Ode Buat Nayla


Ode[1]Buat Nayla

Oleh: Kang Kholil

Jangan bersedih duhai sahabatku
Setiap manusia pasti akan berpisah
Kerana kita hanya insan biasa
Dirimu jangan berputus asa

Selamat jalan sahabat karibku
Suatu masa semoga kita bertemu
Walaupun kita sudah tidak bersama
Dirimu akan selalu ku kenang

(Selamat jalan, Yelse)

Malam semakin larut. Hembusan angin dingin musim kemarau merasuk ke dalam pori-pori menembus sampai tulang. Dingin yang terlalu menyiksa bagiku. Dapat kudengar dengan jelas suara para hewan malam yang sedang memainkan musik orkestra mereka,
sahut menyahut menyerbu telinga seolah berteriak berusaha memberitahukan sesuatu padaku. Namun semua itu sama sekali tak bisa mengusik para penghuni asrama dari buaian mimpi mereka. Yang menghapus perlahan keletihan setelah menjalani rutinitas pesantren yeng begitu padat.
Semakin lama semakin dapat kurasakan kedua mata yang telah terlalu letih untuk terus kupaksa tetap terbuka. Kutengok jam dinding yang ada tepat di atasku. 02:00 istiwak. Memang sudah sangat larut. Berarti sudah 3 jam lebih aku berkutat dengan tumpukan kertas ini. Untung ruang kantor punya sakelar sendiri jadi tidak ikut padam jam 11:00 tadi.
Ah, memang harus melembur... Tapi ini juga salahku sendiri karena telah terlanjur menyanggupi permintaan mbak Ulya PIMRED mading SALSABILA[2] yang harus pulang karena kakaknya nikahan. Mengantikan tugasnya memegang mading untuk sementara waktu. Hmm… tak kukira akan serumit ini...
Kertas-kertas yang telah terkumpul dari kiriman teman-teman santriyat kurapikan dan kupilah sesuai kategori yang sudah ada. OPINI, SASTRA, HUMOR, KHAZANAH, KALIGRAFI... Berarti tinggal kolom CERPEN yang belum terisi. Ada banyak sekali kiriman cerpen yang masuk. 1, 2, 3... Oh? Kertas warna biru? Kiriman dari... NAYLA. Empat halaman. Judulnya... “KISAH KITA BERDUA”.
Nayla ya... Dia teman sekamar juga seangkatan diniyah denganku. Mondok kamipun bersamaan. Ah... Jadi ingat dengan pertengkaran kami seminggu yang lalu. Hanya karena hal sepele yang sebenarnya tidak sepenuhnya salah dia aku sampai hati berkata kasar padanya. Dan kamipun akan berkelahi kalau saja tak segera dilerai mbak Nafis.


Sejak saat itu kami saling diam. Persahabatan kami yang telah berjalan hampir 6 tahun menjadi ternoda. Aku jadi merasa sangat bersalah padanya... Seharusnya aku segera minta maaf. Akulah yang paling patut disalahkan. Tapi karena sifat sombong aku menjadi enggan untuk mengakui kesalahan yang telah kuperbuat. Tapi aku yakin dia sudah memaafkanku karena cerpen kirimannya yang baru saja usai kubaca ini bercerita tentang pertengkaran antara kami berdua dengan akhir saling memafkan, meski memakai nama lain.
Nayla sudah pulang sejak 3 hari ini. Kata mbak Nafis gadis itu hanya sakit panas biasa jadi mungkin besok sudah balik[3] lagi. Baiklah! Untuk kolom cerpen aku isi dengan cerpen milik Nayla ini biar jadi surprise untuknya pas balik. Kebetulan juga di pojok kertas sudah ia tulis... “NAYLA, 12 NOVEMBER”  tepat tanggal terbit besok. Aku yakin ini akan jadi kejutan terbaik untuk bisa kembali memperbaiki persahabatan kami. Kuharap Nayla benar-benar balik besok. Aku tersenyum demi membayangkan reaksi gadis bertubuh mungil itu saat melihat cerpennya kupajang di mading.
Nayla memang sangat senang menulis cerpen. Setiap kali dia selesai membuat akulah orang pertama yang ia suruh untuk membacanya. Sangat bagus. Teman-teman yang lain juga selalu memuji cerpen-cerpen karyanya.
Kadang aku merasa iri dengan gadis itu, seolah dia adalah santri putri paling istimewa di pondok kami. Bagaimana tidak? Nayla adalah santri putri yang paling disayangi Bunyai. Orangnya sangat baik dengan tutur kata yang lemah lembut. Mudah bergaul dengan siapa saja. Periang. Perawakannya mungil dengan tubuh ramping. Kulitnya kuning terawat dengan wajah sehalus pualam. Manis dan cantik, nyaris sempurna. Kudengar sudah ada beberapa pemuda yang menemui orang tuanya untuk melamarnya, tapi semua ia tolak. Katanya ia ingin menamatkan masa ta`allumnya di pesantren, apapun yang terjadi. Hmm… sebuah tekad yang luar biasa.
Tiba-tiba dari arah luar terdengar suara langkah kaki yang berlari tergesa-gesa. Ada apa, ya? Sekilas terlihat Afi berlari ke kamar pengurus yang berada di ujung asrama, berjarak 5 kamar dari kantor yang kutempati ini. Karena penasaran akupun keluar dan mengikutinya dari jarak agak jauh. Afi masuk ke dalam kamar. Aku mengintip dari balik pintu. Kulihat gadis itu sedang berusaha membangunkan Mbak Ana, Roisah[4] pondok putri.
“Hmm... Ada apa to, Fi? Shubuh kan masih lama....” Tanya mbak Ana dengan mata masih terpejam. Sepertinya dia belum benar-benar bangun.
“Ayo, Mbak... Cepet banguuun.....” Paksa Afi sambil menarik tangan Mbak Ana. Kulihat ada yang aneh dengan wajah Afi, dia nampak sangat panik. Tapi karena apa ya?!
“Iya... iya...” Perlahan Mbak Ana bangkit dari tidurannya sambil menguap beberapa kali pertanda dia masih sangat mengantuk. “Ada apa to, Fi kok membangunkanku selarut begini?”
“Anu, mbak... Di depan ada keluarganya Nayla yang datang...” Nada suara Afi terdengar semakin aneh. Keluarganya Nayla? Memangnya ada apa dengan Nayla? Jangan-jangan dia mau di sowankan boyong[5]?! Atau mungkin sakit Nayla bertambah parah sehingga tidak jadi balik besok? Tapi kenapa? Mengapa pula harus selarut ini? Lama-lama perasaanku jadi semakin tidak enak.
“Nafas dulu, Fi! Suaramu itu nggak teratur banget?!”
“Nayla, Mbak! Nayla....” Tiba-tiba Afi menangis sesenggukan. Aku jadi semakin bingung. Apa yang sebenarnya terjadi?! Kenapa dia pakai menangis? Kalau memang Nayla mau boyong Afi tidak perlu manangis sampai sesenggukan seperti itu.
“Eh?! Kok malah nangis to, Fi?!Ojo gawe mbak wedi lah[6]!!!”
“Nayla, mbak... Nayla...”
“Iya... Ada apa dengan Nayla?!”
“Nayla........ Nayla......... meninggal, Mbak!”
“INNALILLAHI WA INNAILAIHI ROJI`UN??!! Kamu nggak salah, Fi?!” Jerit mbak Ana panik. Akupun luar biasa panik. Tak mungkin Nayla meninggal... Hanya sakit panas biasa, basok dia akan balik.
Mboten[7], Mbak...Estu[8]… Nayla meninggal….”
Aku segera berlari dari sana. Pasti Afi bohong! Ingin marah rasanya, ini sama sekali tidak lucu!... Mataku menghangat?! Aku mulai menangis? Mengapa?! Nayla tidak meninggal... Besok aku akan bertemu dengannya dan minta maaf lalu kami bisa bercanda bersama lagi... Tapi kenapa Afi berkata begitu?... Pasti bohong! Tapi aku melihat ada dua orang bapak-bapak berdiri di samping pintu dapur ndalem[9]. Aku semakin takut. Aku berlari kembali ke kamar atas... Ada Mbak Nafis dan Mbak Shofi yang sudah berpakaian rapi. Mata mereka memerah. Mereka habis menangis! Aku mematung di depan kamar B3...
“Nis... Kamu belum siap-siap?” Tanya mbak Nafis. Aku diam tak menjawab. “Nis... Ayo cepat ganti baju...” Aku menunggu. “Nisa! Nayla tidak ada!!!”
“Tak mungkin!... Nayla...” Aku sudah terisak?! Tanpa kusadari kedua pipiku sudah basah… Aku tetap berontak... Tapi Afi di bawah dan sekarang mbak Nafis... Segera aku berlari ke gedung diniyah. Tak kupedulikan lagi suara mbak Nafis dan mbak Shofi yang berteriak memanggil-manggil namaku. Pintu kukunci. Kudekap kedua lututku kuat-kuat. Kutahan suara tangisku yang seakan mau meledak. Aku telah benar-benar terisak. Nayla telah tiada? Sahabat pertamaku di pesantren ini telah pergi untuk selama-lamanya? Aku sudah takkan bisa bertemu dengannya lagi? Kenapa??? Pasti salah! Nayla hanya sakit panas biasa... Tak mungkin dia meninggal....
Air mataku sama sekali tak bisa kubendung lagi. Untuk kesekian kalinya kembali kupandangi coretan yang kubuat di satir diniyah.....
“AKU BENCI NAYLA... AKU BENCI NAYLA... AKU......”
...................................................................

Mendung gelap bergelayut angkuh di langit menutupi sinar sang surya yang seharusnya menemani kepergian Nayla hari ini. Ah… benar-benar suasana yang tak pernah kuharapkan. Sepanjang perjalanan tak sekalipun angin pagi berhembus menerpa mobil kami seolah ia ikut termangu, bersedih atas perpisahan ini, meratapi kepergian yang membuat sesak dada. Dan untuk kesekian kalinya kedua mataku`pun kembali menghangat setelah semalaman telah kupakai terisak sendirian menyesali semuanya.
 Akhirnya iring-iringan rombongan kami tiba di rumah Nayla. Sedang Mbak Ana, mbak Nafis dan beberapa teman lainnya sudah di sini sejak tadi malam. Tubuhku bergetar demi melihat para pentakziyah yang menyemut di dalam dan luar rumah Nayla. Ada banyak sekali orang-orang yang mencintainya. Semuanya sama mendoakan dan mengucapkan selamat tinggal pada Nayla yang akan pergi untuk selama-lamanya. Sama dengan kami.
Akupun sangat mengerti kalau ajal telah tiba tak ada seorangpun yang dapat menolaknya. Namun kepergian Nayla ini tetap saja sangat berat  kurasakan. Ada banyak hal yang membuatku menyesali dan meratapi setiap hal yang pernah kulakukan padanya. Tanpa kusadari kedua mataku mulai kembali meneteskan air mata. Sudah berusaha kuseka namun tetap saja terus mengalir dan membasahi seluruh wajahku.
Niswatin dan Laili menggandeng tanganku dengan erat. Dapat kudengar suara keduanya yang sedang menahan isak tangis yang hampir pecah. Peralahan-lahan kami berjalan menuju rumah duka. Abah dan Ibu sudah lebih dulu masuk. Orang-orang sama memberikan jalan untuk rombongan kami yang terdiri dari 30 santriyat teman seangkatan diniyah dan sekamar Nayla di pesantren. Bu Nafsiyah nampak sangat terpukul dengan kepergian putri bungsunya. Beliu berkali-kali pingsan. Matanya memerah dan bengkak karena terus-menerus dipakai menangis. Beberapa ibu-ibu berusaha menghiburnya.
Tak selang lama Abah keluar sedang Ibu beranjak mendekati Bu Nafsiyah dan ikut menghibur. Setelah bergantian bersalaman dengan seluruh orang yang ada di dalam ruangan itu, perlahan dengan ditemani Niswatin dan Laili aku berjalan ke arah sudut ruangan tempat tubuh Nayla dibaringkan.
Nayla sahabat kami yang selau riang itu kini hanya terbaring diam dengan terselimuti kain putih bersih. Beberapa wanita yang mungkin kakak-kakak ipar Nayla duduk bersimpuh di samping sambil membaca surah yasin dengan suara pelan.
Dengan masih berlinang air mata, dengan tangan bergetar kusibakkan kain yang menutup wajah Nayla untuk terakhir kalinya. Ia terlihat sangat cantik. Wajahnya sejuk dengan senyum ketenangan yang tersungging manis di bibirnya. Senyum yang sebagaimana  kebiasaannya acap kali bekumpul dan saling bersenda gurau bersama kami. Kucium keningnya yang sedikit berkeringat. Ada bau harum yang kuhirup.
“Selamat jalan sahabat. Engkau telah pergi meninggalkan kami untuk bertemu kekasih yang selalu kau sebut-sebut dalam setiap doamu.Kami akan sangat merindukanmu. Kau tahu Nay... akupun akan pulang. Menempuh hidup baru, dan aku sangat berharap kamu bisa menemaniku pada hari istimewa itu.... Ternyata memang inilah yang terbaik untuk kita. Nay... tiba-tiba... ada banyak sekali yang ingin kuceritakan padamu.....” Bisikku dengan suara yang  telah tenggelam dalam isak tangis yang tertahan. Niswatin dan Laili memelukku erat di antara derai air mata mereka.
Kembali kututup kain putih itu. Ah... andai kau bisa bersama kami lebih lama lagi...
........................................................

Pagi yang begitu cerah. Dengan hembusan angin sejuknya dan iringan paduan suara burung-burung pipit yang bertengger di dahan-dahan pepohonan depan ndalem, menyanyikan lagu selamat datang yang sangat merdu untukku. Ya. Ini adalah hari pertamaku di pesantren ini. Pesantren tempat ayah dan ibu mondok dulu, setelah harus menunggu agak lama karena menuruti keinginan ibu yang sudah memilihkan hari dan tanggal keberangkatanku. Setiap kali aku bertanya alasannya beliau selalu menjawab agar jadi kenangan terindah. Ah... entah apa maksudnya? Aku memang sering tak faham dengan cara berpikir ibu.
Beliau berdua sudah pamit pulang. Ingin sekali aku mengantarkan sampai gerbang namun tak diperbolehkan karena kata beliau toh tak lama lagi aku bisa bertemu dengan mereka kembali karena masih baru. Tak apalah, aku sudah tenang dengan janji mereka itu.
Kata mbak pengurus yang menemani kami lemari yang akan kupakai ini sudah sangat lama tak terpakai. Entah sejak kapan? Jadi bagian dalam pasti kotor. Ibu tersenyum,
“Tidak apa-apa, Mbak. Yang penting sudah dapat lemari, kalau kotor tinggal dibersihkan saja”
Dan memang benar. Setelah kubuka nampak seluruh bagian dalam tertutup lapisan debu yang cukup tebal juga sarang laba-laba yang merata di seluruh sisinya.
Apa itu?! Ada sebuah buku merah batik di tingkat paling bawah. Pasti milik pemakai terakhir lemari ini. Kuambil. Dengan sekali tiupan debu sudah beterbangan dari bagian sampul buku isi seratus ini. Jadi penasaran apa isinya. Iseng kubuka halaman pertama, tertulis...
“JUMAT, 12 NOVEMBER’92”
Surprise! Sama dengan hari dan tanggal kelahiranku... Hanya terpaut 2 tahun. Sudah sangat lama rupanya. Sedang di pojok bawah tertulis...
“UNTUK SAHABAT TERCINTAKU, DAMARKU YANG PALING ANGGUN DAN CANTIK, NAYLATUL MUNA”
Sama dengan namaku?! Benar-benar hanya kebetulankah? Tanggal yang sama, lalu nama yang sama pula... Ah, hal semacam ini sudah sering terjadi. Tak ada yang perlu dipikirkan. Tapi aku jadi semakin penasaran dengan isi buku ini… Halaman selanjutnya penuh dengan puisi-puisi dan syair-syair kesedihan, penyesalan, permintaan maaf, sanjungan dan harapan. Ditulis dengan pilihan susunan kata yang sangat menyentuh. Hingga tanpa kusadari ada satu butiran bening yang jatuh dari mataku. Segera kuseka. Di halaman terakhir tertulis sebuah syair;
DAN KU RASAKAN KEMATIAN ITU
TELAH SEMAKIN DEKAT PADAKU
NAMUN AKU INI YANG SELALU
SALAH PANTASKAH BERSUA DENGANMU?

JUMAT, 12 NOVEMBER’93
SAHABATMU, LINA JAUHAROTUN NISA.
Segera kututup. Lina Jauharotun Nisa`.... nama ibu?! Nama yang sama denganku, lalu ini namanya sama dengan ibuku.... Berarti ini buku milik ibu! Ya! Ini pasti buku milik ibu! Dan ini lemari yang dipakai oleh ibu waktu mondok dulu... Apa karena hal ini tadi ibu tersenyumterus? Karena yang akan aku pakai adalah lemari beliau? .... Tapi, kenapa tiba-tiba perasaanku jadi tidak enak begini? Terlalu banyak kebetulan yang terjadi hari ini.
“Nay! Orang tuamu!” Suara mbak pengurus yang tadi menemui ibuku?!
Aku segera berbalik. Benar mbak pengurus yang tadi sedang berdiri tepat di tengah pintu. Raut wajahnya terlihat panik. Kenapa?! Aku tak berani menebak... Aku langsung berdiri dan berlari melewatinya begitu saja. Hari ini hari jumat tanggal 12 November! Hari dan tanggal yang telah dipersiapkan ibu untuk keberangkatanku ke pondok… Aku mulai takut... Kupeluk erat buku yang tadi kubaca. Lariku kupercepat.
Santriyat yang lain sama memandangku dengan raut wajah yang aneh. Raut wajah iba dan berduka! Mataku mulai menghangat... Aku menangis?! Tapi apa yang kutangisi? Sebenarnya ada apa dengan hari jumat tanggal 12 November?! Apa hubungannya buku itu dengan hari dan tanggal yang dipilih ibu? Kenapa aku tak boleh mengantar pulang? Apa maksudnya aku takkan lama akan kembali bertemu mereka? Ah... Tiba-tiba aku jadi sangat rindu dengan ayah ibu... Aku ingin segera bisa melihat wajah teduh mereka, suara menentramkan mereka, belaian dan pelukan kasih sayang mereka...  
Aku terus berlari. Ada kerumunan banyak orang tak jauh dari gerbang... Ayah? Ibu?





[1] Sajak lirik untuk menyatakan pujian terhadap seseorang, benda atau peristiwa yang dimuliakan.
[2] Diambil dari nama mading asrama putri pp Adnan al Charish. Sedang mading asrama putra memakai nama el Habsyidan GENESIS.
[3] Istilah yang biasa dipakai di pesantren untuk menyebut kembalinya seorang santri dari rumah ke pesantren lagi.
[4] Lurah pondok putri. Ketua asrama sekaligus kepala pengurus pesantren putri.
[5] Keluar secara permanen dari pesantren.
[6] Jangan buat mbak takut.
[7] Tidak.
[8] Sungguh.
[9] Sebutan untuk kediaman pengasuh pesantren.

Comments