Saya Pengen Pinter


Oleh: Runicha
“Menjadi seperti yang mereka harapkan”

Saya selalu dipesan oleh bapak ibu untuk yang tenanan[1] di pondok. Waktu ngaji harus ikut ngaji. Waktu jamaah harus ikut jamaah. Tidak boleh buang-buang waktu untuk hal-hal yang tidak berguna. Tidak boleh terlalu banyak main. Sudah kupatuhi, tapi.... kok tetap seperti ini? ..... Maaf pak buk, sepertinya anak putri kalian ini memang sudah ditakdirkan jadi anak bodoh.
“Hush! Jangan gitu, Fa! Nggak boleh berkata seperti itu!” Hardik mbak Rini, mbak sepupuku yang sekarang sudah punya dua anak berumur 3 dan 7 tahun. “Bagaimana kalau bapak ibuk kamu dengar? Kira-kira bagaimana perasaan mereka?”
Ah mbak, saya ya tahu itu, tapi mau bagaimana lagi? Saya sudah melsayakan semua yang bapak ibuk suruh. Tapi inilah saya, mbak ...... (Mulai nangis).
Mbak Rini terdiam melihatku. Ia pergi sebentar lalu kembali sambil membawa kertas dan pulpen. Kuusap pipiku. Mbak Rini tersenyum lalu mulai mencoret-coret lembaran kertas ukuran F4 itu.
“Nah ...... Fa, tadi kamu bilang sudah melsayakan semuanya namun tetap gagal terus. Cobak, ini mbak buatkan daftar beberapa hal, peraturannya, yang sudah kamu lsayakan kamu centang, yang belum biarkan kosong saja”.
Buat apa mbak ini?
“Sudah ... pokoknya lsayakan saja apa yang mbak suruh”. Mbak Rini tersenyum.
Kuraih kertasnya. Kubaca sebentar kemudian mempertimbangkan memberikan centang. Mbak Rini terus mengawasiku. Ini apaan sih mbak, kok gak nyambung sama masalahku!
NO
USAHA
YA
TIDAK
1
2
3

4
5
6
7
8
9
10
11

12
13
14

15
Rutin nderes al-quran
Aktif jamaah shalat maktubah
Aktif sorogan bakda maghrib atau shubuh
Aktif ikut pengaosan kitab
Aktif takror
Belajar waktu takror
Berusaha menghafal setiap hari
Selalu ikut dila ada roan
Selalu mentaati peraturan pondok
Semua kitab dimaknai
Selalu membaca ulang kitab yang sudah dimaknai
Selalu bertanya setiap tidak faham
Aktif ibadah sunah
Hubungan dengan semua teman baik
Tidak pernah menyakiti hati guru



Saya mulai termangu. Kubaca ulang dari awal lagi. Kuulang sekali lagi. Lagi dan lagi. Tapi mengapa belum ada yang kucentang? Kulihat wajah Mbak Rini lalu kembali membaca ulang daftar yang sedang kupegang. Tetap tidak ada centang satupun. Mbak??
“Bagaimana Fa? Kok belum ada yang dicentang? Apa ada yang tidak sampean faham?”
Sudah faham semua mbak. Sudah kulsayakan semua, tapi ..... semua kata yang di depan ini,,,, Aktif, Selalu, Tidak pernah, Semua ...... saya ngaji, tapi kadang pernah mbolos. Saya jamaah, namun kadang sempat kumat malasku. Saya selalu takror namun tidak aktif sebab tak buat ngobrol.  Kitabku lengkap tapi tidak semua kumaknai. Sayapun sangat jarang membaca ulang kitab sebab kukira saya sudah faham maksudnya. Terkadang saya masih satronan dengan teman. Dan saya ...... berkali-kali membuat hati guruku sakit meski terkadang hal itu tak  kusengaja.
“Hmm,,,, sudah faham maksud mbak, Fa?”
Saya menggeleng. Belum sepenuhnya faham.
“Kamu bilang sudah melsayakan semua yang bapak ibuk suruh. Tapi tidak ada satupun dari daftar ini yang kamu centang. Memang kita sering tidak sadar dengan apa yang kita lakaukan selama ini. Merasa sudah benar namun tanpa sadar semuanya masih kurang. Kita tidak perduli dengan kata-kata semacam ‘SELALU’ dan ‘AKTIF’. Yang ada di kepala kita pokok saya lsayakan. Yang penting sudah berusaha ikut. Inilah yang jadi masalah Fa”.
Saya menunduk.
“Dalam ALALA ada 6 syarat agar berhasil dalam menuntut ilmu; cerdas, minat, sabar, bekal, petunjuk guru dan waktu yang lama.
1. Kamu cerdas Fa, sebab akal kamu sempurna.
2. Kamu sudah punya minat. Tinggal dikembangkan.
3. Namun kesabaranmu masih kurang.
5. Guru pemberi petunjuk malah kamu sakiti.
6. Dan kamu baru mondok beberapa tahun. Sudah lama?”
Saya semakin menunduk.
“Ifadatul Ma’rufah” Mbak Rini mengangkat daguku. Kulihat senyum manisnya itu. “Kamu tahu nggak kenapa bapak sama ibuk kamu memberimu nama begitu?”.
Saya menggeleng.
“Karena mereka percaya padamu. Kamu adalah anak putri mereka yang tidak akan pernah menyerah meraih impian. Tidak akan mau mengecewakan bapak ibunya. Dan akan selalu melangkah sambil membagikan senyumnya untuk dunia”
...............................
Terimakasih, Mbak. Saya janji akan tersenyum. Untukmu, untuk bapak ibuk, dan untuk dunia. Dan akan kutunjukkan kalau saya sangat bangga dengan nama pemberian bapak ibukku.



[1] Sungguh[sungguh

Comments