Panggil Aq Gus



Oleh: Kang Kholil

Terlihat asrama putra sudah sangat sepi lantaran para penghuninya yang telah ikut terbawa serta buaian sang malam. Angin musim penghujan yang luar biasa dingin membuat kang-kang dan mbak-mbak santri semakin malas untuk jauh-jauh dari selimut mereka.

Namun, di dalam mushola agung terlihat ada tiga Kang Santri yang masih terjaga dan nampaknya sedang dalam sebuah pembicaraan yang sangat penting dan rahasia. Mereka; kang Puguh, kang Arul dan kang Ayub, 3 santri baru penghuni kamar giri, duduk melingkar sambil kemulan[1] selimut mereka masing-masing.
“Jadi, semua sudah sepakat! Siapa yang berhasil menaklukan Naylatul Muna, santriyat baru akan jadi gus diantara kita! Salaman harus cium tangan, dibosoni[2] dan disungkuk-sungkuk-i[3]…….!” Tegas Puguh sambil menjulurkan tangannya kedepan.
“Setuju!” Ayub menjabat tangan Puguh.
“Oke!” Sahut Arul semangat seraya menjabat tangan dua temannya itu.  “Berarti mulai subuh nanti kita bertiga adalah rival!”
Naylatul Muna yang dibicarakan mereka adalah santri putri yang baru masuk pondok 2 bulan yang lalu. Kabar yang beredar, santriyat yang mempunyai nama sapaan Nayla itu memiliki kecantikan yang luar biasa yang, katanya, mengalahkan kecantikannya Oki Setiana Dewi, dan suaranya, juga katanya, menandingi merdunya suara slow rocknya Raden Rara Nike Ratnadilla Kusnadi atau Teteh Nike Ardilla ~”Jenuh aku mendengar… manisnya kata cinta… lebih baik sendiri…”
Suara adzan shubuh terdengar menggema dari mushola agung. Satu-persatu para santri terbangun dari tidur mereka dan beranjak untuk mengambil air wudlu untuk ikut berjamaah. Para pengurus dengan telaten terus berkeliling membantu santri-santri yang masih kesulitan untuk bangun, dengan sebetan sorban dan guyuran air dingin.
Tak mau menyia-nyiakan waktu, Puguh yang memang sengaja tidak tidur sehabis pertemuan itu langsung bergerak. Apapun yang terjadi dia harus memenangkan pertaruhan ini, begitu pikir santri bertubuh dempal itu. Pertama-tama ia ingin mengumpulkan informasi tentang targetnya sebanyak-banyaknya, dan dia sudah tahu siapa orang yang paling tepat untuk masalah ini.
“Upahnya apa kalau aku memberimu informasinya?”  Tanya Mbah Nur, santri tukang ngelap motor Abah Yai saat diajak Puguh mojok ke pemenan[4] sebelah barat Diniyah.
“Kamu inginnya apa?” Puguh balik bertanya sambil clingak-clinguk  khawatir kalau-kalau dua rivalnya ada yang nguping.
“Traktir mie ayam Kang Sholeh  seminggu penuh?”
“Hah?! Kira-kira to…… Kamu kan tahu sendiri kalau keuanganku tidak stabil terutama saat nilai tukar Rupiah menurun, Lam….”
“Yo wes, kalau begitu aku minta gorengan De Sri 1000/3 hari. Bagaimana? Deal?”
Puguh terdiam sejenak. Nampak ia sedang berpikir keras… Meskipun syarat yang diajukan mbah Nur itu sebenarnya tak seberapa tapi ia sebenarnya tidak ingin berkorban apapun untuk mengalahkan Arul dan Ayub. Tapi sepertinya sudah tak ada pilihan lain. Sampai akhirnya ia menjawab,
 “Deal!”.
“Baiklah. Begini informasi tentang Nike Ardilla-nya pondok kita itu…..bla bla bla”
……………………………………………

Sehabis jamaah dzuhur, cepat-cepat Ayub mencari kang Qorun, santri senior yang terkenal  mempunyai banyak kenalan santri putri yang ia harap mau membantunya untuk memenangkan pertaruhan ini.
“Ada apa, Yub?”
“Anu, aku mau minta tolong ke sampeyan…..” Jawab Ayub ragu-ragu.
“Minta tolong apa?” Kembali Qorun bertanya tanpa menghentikan kesibukannya ber-gitar   ria. Garuk-garuk. (Siaga 3! mundur 10 langkah! Bahaya!).
“Eee…. begini kang. Tadi malam aku, Arul dan Puguh……bla bla bla”
“Aha ha ha….., jadi begitu to ceritanya…. Aha ha”
Sampean tidak marah, kang?!”
“Haha… yo buat apa marah to, Yub. Sini-sini…” Kang Qorun melingkarkan tangannya kepundak Ayub dan menariknya mendekat seraya menyodorkan tangannya ke depan wajah juniornya itu. “WANI PIRO?!”
…………………………………………
Sebenarnya, Arul pun tahu kalau dua rivalnya sudah bergerak. Tapi dia santai-santai saja saja karena orang yang akan ia minta untuk menjadi informan dan mitra kerjanya (?) ia yakin jauh lebih huuuebat dari Mbah Nur yang jadi sekutu Puguh, ataupun dari kang Qorun yang jadi “jin Djarum 76”-nya Ayub. Soalnya yang akan dia mintai tolong bukan orang sembarangan. Yaitu Gus Kholil, putra ke 3 Abah Yai yang baru pulang dari mondok di Jombang.
“Ada apa, Rul? Katanya kamu mau ngomong penting denganku?”
“Eee….Anu, Gus…. Begini, kemarin malam aku…. Bla bla bla”
“Ada-ada saja kalian ini… Terus, apa yang bisa aku bantu?”
“J-Jadi, njenengan[5] tidak marah, Gus?”
“Kenapa harus marah?” Jawab Gus Kholil sambil tersenyum “Oh ya, siapa nama santri putri itu?”
“Naylatul Muna, Gus” Jawab Arul. Tiba-tiba Gus Kholil terdiam beberapa saat. “Wonten nopo, Gus?[6]
“Oh... Tidak apa-apa. Jadi, apa yang bisa Aku bantu?”
“Gus Kholil bisa mencarikan data tentang Naylatul Muna itu untuk saya?”
“Tentu! Itu sih urusan gampang, Rul”
“Wah…Matur suwun[7], Gus…Matur suwun…
……………………………………………………..
Sudah lewat 1 bulan semenjak Puguh dkk membuat perjanjian itu.Namun di antara ketiganya belum juga ada yang menuai hasil.Melihat langsung Nike Ardillanya pondok itupun tidak. Memang, Santriyat yang biasa disapa Nayla itu sangat jarang, bahkan hampir tidak pernah keluar dari komplek pesantren. Entah sebab apa?
Ketiganya pun mulai putus asa. Bermacam-macam cara telah dilakukan namun hasilnya tetap nihil. Bahkan, Arul yang biasanya dikenal punya berjibun ide-pun sampai sudah tidak tahu harus memakai cara model apa lagi? Masalah utamanya adalah, Nayla tidak pernah keluar. Jadi, bagaimana caranya mau menembak wong Melihat trejengan[8]nya yang konon mengalahkan kecantikan Oki saja tidak?
Sampai akhirnya Arul mendapat informasi dari Gus Kholil kalau Nayla besok jumat mau pergi ke toko buku TOGA MAS, Bojonegoro Kota.
“Ini satu-satunya kesempatan untuk memenangkan perjanjian!Harus cepat bergerak!” Begitu pikiran Arul.
Besoknya, jam 07:30 dengan sembunyi-sembunyi Arul menghentikan angkutan kuning di selatan pondok dan langsung meluncur ke Kota. Di pertigaan menuju TOGA MAS, ia berhenti untuk turun lalu berjalan kaki ke timur. Sesampainya di depan TOGA MAS, Arul seperti melihat dua orang yang sudah sangat di kenalnya.
“Puguh?! Ayub?! Bagaimana bisa kalian…”
“Siapa cepat dia dapat!” Seru Puguh seraya berlari masuk kedaLam. Ayub dan Arul pun segera mengejarnya. Sampai di daLam, dengan mudah, karena sudah sangat hapal dgn foto Nayla, Puguh dapat menemukan Nike Ardilla’nya pondok itu sedang memilih-milih buku di rak bagian NOVEL.


“Aku Puguh… Maukah kamu men…”
Ayub segera mendesak. “Nayla, kan? Kenalkan… Namaku Ayub. Sebenarnya aku…”
Dari samping, Arul yang merasa di curangi oleh 2 rivalnya itupun tak mau kalah. “Nayla, aku Arul… Kamu mau kan jadi…”
“Hei-hei!” Puguh berusaha menyingkirkan dua temannya itu. Namun tak ada yang mau mengalah dan terus berebut untuk berdiri di depan Nayla. Sebaliknya, Nayla yang tak paham dengan apa yang sedang terjadi di depannya mulai merasa takut. Nayla  hampir saja berlari kalau saja tidak terdengar sebuah suara teguran dari belakang
Rasa-rasanya Puguh sudah sangat mengenal suara tadi. Tapi, siapa? Segera ia membalikkan badan. Begitu pula Arul dan Ayub.
“G-Gus Kholil?!”
“K-kok…Njenengan ada di sini?”
Gus Kholil sama sekali tidak menjawab. Ia hanya diam saja dan tersenyum. Arul serta yang lainnya semakin dibuat bingung. Apa hanya kebetulan Gus mereka itu bisa ada di toko itu? Apa mereka akan didukani karena sudah melakukan hal yang tidak-tidak? Tapi, mengapa Gus Kholil masih terus tersenyum?
Agak Lama suasana tetap seperti itu.Sepertinya Gus Kholil memang sengaja membuat ketiga santri Abahnya itu larut daLam kebingungan mereka. Sejak kedatangan Gus Kholil, seolah-olah tujuan awal mereka bertiga, Naylatul Muna, telah  terlupakan.
Suasana sangat hening lantaran di antara Arul, Puguh ataupun Ayub tak ada satupun yang berani bersuara. Sampai akhirnya Gus Kholil berjalan melewati mereka. Ketiga pasang mata kang santri itu terus mengekor mengikuti arah Gus mereka berjalan.
Ternyata Gus Kholil berhenti di samping Naylatul Muna yang tadi sempat terlupakan keberadaannya. Arul dan kedua temannya semakin dibuat bingung. Apalagi kemudian dengan santainya Gus Kholil menggandeng tangan Nayla. Spontan Arul, Puguh dan Ayub kompak saling berpandangan. Kaget gak karu-karuan. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?!
“Kok?!”
“Puguh, Arul, Ayub…” Gus Kholil untuk kesekian kalinya kembali tersenyum  “Kenalkan, ini Neng[9] Naylatul Muna…”
“N-Neng?!”
“Ya… Naylatu Muna yang kalian sebut Nike Ardillanya pondok ini adalah istriku, putri kyaiku di Jombang yang kunikahi tiga bulan yang lalu”
“I-Istri?! Nikah?!  J-Jadi…”
Tiba-tiba Arul, Ayub dan Puguh jatuh kelantai bersamaan. Ketiganya pingsan. Neng Naylatul Muna agak panik, sedang Gus Kholil hanya garuk-garuk kepala.
“Bagaimana, Bah?”
“Ya… Bagaimana lagi? Biarlah ini menjadi pelajaran buat mereka agar tak melakukan hal-hal yang aneh di pesantren…” Jawab Gus Kholil “Ayo kita pulang. Nanti biar Mbah Nur yang mengurus Puguh dan teman-temannya itu”
“Njih, Bah…”
Lalu, pasangan Gus Neng itu melangkah keluar meninggalkan ketiga santrinya yang masih tergeletak tak sadarkan diri lantaran luar biasa syok begitu mengetahui kalau santri putri yang selama sebulan ini mereka jadikan obyek teruhan ternyata adalah Neng mereka sendiri.
Ternyata kabar yang hampir saja mereka lupakan kalau Gus Kholil sudah menikah adalah benar. Karena itu, Gus mereka yang sudah mondok sekian tahun di Jombang itu akhirnya kerso untuk pulang.




[1] Menyelimuti tubuh.
[2] Berbicara dengan memakai bahasa krama.
[3] Berjalan sambil membungkuk-bungkuk sebagai bentuk penghormatan.
[4] Tempat menjemur pakaian.
[5] Anda.
[6] Ada apa, Gus?
[7] Terimakasih.
[8] Penampilan.
[9] Panggilan untuk anak putri pengasuh pesantren.

Comments