Langit Retak di Lantai Empat

 Langit Retak di Lantai Empat

Muhammad Sabrar Fadhila

Siswa SMP. Plus Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro

 

Pagi itu, Rabu yang cerah di Pondok Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro. Dari lantai empat asrama putra, terdengar lantunan ayat-ayat suci yang merdu. Para santri sedang melaksanakan shalat dhuha berjamaah. Haikal berdiri di saf paling depan, dengan wajah tenang, bibirnya bergetar lembut melafalkan doa. Ia selalu menjadi yang paling awal ke mushola, paling akhir meninggalkan sajadah. Di sampingnya, Feby—teman sekaligus sahabat seperjuangan—menyusul dengan langkah cepat, seperti biasa, takut tertinggal rakaat pertama.

“Cepat, Feb. Imam sudah takbir,” bisik Haikal pelan.

Feby tersenyum, mengangguk, lalu berdiri di sebelahnya. Semua berjalan seperti hari-hari biasa. Namun siapa sangka, pagi itu adalah pagi terakhir bagi salah satu dari mereka.

Pukul 08.17, ketika imam baru saja mengangkat tangan untuk rukuk, bumi tiba-tiba berguncang hebat. Lantai bergetar, dinding berderak, kaca pecah memekakkan telinga. Para santri panik, sebagian menjerit, sebagian berhamburan turun melalui tangga sempit. Haikal sempat menoleh ke arah Feby yang terpaku di tempat, wajahnya pucat.

“Feb! Turun! Cepat!” teriak Haikal, menahan tubuhnya yang hampir terjatuh.

Namun langkah Feby seolah terkunci. Ia berdiri terpaku, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Sementara itu, Haikal yang tadi sempat berdiri tiba-tiba merunduk, lalu menjatuhkan diri ke lantai untuk berlindung. Dinding di belakangnya retak besar, lalu—

BRUKKK!

Langit-langit runtuh. Jeritan menggema. Dalam hitungan detik, lantai empat itu berubah menjadi lautan debu dan batu. Tak ada lagi lantunan doa. Tak ada lagi suara azan. Hanya sunyi… dan debu yang menyesakkan.

Kamis pagi.

Udara lembab. Aroma semen dan debu memenuhi area pesantren. Tim SAR bekerja tanpa henti sejak malam. Doa-doa menggantung di udara setiap kali seseorang diangkat dari reruntuhan. Sebagian selamat, sebagian tidak.

Di sisi lapangan pesantren, dua sosok ibu berdiri dengan mata sembab. Asri, ibu Haikal, menggenggam tasbih di tangannya. Marni, ibu Feby, menunduk sambil berdoa lirih. Mereka berdua sama-sama menunggu kabar yang belum datang.

“Anak saya... Feby... katanya ada di lantai empat, Bu...” suara Marni bergetar.

Asri mengusap bahunya pelan. “Haikal juga, Bu... dia di situ. Biasanya kalau ada gempa kecil, dia pasti langsung ajak teman-temannya keluar. Dia anaknya penurut sekali...” Air matanya jatuh, menodai tasbih yang masih bergerak di jemarinya.

Dari kejauhan, suara alat berat terdengar. “Kami temukan dua orang lagi!” teriak salah satu relawan. Seketika Asri dan Marni menegakkan tubuh mereka, napas menahan harap.

Jumat pagi.

Cahaya matahari terasa dingin. Marni dan Asri masih di sana, duduk beralaskan tanah lembab. Mata mereka kosong, hanya menatap reruntuhan asrama yang kini tinggal puing. Tiba-tiba, salah satu anggota SAR datang berlari.

“Ibu! Kami temukan satu lagi! Masih hidup!”

Marni sontak berdiri, tubuhnya gemetar. “Siapa? Siapa, Nak?”

“Feby, Bu! Alhamdulillah, masih bernapas!”

Tangisan pecah. Marni berlari tanpa alas kaki, menubruk tubuh anaknya yang lemah dan berdebu. Feby membuka mata perlahan, suaranya lirih, “Bu... Haikal di sana... dia nolong aku... dia suruh aku tiarap... tapi... dia nggak bisa keluar, Bu...”

Tangis Marni pecah di dada anaknya, disusul tangisan para santri dan warga yang ikut menonton.

Asri hanya menatap dari jauh, menutup mulut dengan tangan gemetar. Ia tahu... perasaan seorang ibu jarang salah. Ia tahu siapa yang belum ditemukan.

Beberapa jam kemudian, tubuh Haikal akhirnya ditemukan. Ia masih dalam posisi rukuk, tubuhnya tertindih balok besar. Di tangan kanannya, tergenggam mushaf kecil yang sudah robek, namun masih menempel di dadanya. Wajahnya tenang, seolah sedang tertidur setelah menunaikan shalat terakhirnya.

Ketika jenazahnya diangkat, Asri menjerit sekuat tenaga, lalu jatuh berlutut di tanah. Ia memeluk tubuh anaknya yang dingin, mengguncang bahunya seolah masih berharap Haikal akan bangun.

“Bangun, Nak... Ibu belum sempat nyuapin kamu pagi ini... kamu belum sempat pamit, Haikal...” suaranya serak, tersendat di antara isak.

Para santri ikut menangis. Feby memeluk ibunya erat, tubuhnya masih penuh perban, bibirnya bergetar, “Bu... Haikal penyelamatku... kalau bukan karena dia... mungkin aku juga sudah nggak ada...”

Marni menatap Asri, lalu memeluknya. Dua ibu itu menangis dalam diam—dua hati yang sama-sama kehilangan, tapi juga saling menguatkan. Di antara mereka, udara seolah berhenti bergerak. Hanya suara takbir dan doa yang bergema, mengantarkan satu jiwa suci yang gugur dalam ketaatan.

Sore itu, menjelang maghrib, langit di atas pesantren tampak berwarna jingga kemerahan. Angin membawa aroma debu dan tanah, bercampur wangi bunga melati dari pelataran makam. Di batu nisan kecil bertuliskan nama Haikal bin Supriadi, Asri duduk termenung. Di sampingnya, Marni menaruh bunga segar.

“Anak kita hebat, Bu,” kata Marni lembut. “Haikal menyelamatkan Feby. Ia... sudah pulang dengan cara yang sangat indah.”

Asri tersenyum di sela air matanya. “Iya, Bu. Dia pulang dalam keadaan suci... dalam sujudnya.”

Langit sore itu menangis bersama dua ibu yang duduk di bawahnya. Dan dari kejauhan, seolah ada suara lembut yang berbisik di antara angin:

“Ibu, jangan menangis... Aku sudah tenang di rumah Tuhan.”

TAMAT.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi