Sang Jenderal telah Menikah

 


Sang Jenderal telah Menikah

'Moh. Kholil Mughofar'


Mentari pagi bersinar hangat di atas PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Derap langkah tegas Ustadz Santoso menggema di sepanjang lorong asrama putra yang terletak di selatan mushola pesantren. Wajahnya yang selalu tampak keras itu kini tampak lebih tegang dari biasanya. Para santri yang berpapasan dengannya langsung menunduk hormat, beberapa bahkan memilih mengambil jalan memutar untuk menghindari tatapan matanya yang tajam.

"Assalamualaikum, Ustadz," sapa salah seorang santri dengan gugup.

"Waalaikumsalam," jawab Santoso singkat, tanpa mengurangi kecepatan langkahnya.

Di ujung koridor, Pak Akom, kepala asrama putra yang terkenal galak itu, tersenyum tipis melihat kedatangan Santoso. "Mau inspeksi pagi lagi, Tadz?"

"Iya, Pak. Kemarin malam ada laporan beberapa santri bolos mengaji dengan alasan sakit. Saya mau periksa langsung siapa saja yang masih di kamar pagi ini," jawab Santoso tegas.

"Seperti biasa, tak ada kompromi," Pak Akom mengangguk setuju. "Kamu memang pantas jadi pengurus keamanan. Tegas dan lurus."

Ustadz Santoso hanya tersenyum tipis. Reputasinya sebagai pengurus keamanan yang galak dan tak kenal kompromi memang sudah melegenda di PP. Malibo. Meski begitu, semua orang tahu bahwa ketegasannya semata-mata demi kebaikan santri dan kemajuan pesantren.

Sementara itu, di asrama putri yang terletak di utara mushola, suasana tak kalah sibuk. Ustadzah Elli, dengan tubuh mungilnya yang dibalut gamis sederhana dan kerudung rapi, sedang memberikan arahan kepada santri-santri putri yang akan piket kebersihan.

"Raihan, kamu sudah tiga kali terlambat piket pagi. Kalau masih terlambat lagi, saya akan panggil orangtuamu," ujar Elli dengan suara lembut namun penuh ketegasan.

Rita, santri putri yang ditegur itu, menunduk. "Maaf, Ustadzah. Saya janji tidak akan terlambat lagi."

Bu Hawa, kepala asrama putri, yang berdiri tidak jauh dari situ, mengangguk puas melihat cara Elli menangani santrinya. "Meski tubuhnya mungil, ketegasannya luar biasa," gumamnya pada diri sendiri.

Jam dinding di asrama putri menunjukkan pukul delapan pagi ketika Ustadzah Elli selesai dengan tugas paginya. Ia bergegas menuju kantin putri untuk sarapan sebelum mengajar di madrasah yang terletak di bagian belakang kompleks pesantren.

"Pagi, Mbak Qia," sapa Elli pada penjaga kantin putri.

"Pagi, Ustadzah. Seperti biasa?" tanya Mbak Qia dengan senyum ramah.

"Iya, teh hangat dan roti bakar."

Sambil menunggu pesanannya, Elli mengeluarkan beberapa berkas dari tasnya dan mulai memeriksa. Tak lama, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat dari nomor yang sangat ia kenal.

"Bismillah. Hari ini saya akan menemui Kyai lagi. Doakan semoga Allah melunakkan hati beliau."

Elli tersenyum membaca pesan dari Ustadz Santoso itu. Sudah lebih dari enam tahun mereka menjalin hubungan yang direstui keluarga masing-masing, namun selalu terhalang restu dari pengasuh pesantren, KH. M. Ihsanuddin.

"Insya Allah. Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk kita," balas Elli singkat.


Senja mulai turun ketika Ustadz Santoso melangkah dengan penuh keyakinan menuju ndalem pengasuh yang terletak di bagian depan pesantren. Di tangannya tergenggam map berisi proposal program keamanan terpadu untuk pesantren, sekaligus surat permohonan restu yang entah untuk keberapa kalinya.

"Assalamualaikum," sapanya saat memasuki teras ndalem.

"Waalaikumsalam," jawab Kang Luki, salah satu abdi ndalem Kyai Ihsan. "Mau bertemu Pak Kyai, Tadz?"

"Iya, Kang. Beliau ada?"

"Ada. Tapi sedang berbincang dengan tamu. Silakan tunggu dulu," Kang Luki mempersilakan Santoso duduk di kursi tamu.

Sambil menunggu, pikiran Santoso melayang pada perjalanan hubungannya dengan Ustadzah Elli selama enam tahun terakhir. Mereka pertama kali bertemu dalam rapat pengurus pesantren. Elli, yang saat itu baru diangkat menjadi pengurus asrama putri, membuat semua orang terkesan dengan pemikiran-pemikirannya yang matang meski usianya masih muda. Santoso, yang sudah lebih dulu menjadi pengurus, menaruh hormat pada kecerdasan dan dedikasi perempuan bertubuh mungil itu.

Pertemuan demi pertemuan dalam forum pengurus membuat mereka saling mengenal lebih dekat. Keduanya menyadari bahwa di balik ketegasan masing-masing, ada kesamaan visi tentang bagaimana seharusnya pesantren dikelola. Perasaan itu tumbuh perlahan namun pasti, hingga akhirnya Santoso memberanikan diri untuk berbicara dengan orangtua Elli, meminta izin untuk melamar putrinya.

Keluarga Elli menyambut baik niat Santoso. Begitu juga dengan keluarga Santoso yang mendukung penuh keputusannya. Namun, ketika mereka menghadap Kyai Ihsanuddin untuk meminta restu dan doa, jawaban yang mereka dapatkan tak sesuai harapan.

"Santri adalah amanah dari orangtua. Ustadz dan Ustadzah adalah teladan bagi para santri. Saya belum bisa merestui kalian menikah karena khawatir akan mengganggu konsentrasi kalian dalam mendidik santri," begitu kata Kyai saat itu.

Sejak saat itu, setiap tahun Santoso selalu mencoba menghadap Kyai, berharap pendiriannya berubah. Namun jawaban yang ia dapatkan selalu sama. Ada saja alasan yang membuat Kyai menunda restu untuk hubungan mereka.

"Ustadz Santoso," panggilan Kang Wahab, abdi ndalem lainnya, membuyarkan lamunannya. "Kyai sudah bisa ditemui sekarang."

Dengan bismillah, Santoso melangkah menuju ruang tamu utama ndalem. Di sana, KH. M. Ihsanuddin duduk dengan wibawa, ditemani Bunyai Fifi yang tampak anggun dengan kebaya khas Surakarta.

"Assalamualaikum, Pak Kyai, Bu Nyai," sapa Santoso seraya mencium tangan kyainya.

"Waalaikumsalam," jawab Kyai Ihsan dengan senyum tipis. "Ada apa, Ustadz?"

"Saya membawakan proposal program keamanan terpadu untuk pesantren, Pak Kyai," Santoso menyerahkan map yang dibawanya. "Dan... saya juga ingin kembali memohon restu Pak Kyai dan Bu Nyai untuk menikah dengan Ustadzah Elli."

Kyai Ihsan membuka proposal itu dan membacanya sekilas. "Program ini bagus, Ustadz. Terintegrasi dengan pendidikan akhlak santri. Saya setuju."

Santoso menunggu dengan harap-harap cemas. Kyai belum menyinggung soal permohonan restunya.

"Tentang pernikahan..." Kyai menghela napas panjang. "Saya tahu kalian sudah menunggu lama. Enam tahun bukan waktu yang sebentar."

"Iya, Pak Kyai," jawab Santoso pelan.

"Kenapa Ustadz begitu yakin dengan Ustadzah Elli?" tanya Kyai tiba-tiba.

Pertanyaan itu mengejutkan Santoso. Selama ini, Kyai belum pernah menanyakan hal itu.

"Karena saya melihat di balik tubuhnya yang mungil, ada jiwa yang besar dan tekad yang kuat untuk memajukan pesantren ini, Pak Kyai. Kami memiliki visi yang sama. Dan lebih dari itu... saya yakin dia adalah perempuan yang Allah pilihkan untuk mendampingi hidup saya."

Bunyai Fifi tersenyum mendengar jawaban Santoso. Ia berbisik pada suaminya, "Sudah enam tahun, Pak. Mereka sudah membuktikan kesungguhan dan kesabaran mereka."

Kyai Ihsan tampak berpikir sejenak. "Baiklah, Ustadz. Saya akan pertimbangkan lagi. Tapi saya minta Ustadz dan Ustadzah Elli datang bersama ke ndalem besok ba'da Maghrib. Ada yang ingin saya sampaikan pada kalian berdua."

"Baik, Pak Kyai. Terima kasih banyak," Santoso tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya meski belum mendapat jawaban pasti.


Keesokan harinya, setelah Maghrib, Ustadz Santoso dan Ustadzah Elli duduk berdampingan di ruang tamu ndalem pengasuh. Bunyai Fifi menyambut mereka dengan hangat, sementara Kyai Ihsan masih menyelesaikan beberapa urusan dengan Kang Emi di ruang kerjanya.

"Silakan diminum tehnya," Bunyai mempersilakan. "Kalian pasti lelah setelah seharian mengajar."

"Terima kasih, Bu Nyai," jawab Elli sopan.

Tak lama kemudian, Kyai Ihsan bergabung dengan mereka. Wajahnya tampak lebih cerah dari biasanya.

"Ustadz Santoso, Ustadzah Elli," Kyai membuka pembicaraan. "Selama enam tahun kalian telah menunjukkan kesabaran dan keikhlasan yang luar biasa. Awalnya saya khawatir jika kalian menikah, fokus kalian pada pesantren akan berkurang. Tapi justru sebaliknya, kalian semakin giat mendedikasikan diri untuk kemajuan PP. Malibo."

Santoso dan Elli saling pandang, tidak berani berharap terlalu banyak.

"Saya juga sudah berdiskusi dengan Bunyai dan beberapa pengurus senior," lanjut Kyai. "Mereka semua sepakat bahwa kalian adalah pasangan yang sangat cocok, tidak hanya untuk satu sama lain, tapi juga untuk pesantren ini."

Bunyai Fifi menambahkan, "Kesabaran kalian selama ini adalah bukti bahwa kalian menikah bukan semata untuk kepentingan pribadi, tapi juga untuk kepentingan pesantren dan para santri."

Kyai Ihsan tersenyum lebar. "Karena itu, dengan bismillah, saya dan Bunyai memberikan restu untuk pernikahan kalian."

Air mata Elli langsung mengalir deras. Sementara Santoso, yang selalu tampak tegar, tak kuasa menahan rasa haru dan syukurnya.

"Terima kasih, Pak Kyai, Bu Nyai. Alhamdulillah," ucap mereka hampir bersamaan.

"Tapi ada satu syarat," Kyai menambahkan dengan nada serius.

Santoso dan Elli menegakkan badan, siap mendengarkan.

"Pernikahan kalian harus dilaksanakan di pesantren ini, dan semua santri harus terlibat dalam persiapannya. Anggap saja ini sebagai pembelajaran praktis tentang bagaimana menyelenggarakan walimah yang sesuai syariat."

Keduanya tersenyum lega. "Insya Allah, Pak Kyai. Kami sangat berterima kasih atas kepercayaan ini."


Dua bulan kemudian, halaman PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro dihiasi dengan dekorasi sederhana namun indah. Para santri putra di bawah bimbingan Pak Akom sibuk menata kursi dan meja untuk tamu. Di sisi lain, santri putri bersama Bu Hawa mempersiapkan hidangan untuk para undangan.

Di toko buku dan fotokopi milik Pak Kholil yang terletak di depan pesantren, terlihat antrian santri yang ingin membuat kenang-kenangan untuk Ustadz Santoso dan Ustadzah Elli. Ada yang memesan fotokopi ayat-ayat Al-Qur'an tentang pernikahan untuk dibingkai, ada pula yang membeli buku sebagai hadiah.

"Alhamdulillah, akhirnya mereka menikah juga," ujar Pak Kholil pada seorang pembeli. "Enam tahun bukan waktu yang sebentar."

Di ndalem pengasuh, Mbak Risa dan Mbak Vika, abdi ndalem Bunyai Fifi, sibuk membantu Elli bersiap. Tubuh mungilnya yang dibalut kebaya putih sederhana tampak semakin anggun.

"Ustadzah cantik sekali," puji Mbak Risa tulus.

"Terima kasih, Mbak. Ini semua berkat doa kalian semua," jawab Elli dengan mata berkaca-kaca.

Di kamar lain, Ustadz Santoso juga sedang bersiap, dibantu oleh Kang Luki dan Kang Wahab. Wajahnya yang biasa tegas kini dihiasi senyum yang tak kunjung hilang.

"Ingat, Tadz, setelah menikah nanti jangan galak-galak lagi sama santri," canda Kang Wahab.

"Insya Allah. Tapi untuk urusan kedisiplinan, tetap tidak ada kompromi," jawab Santoso, setengah serius setengah bercanda.

Akad nikah berlangsung khidmat di mushola pesantren. KH. M. Ihsanuddin sendiri yang menjadi wali nikah, menggantikan ayah Elli yang telah meninggal. Para santri memenuhi setiap sudut mushola, menyaksikan momen bersejarah itu dengan takjub. Bagi mereka, pernikahan Ustadz Santoso dan Ustadzah Elli adalah bukti bahwa kesabaran dan keikhlasan selalu berbuah manis.

Setelah akad, resepsi sederhana digelar di halaman pesantren. Kantin putra yang dikelola Pak Bahrul dan kantin putri yang dikelola Mbak Qia untuk sementara dipindahkan ke halaman untuk melayani para tamu.

"Alhamdulillah, akhirnya setelah enam tahun penantian, Allah mempertemukan kami dalam ikatan yang halal," ucap Ustadz Santoso dalam sambutannya. "Terima kasih kepada Pak Kyai dan Bu Nyai yang telah membimbing dan akhirnya merestui kami."

Ustadzah Elli, dengan suaranya yang lembut, menambahkan, "Kami berjanji akan terus mendedikasikan diri untuk kemajuan PP. Malibo. Pernikahan ini bukan akhir dari pengabdian kami, tapi justru awal dari semangat baru untuk lebih berkontribusi."

Kyai Ihsan berdiri dan memberikan sambutan penutup, "Pernikahan Ustadz Santoso dan Ustadzah Elli adalah bukti bahwa Allah selalu memiliki rencana terbaik. Bagi para santri, jadikan ini pelajaran bahwa kesabaran dan keikhlasan adalah kunci dalam meraih ridha-Nya."

Hari itu, PP. Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro bukan hanya menyaksikan penyatuan dua insan, tapi juga menjadi saksi bahwa cinta yang dilandasi keimanan dan kesabaran akan selalu menemukan jalannya. Enam tahun penantian Ustadz Santoso dan Ustadzah Elli berakhir dengan kebahagiaan yang diridhoi Allah dan direstui oleh orang-orang yang mereka hormati.

Matahari terbenam di ufuk barat, menyinari wajah bahagia pasangan baru itu. Di kejauhan, para santri mengumandangkan shalawat, mendoakan kebahagiaan untuk guru mereka yang telah mengajarkan banyak hal—bukan hanya ilmu agama, tapi juga kesabaran dan keteguhan dalam memperjuangkan apa yang diyakini.

Comments

Popular posts from this blog

Ode Buat Nayla

Ayu dulu baru agamanya