Petunjuk dari Mimpi
Petunjuk
dari Mimpi
Rado
Satrya Putra
(Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro)
Sinar
mentari pagi menerobos celah jendela kayu asrama putra Pesantren Maulana Malik
Ibrahim. Derap langkah santri yang bergegas menuju kamar mandi untuk berwudhu
terdengar riuh. Jam dinding menunjukkan pukul 04.15, waktu yang biasa bagi para
santri untuk bangun, kecuali satu orang.
Rado
masih terbaring di kasurnya, matanya terpejam rapat. Tubuhnya sesekali bergerak
gelisah, bibirnya menggumamkan kata-kata yang tak jelas.
"Rado!
Bangun!" Farel mengguncang tubuh Rado, meski ia sendiri masih setengah
mengantuk. "Sebentar lagi Kang Emi keliling. Kamu mau kena hukuman
lagi?"
Tak
ada respons.
"Rado!"
Farel mengguncang lebih keras.
Rado
tersentak bangun dengan napas terengah. Matanya terbuka lebar, seperti orang
yang baru melihat sesuatu yang luar biasa.
"Farel!
Aku melihatnya! Aku melihatnya!" seru Rado bersemangat.
Farel
menghela napas. "Mimpi aneh lagi? Cepat bangun, sudah waktunya shalat
Subuh."
Tapi
Rado tidak mendengarkan. Ia meraih buku catatan kecil dari bawah bantalnya dan
mulai menggambar dengan cepat. Tangannya bergerak lincah membentuk sketsa
sebuah alat yang terlihat rumit.
"Kali
ini berbeda, Rel," kata Rado, masih sibuk menggambar. "Ini bukan
sekedar mimpi biasa. Ini... petunjuk."
"Terserah.
Tapi kalau Kang Emi sampai—"
"BANGUN
SEMUANYA!" Teriakan Kang Emi menggema di lorong asrama, membuat Farel
melonjak kaget.
"Tuh
kan," desah Farel sambil menyambar handuknya. "Ayo cepat,
sebelum—"
Pintu
kamar terbuka dengan kasar. Sosok Kang Emi yang tinggi besar muncul dengan
wajah garangnya yang khas. Matanya langsung tertuju pada Rado yang masih duduk
di kasur dengan buku catatan di tangan.
"Rado
lagi," gumam Kang Emi dengan nada yang sudah terlalu familier dengan
situasi ini. "Lima puluh kali putaran lapangan setelah pengajian
pagi!"
Rado
hanya mengangguk, terlalu sibuk dengan catatannya untuk merasa keberatan dengan
hukuman rutin yang ia terima hampir setiap minggu.
Setelah
shalat Subuh berjamaah dan pengajian pagi, Rado segera menuju lapangan untuk
menjalani hukumannya. Lima puluh putaran bukanlah hal yang ringan, tapi entah
bagaimana, kali ini Rado melakukannya dengan pikiran yang berkelana jauh.
"Mimpi
itu terasa sangat nyata," gumamnya di antara napas yang tersengal pada
putaran ke-27. "Alat itu... bisa merubah energi suara menjadi listrik...
Tapi bagaimana caranya?"
"Bicara
sendiri lagi?"
Rado
menoleh dan mendapati Syauqi berlari di sampingnya. "Hukuman apa kali
ini?" tanya Rado.
"Main
bola sampai larut malam," jawab Syauqi sambil nyengir. "Kang Emi
memergokiku dan Naufal sedang asyik berlatih tendangan penalti di bawah cahaya
bulan."
Rado
tertawa kecil. "Kamu dan obsesimu jadi pemain bola profesional."
"Hey,
setidaknya obsesiku masuk akal," balas Syauqi. "Tidak seperti kamu
yang selalu menganggap serius mimpi-mimpi anehmu itu."
"Kamu
tak akan mengerti," ujar Rado, mempercepat larinya.
Setelah
menyelesaikan hukumannya, Rado bergegas menuju kamar mandi untuk bersiap ke
sekolah formal. Sepanjang hari, pikirannya tidak bisa lepas dari sketsa yang ia
gambar pagi tadi. Bahkan saat pelajaran fisika tentang energi, Rado nyaris
tidak memperhatikan, sibuk menyempurnakan konsep alatnya di buku tulis.
"...dan
itulah bagaimana energi dapat dikonversi dari satu bentuk ke bentuk
lainnya," jelas Pak Nusa, guru fisika yang juga ustadz di pesantren.
"Ada pertanyaan?"
Rado
mengangkat tangannya dengan cepat.
"Ya,
Rado?" Pak Nusa menunjuk ke arahnya.
"Pak,
apakah mungkin mengubah energi suara menjadi listrik dalam jumlah yang
signifikan?"
Beberapa
santri terkikik. Mereka sudah terbiasa dengan pertanyaan-pertanyaan aneh Rado
yang sering kali terdengar seperti khayalan belaka.
"Pertanyaan
bagus," jawab Pak Nusa, membuat kelas hening seketika. "Secara
teoritis, itu mungkin. Suara adalah gelombang mekanik yang membawa energi.
Dengan alat yang tepat, energi itu bisa dikonversi menjadi listrik. Tapi
efisiensinya biasanya sangat rendah."
Mata
Rado berbinar. "Tapi bagaimana jika kita bisa meningkatkan
efisiensinya?"
"Itu
masalah yang kompleks," jawab Pak Nusa. "Mungkin kamu bisa
mendiskusikannya dengan Pak Sokhib. Beliau lebih ahli soal teknologi semacam
ini."
Senyum
Rado merekah. Pak Sokhib, si jenius teknologi yang juga sahabat dekat Kyai
Ihsan, adalah sosok yang Rado kagumi sejak lama.
Sore
itu, setelah jamaah Ashar dan musyawarah kelas, Rado menyelinap ke laboratorium
komputer di sudut timur gedung madrasah. Ia tahu Pak Sokhib sering berada di
sana, mengerjakan berbagai proyek teknologi barunya.
"Assalamualaikum,"
salam Rado sambil mengetuk pintu yang setengah terbuka.
"Waalaikumsalam,"
jawab suara dari dalam. "Masuklah."
Rado
melangkah masuk dengan hati berdebar. Ruangan itu dipenuhi dengan berbagai
peralatan elektronik, komputer, dan alat-alat yang sebagian besar tidak ia
kenali.
Pak
Sokhib, pria berkacamata tebal dengan janggut tipis, sedang membungkuk di atas
sebuah rangkaian elektronik yang rumit. Ia mengangkat wajahnya dan tersenyum
melihat Rado.
"Ah,
Rado. Santri yang sering mendapat mimpi aneh itu, kan?" tanyanya ramah.
Rado
mengangguk malu. "Iya, Pak. Saya... saya ingin berkonsultasi tentang
sesuatu."
"Duduklah,"
Pak Sokhib menunjuk kursi di seberangnya. "Ada yang bisa kubantu?"
Dengan
agak ragu, Rado mengeluarkan buku catatannya dan menunjukkan sketsa yang ia
buat pagi tadi.
"Saya
bermimpi tentang alat ini semalam," jelas Rado. "Dalam mimpi saya,
alat ini bisa mengubah energi suara menjadi listrik dengan efisiensi yang
tinggi."
Alih-alih
tertawa atau mengejek seperti yang sering dilakukan oleh teman-temannya, Pak
Sokhib justru mengambil buku catatan itu dan mengamati sketsanya dengan serius.
"Hmm,
menarik," gumamnya. "Kamu tahu, Rado, banyak penemuan besar dalam
sejarah berawal dari mimpi atau ilham."
"Benarkah?"
tanya Rado, matanya melebar.
"Tentu.
Mendeleev menemukan tabel periodik elemen dalam mimpinya. August Kekulé
memecahkan struktur molekul benzena setelah bermimpi tentang ular yang
menggigit ekornya sendiri." Pak Sokhib mengembalikan buku itu pada Rado.
"Tapi, tentu saja, mimpi saja tidak cukup. Kamu harus mengembangkan dan
membuktikannya dengan ilmu pengetahuan."
"Itulah
yang ingin saya lakukan, Pak. Tapi saya tidak tahu harus mulai dari mana."
Pak
Sokhib berpikir sejenak, kemudian bangkit dan berjalan menuju rak buku di sudut
ruangan. Ia mengambil beberapa buku dan menyerahkannya pada Rado.
"Mulailah
dengan memahami dasar-dasar elektronika dan akustik," sarannya.
"Setelah kamu menguasainya, kita bisa mulai bereksperimen dengan prototipe
sederhana."
Rado
menerima buku-buku itu dengan tangan gemetar karena semangat. "Terima
kasih banyak, Pak."
"Satu
hal lagi," tambah Pak Sokhib. "Jangan lalaikan kewajibanmu sebagai
santri. Ilmu agama dan ilmu dunia harus seimbang."
"Siap,
Pak," janji Rado.
Minggu-minggu
berikutnya, Rado membagi waktunya dengan sangat disiplin. Ia tidak lagi
terlambat bangun untuk shalat Subuh karena sadar bahwa ia butuh konsentrasi
penuh untuk mempelajari buku-buku dari Pak Sokhib. Setiap waktu senggang, ia
habiskan di perpustakaan atau membantu Pak Sokhib di laboratorium.
"Wah,
sejak kapan Rado jadi rajin begini?" celetuk Azka suatu sore saat melihat
Rado membaca buku tebal di bawah pohon rindang di halaman pesantren.
"Sejak
dia kerasukan jin perpustakaan," sahut Aldo dengan nada sarkastisnya yang
khas.
Rado
tidak menghiraukan mereka. Ia terlalu fokus pada bagian tentang piezoelektrik,
material yang bisa menghasilkan listrik ketika diberi tekanan mekanik—termasuk
dari gelombang suara.
"Ini
dia!" serunya pelan. "Tapi bagaimana cara meningkatkan
efisiensinya?"
Mimpi-mimpi
aneh terus datang. Kadang memberikan petunjuk samar, kadang hanya
potongan-potongan gambar yang tak masuk akal. Rado mencatat semuanya dengan
teliti, mencoba mencari pola atau hubungan.
Suatu
malam, setelah madrasah diniyah, Rado mendapat mimpi yang sangat jelas. Ia
melihat rangkaian piezoelektrik yang disusun dalam pola khusus, dengan beberapa
komponen tambahan yang belum pernah ia lihat sebelumnya.
Keesokan
paginya, ia bergegas ke laboratorium Pak Sokhib.
"Pak!
Saya melihatnya lagi!" serunya begitu melihat Pak Sokhib.
"Pelan-pelan,
Rado," Pak Sokhib tersenyum melihat semangat Rado yang meluap-luap.
"Apa yang kamu lihat?"
Rado
menunjukkan sketsa barunya. "Rangkaian ini, Pak. Saya yakin ini bisa
meningkatkan efisiensi konversi suara menjadi listrik."
Pak
Sokhib mengamati sketsa itu dengan dahi berkerut. "Ini... tidak
konvensional," komentarnya. "Tapi secara teori, mungkin bisa bekerja.
Mari kita coba buat prototipe sederhananya."
Selama
beberapa hari, Rado dan Pak Sokhib bekerja keras membuat prototipe. Mereka
menggunakan piezoelektrik dari speaker bekas, rangkaian elektronik sederhana,
dan beberapa komponen lain yang bisa mereka temukan di laboratorium.
"Sudah
siap untuk pengujian," ujar Pak Sokhib pada hari keempat. "Silakan,
Rado. Ini penemuanmu."
Dengan
tangan gemetar, Rado memasang alat itu di dekat speaker kecil. Ia menyalakan
speaker dengan volume sedang, memainkan nada konstan.
Tidak
terjadi apa-apa.
"Mungkin
perlu suara yang lebih keras?" saran Pak Sokhib.
Rado
menaikkan volume speaker hingga maksimum. Lampu kecil pada alat mereka mulai
berkedip lemah.
"Berhasil!"
seru Rado. "Tapi... efisiensinya masih sangat rendah."
Pak
Sokhib menepuk pundak Rado. "Ini baru awal, Nak. Penemuan besar butuh
banyak percobaan dan perbaikan."
Rado
mengangguk, meski ada kekecewaan di wajahnya.
Malam
itu, Rado tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan alat buatannya yang belum
bekerja optimal. Ketika akhirnya ia tertidur, mimpi aneh itu datang lagi. Kali
ini lebih jelas dari sebelumnya.
Dalam
mimpinya, Rado melihat sekelompok piezoelektrik yang disusun dalam pola
melingkar, dengan sebuah ruang resonansi di tengahnya. Suara yang masuk akan
diperkuat oleh ruang resonansi sebelum mengenai piezoelektrik, menghasilkan
listrik yang jauh lebih besar.
Keesokan
paginya, bahkan sebelum azan Subuh berkumandang, Rado sudah bangun dan
menggambar sketsanya dengan detail. Ia bahkan tidak sadar ketika Kang Emi
melakukan pemeriksaan pagi dan melewatkan kamarnya karena melihat Rado sudah
bangun dengan rapi.
"Kamu
bangun pagi sekali," komentar Farel yang terbangun oleh gerakan Rado.
"Mimpi lagi?"
"Ya,"
jawab Rado singkat, terlalu fokus pada sketsanya.
Setelah
pengajian pagi, Rado berlari ke laboratorium Pak Sokhib, hampir menabrak Kyai
Ihsan yang sedang berjalan di koridor.
"Maaf,
Kyai!" serunya sambil terus berlari.
Kyai
Ihsan hanya tersenyum maklum, sudah mendengar tentang proyek Rado dari Pak
Sokhib.
Di
laboratorium, Rado menemukan Pak Sokhib sedang berbincang dengan seseorang yang
tidak ia kenal—seorang pria berjenggot lebat dengan pakaian yang sangat
sederhana.
"Ah,
Rado," sapa Pak Sokhib. "Perkenalkan, ini Pak Misqol dari
Balen."
Rado
menelan ludah. Siapa yang tidak kenal Pak Misqol? Ahli supranatural yang sering
dipanggil kyai untuk menangani kasus-kasus ghaib di pesantren.
"A-assalamualaikum,"
salam Rado gugup.
"Waalaikumsalam,"
balas Pak Misqol dengan suara yang dalam dan tenang. "Jadi kamu santri
yang sering mendapat mimpi petunjuk itu?"
Rado
mengangguk pelan.
"Aku
sudah dengar tentangmu dari Kyai Ihsan," lanjut Pak Misqol.
"Mimpi-mimpimu itu bukan sembarang mimpi, Nak."
"Maksud
Bapak?"
"Ada
yang namanya ilham. Petunjuk yang diberikan melalui alam bawah sadar." Pak
Misqol menatap Rado dengan serius. "Tidak semua orang diberi kemampuan
untuk menerimanya. Dan tidak semua yang menerimanya bisa memahaminya."
Rado
terdiam, mencerna kata-kata Pak Misqol.
"Tapi
ingat," tambah Pak Misqol, "kemampuan ini adalah amanah. Gunakan
untuk kebaikan."
Setelah
Pak Misqol pamit, Rado menunjukkan sketsa barunya pada Pak Sokhib. "Saya
rasa ini bisa bekerja, Pak!"
Pak
Sokhib mengamati sketsa itu dengan seksama. "Prinsip ruang resonansi...
brilian!" komentarnya. "Mari kita coba."
Mereka
menghabiskan hari itu untuk membuat prototipe baru. Kali ini, Pak Sokhib bahkan
meminta bantuan Kang Wahab, khodam Kyai Ihsan yang terkenal pendiam namun
sangat terampil dalam pertukangan, untuk membuat ruang resonansi dari kayu jati
berkualitas tinggi.
Sore
itu, setelah jamaah Ashar, prototipe kedua siap diuji. Kali ini, selain Pak
Sokhib, Kyai Ihsan juga hadir untuk menyaksikan.
"Bismillah,"
ucap Rado sebelum menyalakan speaker.
Suara
musik mengalun dari speaker, dan perlahan tapi pasti, lampu LED yang terhubung
dengan alat mereka mulai menyala terang.
"Masyaallah!"
seru Pak Sokhib takjub. "Berhasil!"
Kyai
Ihsan tersenyum lebar. "Selamat, Rado. Kamu telah membuktikan bahwa
mimpimu bukan sekedar bunga tidur."
Rado
nyaris tidak percaya dengan keberhasilan mereka. "Tapi... ini masih skala
kecil, Kyai."
"Setiap
penemuan besar dimulai dari langkah kecil," ujar Kyai Ihsan bijak.
"Yang penting adalah niatmu untuk memberikan manfaat."
Berita
tentang penemuan Rado cepat menyebar di seluruh pesantren. Santri-santri mulai
memanggilnya "Rado si Penemu" atau "Rado Mimpi" dengan nada
kagum, bukan lagi mengejek seperti dulu.
"Jadi,
alat ini benar-benar bisa menghasilkan listrik dari suara?" tanya Azka tak
percaya saat Rado mendemonstrasikan alatnya di depan santri-santri lain.
"Masih
dalam skala kecil," jawab Rado rendah hati. "Tapi dengan pengembangan
lebih lanjut, mungkin bisa digunakan untuk menghasilkan listrik dari
suara-suara di sekitar kita."
"Seperti
suara adzan?" tanya Ulfa yang kebetulan lewat bersama Husna.
"Atau
suaraku saat menabuh ember?" tambah Husna sambil tertawa.
"Mungkin,"
Rado tersenyum. "Yang jelas, ini baru permulaan."
Suatu
hari, saat Rado sedang memperbaiki prototipenya di laboratorium, Kyai Ihsan
datang bersama seorang tamu—seorang pria berjas rapi dengan kacamata berbingkai
emas.
"Rado,
perkenalkan. Ini Pak Ahmad dari Departemen Energi Terbarukan," ujar Kyai
Ihsan.
Rado
berdiri gugup, menyalami tamu penting tersebut.
"Saya
sudah dengar tentang penemuanmu dari Kyai Ihsan," ujar Pak Ahmad.
"Sangat menarik dan inovatif. Departemen kami sedang mencari ide-ide segar
untuk pengembangan energi terbarukan."
"T-terima
kasih, Pak," jawab Rado, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi.
"Kami
ingin mengundangmu untuk mempresentasikan konsepmu di hadapan para peneliti
kami bulan depan. Jika berhasil, kami siap mendanai pengembangan lebih
lanjut."
Mata
Rado membulat. "Sungguh, Pak?"
Pak
Ahmad mengangguk. "Tentu. Ini kesempatan besar."
Setelah
Pak Ahmad pamit, Rado menatap Kyai Ihsan dengan mata berkaca-kaca. "Kyai,
saya... saya tidak tahu harus berkata apa."
"Katakan
alhamdulillah," jawab Kyai Ihsan lembut. "Dan ingat, semua ini adalah
karunia Allah. Mimpi-mimpimu itu adalah ilham yang Allah berikan padamu."
"Saya
akan selalu ingat itu, Kyai," janji Rado.
Malam
itu, setelah jamaah Isya dan madrasah diniyah, Rado duduk di tepi kolam wudhu,
memandangi bintang-bintang di langit. Farel menghampirinya dan duduk di
sampingnya.
"Selamat
ya," ucap Farel. "Kamu berhasil membuktikan bahwa mimpi-mimpimu itu
bukan sekedar khayalan."
Rado
tersenyum. "Terima kasih, Rel."
"Apa
yang akan kamu lakukan selanjutnya?"
"Mengembangkan
alat ini lebih jauh. Pak Sokhib sudah setuju untuk membimbingku. Dan bulan
depan, aku akan presentasi di hadapan peneliti dari Departemen Energi
Terbarukan."
Farel
bersiul kagum. "Wow, dari santri tukang mimpi jadi santri penemu. Siapa
sangka?"
Mereka
tertawa bersama.
"Tapi
serius, Do," lanjut Farel. "Aku salut padamu. Kamu tidak menyerah
pada mimpi-mimpimu meski banyak yang mengejek."
"Karena
aku percaya, Rel. Mimpi-mimpi itu bukan kebetulan." Rado menatap langit
dengan penuh keyakinan. "Ada hikmah di balik setiap mimpi, jika kita mau
berusaha menafsirkannya."
Di
kejauhan, lonceng besi dipukul tiga kali, menandakan waktu istirahat telah usai
dan para santri harus kembali ke asrama.
"Ayo
kembali," ajak Farel, bangkit berdiri. "Sebelum Kang Emi mulai
berteriak-teriak."
Rado
mengangguk dan bangkit mengikuti Farel. Sebelum melangkah, ia menoleh sekali
lagi ke langit berbintang.
"Terima
kasih," bisiknya pelan. "Untuk mimpi-mimpi itu."
Malam
itu, Rado tidur dengan damai. Dan untuk pertama kalinya sejak lama, ia tidak
bermimpi aneh apapun. Mungkin karena petunjuk yang ia butuhkan sudah ia
dapatkan. Atau mungkin karena langkahnya kini sudah menemukan arah yang
jelas—menjadi santri penemu yang membawa manfaat bagi sesama dengan ilham yang
Allah berikan padanya melalui mimpi-mimpi yang dulu sering dianggap aneh oleh
teman-temannya.
Di
ruang kerjanya, Kyai Ihsan duduk bersama Pak Sokhib dan Pak Misqol,
membicarakan perkembangan Rado.
"Anak
itu memiliki karunia yang sangat istimewa," ujar Pak Misqol. "Tidak
semua orang bisa menerima ilham melalui mimpi dan memahaminya dengan
baik."
"Dan
yang lebih penting," tambah Pak Sokhib, "dia memiliki ketekunan untuk
mewujudkannya."
Kyai
Ihsan mengangguk setuju. "Itulah tujuan pendidikan di pesantren ini.
Menggali potensi setiap santri dan mengarahkannya untuk kebaikan."
"Apa
rencana kyai selanjutnya untuk Rado?" tanya Pak Sokhib.
"Mendukungnya,
tentu saja," jawab Kyai Ihsan dengan senyum bijak. "Biarkan dia
mengembangkan bakatnya, sambil tetap menjaga keseimbangan ilmu agama dan
dunianya."
"Anak
itu akan menjadi orang besar suatu hari nanti," ucap Pak Misqol yakin.
"Insya
Allah," sahut Kyai Ihsan dan Pak Sokhib bersamaan.
Dan
di bawah langit yang sama, Rado tidur lelap, mungkin sedang bermimpi tentang
penemuan-penemuan hebat lainnya yang akan ia wujudkan di masa depan.
TAMAT
Comments