Bayangan Semu


Karya: mey current

Tap Tap Tap
Aku berjalan menelusuri ruang-ruang yang ada di sepanjang asrama. Tiba-tiba langkahku terhenti oleh suara suara isak tangis tertahan yang berasal dari salah satu sudut ruang. Ku dekati hati-hati sumber suara itu.


Kreeeek ... suara derit pintu tua yang terbuka olehku. Mataku menelusuri seluruh ruang dan menemukan kakak perempuanku sedang menangis, saat ini dialah yang menjadi titik fokusku.

Ia sedang duduk dengan menundukkan kepalanya sambil berusaha menahan suara tangis agar tak ada orang yang mendengar. Segera ia hentikan tangisnya waktu melihatku sudah berdiri di depannya. Sekali ia berdiri dan melihatku sejenak untuk kemudian segera pergi keluar. Akupun hanya bisa terpaku dengan sikapnya barusan. Mengapa teteh menangis? Apa yang terjadi?

..............................

Kriiing Kring Kring ,,,
Bel jamaah shalat maghrib telah berbunyi. Aku segera bergegas mengambil air wudhu dan menuju mushola untuk ikut berjamaah. Saat telah usai dan kembali ke kamar, langkahku terhenti demi melihat kakak sedang berdoa sambil menangis. Aku kembali termenung, mengapa akhir-akhir ini dia selalu menangis dan menghindariku?

...............................

Kegiatan mengaji baru saja usai. Kusempatkan untuk berbincang-bincang dengan teman dan saling bertukar cerita tentang apa saja sambil bersenda gurau. Sebab isya’ tinggal sebentar lagi, aku turun untuk mengambil wudhu lagi. Saat melewati tangga, ku lihat kakak berbincang dengan temannya. Sepertinya percakapan itu begitu serius karena beberapa kali temannya itu mengerutkan keningnya dan kakak meneteskan air matanya. Aku terus memperhatikan mereka tanpa mendekat. Beberapa saat kemudian keduanya berjalan ke arahku lalu berhenti tepat di hadapanku. Aku diam menunggu.

“Dik ....” Kakakku membuka percakapan dengan nada yang begitu lembut “Misalkan kamu ke rumah. Siapa orang pertama yang akan kamu cari?”

“Aa’ ... Huda” Jawabku terheran.

“Kenapa?”

“Karena adik mau bilang terimakasih udah belikan adik banyak barang-barang dan adik suka semuanya ...”

“O ... aya kitu nya?”

“Iya teh. Kunaon kok tanya kitu?”

“Hm ,,, ndak papa kok dik”

Bel dua kali berbunyi pertanda jamaah isya’ akan segera dimulai. Akupun meninggalkan kakakku.

.............................................

Keesokan harinya tepat pukul 05:30 kembali aku melihat kakakku menangis tanpa suara. Aku semakin merasa keheranan hingga semakin banyak pertanyaan yang kusimpan dalam diriku. Sampai akhirnya kuberanikan untuk bertanya padanya tentang semua dari pada nanti pikiranku semakin kelayapan kemana-mana.

“Teh ... kenapa ... kok akhir-akhir ini teteh sering menangis? Apa ada masalah? Teteh bisa cerita sama adik” Tanyaku berhati-hati. Namun ia hanya menjawab dengan menggelengkan kepalanya. Aku hanya bisa menanggapinya dengan diam.  5 menit berlalu dan aku masih bersamanya dalam diam. Berhati-hati sekali ku coba untuk bertanya kembali,

“Teh ... Pasti teteh punya masalahk kan?”
Aku memecah keheningan.

“Hm .... Nte naon-naon dik. Cu-Cuma ... uang. Uang teteh hilang 200 ribu” Akhirnya ia berkenan menjawab meski dengan terbata-bata. Mengapa?

“Ooh ... masalah itukah yang teteh tangisi?”

“I ... iya dik ...”

“Kalau Cuma itu, ya sudah coba diikhlaskan saja teh. Mungkin saja itu bukan rezeki teteh. Adik aja kemarin 300 ribu hilang secara bertahap dan adik nyoba ikhlasin. Lagian toh sebentar lagi liburan akan datang ...”

Ia tak merespon lagi. Hanya menatapku sejenak kemudian kembali meluruskan pandangannya.

.....................................................



Sore itu aku ingin mengambil baju yang sudah kering di jemuran. Kulihat beberapa teman berkumpul di sudut. Nampak mereka sedang berbincang dengan amat serius. Sesekali satu orang di antara mereka mengangkat tangannya menirukan gaya yang sedang ia ceritakan. Akupun mengabaikan mereka dan melakukan hajatku semula. Selang beberapa menit mereka beralih menatapku dengan tatapan mata memelas. Tentu saja aku menjadi sedikit bingung melihat tingkah mereka yang tiba-tiba itu.

“Ada apa?” Tanyaku.

“Hmm ... kamu yang tabah ya..” Jawab salah satu dari mereka dan kemudian ia menutup mulutnya cepat-cepat.

Aku terheran “Maksudnya??”

“Ah .... gak papa kok. Abaikan saja dia” Yang menjawab malah lainnya lagi “Dia salah bicara kok.

Akupun meninggalkan mereka sambil semakin terheran.

......................................................

Hari ini adalah hari pertama liburanku. Hari yang sudah sangat kutunggu-tunggu. Bergegas kurapikan baju dan barang-barang yang nanti akan ku bawa.

Aku rindu rumahku, aku rindu orang tuaku dan akupun rindu Aa’ Huda.

“Dik” Kakak memanggilku dari depan pintu kamar.

“Dalem, Teh?”

“Ayuk ikut teteh jemput Bunda di masjid. Bunda sudah datang”

“Baik teh, tunggu sebentar”

“Iya dik. Teteh tunggu di depan ya” Sambil melangkah pergi.

“Iya teh”

Setiba di masjsid aku dan kakakku menunggu bunda di serambi. Pagi ini langit masih terlihat agak gelap. Jalananpun belum terlalu ramai. Suasana masih sangat sepi. Beberapa kali aku menoleh kanan kiri mencari bunda. Ketika ku lihat di sudut jalan ada orang tua separuh baya berjalan sendiri dengan membawa tasnya. Terus kupandangi hingga sampai dekat dan yakin bahwa yang berjalan itu adalah bunda.

“Teh, bukannya itu bunda ya?” Tanyaku.

Dan tanpa menjawab pertanyaanku kakak langsung berlari kearah bunda dengan air mata yang deras turun dari matanya.

“Mengapa malah seperti ini??” Gumamku kebingungan dengan kerutan kening. Bergegas aku mendekat ke arah mereka berdua yang masih sedang berangkulan.

“Yang sabar ya nak...”Bunda berucap pelan sembari menarikku masuk kedalam pelukannya.

“Ada apa????”

Namun mereka hanya terus menangis tanpa mau menjawab pertanyaanku, dan akupun ikut menangis pula demi melihat mereka meski tanpa tahu apa yang sedang kami tangisi bersama.

............................................................

Hingga beberapa waktu tangisan kami terus berlanjut,

“Kamu yang kuat ya dik ...” Kakak akhirnya bisa menyudahi tangisnya.

“Sebenarnya ada apa ini Bun? Teh??” Tanyaku kembali. Namun tidak ada yang menjawab. Keduanya terdiam saling memandang seolah ingin yang lain saja yang menjawab pertanyaanku. Itu membuatku tak bisa menyudahi tangisku sendiri.

“Aa’ kamu dik ...” Bunda berucap hati-hati.

“Iya kenapa Bun? Ada apa? Tolong cepat katakan ...”

“Aa’ .... huda .... Dik ...”

“Ada apa kak??” Lelah ku mengajukan pertanyaan yang berulang-ulang.

“Dia ... sudah tiada ...” Kakak ingin menangis lagi namun ia tahan sebisanya.

“Apamaksudnya bun teh? Ayo dong jawab?? Ada apa?”

“Aa’ Huda ... meninggal 10 hari yang lalu dik ...”

Terhenti bernafas

“... Karena kecelakaan tepat jam 1:30”
Semakin gelap

“... Aa’ meninggal di tempat”
Semua pasrah. Tubuhku terasa mulai melemas.

Sesekali kakak mengatur nafas untuk kembali meneruskan kalimatnya namun gagal juga. Sedang aku semakin lemas dan lemas seolah-olah oksigen yang sama berlomba masuk ke tubuhku ku tolak semua. Aku terduduk. Seperti mimpi yang amat pedih. Ada rasa kuat untuk menolaknya. Butuh banyak waktu untukku bisa menerima kenyataan hingga terbaca juga dalam hati; Apa daya bila sudah begini? Semua sudah kehendak yang maha pencipta. Namun, masih juga ada tidak kerelaan, mengapa dengan cara begini?

“Kenapa teteh gak bilang kalau kakak menangis sebab hal ini? Kenapa bohong ke adik?” Ingin sekali aku marah padanya, pada semua orang.

“Semua itu kakak lakuin karena teteh gak mau ini mengganggu ngaji kamu dik. Dan sebenarnya teteh meminta semua anak di pondok diam dan jangan sampai mengatakan ini ... sebab entah bagaimanapun akhirnya kita hanya akan bisa pulang 10 hari lagi ... Lebih baik adik belum mengerti saja ....”

“Jadi semua orang tahu???”

“Iya dik ...”

“Dan hanya aku, malah aku yang tidak?? Mengapa mereka malah boleh tahu sedang aku sendiri justru tidak?? Mengapa??”

Aku marah. Sangat-sangat marah. Rasaku semakin tidak karuan. Tangisku menjadi-jadi. Di situlah aku menyadari bahwa hari-hari yang lalu temanku menjauh dariku dan bersikap diam kepadaku adalah karena hal ini. Hingga beberapa saat selanjutnya Teteh dan Bunda tidak ada yang bisa menghentikanku menangis sampi kemudian semua menjadi gelap.

...............................................................

Aku terbangun. Sudah ada di kamar pondok lagi. Ku ingat-ingat kembali apa yang sudah dikatakan kakak dan bunda. Semua hal yang kemudian akan kuingat nantinya dan kukira akan selalu berhasil membuatku menangis lagi.

“Dik ...”

Aku menoleh. Kakak dan bunda duduk di sampingku. Juga teman-teman sekamar yang lain.

“Ayo sowan pulang ...” Ajak bunda.

Aku hanya mencoba bangun dengan dibantu kakak dan mengikuti bunda dengan teteap terdiam sepanjang langkah. Setiap suara tapak kaki adalah rekaman memoriku pada Aa’ Huda. Satu nama yang saat ini sangat-sangat ingin ku eja sebanyak-banyaknya.

.............................................................

Setelah beberapa jam yang cukup lama akhirnya sampai juga di kota ku. Kota kelahiran kami. Beberapa menit selanjutnya aku telah berdiri di depan gerbang rumahku.

Ku terhenti dan terdiam kembali sedang kakak dan bunda sudah masuk 10 menit yang lalu. Terus kupandangi sudut-sudut rumah dan mencoba mengingat apa saja yang telah aku lakukan bersama alm. Aa’ Huda. Semua tawa, senyum, kejahilan, kebersamaan, keseruan, cinta, kasih sayang, perhatian, kejengkelan, hadiah-hadiah, kenangan, marah, lucu, semua dan semua. Ya ... Saat ini ia benar-benar telah tiada.

Lama aku masih memandang setiap sudut dari tempatku berdiri. Dan tiba-tiba aku melihat Aa’ Huda berdiri lurus di depanku. Aa’?? Aku terhentak kaget. Berkali-kali kuusap mataku untuk menyatakan kalau aku memang benar-benar sedang melihat Aa’ Huda. Namun, seketika itu juga aku tak melihatnya lagi. Bayangan itu telah hilang bersama waktu. Akupun faham bahwa itu hanya bayangan semua saja. Yang ku lihat adalah Aa’ Huda yang masih tersimpan jelas dalam memoriku.

Salam cinta untukmu Aa’. Tersenyumlah untuk kami selalu dan kamipun akan tersenyum untukmu pada setiap huruf hijaiyah yang kami rangkai dalam doa.
TAMAT.


‘Semua yang kita miliki adalah bersifat sementara. Jadi kita harus menerimanya ketika sang Kholik mengambil miliknya’

Comments