Oleh: Pak Sholeh
“Penjual onde-onde yang mengalahkan pegawai
negeri sipil”
Kunikmati secangkir kopi di pagi hari dengan senandung cinta di sebuah
warung seputaran jalan menuju Dander.
Di saat menyeduh hangatnya kopi datanglah anak muda penjual onde-onde
yang mengantarkan onde-ondenya ke warung itu. Kemudian saya ajak ngobrol meski
saya belum kenal dia dan akhirnya kamipun jagongan sebentar.
“Iya pak ...”
“Lha sehari membuat berapa?”
“Sekitar 500 biji, mulai jam 2
sampai jam 6 pagi, pak ... terus saya antarkan ke warung-warung”
“Hebat! Anak muda yang kreatif dalam berusaha. Lha setiap harinya bisa
untung berapa?”
“Sekitar 200-250 ribu pak ... tapi yo gak nyentel opo-opo...”
“Mulane to ndang nikah biar ada yang nyentel ne”
“”Sudah pak ... tapi dimakan codot”
Kemudian saya tertawa “LHA KOK ISO??”
“Lha sudah lamaran tinggal satu bulan setengah eh malah digagalne pak”
“Lha dibawa lari orang ye?”
“Tidak pak ...”
Kemudian penjual onde-onde tadi bercerita panjang lebar yang intinya
bahwa ia gagal bukan karena apa-apa. Tapi karena CAMER dan anaknya malu kalau
punya menantu penjual onde-onde. Dia beranggapan bahwa penjual onde-onde itu
tidak seperti PEGAWAI NEGERI.
Lalu saya berkata “Lha opo sak durunge ketokan dino gak di takok i
pekerjaanem opo?”[2]
“Tidak, pak”
“Kalau penjaul onde-onde jelas lah tidak sama dengan PNS, lha sekarang
dari segi keuangan dengan laba bersih 200 ribu/hari kalau 1 bulan gak yo wes 6
juta. Malau di atas PNS”
“Tapi orangnya berpikirnya tidak seperti itu, pak. Pokok ia beranggapan
kalau penjual onde-onde ya begitulah ...”
Saya tersenyum untuknya “Ya sudah lah. Gusti Allah masih menyelamatkan
sampean dari wanita yang seperti itu. Lha sekarang sudah punya calon lagi atau
belum?”
“Sudah, pak tapi masih tahun depan nikahnya”
Itulah jagongan saya di pagi ini. Dan pesan saya janganlah memandang
pekerjaan laki-laki karena status sosialnya tapi pandanglah karena kehalalan
pekerjaannya itu.
Ending dari cerita saya di atas adalah “GAGAL JADI MAK COMBLANG”.
Comments