Kita Jadi Rival!


Oleh: Immeyra_Angel

Aku suka sekali menulis. Aku pikir jadi penulis adalah cita-cita yang keren. Aku sangat senang ketika ceritaku muncul di THALIBAN, walaupun bukan karya utuhku. Ada sahabat-sahabat setiaku yang membantuku, Atul dan Dinda. Dan dari saat itulah semua dimulai.
Entah karena apa Mala selalu sinis padaku. Mungkinkah dia iri atau gak suka dengan sikapku? Saat Dinda bilang suaraku lumayan, Mala sahabatku dulu itu terus-terusan menyanyi. Aku akui suaranya bagus. Bagus banget, malah. Tapi sayang tidak ada yang pernah memujinya.
“Kebanyakan orang yang bisa nyanyi itu pinter” Ngendikan’ipun [1]ustadz Aziz waktu ngajar diniyah sore itu. Seusai diniyah Mala membuat heboh seisi kamar.
“Hey… seneng, deh dipuji sama ustadz Aziz. Katanya orang yang pandai nyanyi dan suaranya bagus itu pinter… wah, berarti aku pinter, dong, ya?” Kata Mala.
“Yang bener, mbak La ustadz Aziz ngendika gitu?” Tanya Ria.
“Iya-lah… bagus, kan!!!”
“Perasaan ustadz Aziz gak ngarahkan kata-katanya kekamu, deh… kenapa kamu merasa dipuji? PD banget?”Kataku membenarkan. Karena memang hanya aku dan Mala yg sekelas. Jadi yang tahu kalau dia hanya hoax[2] ya hanya aku.
“Eka… kamu diam saja. Kalau iri ya gak usah dilihat-lihatin keorang-orang. Simpen aja rapet-rapet di hati kamu“
WHAT?! Ira?! Bukannya kebalik? Bukannya dia yang (mungkin) iri denganku?
“Mbak Eka, ikut aku yuk” Dinda mengajakku keluar dari kamar. Akupun mengikutinya.
“Mau kemana?” Tanyaku setelah berjalan agak jauh dari kamar.
“Aku tu gak betah lihat tingkahnya Mala, dia itu pengkhianat. Lihat aja dulu, waktu dia gak disukai sama anak-anak yang lain, dia itu ikut kita, kan? Bahkan dia tercantum dalam cerita yg kamu kirim. Sekarang dengan muna-nya dia mengatakan kata-kata pedas padamu”
“Iya, kalau aku ngingat itu aku jadi benci banget. Dia kan gak ikut buat cerita itu, hanya saja waktu itu aku lagi baik hati”
Dinda adalah teman terbaikku.Tidak pernah dia mengkhianatiku. Dia juga pinter. Diniyahnya kakak kelasku karena dia langsung masuk kelas imrithi[3].
“Mbak, emangnya kenapa anak-anak pada suka dengan Mala?”
“Kemarin waktu kamu pulang, dia ikut pidato B.Inggris dan masuk kategori baik, walaupun belum menang. Terus anak-anak dia traktir di kantin pondok”
…………………………………
Sore kemarin kami digemparkan dengan munculnya THALIBAN yang sudah beberapa minggu ini tidak terbit. Spontan kami berebutan lembaran yang dibawa mbak Sarah itu.
“Aku dapat… yeye…”Teriakku sambil berlari dari kerumunan teman-teman yang begitu bersemangat mendapatkannya.
“Dinda, Atul…. aku sudah dapat!”
“Kami juga!” Kata mereka serempak. kami membaca punya masing-masing bersama-sama.
“Hey lihat! Ini ceritanya Mala, kan?!” Selidik Dinda. Aku melihat cerita yg dimaksud. Cerita itu diatas namakan ~MALLA~
“Ngapain anak itu ngirim keTHALIBAN? Iya sih semua santri berhak ngirim. Tapi sejak kapan dia suka menulis?” Celoteh Atul “Ka, jangan-jangan dia pengen nyaingin kamu?” Tambahnya.
“Untuk apa, sih nyaingin aku?”
“Dia, kan orangnya emang begitu” Kata Dinda. Kami membaca cerita Mala.
“Tanpa kesan. Ceritanya biasa aja. Tidak ada amanat. Tema dan alurnyapun gak jelas” Dinda yang pinter nulis juga mengkritik tulisan Mala.
“Bagaimana dia bisa nulis bagus kalau hanya sekedar baca aja dia gak suka? Benerlah kalau tulisannya masih cacat” Atul ikut bicara.
“Iya, aku setuju dengan kalian semua”
“Eh… lihat!” Tambahku sembari menunjuk kearah Mala.
“Waduh!!! Ceritaku dimuat, ya? Padahal baru kirim kemarin. Gimana menurut kamu? Bagus, gak?” Cerocos Mala pada Ria.
“Bagus banget, mbak Mala. Bagus banget”
Bangga banget, sih? Batinku bertanya-tanya. Anak-anak sepondokpun memuji-muji dan membagus-baguskan ceritanya. Dan semenjak saat itu Mala tak pernah lagi menegur, berkumpul bahkan menyapaku, Dinda dan Atul juga. Teman yang dulu pernah menjadi sahabatnya yang menemaninya saat dia sendiri. Tapi itu gak ngefek, kok. Emang dasarnya kami anaknya cuek, dan kalau dianya gak mulai, kami juga gak mulai.
Dari hari-kehari Mala semakin sombong. Semakin semena-mena dan semakin menjadi-jadi. Hal itu membuat anak-anak menjauhinya lagi. Sedikit demi sedikit temannya hilang. Tapi semua itu tidak membuatnya menjadi lebih baik. Sifatnya yg sombong seperti telah terpatri kuat dalam dirinya. Dia tak menyadari kalau teman-temannya pergi karena kesombongannya itu. Dia baru menyadari kesombongannya setelah dia benar-benar  sendiri.
Dan itu sangat terlambat. Masalah ini adalah masalah yang dulu membuatnya lari padaku, Atul dan Dinda. Tapi kali ini dia tidak melakukan hal yang sama, tidak melarikan masalahnya pada kami. Mungkin dia malu karena pernah menjauhi kami dulu.
Tapi satu hal yang perlu aku tegaskan. Hal itu gak ngefek, gak buat kita sedih, gak buat kita terjun dari lantai tiga, gak buat kita nelen pot bunga depan ndalemnya pak Yai (hehe). Kita tetep fine. Fine banget bahkan.




[1] Perkataan.
[2] Omong kosong.
[3] Salah satu kitab berbentuk syair, menerangkan ilmu nahwu.

Comments