Ketika Mentari Terakhir Terbit
Ketika Mentari Terakhir Terbit
Matahari belum sepenuhnya meninggi ketika aktivitas di Pesantren Darul Hikmah sudah dimulai. Para santri bergegas menuju masjid untuk salat Dhuha berjamaah, sementara beberapa guru tampak berdiskusi tentang jadwal pengajian hari ini. Di tengah kesibukan itu, seorang pemuda berusia 16 tahun dengan peci hitam yang sedikit miring sedang duduk sendirian di teras perpustakaan, tangannya sibuk menggambar di sebuah buku sketsa usang.
"Gus Ajis! Sudah waktunya mengaji dengan Abah!" panggil seorang santri senior.
Ajis—putra bungsu Kiai Zainuddin, pengasuh pesantren—menghela napas panjang sebelum menutup buku sketsanya. Dengan langkah enggan, ia berjalan menuju ndalem (rumah kiai).
Di ruang utama ndalem, tiga baris santri senior dan dua kakak Ajis sudah duduk rapi menunggu pengajian dimulai. Gus Farid, kakak tertua Ajis yang berusia 28 tahun, sedang membacakan kitab kuning dengan fasih. Di sampingnya, Gus Hakim (25 tahun) mengangguk-angguk memahami, sesekali menambahkan penjelasan dari referensi kitab lain. Mereka berdua adalah kebanggaan pesantren—hafiz Quran yang juga menguasai berbagai kitab klasik.
"Maaf saya terlambat, Abah," ucap Ajis pelan sambil mencium tangan ayahnya.
Kiai Zainuddin menatap putra bungsunya dengan sorot mata yang sulit ditafsirkan. "Duduklah," katanya singkat.
Pengajian berlangsung selama dua jam. Seperti biasa, Ajis hanya diam sepanjang pengajian. Bukan karena tidak memperhatikan, tetapi fokusnya sering teralih pada rangkaian kaligrafi indah yang menghiasi dinding ruangan. Tangannya diam-diam menggambar di sudut bukunya.
"Gus Farid akan menjadi ketua delegasi pesantren kita dalam Musabaqah Qiraatul Kutub tingkat nasional bulan depan," kata Kiai Zainuddin mengakhiri pengajian. "Dan Gus Hakim akan memimpin tim hafiz Quran untuk kompetisi di Bandung minggu depan."
Para santri bertepuk tangan. Ajis tersenyum tipis melihat kakak-kakaknya yang kembali akan mengukir prestasi.
"Ajis," panggil Kiai ketika para santri bubar. "Kamu sudah 16 tahun. Kapan kamu akan mulai seperti kakak-kakakmu?"
Pertanyaan yang sama. Ajis sudah hapal jawabannya: "Saya masih belajar, Abah."
"Belajar apa? Yang Abah lihat kamu hanya corat-coret dan bermain dengan anak-anak kampung," nada suara Kiai meninggi. "Farid seusiamu sudah hafal setengah Al-Quran, Hakim sudah menguasai dasar-dasar kitab kuning. Lalu kamu? Apa yang bisa kamu banggakan?"
Ajis terdiam. Matanya menatap lantai.
"Ingat, kamu anak seorang kiai. Ada tanggung jawab besar di pundakmu untuk meneruskan perjuangan pesantren ini," Kiai Zainuddin menghela napas. "Besok pagi, Abah ingin kamu memimpin pengajian Safīnah an-Najāḥ untuk santri baru."
Malam itu, Ajis tidak bisa tidur. Ia duduk di teras belakang ndalem, memandangi kolam ikan yang disinari cahaya bulan.
"Belum tidur, Gus?" sebuah suara mengejutkannya.
Itu Mbah Rohim, pengurus tertua pesantren yang sudah seperti kakek bagi Ajis.
"Tidak bisa tidur, Mbah," jawab Ajis.
Mbah Rohim duduk di sampingnya. "Ada yang mengganggu pikiranmu?"
Ajis mengeluarkan buku sketsanya, menunjukkan beberapa gambar—sketsa wajah santri, pemandangan pesantren, dan berbagai desain kaligrafi yang rumit.
"Saya lebih suka ini daripada menghafalkan kitab. Tapi Abah tidak melihatnya sebagai sesuatu yang berharga," Ajis berkata pelan.
Mbah Rohim tersenyum. "Setiap bunga punya waktunya sendiri untuk mekar, Gus. Kakak-kakakmu sudah mekar dengan keindahan mereka, tapi waktumu belum tiba."
"Tapi bagaimana jika saya memang tidak ditakdirkan seperti mereka, Mbah? Bagaimana jika saya tidak bisa menjadi seperti yang Abah inginkan?"
"Kiai Zainuddin bukan tidak menyayangimu, Gus. Dia hanya belum melihat potensimu," Mbah Rohim menepuk pundak Ajis. "Dan besok, kamu akan memimpin pengajian pertamamu. Itu kesempatanmu."
"Tapi saya tidak menguasai kitab itu seperti kakak-kakak saya," keluh Ajis.
Mbah Rohim tersenyum misterius. "Siapa bilang harus dengan cara yang sama?"
Keesokan paginya, halaman pesantren sudah dipenuhi 30 santri baru yang akan mengikuti pengajian pertama mereka. Ajis duduk di depan dengan kitab Safīnah an-Najāḥ di hadapannya. Dari sudut matanya, ia bisa melihat ayahnya dan kedua kakaknya mengawasi dari teras masjid.
"Bismillahirrahmanirrahim," Ajis memulai dengan suara yang sedikit bergetar.
Alih-alih membaca kitab seperti cara konvensional, Ajis mengeluarkan beberapa lembar kertas gambar besar. "Hari ini kita akan mempelajari bab thaharah atau bersuci," katanya sambil menunjukkan sebuah diagram visual yang telah ia gambar semalam.
Para santri terlihat bingung pada awalnya, begitu pula ayah dan kakak-kakaknya. Tapi Ajis melanjutkan dengan tenang.
"Ini adalah visualisasi dari konsep najis mukhaffafah, mutawassithah, dan mughallazhah," katanya sambil menunjukkan gambar yang dilengkapi dengan ilustrasi dan diagram alir yang jelas. "Dan ini adalah tahapan wudhu beserta dalil dan hikmahnya."
Satu jam kemudian, para santri baru itu tampak antusias. Mereka bukan hanya memahami materi, tetapi juga mengingatnya dengan baik berkat ilustrasi visual yang Ajis berikan. Beberapa santri senior bahkan ikut mendekat, tertarik dengan metode pengajaran baru ini.
Di akhir pengajian, Ajis membagikan selebaran kecil berisi ringkasan visual tentang materi yang baru dipelajari—semua hasil karya tangannya sendiri.
"Subhanallah," bisik salah seorang ustaz senior. "Santri baru biasanya butuh waktu tiga pertemuan untuk memahami bab ini."
Kiai Zainuddin masih terdiam, mengamati dari kejauhan. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun.
Tiga bulan berlalu. Metode pengajaran visual Ajis menjadi populer di kalangan santri baru. Tingkat pemahaman mereka meningkat drastis, dan beberapa pesantren tetangga mulai mengirim perwakilan untuk belajar metode tersebut.
Suatu sore, Kiai Zainuddin memanggil Ajis ke ruang kerjanya.
"Ada tamu yang ingin bertemu denganmu," kata sang Kiai.
Di ruang tamu, seorang pria berpakaian rapi dengan kacamata berbingkai tebal sedang menunggu. "Assalamualaikum," sapanya ketika melihat Ajis.
"Waalaikumsalam," balas Ajis.
"Ini Pak Hasan dari Kementerian Agama," Kiai Zainuddin memperkenalkan. "Beliau tertarik dengan metode pengajaran visualmu."
Pak Hasan tersenyum. "Kami sedang mengembangkan modul pembelajaran kitab kuning untuk madrasah modern, dan metodemu sangat menarik. Kami ingin mengajakmu bergabung dalam tim pengembangan modul nasional."
Ajis menatap ayahnya dengan tidak percaya.
"Ajis," kata Kiai Zainuddin dengan suara yang lembut—nada yang jarang Ajis dengar, "maafkan Abah karena tidak melihat potensimu selama ini. Abah terlalu fokus ingin kamu menjadi seperti kakak-kakakmu."
Kiai Zainuddin mengeluarkan sebuah buku dari laci mejanya. Itu adalah buku sketsa lama Ajis yang sudah bertahun-tahun hilang.
"Abah menemukannya saat kamu masih kecil. Abah pikir ini hanya akan mengalihkanmu dari mengaji," kata Kiai sambil membuka halaman demi halaman yang dipenuhi gambar yang dibuat Ajis kecil. "Tapi sekarang Abah sadar, Allah memberikan karunia yang berbeda pada setiap anak. Dan kamu, Ajis, kamu diberi karunia untuk membuat ilmu agama lebih mudah dipahami melalui gambar-gambarmu."
Air mata Ajis nyaris jatuh. Bertahun-tahun ia merasa tidak dihargai, dan kini ayahnya akhirnya melihat nilai dalam karyanya.
"Jadi, bagaimana Gus Ajis? Apakah kamu bersedia bergabung dalam tim kami?" tanya Pak Hasan.
Ajis menatap ayahnya, yang kini mengangguk penuh dukungan. "Dengan seizin Allah dan restu Abah, saya siap," jawab Ajis mantap.
Dua tahun kemudian, Pesantren Darul Hikmah telah berubah. Di samping metode pengajaran tradisional yang tetap dipertahankan, kini ada juga pusat media pembelajaran visual yang dipimpin langsung oleh Gus Ajis. Modul-modul visual karyanya telah digunakan di ratusan pesantren dan madrasah di seluruh Indonesia.
Pada sore itu, Ajis sedang mengajar di kelas barunya ketika Mbah Rohim masuk dengan senyum lebar.
"Gus Ajis," panggil Mbah Rohim, "ada tamu dari Al-Azhar yang ingin bertemu untuk mendiskusikan penerapan metode visualmu dalam pengajaran bahasa Arab untuk non-Arab."
Ajis tersenyum. Ia teringat ucapan Mbah Rohim dua tahun lalu: setiap bunga punya waktunya sendiri untuk mekar.
Kini, bunga terakhir di keluarga Kiai Zainuddin telah mekar dengan keindahannya sendiri, menyebarkan wangi yang khas dan tak tergantikan.
Comments