Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren


 Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren

Moh. Kholil Mughofar


Angin bertiup lembut menerpa daun-daun kering di pelataran Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro sore itu. Rizka dengan tergesa-gesa menyusun jemuran pakaiannya di area barat asrama putri. Sementara, Ulfa terus saja berbicara tanpa henti di sampingnya.

"Kamu yakin mau menjemur di sini, Riz? Sudah tiga kali minggu ini baju santri hilang dari tempat ini," ucap Ulfa sambil mengayunkan tangannya dengan dramatis. "Katanya sih..."

"Katanya apa?" potong Rizka penasaran, selalu ingin tahu urusan orang lain.

"Katanya ada yang mengambil," jawab Ulfa sambil berbisik. "Ada yang bilang itu perbuatan jin penunggu pohon besar di dekat jemuran itu. Tapi ada juga yang bilang mungkin orang dari luar pesantren."

Rizka hanya mendengus. "Kamu terlalu banyak mendengar cerita Husna, tahu dari mana dia soal jin segala?"

"Kata Gus Iib, pohon besar itu memang ada penghuninya. Dan aku percaya, soalnya Gus Iib kan ahli soal beginian," bantah Ulfa tak mau kalah.

Tanpa mereka sadari, Khalila yang sejak tadi membaca buku di sudut teras asrama memperhatikan percakapan mereka. Gadis jenius itu selalu menganalisis segala sesuatu dengan logika, termasuk kasus hilangnya baju-baju santri yang sudah menjadi buah bibir selama dua minggu terakhir.


"Kalau memang benar ada yang mengambil, kita harus lapor Bu Fika," usul Rizka saat makan malam di kantin putri.

"Bu Fika sudah tahu, tapi belum ada bukti siapa pelakunya," jawab Izza pelan. Gadis pendiam itu jarang berbicara, tapi kalau sudah berbicara, informasinya selalu akurat.

"Tapi aneh ya, kenapa cuma baju-baju yang dijemur di area barat saja yang hilang?" tanya Husna sambil mengetuk-ngetuk sendoknya ke piring, membuat irama yang hanya bisa dimengerti olehnya.

"Kalian terlalu banyak mengkhawatirkan baju," kata Khalila tenang. "Ada pola di sini yang menarik. Baju-baju yang hilang selalu yang berwarna cerah dan hampir semuanya seragam sekolah."

Semua mata tertuju pada Khalila yang masih tenang melanjutkan makannya.

"Lalu menurutmu siapa pelakunya?" tanya Rizka tak sabar.

"Aku punya dugaan, tapi kita butuh bukti," kata Khalila sambil tersenyum misterius. "Dan untuk itu, aku butuh bantuan kalian."


Malam itu, setelah jamaah isya dan madrasah diniyah usai, Khalila mengumpulkan teman-temannya di kamar. Ia menjelaskan rencananya dengan detail. Mereka akan memasang jebakan untuk menangkap pelaku pencurian baju tersebut.

"Kita akan menjemur beberapa baju di area barat dengan sedikit tepung di bagian dalamnya. Siapapun yang mengambilnya akan meninggalkan jejak tepung," jelas Khalila.

"Tapi bagaimana kalau pelakunya bukan manusia?" tanya Husna dengan mata membelalak.

Khalila tersenyum. "Justru itu yang ingin kita buktikan."

Sementara itu di kamar putra, Rado terbangun dengan keringat bercucuran. Ia baru saja bermimpi melihat sosok putih melayang di area jemuran barat asrama putri. Sebagai santri yang sering mendapat mimpi aneh, ia merasa ini adalah petunjuk.

"Farel, bangun!" Rado mengguncang tubuh temannya yang terkenal sebagai tukang tidur.

"Hmm... ada apa?" Farel membuka matanya malas.

"Aku mimpi aneh lagi. Kali ini soal jemuran santri putri yang sering hilang itu," bisik Rado.

Farel, meskipun terkenal sebagai tukang tidur, adalah santri yang paling cerdas di pesantren. Ia langsung terduduk. "Ceritakan."

Setelah mendengar cerita Rado, Farel mengangguk-angguk. "Kita harus mencari tahu, tapi ini asrama putri. Kita tak bisa sembarangan ke sana."

"Kalau begitu, besok kita minta bantuan Kyai Ihsan," usul Rado.


Keesokan paginya setelah setoran membaca surat Al-Fatihah kepada Bunyai Fifi, para santri putri kembali ke asrama untuk bersiap ke sekolah formal. Khalila terkejut mendapati jemuran mereka yang dipasang semalam sudah bersih tak bersisa. Jejak tepung terlihat di lantai, membentuk jejak kaki kecil mengarah ke belakang asrama putri.

"Lihat, ini jejak manusia, bukan jin," bisik Khalila pada Rizka yang mengikutinya.

Mereka mengikuti jejak tepung tersebut hingga terhenti di dekat kamar mandi putri. Anehnya, jejak itu menghilang begitu saja tanpa petunjuk lebih lanjut.

"Aneh sekali," gumam Rizka. "Seperti menguap begitu saja."

Sementara itu, Rado dan Farel telah menceritakan mimpi Rado kepada Kyai Ihsan setelah pengajian kitab kuning bakda dhuhur. Kyai yang bijaksana itu mendengarkan dengan seksama.

"Mimpimu menarik, Rado," kata Kyai Ihsan. "Tapi masalah ini sebaiknya kita selesaikan dengan kepala dingin. Mari kita temui Bu Fika dulu."

Bu Fika, kepala keamanan putri yang pendiam namun ahli memecahkan kasus, sudah menyelidiki kasus ini selama beberapa hari. Ketika Kyai Ihsan, Rado, dan Farel menemuinya, ia menunjukkan catatan yang telah ia buat.

"Ada 12 baju yang hilang dalam dua minggu terakhir. Semuanya dijemur di area barat, dan anehnya, semua adalah seragam atau baju berwarna cerah," jelas Bu Fika.

"Ada dugaan pelakunya, Bu?" tanya Kyai Ihsan.

Bu Fika menggeleng. "Belum pasti, Kyai. Tapi saya menemukan satu keanehan. Setiap baju hilang, selalu ada jejak basah di dekat pohon besar itu."

Farel, dengan kecerdasannya, langsung membuat koneksi. "Seperti ada yang menggunakan baju-baju itu untuk membersihkan sesuatu?"


Malam harinya, Khalila, Rizka, dan Izza memutuskan untuk mengintai area jemuran barat. Mereka bersembunyi di balik semak dekat sana, menunggu dengan sabar.

Sekitar pukul sebelas malam, ketika sebagian besar santri sudah tertidur, mereka melihat bayangan kecil bergerak di area jemuran. Sosok itu dengan cepat mengambil sebuah baju seragam berwarna putih dan berlari ke arah pohon besar.

"Itu dia!" bisik Rizka bersemangat.

Mereka mengikuti sosok itu dengan hati-hati dan terkejut melihat sosok tersebut adalah seorang anak kecil, mungkin berusia sekitar 6 tahun, yang sedang membungkuk di dekat akar pohon besar.

"Astaga, itu kan... anak Pak Kholil?" Izza berbisik kaget.

Anak itu tampak sedang membersihkan sesuatu dengan baju yang baru diambilnya. Ketika mereka mendekat, mereka melihat seekor kucing belang tiga yang terluka di kakinya. Anak itu dengan telaten membersihkan luka kucing tersebut.

"Hey, apa yang kamu lakukan?" tanya Khalila lembut, membuat anak itu terlonjak kaget.

"Jangan marah, Kak," pinta anak itu ketakutan. "Kucing ini terluka, dan aku tidak punya kain untuk membersihkan lukanya. Aku janji akan mengembalikan bajunya besok."

Hati ketiga santri putri itu luluh seketika. Mereka mendekati anak kecil itu dan memeriksa kucing yang tampak kesakitan.

"Siapa namamu, dik?" tanya Izza.

"Amin, Kak. Aku anaknya Pak Kholil," jawab anak itu polos.

"Kenapa kamu tidak bilang saja pada kami kalau butuh kain untuk kucingmu?" tanya Rizka.

"Ayah melarangku memelihara kucing. Kata Ayah, aku harus fokus mengaji," jawab Amin sedih. "Tapi kucing ini terluka, dan tidak ada yang merawatnya."


Keesokan paginya, Khalila, Rizka, dan Izza melaporkan temuan mereka kepada Bu Fika dan Kyai Ihsan. Mereka juga membawa Amin dan kucingnya yang terluka.

"Jadi kamu yang mengambil baju-baju itu, Amin?" tanya Kyai Ihsan dengan suara lembut namun tegas.

Amin mengangguk takut. "Maafkan saya, Kyai. Saya tidak bermaksud mencuri. Saya hanya ingin merawat kucing ini."

Pak Kholil yang dipanggil ke kantor Kyai tampak terkejut melihat anaknya bersama seekor kucing.

"Amin, bukankah Ayah sudah bilang untuk tidak memelihara binatang?" tanya Pak Kholil dengan nada kecewa.

"Tapi Ayah, Rasulullah juga menyayangi kucing," jawab Amin polos.

Kyai Ihsan tersenyum mendengarnya. "Pak Kholil, anak Anda benar. Dalam sebuah hadits riwayat Bukhari dan Muslim, Rasulullah SAW menyebutkan tentang seorang wanita yang masuk neraka karena mengurung kucing hingga mati kelaparan. Dan sebaliknya, ada hadits tentang seseorang yang diampuni dosanya karena memberi minum kepada seekor anjing yang kehausan."

"Benar, Kyai. Dalam ajaran Islam, menyayangi binatang adalah bagian dari ajaran agama kita," tambah Bunyai Fifi yang juga hadir di ruangan itu. "Nu Online juga pernah memuat artikel tentang pentingnya kasih sayang terhadap hewan dalam perspektif Islam."

Pak Kholil terlihat termenung. "Saya minta maaf, Kyai. Mungkin saya terlalu keras pada Amin."

"Tidak apa-apa, Pak Kholil. Yang penting sekarang masalahnya sudah jelas," kata Kyai Ihsan bijak. "Amin, lain kali jika kamu ingin menolong hewan, tidak perlu mengambil baju orang lain. Kamu bisa meminta bantuan pada orang dewasa."

"Maaf, Kyai," ucap Amin tulus.

Kyai Ihsan kemudian mengusap kepala Amin dengan sayang. "Untuk kucing ini, bagaimana kalau kita rawat bersama di pesantren? Pak Emi bisa membuatkan kandang kecil di dekat mushola."

Mata Amin berbinar mendengarnya. "Benarkah, Kyai?"

"Tentu. Merawat makhluk Allah adalah ibadah juga," jawab Kyai sambil tersenyum.


Sore itu, para santri putra dan putri berkumpul di pelataran depan mushola. Mereka bergotong royong membuat kandang sederhana untuk kucing yang kini diberi nama "Si Belang" oleh Amin.

"Ternyata bukan jin ya pelakunya," kata Ulfa pada Husna.

"Atau hantu," tambah Husna sambil tertawa.

Khalila tersenyum mendengarnya. "Terkadang jawaban paling sederhana adalah yang paling masuk akal."

Farel yang ikut membantu membuat kandang mengangguk setuju. "Dan kebaikan hati seorang anak kecil yang ingin menolong kucing terluka jauh lebih menarik daripada cerita hantu."

Rado, yang masih penasaran dengan mimpinya, bertanya pada Gus Iib yang kebetulan lewat. "Gus, menurut Gus, mimpi saya tentang sosok putih di jemuran itu apa maknanya?"

Gus Iib, yang ahli dalam hal-hal ghaib, tersenyum misterius. "Mungkin itu isyarat untuk mengingatkan kita bahwa kebaikan bisa datang dalam bentuk yang tak terduga. Bahkan dari seorang anak kecil yang peduli pada seekor kucing."

Sementara para santri sibuk dengan kandang kucing, Kyai Ihsan dan Bunyai Fifi memperhatikan dari kejauhan dengan senyum puas. Kejadian hilangnya baju-baju telah menjadi pelajaran berharga bagi semua penghuni pesantren tentang kasih sayang terhadap semua makhluk Allah.

"Alhamdulillah, masalah teratasi dengan baik," ucap Bunyai Fifi.

Kyai Ihsan mengangguk. "Dan kita semua mendapat pelajaran berharga dari kejadian ini."

Di sudut pelataran, Izza diam-diam memperhatikan Gus Fiza yang sedang membantu santri putra membuat kandang. Wajahnya sedikit merona saat Gus Fiza tersenyum ke arahnya, namun seperti biasa, ia menyimpan perasaannya sendiri tanpa bercerita pada siapapun.

Begitulah kehidupan di Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro terus bergulir, penuh dengan pelajaran dan hikmah dari setiap kejadian, bahkan dari kasus hilangnya baju di jemuran barat asrama putri.

 

Comments

Popular posts from this blog

Sang Jenderal telah Menikah

Ketika Mentari Terakhir Terbit