Kangen yang Tak Terjawab

 Kangen yang Tak Terjawab

Shofiatut Thoharoh

SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

 

Aku dan Shofi duduk di teras asrama putri, menikmati angin siang yang sejuk sehabis hujan. Kami baru saja selesai dzuhur berjamaah. Shofi sedang bercerita tentang mimpinya semalam—mimpi lucu tentang Mbak Qia yang memasak nasi goreng raksasa.

"Terus aku sama kamu lari-lari dikejar nasi goreng itu, Bunga. Konyol banget kan?" Shofi tertawa renyah.

Aku ikut tersenyum. Momen seperti ini yang selalu kurindukan. Momen tenang bersama sahabat terbaik, tanpa beban, tanpa kesedihan.

"Shofi memang suka banget nasi goreng Mbak Qia. Sampai dibawa ke mimpi," gurau ku.

Shofi hendak menjawab, tapi suara dari arah gerbang membuatnya menoleh.

"Shofi! Shofiiii!" terdengar suara perempuan memanggil dari kejauhan.

Wajah Shofi langsung berbinar. "Mama! Itu Mama!"

Dia melompat dari duduknya, berlari kecil menuju gerbang. Aku melihatnya memeluk seorang wanita cantik berkerudung merah muda, dan seorang pria berkacamata di sampingnya—pasti ayah Shofi.

Shofi menoleh ke arahku, melambaikan tangan dengan semangat. "Bunga! Ayo ke sini! Kenalan sama Mama Papa!"

Aku berjalan pelan mendekati mereka. Mencoba tersenyum walau dadaku terasa sesak.

"Assalamu'alaikum, Tante, Om," sapaku sopan.

"Wa'alaikumsalam, Bunga! Shofi sering cerita tentang kamu. Terima kasih ya sudah jadi sahabat yang baik buat Shofi," kata Mama Shofi sambil memelukku hangat.

Pelukannya wangi. Seperti pelukan ibu. Pelukan yang sudah lama tidak kurasakana.

"Kalian sudah makan siang? Ayo kita ke kantin. Papa traktir," ajak Papa Shofi ramah.

Aku menggeleng pelan. "Terima kasih, Om. Tapi saya ada jadwal setoran hafalan. Shofi aja yang ikut."

"Bunga yakin?" tanya Shofi, terlihat ragu meninggalkanku.

"Iya, iya. Aku ke musholla dulu ya. Selamat ketemu keluarga," kataku sambil tersenyum—senyum yang kupaksakan.

Aku berbalik, berjalan menuju musholla dengan langkah berat. Dadaku sesak. Mataku mulai memanas.

Kenapa aku iri?

Kenapa aku menyedihkan sekali?

Shofi berhak bahagia bertemu orang tuanya. Aku yang salah. Aku yang tidak punya orang tua untuk disambangi.

Aku masuk ke musholla, duduk di pojok, dan menangis dalam diam.

Aku baru selesai mandi sore. Rambutku masih basah, handuk masih melingkar di leher. Aku berjalan kembali ke kamar dengan pikiran kosong.

"Bunga! Bunga!" Mbak Risa, petugas keamanan putri, melambaikan tangan dari pos.

Aku mendekat. "Ada apa, Mbak?"

"Ada yang nungguin di ruang tamu. Nenekmu sama tantenya datang!" katanya dengan senyum lebar.

Jantungku berdegup kencang. Nenek? Tante Olivia?

Aku berlari—tidak peduli rambutku masih basah, tidak peduli sepatuku belum terpasang dengan benar. Aku berlari ke ruang tamu dan melihat mereka.

Nenek Sutinah duduk di kursi dengan tubuhnya yang kecil dan bungkuk. Tante Olivia berdiri di sampingnya, tersenyum lebar saat melihatku.

"Nenek! Tante!" aku memeluk Nenek erat. Memeluknya sampai takut dia hilang.

"Cucu Nenek... rindu sama Nenek ya?" suara Nenek yang parau membuatku ingin menangis lagi.

"Rindu banget, Nek. Tante juga. Kenapa tiba-tiba ke sini? Kenapa tidak bilang-bilang?" tanyaku sambil memeluk Tante Olivia.

"Tante kangen kamu, Bunga. Lagipula Nenek juga pengen liat cucunya. Gimana kabarmu? Sehat?" Tante Olivia mengusap rambutku yang masih basah.

"Sehat, Tante. Aku baik-baik saja."

Tapi aku tidak baik-baik saja.

Kami duduk di ruang tamu pondok. Nenek menceritakan kabar dari desa. Tante Olivia memberiku banyak makanan—cokelat, kue kering, buah-buahan.

Aku tersenyum. Tertawa mendengar cerita mereka. Tapi ada yang mengganjal di hatiku. Kenapa yang datang bukan Mama? Kenapa Mama tidak bisa duduk di sini seperti Nenek dan Tante? Kenapa aku tidak bisa memeluk Mama seperti Shofi memeluk mama-nya tadi?

Pukul 16.30, Nenek dan Tante Olivia pamit pulang. Nenek memelukku lama.

"Bunga, jaga diri baik-baik ya. Nenek doakan kamu selalu. Mama kamu di sana juga pasti doakan kamu. Dia bangga sama kamu, Nak. Sangat bangga," bisik Nenek dengan suara bergetar.

Aku mengangguk, tidak sanggup bicara. Takut suaraku pecah.

Setelah mereka pergi, aku berdiri di gerbang pondok sampai mobil Tante Olivia tidak terlihat lagi. Mbak Risa berdiri di sampingku, diam saja menemani.

"Bunga, masuk yuk. Sebentar lagi Ashar," ajaknya lembut.

Aku mengangguk. Tapi kakiku terasa berat untuk melangkah.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Aku terbaring di kasur, menatap langit-langit kamar yang retak. Shofi sudah tidur di sebelahku. Dia pasti lelah seharian bersama keluarganya. Pasti bahagia sekali. Aku menatap Shofi yang tidur nyenyak. Lalu bisikan jahat mulai terngiang di kepalaku.

"Shofi punya orang tua lengkap. Kamu tidak."

"Teman-temanmu yang lain juga punya. Kamu sendirian."

"Kamu cuma punya nenek tua dan tante yang sebenarnya tidak wajib mengurus kamu."

"Kamu yatim piatu, Bunga. Tidak ada yang benar-benar milikmu."

Aku menutup mata kuat-kuat. Berusaha mengusir pikiran itu.

Tapi air mataku mengalir deras. Membasahi bantal. Menangis dalam sunyi agar tidak membangunkan Shofi.

Aku memeluk guling erat-erat, membayangkan itu adalah pelukan Mama. Pelukan yang tidak akan pernah bisa kurasakana lagi.

"Mama... aku kangen Mama. Kenapa Mama pergi? Kenapa Mama tinggalin aku sendirian?" bisikku di antara isak yang kutahan.

Aku menangis sampai mataku bengkak. Sampai dadaku sesak. Sampai aku ketiduran dalam tangisan.

Aku bangun dengan mata bengkak. Shofi sudah mandi dan sedang merapikan rambut.

"Bunga, kamu tidak apa-apa? Matamu merah," tanya Shofi khawatir.

"Aku baik-baik saja. Cuma kurang tidur," jawabku sambil tersenyum.

Bohong. Aku tidak baik-baik saja.

Setelah mandi dan bersiap, aku berjalan menuju dapur umum untuk mengambil kos makan—bekal sarapan yang sudah disediakan pondok.

Aku berjalan sendirian. Shofi sudah duluan karena dia piket di musholla pagi ini.

Koridor menuju dapur sepi. Hanya ada suara langkahku yang menggema.

Tiba-tiba, tiga orang menghadangku.Sinta. Dilla. Rere. Mereka berdiri dengan tangan dilipat di dada, senyum sinis di wajah mereka. Jantungku langsung berdebar. Aku tahu mereka tidak akan membiarkanku lewat begitu saja.

"Mau kemana, Bunga?" tanya Sinta dengan nada mengejek.

"Mau... mau ambil kos makan," jawabku pelan, mencoba berjalan melewati mereka.

Dilla menghadangku. "Kok buru-buru sih? Ngobrol dulu dong."

"Aku... aku ada jadwal ngaji setelah ini," kataku sambil menunduk.

Rere tertawa keras. "Jadwal ngaji? Atau mau nangis-nangis di musholla lagi kayak kemarin?"

Dadaku sesak. Mereka tahu aku menangis kemarin?

"Kemarin lucu banget sih liat kamu nangis gara-gara sahabatmu didatengin orang tua," kata Sinta sambil mendorongku pelan sampai aku tersandar ke dinding.

"Aku... aku tidak menangis gara-gara itu," bantahku lemah.

"Oh ya? Terus gara-gara apa? Gara-gara kamu iri ya? Iri sama Shofi yang punya orang tua lengkap?" ejek Dilla.

Air mataku mulai menggenang. "Hentikan..."

"Kenapa? Sakit ya diingetin? Sakit ya dibanding-bandingin?" Sinta makin mendekat. "Kamu tuh kasian banget deh, Bunga. Yatim piatu. Cuma punya nenek tua renta sama tante yang belas kasian sama kamu."

"Hentikan!" aku mulai berteriak.

Tapi Rere malah tertawa. "Hentikan apanya? Hentikan kenyataan? Kenyataan kalau kamu sendirian? Tidak ada yang sayang sama kamu?"

"Shofi sayang sama aku! Nenek dan Tante sayang sama aku!" teriakku sambil menangis.

"Oh iya? Kalau mereka sayang, kenapa orang tuamu sendiri tidak pernah sayang sama kamu? Kenapa mereka ninggalin kamu? Pasti karena kamu anak yang tidak berguna!" bentak Sinta.

Kalimat itu menusuk. Lebih dalam dari tusukan pisau.

Aku tidak kuat lagi.

Aku merosot, duduk di lantai koridor, menangis sejadi-jadinya.

"Dasar cengeng. Pantas ditinggal mati," kata Rere sebelum mereka bertiga pergi sambil tertawa.

Aku duduk di sana, sendirian, menangis dengan tubuh yang gemetar.

Shofi menemukan ku setengah jam kemudian. Dia panik melihatku masih duduk di lantai koridor, mata bengkak, wajah penuh air mata.

"Bunga! Ya Allah, Bunga kenapa?!" dia langsung memelukku.

Aku tidak bisa bicara. Hanya menangis di pelukannya.

"Siapa yang buat kamu kayak gini? Siapa, Bunga? Jawab aku!" suara Shofi bergetar antara marah dan panik.

"Sinta... Dilla... Rere..." bisikku di sela-sela isakanku.

"Apa yang mereka lakukan?!" Shofi mengangkat wajahku, menatapku dengan mata berkaca-kaca.

"Mereka... mereka bilang aku tidak punya orang tua... bilang aku kasihan... bilang orang tuaku ninggalin aku karena aku tidak berguna..." aku tidak sanggup melanjutkan.

Shofi memelukku erat. "Jangan dengarkan mereka, Bunga. Mereka jahat. Mereka salah. Kamu berharga. Kamu sangat berharga."

Tapi kata-kata Shofi tidak menghapus luka di hatiku.

Shofi membawaku ke ruang Bu Hawa. Roisah putri itu langsung berdiri dari kursinya saat melihat kondisiku.

"Astaqfirullah, Bunga kenapa?!" Bu Hawa langsung memelukku, mendudukkanku di sofa.

"Bu, Bunga dibully. Sinta, Dilla, Rere. Mereka menghadang Bunga di koridor tadi. Mereka bilang hal-hal yang sangat menyakitkan tentang orang tua Bunga," lapor Shofi dengan suara yang bergetar marah.

Bu Hawa memanggil Mbak Qia untuk membawakan air putih dan makanan. Lalu dia duduk di sampingku, menggenggam tanganku yang dingin.

"Bunga, cerita sama Bu. Apa yang mereka katakan?"

Aku menceritakan semuanya. Setiap kata-kata kejam yang mereka lontarkan. Setiap ejekan. Setiap hinaan.

Bu Hawa menangis mendengarnya. "Ya Allah... anak-anak itu keterlaluan. Ibu tidak akan diam, Bunga. Ibu janji."

"Bu Hawa, tolong panggil Pak Akom dan Pak Misqol. Ini sudah terlalu jauh. Bunga bukan korban pertama mereka. Tapi Bunga harus jadi yang terakhir," kata Shofi tegas.

Bu Hawa mengangguk. Dia mengambil telepon dan menghubungi Pak Akom.

Satu jam kemudian, aku duduk di ruang Kyai Ihsan. Ning Fifi duduk di sampingku, menggenggam tanganku erat. Kyai Ihsan duduk di hadapanku dengan wajah serius yang belum pernah kulihat sebelumnya.

Pak Akom dan Bu Hawa berdiri di samping, menjelaskan kronologi kejadian.

"Kyai, ini sudah berbulan-bulan terjadi. Sinta, Dilla, Rere sudah membully banyak santri. Tapi Bunga adalah korban terparah. Mereka menyerang titik paling lemah Bunga—kehilangan orang tuanya," jelas Bu Hawa dengan suara yang bergetar marah.

Kyai Ihsan menatapku lama. "Bunga, kenapa kamu tidak cerita dari dulu?"

"Kyai... aku... aku tidak mau merepotkan. Aku pikir aku bisa tahan. Tapi pagi ini... kata-kata mereka terlalu sakit," jawabku sambil menunduk.

Ning Fifi memelukku. "Nak, kamu tidak merepotkan. Kamu berhak merasa aman di sini. Ini pondokmu. Ini rumahmu."

Kyai Ihsan menghela napas panjang. "Pak Akom, panggil Sinta, Dilla, Rere beserta orang tua mereka. Hari ini juga. Ini tidak bisa ditunda lagi."

Sore harinya, Sinta, Dilla, Rere dipanggil ke ruang Kyai Ihsan. Orang tua mereka duduk di sana dengan wajah tegang.

Aku diminta duduk di ruang sebelah, bersama Shofi dan Bu Hawa. Kami bisa mendengar suara keras dari dalam.

"Anak kalian sudah melampaui batas! Bullying adalah dosa besar! Menyakiti hati teman sendiri, mengejek kesedihan orang lain—itu bukan akhlak yang kami ajarkan di pondok ini!" suara Kyai Ihsan keras dan tegas.

Terdengar suara tangisan. Entah dari Sinta, Dilla, atau Rere. Atau mungkin ketiganya.

"Bunga adalah anak yatim piatu! Allah memerintahkan kita untuk melindungi anak yatim, bukan menyakitinya! Kalian tahu dosa menyakiti anak yatim seperti apa?!" suara Pak Akom ikut keras.

Bu Hawa menggenggam tanganku. "Bunga, mereka tidak akan bisa menyakitimu lagi. Ibu janji."

Pintu terbuka. Sinta, Dilla, Rere keluar dengan mata bengkak dan kepala menunduk. Orang tua mereka juga terlihat malu dan marah.

Kyai Ihsan keluar, memanggil ku masuk.

Aku berjalan pelan ke dalam. Kyai Ihsan memintaku duduk.

"Bunga, mereka ingin minta maaf padamu. Tapi Kyai ingin kamu yang memutuskan. Kamu mau menerima permintaan maaf mereka, atau tidak. Apapun keputusanmu, Kyai akan mendukung."

Aku menatap Sinta, Dilla, Rere yang berdiri dengan kepala menunduk.

Sinta melangkah maju, berlutut di hadapanku.

"Bunga... maafin aku. Maafin kami. Kami jahat. Kami keterlaluan. Aku tidak ada alasan untuk membenarkan apa yang kami lakukan. Kami salah. Sangat salah. Maafin kami..." dia menangis.

Dilla dan Rere ikut berlutut, menangis memohon maaf.

Aku menatap mereka lama.

Lalu aku ingat Nenek Sutinah. Ingat pesannya: "Memaafkan itu berat, Nak. Tapi membenci itu lebih berat."

Aku menghela napas panjang. "Aku... aku maafin kalian. Tapi aku butuh waktu untuk melupakan. Untuk sembuh."

Kyai Ihsan tersenyum tipis. "Itu keputusan yang bijak, Bunga. Dan untuk Sinta, Dilla, Rere—kalian akan mendapat sanksi tegas. Satu bulan tidak boleh keluar pondok, piket ekstra, dan bimbingan khusus akhlak setiap hari. Jika terulang, kalian akan dikeluarkan."

Mereka mengangguk pasrah.

Malam itu, aku duduk di teras asrama bersama Shofi. Langit penuh bintang.

"Bunga, kamu hebat hari ini," kata Shofi.

"Aku tidak merasa hebat, Shofi. Aku masih sakit hati. Masih sedih."

"Tapi kamu berani bicara. Berani melaporkan. Berani membela dirimu sendiri. Itu hebat, Bunga. Aku bangga sama kamu."

Aku tersenyum tipis. "Terima kasih, Shofi. Terima kasih sudah selalu ada."

"Aku sahabatmu. Melindungimu itu tugasku."

Kami duduk dalam diam yang nyaman. Lalu aku berbisik pelan.

"Shofi... aku iri tadi saat lihat kamu sama orang tuamu. Maafin aku."

Shofi memelukku. "Tidak apa-apa iri, Bunga. Itu manusiawi. Tapi ingat, kamu tidak sendirian. Kamu punya Nenek. Punya Tante Olivia. Punya aku. Punya Kyai Ihsan dan Ning Fifi. Punya keluarga besar pondok ini."

Aku mengangguk. Air mataku jatuh lagi, tapi kali ini bukan air mata kesedihan.

"Iya. Aku tidak sendirian."

Kami menatap langit malam itu, berdua, dalam keheningan yang menyembuhkan.

Dan aku tahu, perlahan, aku akan sembuh.

Perlahan, aku akan kuat lagi.

Karena aku tidak sendirian.

TAMAT

 

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi