Oleh: Runicha
“Bim salabim ... dan kamipun bisa melsayakannya”
September
2016.
Idul
Adha kemarin ada yang dengan buangganya cerita tentang pondok dia.
Katanya di sana membaca kitab sama saja seperti anak-anak membaca novel di
pondok kecil semacam pondok kami, padahal sama-sama pondok putrinya. Membaca
kitab bukan sesuatu yang WUUAHH. Lalu iapun cerita begini: katanya
teman-temannyapun aktif dalam bahtsul masail (atau entah apa ia menyebutnya).
Bahkan hingga tingkat Jawa Timur (katanya). Dan sayapun menjawabnya dengan nada
datar-datar saja:
“Pantes
wae to mbak, wong pondok sampean besar”. Iapun nampak sangat puas mendengarnya.
Dan
nanti .... akan masih se-BIASA itukah gaya dia kalau bercerita lagi? Setelah
kami anak-anak putri dari pondok kecil, pelosok dan ‘kuper’ ini dengan begitu
suksesnya mengadakan bahtsu sendiri, dengan bekal yang asli kami peroleh dari
asatidz lulusan pesantren kami, dari madrasah diniah kami sendiri. Dan nanti
akan kubalas dia dengan dengan
ceritsaya.
Pondok kecil yang santrinya tidak sampai 350 namun tak kalah dari yang 700 maupun
1000. Kamipun bisa membaca kitab kuning selayaknya membaca novel (berbahasa
inggris red), dan kami juga bisa ber-bahtsul masail, sebab tanpa
sepengetahuannya pesantren putri kami adalah anggota aktif FMP3 (Forum
Musyawarah pondok Pesantren Putri) yang ia maksudkan namun tidak tahu namanya
itu.
Lalu akan kami umumkan pada dunia bahwa kami
semua sangat percaya diri dan bangga dengan kemampuan kami sendiri. Dengan
usaha dan kemauan tak ada yang tak mungkin kami capai meski hanya berada di
pondok kecil, pelosok dan ‘kuper’ begini. Tidak perlu kemanapun.
Dan
terakhir, setelah sukses dengan pembalasan itu, kami akan tersenyum bersama
asatidz-asatidzah kami sambil menikmati lezatnya roti bakar depan pondok yang
masih anget. /run.
Comments