata. Ia menoleh ke belakang. Kamar mandi itu kini tampak
normal. Tidak ada air yang meluap, tidak ada sosok mengerikan di langit-langit.
Hanya kamar mandi biasa dengan lampu neon yang berkedip-kedip.
"Ada...
ada sesuatu di dalam," Khalila akhirnya berkata dengan suara gemetar.
"Di langit-langit..."
Pak
Misqol bertukar pandang dengan Gus Iib sebelum melangkah masuk ke kamar mandi.
Ia mengarahkan senternya ke langit-langit, memeriksa setiap sudut.
"Tidak
ada apa-apa, Nak," katanya setelah beberapa saat. "Tapi memang ada
yang tidak beres dengan tempat ini."
Gus
Iib mengambil tasbih dari sakunya dan mulai membaca doa-doa. "Kamu
beruntung Bu Hawa terbangun karena mimpi buruk dan memeriksa kamar
kalian," kata Gus Iib. "Dia panik ketika tidak menemukanmu di tempat
tidur dan segera menghubungiku."
"Dan
tepat waktu aku baru saja datang untuk menjemput Gus Iib," tambah Pak
Misqol. "Ada yang harus kami selesaikan di sini."
Bu
Hawa merangkul Khalila yang masih gemetar. "Ayo kembali ke asrama. Besok
pagi kita bicarakan ini dengan Kyai Ihsan."
Saat
mereka berjalan kembali ke asrama, Khalila tidak berani menoleh ke belakang.
Namun, ia bisa mendengar Pak Misqol berbisik pada Gus Iib.
"Sudah
ketiga kalinya bulan ini. Kita harus memberitahu Kyai tentang apa yang terjadi
di bangunan lama itu."
"Arwah
itu semakin kuat," balas Gus Iib pelan. "Dan sepertinya dia tertarik
pada santri yang memiliki kepekaan khusus."
Bu
Hawa menggenggam tangan Khalila lebih erat, seolah menyadari percakapan itu
bisa menambah ketakutannya.
"Jangan
khawatir," bisik Bu Hawa menenangkan. "Di pesantren ini kamu aman.
Kyai Ihsan tidak akan membiarkan hal-hal seperti itu mengganggu
santrinya."
Namun
malam itu, ketika akhirnya kembali ke tempat tidurnya, Khalila tidak bisa
memejamkan mata. Setiap kali ia mencoba, bayangan sosok mengerikan itu muncul
dalam benaknya. Dan yang lebih menakutkan, ia merasa seperti mendengar bisikan
lembut di telinganya, memanggil namanya berulang-ulang dari kegelapan.
Di
luar jendela, angin malam berdesir memainkan dedaunan pohon mangga tua di
halaman belakang asrama, menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding.
Khalila menarik selimutnya hingga menutupi wajah dan mulai membaca ayat Kursi,
berharap pagi segera datang.
Namun
jauh di dalam hatinya, Khalila tahu bahwa apa yang ia alami malam ini hanyalah
awal dari sesuatu yang lebih besar—sebuah misteri gelap yang telah lama
tersembunyi di balik dinding-dinding tua Pesantren Maulana Malik Ibrahim.
Sekian.
Comments