By : Mbah nang Nyantri
“Merindu bertegur sapa dengan suratan Alam”
Guru saya pernah berceritera, bahwa dahulu ada sesepuh kamiyang pintar
sekali ber-kiroto boso. Setiap nama pasti dapat diarti-maknakan olehnya.
Contohnya seperti gedang, digeget yen bar madang (dilahap setelah makan) dan
kerikil, keri neg sikil (menusuk geli di kaki). Beliau dikenal dengan mbah
Sawit. Orangnya hitam, tubuhnya kekar dan ahli tulung (suka menolong).
Salah satu kiroto bosonya yang sampai saat ini masih terkenang di
ingatan saya adalah lemah, yen ngelem yo bakal mamah (siapa yang memanjakannya
akan dapat makan). Artinya barang siapa mau ngelem (memuji-memanjakan) tanah,
tempat kita berpijak ini, dengan mencangkul dan mengairinya secara telaten,
kemudian menebarkan benih di atasnya, maka ia akan dapat memanen hasilnya. Tanah
sangat ramah pada kita.
Kiroto boso tersebut menggambarkan betapa suburnya tanah air yang dihuni
oleh suku jawa ini, hingga benih apapun bisa tumbuh di atasnya. Kayu saja
ditanam bisa jadi tumbuhan, apalagi bijian. Daratan hijau yang telah memberikan
sejuta rasa pada suku kita ini adalah lautan rahmat kasih sayang pengeran pada
kita.
Tapi, sekarang keadaan jawa dwipa sudah berubah; tidak seperti dulu
lagi. Dulu ia hijau nan rimbun, sekarang sudah gundul dan gersang. Dulu hawanya
sejuk, sekarang angin sepoipun terasa panas. Dulu tanah ini begitu ramah, mudah
dipamah, sekarang berkali-kali tanampun belum tentu bisa panen.
Mengapa?
Leluhur kita mengatakan bahwa keadaan tanah itu menggambarkan jiwa para
penduduknya. Daerah yang terimbun hijau oleh aneka tumbuh-tumbuhan yang indah,
penduduknya pasti memiliki jiwa yang sangat halus dan berbakat dalam membaca
tanda-tanda alam. Mereka pasti sering berendam dalam renungan batin mereka.
Menghayati dan mencari makna darinya.
Mengapa?
Manusia yang sering tepekur, membaca suratan alam pastilah sangat paham
dengan kebijaksaan dzat yang maha hakiki. Ia pasti tahu bahwa tidak ada satupun
penciptaan yang sia-sia; semuanya penuh dengan makna. Akhirnya, ia merasa
sangat dekat dengan sang murba wasesoning buwono ini, Tuhan yang esa.
Sebaliknya, tuhanpun terus dan selalu menyapa mereka dengan keindahan yang
sama. Sehingga terwujudlah negeri yang gemah ripah loh jinawi.
Sekarang ini jiwa manusia jawa ini sudah tercemar dengan nafsu genderuwo
yang ditularkan oleh kaum hedonis yang mabuk dunia. Akhirnya mereka lupa dengan
fitrah mereka sebagai makhluk istimewa, makhluk berperasaan dengan bakat seni
pikiran yang tinggi. Bahkan lebih unik dari malaikat. Sekarang mereka
bertingkah tanpa berangan, bertindak tanpa berpikir, bergerak berdasar nafsu, meninggalkan nurani dan akal. Inilah penduduk jawa saat
ini.
Sekarang mereka sudah jarang bertegur sapa dengan suratan alam. Bahkan,
dari mereka banyak yang lupa dengan sang pencipta semesta raya ini. Karena
itulah, sang khalik tidak menyapa mereka dengan rahayu seperti dahulu. Ia marah
dan kondisi alam saat ini adalah wajah kemurkaannya.
Marilah kita bertanya pada ... rumput yang bergoyang.
Hoo ho hoo ...
Comments