Oleh: Princess_Anisa
Tiba-tiba saja terdengar kegaduhan.
Ada teriakan, barang jatuh, langkah kaki yang berlarian, macam-macam… hhh…
Jadinya aku terbangun. Dengan berat kulirik jam dinding di atas pintu kamar
FATHIMAH….. WHAT?! Baru jam 2?! Edan tenan anak-anak ini!!! Hrggh…
Selarut ini mereka sedang apa sih kok ramai sekali?!
Dengan kesal, plus sedikit rasa
penasaran juga, aku bangkit dari rebahanku. Oo… Ternyata ada mbak yang
lagi kumat[1]?
Hmm… Kenapa harus selarut ini?! Kenapa tidak kumat tadi sore saja, sih?!
Jadi mangkel[2]!
Untuk sekali ini sama sekali tidak terbesit rasa takut dalam diriku. Mungkin
karena sudah tidak mendapat jatah tempat lagi?
Ternyata Atul yang sedang kumatkejingan[3]nya.
Ya, saat ini memang sedang musim anak-anak putri banyak yang kejingan,
kesurupan. Biasa, masa-masa UNAS memang rawan terjadi peristiwa semacam ini,
terutama di pesantren. Beban pikiran karena tekanan target yang harus tercapai
membuat beberapa santriyat sering melamun, pikirannya kosong dan selanjutnya….
TARA! Para jin-jin iseng’pun mulai berbuat jahil.
Atul ini berbeda dari Nafi` yang
kalau jinnya sedang ON maka ia akan ancang-ancang dan… wuuuz lari. Tentu
saja semua jadi kelabakan mengejarnya. Dan kalau berhasil tertangkappun sangat
sulit untuk menahannya. Bahkan empat mbak-mbak senior bisa dijatuhkannya hanya
dengan satu kali ronta’an! Hebat kan?!
Atul juga berbeda dari Afi yang
kalau sudah kumat maka ia akan pidato ngalor-ngidul[4].
Yang paling ramai saat gadis berwajah tirus itu
mengabsen nama mbak-mbak yang punya kasus dengan anak putra. Hehehe,
bahaya! Seperti tiga hari yang lalu. Saat jam takror[5]
tiba-tiba gadis itu berdiri lalu melambai-lambai pada semua santriyat. Tentu
saja semua beralih memandangnya.
Kemudian Afi mulai ngoceh seperti
seorang daiyah. Dengan sangat lancar ia sebutkan beberapa nama santri yang
terlibat pacaran[6].
Si ini dengan kang[7]
ini. Si itu dengan kang itu. Si A dengan kang B dan seterusnya. Pondok putri
jadi heboh luar biasa. Untung Afi tidak menyebut namaku… Ya untuk apa disebut? Wong
memang tidak punya hubungan apapun dengan pondok putra. Gak gaul banget, ya?
Hehe.
Atul ini sukanya dengan warna
merah. Seperti kemarin, dia minta kerudung merah, baju merah, bawahan merah dan
kaus kaki merah. Jadi apa hayo? Kader PDI? Dan malam ini dia kumat lagi.
Hmm…Apa ya yang warnanya merah?
O-oo…Aku pakai kaos warna merah,
ding! Hhh… Pantes dari tadi dia melihatku sampai seperti itu. Haduuuh… Dan
lagi, posisiku sendirian di timur, sedang yang lain ada di sebelah barat. Tidak
Lama kemudian mereka sama berlarian kedalam kamar. Oi?! Apa-apan itu?! Apa
seperti itu yang di sebut sahabat?! Meninggalkan temannya dalam kondisi antara
hidup dan mati begini?! NGGRUNDEL.COM!
Tiba-tiba Atul mulai melangkah
mendekat padaku. Oh, iya! Aku teringat dengan dawuh[8]nya
mbah Ghofur ponpes Sunan Drajat, Lamongan. Kalau ada yang seperti ini harus
segera dibacakan ayat kursi biar jinnya pergi. Oke-oke.
Bismilahirrohmanirrohim….. Eh? Atul berhenti… Wah-wah. Bakat jadi budukun,
nich… hehehe.
Tapi, baru sebentar dia jalan
lagi. Bismillah lagi, dia berhenti lagi. Jalan lagi. Bismillah lagi, berhenti
lagi. Kok bisa, ya? Seru juga nich. Hitung-hitung buat hiburan menghilangkan mangkel
yang tadi. Hehehe. Atul jalan lagi. Oh, ya! mbah Ghofur juga dawuh kalau
kita takut maka jinnya akan semakin menjadi-jadi. Harus berani agar mereka
tidak melunjak. Baiklah tuan jin, kuterima tantanganmu!
Aku mulai jalan kedepan. Dengan
penuh percaya diri seolah-olah aku adalah penantang terberat Fatin Shidqya “X
FACTOR”, hehehe, foya! Kutatap terus mata Atul yang masih terus melorok-lorok
seram padaku itu. Tangan dia yang terus terangkat seolah-olah mau mencekik itu
sama sekali tak memberikan efek apapun padaku. Sarungnya yang dari tadi
melorotpun, untung tidak ada kang santri di sini… Kalau sampai ada bisa horeg[9]
gak karu-karuan pondok puteri, hehehe… Itupun tidak berpengaruh.
Masih dengan komat-kamit baca
mantera, eh baca doa-doa yang aku bisa, mulai ayat kursi, Hizb-hizb sampai doa
sebelum makan dan sesudah bangun tidur. STRES.COM?…
Pelan-pelan kuraih kedua tangan
gadis itu, lalu kupeluk dia… BRUK! Dia jatuh…. Jinnya kabur! Wuiih… Hebat
tenan… Tapi, kabur kenapa? Karena doa-doa yang kubaca atau karena ndak kuat dengan
bau badan yang belum mandi sejak tadi sore ini?
Teman-teman santriyat jadi gawok[10]
ndak karu-karuan. Kok berani, sih, mbak, pean? Kok tidak takut di cekik? Baca
apa mbak tadi? Cabai sekilo berapa, mbak? Cabai? Hehehe.
Itu respon di pondok. Saat di
rumah dan kuceritakan pengalamanku tadi pada ibuku, ternyata beliau duko[11]
luar biasa. Beliau mewanti-wanti[12]
padaku agar tidak mengulanginya lagi. Ma`af, bu`… Aya janji tidak akan
mengulanginya lagi.
Anak putri memang sangat rentan kejingan[13].
Itu karena kadang-kadang mereka tanpa sengaja membiarkan pikiran mereka kosong.
Dan sejauh yang kuingat, masa-masa paling rawan adalah saat mendekati UNAS
seperti saat ini. Pikiran yang stres mikir lulus atau tidak membuat mbak-mbak
sering melamun yang ujung-ujungnya pikirannya jadi kosong sehingga memberi
pintu masuk buat para jin untuk berbuat iseng. Hmm… Untung aku tidak merasakan
beratnya mikir UNAS. Hehehe… Baru dapat satu tahun terus kabur ke pondok.
Hebat, ya? Xixixixi……. (sekian!)
[1]
Kambuh.
[2]
Jengkel.
[3]
Kesurupan.
[4]
Keutara-keselatan.
[5]
Kegiatan belajar bersama. Kata takror diadaptasi dari B.Arab ‘takror’
yang artinya mengulang-ulang, karena dalam kegiatan takror ini para
santri mengulangi pelajaran yang sudah mereka pelajari pada hari yang lalu.
[6] Di
pesantren, pacaran termasuk pelanggaran paling berat dengan ancaman hukuman
dikeluarkan dari pesantren secara tidak hormat.
[7]
Panggilan yang biasa ditujukan untuk santri putra, meski ia masih kecil.
[8]
Perkataan.
[9]
Bergetar.
[10]
Heran.
[11]
Marah.
[12]
Mengingatkan dengan tegas.
[13]
Kesurupan.
Comments