Ode Buat Nayla
Ode Buat Nayla
Moh. Kholil Mughofar
Jangan
bersedih duhai sahabatku
Setiap
manusia pasti akan berpisah
Kerana
kita hanya insan biasa
Dirimu
jangan berputus asa
Selamat
jalan sahabat karibku
Suatu
masa semoga kita bertemu
Walaupun
kita sudah tidak bersama
Dirimu
akan selalu ku kenang
(Selamat
jalan, Yelse)
Malam semakin larut. Hembusan
angin dingin musim kemarau merasuk ke dalam pori-pori menembus sampai tulang.
Dingin yang terlalu menyiksa bagiku. Dapat kudengar dengan jelas suara para
hewan malam yang sedang memainkan musik orkestra mereka,
sahut menyahut menyerbu
telinga seolah berteriak berusaha memberitahukan sesuatu padaku. Namun semua
itu sama sekali tak bisa mengusik para penghuni asrama dari buaian mimpi
mereka. Yang menghapus perlahan keletihan setelah menjalani rutinitas pesantren
yeng begitu padat.
Semakin lama semakin dapat kurasakan
kedua mata yang telah terlalu letih untuk terus kupaksa tetap terbuka. Kutengok
jam dinding yang ada tepat di atasku. 02:00 istiwak. Memang sudah sangat larut.
Berarti sudah 3 jam lebih aku berkutat dengan tumpukan kertas ini. Untung ruang
kantor punya sakelar sendiri jadi tidak ikut padam jam 11:00 tadi.
Ah, memang harus melembur... Tapi
ini juga salahku sendiri karena telah terlanjur menyanggupi permintaan mbak
Ulya PIMRED mading SALSABILA[2]
yang harus pulang karena kakaknya nikahan. Mengantikan tugasnya memegang mading
untuk sementara waktu. Hmm… tak kukira akan serumit ini...
Kertas-kertas yang telah terkumpul
dari kiriman teman-teman santriyat kurapikan dan kupilah sesuai kategori yang
sudah ada. OPINI, SASTRA, HUMOR, KHAZANAH, KALIGRAFI... Berarti tinggal kolom
CERPEN yang belum terisi. Ada banyak sekali kiriman cerpen yang masuk. 1, 2,
3... Oh? Kertas warna biru? Kiriman dari... NAYLA. Empat halaman. Judulnya...
“KISAH KITA BERDUA”.
Nayla ya... Dia teman sekamar juga
seangkatan diniyah denganku. Mondok kamipun bersamaan. Ah... Jadi ingat dengan
pertengkaran kami seminggu yang lalu. Hanya karena hal sepele yang sebenarnya
tidak sepenuhnya salah dia aku sampai hati berkata kasar padanya. Dan kamipun
akan berkelahi kalau saja tak segera dilerai mbak Nafis.
Sejak saat itu kami saling diam.
Persahabatan kami yang telah berjalan hampir 6 tahun menjadi ternoda. Aku jadi
merasa sangat bersalah padanya... Seharusnya aku segera minta maaf. Akulah yang
paling patut disalahkan. Tapi karena sifat sombong aku menjadi enggan untuk
mengakui kesalahan yang telah kuperbuat. Tapi aku yakin dia sudah memaafkanku
karena cerpen kirimannya yang baru saja usai kubaca ini bercerita tentang
pertengkaran antara kami berdua dengan akhir saling memafkan, meski memakai
nama lain.
Nayla sudah pulang sejak 3 hari
ini. Kata mbak Nafis gadis itu hanya sakit panas biasa jadi mungkin besok sudah
balik[3]
lagi. Baiklah! Untuk kolom cerpen aku isi dengan cerpen milik Nayla ini biar
jadi surprise untuknya pas balik. Kebetulan juga di pojok kertas
sudah ia tulis... “NAYLA, 12 NOVEMBER”
tepat tanggal terbit besok. Aku yakin ini akan jadi kejutan terbaik
untuk bisa kembali memperbaiki persahabatan kami. Kuharap Nayla benar-benar balik
besok. Aku tersenyum demi membayangkan reaksi gadis bertubuh mungil itu saat
melihat cerpennya kupajang di mading.
Nayla memang sangat senang menulis
cerpen. Setiap kali dia selesai membuat akulah orang pertama yang ia suruh
untuk membacanya. Sangat bagus. Teman-teman yang lain juga selalu memuji
cerpen-cerpen karyanya.
Kadang aku merasa iri dengan gadis
itu, seolah dia adalah santri putri paling istimewa di pondok kami. Bagaimana
tidak? Nayla adalah santri putri yang paling disayangi Bunyai. Orangnya sangat
baik dengan tutur kata yang lemah lembut. Mudah bergaul dengan siapa saja.
Periang. Perawakannya mungil dengan tubuh ramping. Kulitnya kuning terawat
dengan wajah sehalus pualam. Manis dan cantik, nyaris sempurna. Kudengar sudah
ada beberapa pemuda yang menemui orang tuanya untuk melamarnya, tapi semua ia
tolak. Katanya ia ingin menamatkan masa ta`allumnya di pesantren, apapun
yang terjadi. Hmm… sebuah tekad yang luar biasa.
Tiba-tiba dari arah luar terdengar
suara langkah kaki yang berlari tergesa-gesa. Ada apa, ya? Sekilas terlihat Afi
berlari ke kamar pengurus yang berada di ujung asrama, berjarak 5 kamar dari
kantor yang kutempati ini. Karena penasaran akupun keluar dan mengikutinya dari
jarak agak jauh. Afi masuk ke dalam kamar. Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat
gadis itu sedang berusaha membangunkan Mbak Ana, Roisah[4]
pondok putri.
“Hmm... Ada apa to, Fi? Shubuh kan
masih lama....” Tanya mbak Ana dengan mata masih terpejam. Sepertinya dia belum
benar-benar bangun.
“Ayo, Mbak... Cepet banguuun.....”
Paksa Afi sambil menarik tangan Mbak Ana. Kulihat ada yang aneh dengan wajah
Afi, dia nampak sangat panik. Tapi karena apa ya?!
“Iya... iya...” Perlahan Mbak Ana
bangkit dari tidurannya sambil menguap beberapa kali pertanda dia masih sangat
mengantuk. “Ada apa to, Fi kok membangunkanku selarut begini?”
“Anu, mbak... Di depan ada
keluarganya Nayla yang datang...” Nada suara Afi terdengar semakin aneh.
Keluarganya Nayla? Memangnya ada apa dengan Nayla? Jangan-jangan dia mau di
sowankan boyong[5]?! Atau
mungkin sakit Nayla bertambah parah sehingga tidak jadi balik besok? Tapi
kenapa? Mengapa pula harus selarut ini? Lama-lama perasaanku jadi semakin tidak
enak.
“Nafas dulu, Fi! Suaramu itu nggak
teratur banget?!”
“Nayla, Mbak! Nayla....” Tiba-tiba
Afi menangis sesenggukan. Aku jadi semakin bingung. Apa yang sebenarnya
terjadi?! Kenapa dia pakai menangis? Kalau memang Nayla mau boyong Afi
tidak perlu manangis sampai sesenggukan seperti itu.
“Nayla, mbak... Nayla...”
“Iya... Ada apa dengan Nayla?!”
“Nayla........ Nayla.........
meninggal, Mbak!”
“INNALILLAHI WA INNAILAIHI
ROJI`UN??!! Kamu nggak salah, Fi?!” Jerit mbak Ana panik. Akupun luar biasa
panik. Tak mungkin Nayla meninggal... Hanya sakit panas biasa, basok dia akan balik.
Aku segera berlari dari sana.
Pasti Afi bohong! Ingin marah rasanya, ini sama sekali tidak lucu!... Mataku
menghangat?! Aku mulai menangis? Mengapa?! Nayla tidak meninggal... Besok aku
akan bertemu dengannya dan minta maaf lalu kami bisa bercanda bersama lagi...
Tapi kenapa Afi berkata begitu?... Pasti bohong! Tapi aku melihat ada dua orang
bapak-bapak berdiri di samping pintu dapur ndalem[9].
Aku semakin takut. Aku berlari kembali ke kamar atas... Ada Mbak Nafis dan Mbak
Shofi yang sudah berpakaian rapi. Mata mereka memerah. Mereka habis menangis!
Aku mematung di depan kamar B3...
“Nis... Kamu belum siap-siap?”
Tanya mbak Nafis. Aku diam tak menjawab. “Nis... Ayo cepat ganti baju...” Aku
menunggu. “Nisa! Nayla tidak ada!!!”
“Tak mungkin!... Nayla...” Aku
sudah terisak?! Tanpa kusadari kedua pipiku sudah basah… Aku tetap berontak...
Tapi Afi di bawah dan sekarang mbak Nafis... Segera aku berlari ke gedung
diniyah. Tak kupedulikan lagi suara mbak Nafis dan mbak Shofi yang berteriak
memanggil-manggil namaku. Pintu kukunci. Kudekap kedua lututku kuat-kuat. Kutahan
suara tangisku yang seakan mau meledak. Aku telah benar-benar terisak. Nayla
telah tiada? Sahabat pertamaku di pesantren ini telah pergi untuk
selama-lamanya? Aku sudah takkan bisa bertemu dengannya lagi? Kenapa??? Pasti
salah! Nayla hanya sakit panas biasa... Tak mungkin dia meninggal....
Air mataku sama sekali tak bisa
kubendung lagi. Untuk kesekian kalinya kembali kupandangi coretan yang kubuat
di satir diniyah.....
“AKU
BENCI NAYLA... AKU BENCI NAYLA... AKU......”
...................................................................
Mendung gelap bergelayut angkuh di
langit menutupi sinar sang surya yang seharusnya menemani kepergian Nayla hari
ini. Ah… benar-benar suasana yang tak pernah kuharapkan. Sepanjang perjalanan
tak sekalipun angin pagi berhembus menerpa mobil kami seolah ia ikut termangu,
bersedih atas perpisahan ini, meratapi kepergian yang membuat sesak dada. Dan
untuk kesekian kalinya kedua mataku`pun kembali menghangat setelah semalaman
telah kupakai terisak sendirian menyesali semuanya.
Akhirnya iring-iringan rombongan kami tiba di
rumah Nayla. Sedang Mbak Ana, mbak Nafis dan beberapa teman lainnya sudah di
sini sejak tadi malam. Tubuhku bergetar demi melihat para pentakziyah yang
menyemut di dalam dan luar rumah Nayla. Ada banyak sekali orang-orang yang
mencintainya. Semuanya sama mendoakan dan mengucapkan selamat tinggal pada
Nayla yang akan pergi untuk selama-lamanya. Sama dengan kami.
Akupun sangat mengerti kalau ajal
telah tiba tak ada seorangpun yang dapat menolaknya. Namun kepergian Nayla ini
tetap saja sangat berat kurasakan. Ada
banyak hal yang membuatku menyesali dan meratapi setiap hal yang pernah
kulakukan padanya. Tanpa kusadari kedua mataku mulai kembali meneteskan air
mata. Sudah berusaha kuseka namun tetap saja terus mengalir dan membasahi
seluruh wajahku.
Niswatin dan Laili menggandeng
tanganku dengan erat. Dapat kudengar suara keduanya yang sedang menahan isak
tangis yang hampir pecah. Peralahan-lahan kami berjalan menuju rumah duka. Abah
dan Ibu sudah lebih dulu masuk. Orang-orang sama memberikan jalan untuk
rombongan kami yang terdiri dari 30 santriyat teman seangkatan diniyah dan
sekamar Nayla di pesantren. Bu Nafsiyah nampak sangat terpukul dengan kepergian
putri bungsunya. Beliu berkali-kali pingsan. Matanya memerah dan bengkak karena
terus-menerus dipakai menangis. Beberapa ibu-ibu berusaha menghiburnya.
Tak selang lama Abah keluar sedang
Ibu beranjak mendekati Bu Nafsiyah dan ikut menghibur. Setelah bergantian
bersalaman dengan seluruh orang yang ada di dalam ruangan itu, perlahan dengan
ditemani Niswatin dan Laili aku berjalan ke arah sudut ruangan tempat tubuh
Nayla dibaringkan.
Nayla sahabat kami yang selau
riang itu kini hanya terbaring diam dengan terselimuti kain putih bersih.
Beberapa wanita yang mungkin kakak-kakak ipar Nayla duduk bersimpuh di samping
sambil membaca surah yasin dengan suara pelan.
Dengan masih berlinang air mata,
dengan tangan bergetar kusibakkan kain yang menutup wajah Nayla untuk terakhir
kalinya. Ia terlihat sangat cantik. Wajahnya sejuk dengan senyum ketenangan
yang tersungging manis di bibirnya. Senyum yang sebagaimana kebiasaannya acap kali bekumpul dan saling
bersenda gurau bersama kami. Kucium keningnya yang sedikit berkeringat. Ada bau
harum yang kuhirup.
“Selamat jalan sahabat. Engkau
telah pergi meninggalkan kami untuk bertemu kekasih yang selalu kau sebut-sebut
dalam setiap doamu.Kami akan sangat merindukanmu. Kau tahu Nay... akupun akan
pulang. Menempuh hidup baru, dan aku sangat berharap kamu bisa menemaniku pada
hari istimewa itu.... Ternyata memang inilah yang terbaik untuk kita. Nay...
tiba-tiba... ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu.....” Bisikku
dengan suara yang telah tenggelam dalam
isak tangis yang tertahan. Niswatin dan Laili memelukku erat di antara derai
air mata mereka.
Kembali kututup kain putih itu.
Ah... andai kau bisa bersama kami lebih lama lagi...
........................................................
Pagi yang begitu cerah. Dengan
hembusan angin sejuknya dan iringan paduan suara burung-burung pipit yang
bertengger di dahan-dahan pepohonan depan ndalem, menyanyikan lagu
selamat datang yang sangat merdu untukku. Ya. Ini adalah hari pertamaku di
pesantren ini. Pesantren tempat ayah dan ibu mondok dulu, setelah harus
menunggu agak lama karena menuruti keinginan ibu yang sudah memilihkan hari dan
tanggal keberangkatanku. Setiap kali aku bertanya alasannya beliau selalu
menjawab agar jadi kenangan terindah. Ah... entah apa maksudnya? Aku memang
sering tak faham dengan cara berpikir ibu.
Beliau berdua sudah pamit pulang.
Ingin sekali aku mengantarkan sampai gerbang namun tak diperbolehkan karena
kata beliau toh tak lama lagi aku bisa bertemu dengan mereka kembali karena
masih baru. Tak apalah, aku sudah tenang dengan janji mereka itu.
Kata mbak pengurus yang menemani
kami lemari yang akan kupakai ini sudah sangat lama tak terpakai. Entah sejak
kapan? Jadi bagian dalam pasti kotor. Ibu tersenyum,
“Tidak apa-apa, Mbak. Yang penting
sudah dapat lemari, kalau kotor tinggal dibersihkan saja”
Dan memang benar. Setelah kubuka nampak
seluruh bagian dalam tertutup lapisan debu yang cukup tebal juga sarang
laba-laba yang merata di seluruh sisinya.
Apa itu?! Ada sebuah buku merah
batik di tingkat paling bawah. Pasti milik pemakai terakhir lemari ini.
Kuambil. Dengan sekali tiupan debu sudah beterbangan dari bagian sampul buku
isi seratus ini. Jadi penasaran apa isinya. Iseng kubuka halaman pertama,
tertulis...
“JUMAT, 12 NOVEMBER’92”
Surprise!
Sama dengan hari dan tanggal kelahiranku... Hanya terpaut 2 tahun. Sudah sangat
lama rupanya. Sedang di pojok bawah tertulis...
“UNTUK
SAHABAT TERCINTAKU, DAMARKU YANG PALING ANGGUN DAN CANTIK, NAYLATUL MUNA”
Sama dengan namaku?! Benar-benar
hanya kebetulankah? Tanggal yang sama, lalu nama yang sama pula... Ah, hal
semacam ini sudah sering terjadi. Tak ada yang perlu dipikirkan. Tapi aku jadi
semakin penasaran dengan isi buku ini… Halaman selanjutnya penuh dengan
puisi-puisi dan syair-syair kesedihan, penyesalan, permintaan maaf, sanjungan
dan harapan. Ditulis dengan pilihan susunan kata yang sangat menyentuh. Hingga
tanpa kusadari ada satu butiran bening yang jatuh dari mataku. Segera kuseka.
Di halaman terakhir tertulis sebuah syair;
DAN
KU RASAKAN KEMATIAN ITU
TELAH
SEMAKIN DEKAT PADAKU
NAMUN
AKU INI YANG SELALU
SALAH
PANTASKAH BERSUA DENGANMU?
JUMAT,
12 NOVEMBER’93
SAHABATMU,
LINA JAUHAROTUN NISA.
Segera kututup. Lina Jauharotun
Nisa`.... nama ibu?! Nama yang sama denganku, lalu ini namanya sama dengan
ibuku.... Berarti ini buku milik ibu! Ya! Ini pasti buku milik ibu! Dan ini
lemari yang dipakai oleh ibu waktu mondok dulu... Apa karena hal ini tadi ibu
tersenyumterus? Karena yang akan aku pakai adalah lemari beliau? .... Tapi,
kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini? Terlalu banyak kebetulan
yang terjadi hari ini.
“Nay! Orang tuamu!” Suara mbak
pengurus yang tadi menemui ibuku?!
Aku segera berbalik. Benar mbak
pengurus yang tadi sedang berdiri tepat di tengah pintu. Raut wajahnya terlihat
panik. Kenapa?! Aku tak berani menebak... Aku langsung berdiri dan berlari
melewatinya begitu saja. Hari ini hari jumat tanggal 12 November! Hari dan
tanggal yang telah dipersiapkan ibu untuk keberangkatanku ke pondok… Aku mulai
takut... Kupeluk erat buku yang tadi kubaca. Lariku kupercepat.
Santriyat yang lain sama
memandangku dengan raut wajah yang aneh. Raut wajah iba dan berduka! Mataku
mulai menghangat... Aku menangis?! Tapi apa yang kutangisi? Sebenarnya ada apa
dengan hari jumat tanggal 12 November?! Apa hubungannya buku itu dengan hari
dan tanggal yang dipilih ibu? Kenapa aku tak boleh mengantar pulang? Apa
maksudnya aku takkan lama akan kembali bertemu mereka? Ah... Tiba-tiba aku jadi
sangat rindu dengan ayah ibu... Aku ingin segera bisa melihat wajah teduh
mereka, suara menentramkan mereka, belaian dan pelukan kasih sayang
mereka...
Aku terus berlari. Ada kerumunan
banyak orang tak jauh dari gerbang... Ayah? Ibu?
[2]
Diambil dari nama mading asrama putri pp Adnan al Charish. Sedang mading asrama
putra memakai nama el Habsyidan GENESIS.
[3]
Istilah yang biasa dipakai di pesantren untuk menyebut kembalinya seorang
santri dari rumah ke pesantren lagi.
[4]
Lurah pondok putri. Ketua asrama sekaligus kepala pengurus pesantren putri.
[5]
Keluar secara permanen dari pesantren.
[6]
Jangan buat mbak takut.
[7]
Tidak.
[8]
Sungguh.
[9]
Sebutan untuk kediaman pengasuh pesantren.
Comments