By : Mbah Nang Nyantri
“Orang cerdas menganggap dirinya cerdas dan orang bebal
menganggap dirinya bebal”
Suatu ketika, saya lupa kapan persisnya, pikiran sehat saya terusik oleh
rangkain pertanyaan yang cukup panjang;
Kenapa manusia berbeda-beda? Ada
yang giat dan ada yang malas. Ada yang pemberani dan ada pula yang penakut. Ada
yang cerewet dan ada pula yang pendiam. Kenapa? Padahal mereka memiliki bentuk
tubuh yang sama. Dengan dua pasang mata dan telinga yang sama-sama untuk
melihat dan mendengar?
Pikiran saya mulai menebak-nebak. Jika perbedaan mereka disebabkan
lingkungan tempat tinggalnya, kenapa orang-orang yang meski hidup di lingkungan
yang sama dapat berbeda? Jika karena makanannya, kenapa orang-orang yang
mengkonsumsi makanan yang sama (karena hidup di tempat yang sama dan kelas
ekonominya juga sama) juga tetap berbeda? Jika karena perbedaaan keturunan,
kenapa dua orang bersaudara juga tetap berbeda?
Ibaratnya, di setiap sudut di dunia ini dapat dijumpai dua anak kembar
yang lahir di tanggal, bulan dan tahun yang sama, diasuh oleh keluarga yang
sama dengan perawatan, perhatian dan pendidikan yang sama pula. Tapi, dengan
semua kesamaan tersebut mereka tetap saja berbeda. Apa penyebabnya?
Sebuah misteri.
Dalam beberapa hari saya perkirakan 2% sel otak saya aktif bekerja
memikirkannya. Butuh waktu yang lama untuk memecahkan teka-teki yang rumit ini.
Kerumitannya hampir seperti hieroglifnya orang mesir kuno yang terkenal itu.
Namun, akhirnya ada satu celah untuk jalan masuknya cahaya di tengah gelapnya
gua misteri tersebut. Muncul sebuah rumusan; kalau perbedaan manusia yang
dipertanyakan ada dalam diri manusia, bukan bentuk fisiknya, maka penyebabnya
juga ada di dalam diri mereka. Karena, dimensi sebab dan musabbab kebanyakan
sama (ngomong opo ki).
Setelah diteliti (siapa yang meneliti?), ternyata perbedaan tersebut
adalah anggapan mereka sendiri terhadap diri mereka. Orang yang pemberani
menganggap dirinya pemberani dan orang penakut menganggap dirinya penakut.
Orang yang giat menganggap dirinya giat dan orang yang pemalas menganggap
dirinya pemalas. Kira-kira, itulah perbedaannya.
Namun, kemudian muncul sebuah pertanyaan lainnya. Jika memang sebabnya
adalah ‘anggapan’, apakah manusia dapat berubah ketika anggapannya berubah?
Jika memang penyebab perbedaan mereka adalah ‘anggapan’, maka jawabannya
pasti iya. Kira-kira, seorang yang penakut akan berubah menjadi kendel jika dirinya merubah anggapannya
dengan meyakini bahwa dirinya adalah
pemberani. Orang pemalas juga akan menjadi giat seketika ketika dirinya yakin
dirinya adalah orang yang semangat. Bagaimana cara membuktikan teori ini?
Inilah yang menjadi misteri.
…..
Dan akhirnya sebuah harapan datang.
Dalam petualangan baca-baca, saya menemukan sebuah petunjuk dalam buku
yang saya beli secara patungan alias kong-kalikong dengan teman saya pada bulan
Mei 2007 silam. ESQ Way 165 tertera sebagai judul di sampul depannya. Ary
Ginanjar, penyusun buku tersebut di halaman 266 menyebutkan bahwa pengulangan
kata-kata dapat menghasilkan sebuah Repetitive Magic Power atau Energi Ajaib
Yang Terulang yang dapat membangun sebuah mental.
Secara sederhana, dengan mengucapkan kata “saya juara” orang akan
benar-benar memiliki mental juara. Metode ini dipakai oleh para instruktur di
negeri sakura (negerinya kru topi jerami) untuk membangun mental siswa
eksekutifnya. Mereka mewajibkan para siswa mengucapkan “saya juara” seratus
kali dalam sehari.
Saya kemudian bertanya. Bagaimana jika metode membangun mental ini
digunakan untuk merubah mental lama yang buruk diganti dengan mental baru?
Contohnya seperti mental penakut diubah menjadi mental pemberani, mental
pemalas dirubah menjadi mental semangat. Lagi-lagi ini juga menjadi misteri. Di
sana tidak saya temukan jawaban.
Kalau begitu, saya akan membuktikannya sendiri. Kebetulan pada waktu itu
(Sya`ban 1430, bertepatan dengan bulan Agustus 2009) saya diutus oleh ayah dan
ibu saya untuk mengikuti pengajian “Kitab al Iqna`” di desa sebelah. Menurut
kebiasaan pulangnya bisa melebihi jam 12
malam. Padahal Saya termasuk golongan orang jereh
(baca;penakut). Sekarang bayangkan, antara dusun saya dengan tempat mengaji
dipisahkan oleh berhektar-hektar tempat yang sunyi berupa tegalan, sawah,
lapangan, kuburan dan rimbunan bambu yang sangat asing bagi seorang penakut
seperti saya. Lha wong ditemanin saja masih takut, apalagi kalau sendirian. Ya
mbahnya takut. Inilah saatnya pembuktian.
Kurang lebih dua minggu sebelum hari pertama pembukaan ngaji, saya
mengamalkan wiridan yang aneh. Saya yakin tidak ada dukun yang pernah
komat-kamit membacanya. Saya terus-menerus mengucapkan “aku kendel” (baca; saya
pemberani) sebanyak-banyaknya. Pokonya, setiap kali teringat kalau mau ngaji al
Iqna` mulut saya langsung komat-kamit membaca kalimat tersebut. Bahkan -maaf-
saat buang hajatpun saya membacanya.
Dari hari ke hari saya merasakan ada perubahan dalam mental saya. Sulit
digambarkan dengan pasti. Kira-kira seperti computer yang mulanya Wndows xp
diganti dengan Windows 7. Computernya sih tetap, tapi dalamnya berubah. Mulai
dari tampilannya hingga fiturnya. Lebih keren.
Akhirnya saat pembuktian tiba. Pada tanggal 1 Ramadhan pengajian al
Iqna` dibuka persis setelah jamaah tarawih. Sebelum berangkat saya
diwanti-wanti oleh seluruh isi rumah yang begitu cinta dengan saya untuk
menginap saja di tempat ngaji. Mereka mengenal Shohibun Niam yang lama, walaupun
berani untuk berangkat karena terpaksa, pasti tidak akan berani untuk pulang.
Bahkan, ibu saya membungkuskan nasi spesial untuk sahur saya.
Mereka salah. Saya jamin mereka akan kaget bukan kepalang. Karena,
ternyata saya berani pulang tengah malam. Sendirian dengan selimut kesunyian
yang serem. Bahkan pada hari-hari selanjutnya saya mencoba untuk lewat jalan
kecil yang menerobos area kuburan dan hamparan sawah dan grumbul yang jauh dari
rumah penduduk. Ternyata saya berani. Walaupun sebenarnya hati saya masih DEG.
Tapi, itu harus saya lakukan untuk menguji wirid komat-kamit yang saya baca
selama dua minggu sebelumnya.
Wow, is magic!, dari penakut menjadi kendel adalah perubahan yang
mengagumkan. Fantastis. Memang saya belum berani masuk kuburan di malam hari.
Tapi, saya yakin jika wirid tersebut saya baca lebih banyak lagi pasti saya
akan berani melakukannya. Namun, dari pada itu saya sendiri lebih tertarik
untuk mendapat mental positif lainnya. Saya kemudian berpikir untuk menjadi
anak yang cerdas. Yah, gampang saja. Saya hanya akan katakan saya cerdas. Itu
saja.
Comments