Oleh: Iin
“Mustahiq dan murid-muridnya”
Pak Sahal masuk kelas dengan menenteng kitab
Kifayatul akhyar birunya. Segera Ulya dan kawan-kawannya ambil posisi tapal
kuda dengan semanis mungkin. Salam pembuka terucap dengan balasan seperti
biasa. Selanjutnya pak Sahal memulai kelas malam itu dengan satu pertanyaan:
“Piye persiapane?”
Ulya menoleh ke Afi, Afi menoleh ke Nafi’,
nafi’ menoleh ke Rini, Rini menoleh ke Latul, Latul menoleh ke Laili, laili
menoleh ke Niswatin, Niswatin menoleh ke Ririn, Ririn menoleh ke Nafis, Nafis
menoleh ke Ana, Ana menoleh ke Lilik, Lilik menoleh ke Ifa, Ifa menoleh ke
Sriyatun, Sriyatun menoleh ke Ika, Ika menoleh ke Diyah, dan Diyah menoleh ke
Izza, dan saat Izza menoleh yang ia lihat malah pak Sahal.
“Lhooohh? Pak?!”
“Lhoh piye to Za??”
Semuanya tertawa. Pak Sahal hanya geleng-geleng
kepala sambil bergumam pelan menyanyikan lagu ‘Geleng vs Ngangguk’-nya Project
Pop. Pak Sahal menyapu seluruh ruang dengan pandangannya.
“Hmm ... jadi belum ada persiapan apapun ki?”
“Sampun paak ...” Ulya angkat bicara, lalu ia
menoleh ke yang lain “Namun gih dereeeng ... ... Dereeeng ... Dus pundi ya??”
Pak Sahal menunggu lanjutan kalimat Ulya sambil
garuk-garuk kepala. Maklum slebor e anyar tapi belum juga ada muridnya yang
koment.
“Kami belum sepakat dengan jawabannya pak!”
Niswatin menjawab tegas.
“Memange jawabannya apa saja?”
“Geeh ada yang menjawab sah, ada yang tidak sah
dan ada juga yang golput pak”
“Looh ... iki soale mbahas masalah ubudiyah to
pemilu leh?”
“Maksude durung gadah jawaban pak ...”
“Isek mikir-mikir pak” Nafis berinisiatif menyambung.
Pak Sahal memperbaiki posisi lungguhnya dari
awalnya bergaya Biksu Tong Sam Chong menjadi seperti Amithab Bachan saat duduk
di kursi roda dalam film Wazir. Dimintanya selembar asilah dari Ulya lalu
membacanya ulang sebentar.
“Ya sudah ... kok aku pengen ruh siapa saja
yang punya jawaban? Coba kakak ketua ...”
Ana menoleh kanan kiri celingukan sambil
jentat-jentit.
“Kamu ... Iyaa kamuuu”
Ana masih juga belum menjawab. Yang lain mulai
ada yang gusar dengan sikapnya itu.
“Na ... ayo diwacakne ... kertas seng mau
lo...” Afi mendelik.
“Ki lo Na” Nafis menunjuk beberapa baris dari
selembar kertas yang sedari tadi sebenarnya sudah di pandengi Ika.
“Yo wes yo wes” pak Sahal menengahi “Lhe’e ndi
tak wocone dewe” .
Ana memberikan kertasnya pada Lilik, Lilik pada
Ifa, Ifa pada Sriyatun, ada Ika di sana, di terima saja oleh Diyah, Diyah pada
Izza, izza langsung kedepan, berbahaya, berbahaya, daaaaan ..
“Niki pak ...”
“Eh?! Ya ....” Diterimanya kertas itu lalu
membacanya pelan. Mengangguk-ngangguk. Berpikir sebentar dan kembali
mengalihkan pandangannya kepada para murid yang sudah sangat menunggu keputusan
darinya seperti bapak yang dengan sungguh-sungguh mengikuti acara hingga
rampung sebab sangat ingin menyaksikan keputusan hakim atas kasus Jessica yang
meracuni Mirna dengan kopi bercampur sianida namun masih saja belum menemukan
titik temu.
“Siip”
“Siipp???? Cuma gitu??” /Iin.
PP. ADNAN AL CHARISH NGUMPAKDALEM DANDER BOJONEGORO
Comments