Untukmu




Oleh: Gadis February
“Wa sya’a fi washfin ala fu’lana # Aw untsayaihi aw ata fa’lana”

     Akhir nadhom setoraku malam ini. Kali ini benar-benar sulit. Sudah 1 minggu tidak setoran. Malas, sulit, gak semangat. Hampir saja aku putus asa sampai aku teringat kata-kata ustadz Arif waktu setoran malam; “Jangan membuang waktu menunggu semangat, mulailah, maka semangat akan datang dengan sendirinya”. Jadi merasa tersindir.
Namun kata-kata itu cukup menggugah hatiku. Benar sekali, sebab kalau aku menghafalkannya menunggu semangat dahulu, kapan semangat itu akan datang??? Iya kalau besok, bagaimana kalau masih bulan depan? Bisa-bisa aku tidak menghafal selama satu bulan. Jangan sampai ah.
Hari ini sangat menyenangkan, kenapa? Sebab ini hari jum’at. Libur. Hari untuk tidur, hehe. semua aktivitas sudah usai mulai dari tahlil di saren. Burdahan, roan juga mencuci. Sebenarnya sekarang waktunya untuk tiduran. Namun bukannya tenang, malah gaduh. Suasana kamarku seperti acara INBOX SCTV. Teman-teman sama bernyanyi seolah-olah sedang berdiri di panggung inbox. Kudengarkan saja lagunya. Itung-itung sebagai pengantar tidur. Kali ini mereka menyanyikan lagu “Di pondok kecil ini”
     ................
     Di pondok kecil ini bulan purnama
     Terdengar suara rintih-merintih

     Melambai-lambai ibu memanggil
     Duhai anakku si jantung hati
     Ibu kan pergi jauh ke alam baka
     Jaga adikmu sepeninggal ibu

     Wahai kakakku sayang di mana ibu
     Ku cinta ibu ku sayang ibu
     Wahai adikku sayang jangan menangis
     Ibu tlah pergi jauh ke alam baka

     Ku ambil kain putih
     Ku tutup muka ibu
     Lalu ku mnangis di sampingnya
................

     Kenapa malah lagu sedih sih? Hmmm... aneh anak-anak ini, bukan lagu band atau malaysia saja. Tapi aku jadi membayangkan bagaimana sedihnya ditinggal seorang ibu ..... Belum sampai selesai suara-suara itu sudah terdengar semakin pelan sampai akhirnya aku tak isa mendengar apa-apa lagi.
     .....................
     “De, kamu disambang” Kata Neha saat aku merapikan baju dilemari.
     Ah, aku enggan meresponnya paling-palig Neha hanya berbohong. Sudah sering dia mengerjaiku seperti ini. Gak akan berhasil, ibuku baru saja ke sini 2 hari lalu, jadi mana mungkin sekarang kesini lagi.
     “De! Sampean denger gak sih?”
     Aku masih sibuk dengan baju-baju ku.
     “Dea??!! “ Neha mendekat karena aku tak kunjung menyahut.
     “Iya, denger... aku gak bolot kalee”
     “De! Aku tu gak bohong, kamu disambang bapak-bapak tapi bukan bapak kamu”
     Lumayan kaget, segera aku letakkan baju-bajuku dan pandanganku langsung kualihkan ke Neha. “Serius?”
     Tanpa menunggu jawaban darinya aku langsung berjalan cepat ke depan dengan melewati JMP (jemuran pakaian) untuk bisa sampai ke tempat antri putri disambang.
     “Pak de?”
     “Dea, ayo pulang sekarang...”
     “Pulang?”
     “Iya, kamu diminta pulang sama bapak dan ibumu. Mereka sibuk, jadi pak de yang jemput kamu. Cepet ya De, ntar keburu siang”
     Aku mengangguk cepat.
     Bingung, padahal baru 2 hari yang lalu ibu kesini tapi kenapa sekarang aku diminta pulang? Ada apa? Ah jadi teringat dengan ucapan ibu waktu kemarin ke sini. Apa jangan-jangan tentang lamaran itu? Ah bukan-bukan. Sudah kujelaskan kalau aku masih ingin mengkhatamkan al-quran dan alfiyahku dulu dan sepertinya beliaupum sudah bisa menerima alasanku. Aku tidak tau lah.


     Sepanjang perjalanan pak De lebih banyak diam. Hanya sesekali saja beliau berbicara. Sedangkan dalam pikiranku sendiri masih dipenuhi segudang pertanyaan. Lama-lama timbul kekhawatiran yang entah sebab apa. Mungkin hanya selintas pikiran saja. Kutenang-tenangkan pikiranku.
     Rumahku sudah nampak dari kejauhan. Namun aku merasa ada yang aneh sebab terlihat kerumunan banyak orang. Ada hajat apa ya?? Pak de masih saja diam. Motor terhenti dipinggir jalan. Aku berjalan sndirian mendekati rumah. Bapak menungguku didepan pintu. Nampak sebuah senyum mengembang di bibir beliau. Ku balas senyumnya meski dengan sedikit memaksa. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Ada sesuatu yang membuatku takut. Kuperhatikan ada gurat sedih yang tak bisa beliau tutupi. Wajah ayah semakin kusut dimakan usia. Ah ayah maafkan aku.
      Aku melangkah masuk rumah dengan digandeng ayah. Terdengar lantunan ayat yasin memenuhi ruang tamu. Ada banyak orang. Sebagian besar sangat ku kenal. Kerabat jauh juga ada. Ingin segera kusapa mereka yang lama tak kutemui. Namun kakiku sudah terlanjur kaku tidak bisa kugerakkan. Ku lihat seseorang tertidur di ruang tengah dengan terselimuti kain jarit dari ujung kaki sampai ujung kepala. Tercium bau kapur barus juga bau wewangian khas lainnya. Di sekelilingnya ada beberapa ibu-ibu. Kusempatkan untuk mengamati. Ada yang sibuk dengan gunting dan kain putih. Ada yang memegang rangkaian bunga dan beberapa jarum beserta benang yang menguntai. Dan mereka semua sedang menahan tangis. Mata mereka memerah.
     Kupaksa kepalaku untuk menoleh, bapak terdiam disampingku juga sambil menahan air mata. Baru kali ini aku melihat bapak menangis. Ingin aku bertanya siapa yang tertutup kain jarit itu? Namun lidahku kelu, tak sanggup ucapkan apapun. Kakiku semakin lemas, bapak menahan tubuhku. Beberapa orang mendekat. Entah siapa saja, entah berbicara apa saja, yang kudengar kini hanya tangisku sendiri. Aku sesenggukan. Semakin lama kepalaku terasa semakin berat. Ku seret kakiku untuk mendekat. Ingin kuraih kain jarit yang menutupi tubuh yang sedari tadi terdiam itu.
     “Jangan dibuka!” Suara budhe.
     “Ini ... siapa budhe? Ibu ... dimana?”
     “Ibumu lagi istirahat, jangan diganggu dulu”. Budhe menyeka air mataku. Beliau memelukku. Erat sekali. Kurasakan ada beberapa tetesan air di pundakku. Budhe menangis. Ibu sedang istirahat, berarti beliau sedang di kamar. Semoga tidak apa-apa. Lalu ini siapa? Kakak? Adik? Mengapa tak ada yang mau memberitahu padaku? Apakah aku punya salah? Kalau iya, aku mau minta maaf.
     Ingin kucoba meraih kain itu, namun budhe kembali mencegahku. Ku pandangi wajahnya. Beliau menggeleng pelan. Wajahku mengiba. Namun beliau tetap tidak membolehkan dan segera mengajakku untuk mengambil air wudhu.
Kubaca yasiin 3 kali dan kulanjutakan dengan jausan. Sesenggukan aku membacanya. Aku sangat takut, sedih, penasaran dan entah apalagi yang saat ini kurasak ..... aku menangis tanpa boleh tau siapa yang kutangisi.
     “Dea ... mau dimandikan. Ayo ikut, kamu boleh melihatnya.” Budhe berbisik pelan. Tubuh kaku yang ada dihadapanku segera diangkat. Kain jarit bertumpuk itu melambai-lambai masih berusaha menutupi. Kuikuti setiap derap langkah. Budhe menggenggam tanganku sangat erat. Lirih semuanya menangis. Bacaan tahlil memenuhi ruangan. Aku merinding luar biasa. Tangisku semakin menjadi. Ada yang memelukku dari belakang. Aku menoleh.
     “Dea .... yang kuat ya ... yang sabar ya ... ini cobaan untuk kita” Mbak hani saudara tertuaku. Suaranya terpatah-patah. Mbak Hani memelukku sangat erat. Aku pegang tangannya. Dia sedang gemetar, wajahnya basah kuyub, kedua matanya sudah agak bengkak. Mbak Hani kau membuatku semakin takut.
Perlahan kuraih kain itu. Tanganku tak bisa berhenti gemetar, perasaan takutku semakin menjadi-jadi. Kubungkam mulutku agar tangisku bisa segera terhenti. Budhe menggenggam tanganku dan menuntunku untuk membukanya


     Bismilahirohmanirohim .... perlahan terbuka. Kucium harum wangian yang kurasakan sudah sngat akrab. Tubuhku kaku. Mulutku kelu. Tak mmpu  ucap apa-apa lagi. Wajah itu tersenyum. Sangat tenang. Cantik sekali ....
     “Sabar, Dea .... sabar .... sabar ....” Budhe memelukku menggantikan kakak yang terjatuh lemas. Beberapa orang menolongnya. Sedang aku hanya bisa mematung. Inginku menjerit sekeras-kerasnya. Sungguh aku tak sanggup, tak rela, tak ikhlas. Hati ini tak mampu menerima.
     Ini bukan kenyataan. Aku hanya sedang bermimpi. Mimpi yang sangat buruk. Iya hanya mimpi. Aku harus bangun .... Bangun! Bangun, Dea! Bangun, Dea! Cepat bangun!! Kutampari mukaku sekeras-kerasnya. Budhe kewalahan menahan tubuhku. Jeritku tak bisa ku tahan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Beberapa orang terpaksa harus membantu. Kenapa cepat sekali? Haruskah sekarang ibu pergi? Apakah tidak bisa diulangi?? Aku saja yang pergi. Aku mau menggantikan ibu. Siapapun tolong cepat bangunkan aku. Aku tak mampu bermimpi lagi. Tolonglah ....
     Tubuhku menjadi lemas, seolah tulangku telah lepas semua. Kuraih bibir pembaringan. Kupeluk tubuh ibu. Terus kupeluk. Aku tak mau melepas ibu. Aku masih ingin bersama ibu. Teringat kata-kata ibu yang terakhir.  Beliau ingin aku menikah. Ah .... maafkan aku ibu .... aku tidak bisa menuruti permintaanmu yang terakhir, bu. Aku menyesal. Andai bisa diulang lagi pasti aku akan menurut ibu. Akan kulakukan apapun keinginan ibu. Semuanya, ibu.
     ............
     Kuambil kain putih kututup muka ibu
     Lalu ku menangis disampingnya
     Ya Robb Ya Tuhanku ampuni dosa ibu
     ...............
     Ketika lagu itu dinyanyikan aku sempat membayangkan jika hal itu terjadi padaku. Dan sekarang .... ah, aku sangat berharap semua ini hanyalah mimpi. Namun kejadian ini ada di depan mataku. Harapanku ini hanyalah yang mimpi. Kutangisi semua itu. Tubuh ibu tak hangat lagi. Aku sangat merindukannya. Ah, ibuku sayang ....
     Ada suara derap langkah yang mendekat. Tak kuhiraukan. Tiba-tiba bahuku disentuh oleh seseorang.
     “Dea .... sudah ya .... jangan ditangsi lagi .... biarlah ibumu tenang...”
     Kubuka mataku. Suara ini sangat tidak asing. Suara yang terdengar sangat lembut. Aku menoleh, Bunyai .... ??
     Bunyai tersenyum lalu meraihku dari tubuh ibu. Aku terbawa saja. Beliau memelukku dengan halus. Kurasakan lagi pelukan yang amat hangat seperti pelukan ibu. Aku rindu sosok ibu. Ibu yang selalu memelukku saat aku sedih sedari kecilku. Aku semakin terisak di dalam pelukan Bunyai.
     “Dea .... kamu masih ingat kan, nak ketka ngaji Abah. Bukankah sudah dijelaskan jika Izrail sudah mengambil ruh seseorang maka kita tidak boleh menangis. Kasihan ....”
     Aku ingat itu bunyai, sangat ingat. Tapi tetap saja terasa sangat berat. Aku tidak bisa menahan air mataku. Di depan pintu ku lihat teman-temanku datang. Juga mbak-mbak pengurus. Mereka berusaha tersenyum saat melihat aku yang sedang terisak dalam tangis.
     ..................................
     Jenazah ibu akhirnya diberangkatkan. Ada 4 orang yang mengangkat keranda ibu. Salah satunya ayah. Beliau terlihat tegar. Di samping ada yang membawakan payung tinggi. Rombongan itu perlahan menjauh sambil terus mengumandangkan tahlil. Aku melihatnya dari pintu. Rasanya hatiku teriris. Inginku memberontak. Tapi kepada siapa? Ini semua sudah kehendak-NYA. Ingin sekali aku ikut mengantarkan ibu sampai peristirahatannya. Kulangkahkan kaki namun mbak Hani langsung menyegahku.
     “Nggak usah, De, di rumah aja”  Mbak Hani tak mengijinkanku.
“Tapi mbak .... Dea ....” Aku menatap mbak Hani dengan wajah mengiba. Sungguh aku sangat ingin ikut. Agak lama kami saling berpandangan.
“Ya udah mak bolehin .... tapi hapus dulu air matamu itu dan tersenyumlah untuk ibu ya”
Aku menurut. Segera kulangkahkan kakiku. Namun tiba-tiba kepalaku terasa pening. Aku masih terus berjalan. Tubuhku sempoyongan. Pandanganku semakin gelap dan gelap.
...................
“De .... Dea .... bangun.  Udah gerimis tuh, kamu punya jemuran nggak??” Salsa membangunkanku.
Kubuka mataku perlahan. Kepalaku masih pusing.
“ Kamu punya jemuran nggak?” Tanya Salsa lagi.
Aku menggeleng. Agak lama aku terdiam. Aku sudah dipondok lagi? Ku amati sekeliling. Bingung. Lagi-lagi terbawa mimpi. Sekali lagi.
Aku pengen pulang. Aku kngen ibu. Kenapa cepat sekali ibu meninggalkanku. Ah. Aku menangis lagi. Air mataku jatuh lagi. Inginku tidur  saja namun aku takut mimpi itu akan datang kembali. Pelan aku berjalan ke kamar mandi sambil memegangi kepala. Tetesan air wudlu jatuh bersamaan dengan air mataku. Ya Robb .... mengapa air wudlu ini belum bisa membuatku tenang?


Aku berjalan kembali dengan melewati beberapa kamar lain karena kamarku memang berada paling ujung. Banyak teman yang melihat ke arahku. Aku bisa mengerti raut wajah mereka. Semua sedang berfikir ‘aku sekarang adalah anak piatu’ . Tiba-tiba aku merasa jengkel sendiri. Apa lagi saat masuk ke kamar, terlihat semuanya sedang bercanda dan tertawa. Tak ada yang peduli dengan kesedihanku?? Aku segera keluar lagi. Sangat kecewa rasanya. Aku ingin marah. Tapi kepada siapa? Teman-teman?
Aku masuk ke ruangan  diniyah yang paling ujung untuk mencari ketenangan. Kududukkan tubuhku disudut. Kupeluk erat kedua kakiku. Kutenggelamkan kepalaku. Entah sudah beberapa kali aku menyeka air mata ini. Tak terhitung lagi. Bayangan wajah ibu masih terlihat begitu jelas. Aku ingin menjerit lagi. Aku merasa sendirian. Di sini tidak ada yang mau memelukku.

Ya Robb... ampunilah dosaku karena masih belum bisa menerima kenyataan ini. Aku ingat-ingat kembali mulai Pakdhe menjemputku hingga jenazah ibu diberangkatkan. Ah... ini malah membuatku terisak. Sesak sekali rasanya. Kubaca istighfar berkali-kali. Ingin sekali bisa ikhlas menerimanya meski aku masih saja berharap semua ini hanyalah mimpi.

Comments