Chumayro (bag. 1)


“Antara Cinta Dan Cita”
Oleh: Princess_Anisa

Langit biru menyapa dengan iringan pelangi terindah yang pernah kulihat. Anginpun turut serta datang dengan hembusan sejuknya membelai lembut menepis kelelahan perlahan. Sungguh ciptaan Allah sang Kholiq yang tiada bandingannya. Rasanya enggan meninggalkan walau sejenak.  Nampak Chumairo, gadis manis yang menginjak dewasa duduk sendirian di depan gedung diniyah al Musthofa sore itu. Dalam diamnya dia berusaha menghilangkan kepenatan yang hampir memenuhi batok kepala. Segudang masalah tersimpan tak karuan. Dengan bertafakkur akan keagungan sang Kholiq itu  dirasakannya kepenatan itu perlahan mereda.
Sayup-sayup terdengar suara seseorang memanggil-manggil namanya.  Namun gadis berjilbab merah itu enggan merespon. Lama-lama suara itu makin jelas, kemudian menghilang.
“Chumairo`!!! kamu nggak dengar nama kamu dipanggil-panggil orang?!” Suara orang yang mendadak tak lekas membuat Chumayro kaget.
“Yach… denger kok!” Jawab gadis itu enteng. Padahal Siecha gadis cantik berparas ala modern telah berdiri tepat di depannya menahan emosi.
“Terus… kenapa diam?! 20 menit yang lalu ibu Nyai menimbali[1] kamu!”
Chumayro yang sedari tadi hanya diam demi mendengar nama Bunyai disebutia langsung berdiri “Beneran, Cha?! Ada apa, ya… gawat nich!” Teringat kemarin dia bercanda ria dengan Neng Elieha yang berumur 2 tahun, putri ibu Nyai yang kedua. Apakah telah terjadi sesuatu pada sikecil?!
“Heh! Malah nglamun?! Lebih gawat lagi kalau kamu nggak cepat-cepat sowan ke ndalem…”  Siecha membuyarkan lamunan May.
“Iya ya Cha… Doain aku ya semoga saja nggak ada apa-apa… Jujur aku                                            takut… Ini pertama kalinya Bunyai nimbali aku… Deg-degan…!” Sejenak May duduk… Memejamkan mata… Sejurus kemudian bibirnya sudah komat-kamit membaca sesuatu. Melihat temannya kebingungan justru Siecha menjahilinya.
“Chumairo`… jangan-jangan kamu akan dijadikan mantu ibu Nyai?! Kamu, kan alim banget… Nggak pernah pacaran, beda dari yang lain… Lagi pula, putra ibu Nyai yang di pondok ganteng banget…he he ”
“Hah? menantunya?! Tega-teganya kamu, Cha! Teman bingung kayak gini malah dibercandain… Nggak lucu! Tambah puyeng nih kepalaku!”
…………………………………..
“Assalamualaikum…” Salam Chumayro dengan nada pelan. Ia ambil nafas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Dia merasa seperti mau dihisab saja. Tak lama pintu kamarpun terbuka. Nampak sosok bijak berparas anggun namun terlihat sederhana. Tapi tetap istimewa.
“Alhamdulillah…” Sejenak Bunyai memperhatikan wajah Chumairo yang tegang. “Kamu sudah keluar dari tempat persembunyianmu Chumairo! Seisi pondok mencarimu. Siapa yang menemukanmu?” Untuk mengusir ketegangan Bunyai sengaja menggoda santri putrinya yang masih menunduk itu. Beliau tersenyum ramah.
“Siecha, Bu`…” Jawab Chumairo pelan. Kemudian Bunyai duduk didepan May, menghembuskan nafas lega. Suasana menjadi lebih tenang.
“Begini May, 15 menit lagi ibu hendak tindakan ke Surabaya . Acara nikahan tiga hari. Berhubung Fathimah yang biasa menjaga si kecil Elieha pulang Ibu harap kamu bersedia menjaga Elieha selama diSurabaya nanti. Akhir-akhir ini kamu tidak akan disambang[2] keluargamu, kan?”
May terdiam. Terjawab sudah rasa penasaran dan berganti kebingungan. Bagaimana tidak? Mau jawab tidak mau… Santri nomor berapa yang berani menolak utusan Bunyai’nya? Mau jawab iya…  jujur May belum siap! Bagaimana nich? Terlalu Lama diam, akhirnya Bunyai menyambung dawuhnya.
“Ya sudah… Sekarang kamu lekas siap-siap. Bawalah baju ganti untuk 3 hari. Kalau bajunya Elieha sudah disiapkan Nisa. Paham, May?” May yang diam dalam kebingungannya akhirnya menjawab…
Njih, Bu`…” Gadis itu mengangguk.
“Nggak usah takut Chumairo… biasa saja” Ibu Nyai kembali masuk kekamarnya sambil tersenyum. Sedang May segera beranjak kembali menuju kamarnya.
“Kacau… kacau… kacau…” Sibuk dengan pikirannya, tak sadar dia menabrak sesosok gadis cantik putih tinggi langsi yang biasa dijuluki Miss-nya pondok putri… “BRUAK!!!” Tubuh May jatuh kelantai sedang Isika tetap berdiri disanpingnya.
“Isika… maaf aku nggak sengaja” Isika membalas dengan sekecap senyuman dan berlalu seperti tidak punya dosa.
“Ih… dach bagus aku minta maaf! Sok jual mahal!” Tabrakan tak sengaja membuat dongkol hati Chumayro. Di depan pintu terlihat Sieha melambai-lambaikan tangannya.
“May…sini May!”
Tak sabar dengan penantiannya, Siecha langsung menghampiri May dan merangkul bahu  sahabatnya itu menuju ke kamar. “May… gimana?” Sieha menatap penasaran.
“Gimana, apanya? Tau ah!” Chumayro tidak terlalu memperdulikan Sieha. Dia sedang sibuk mengobrak-abrik isi lemarinya. Memilih baju ganti untuk 3 hari sesuai perintah Bunyai.
“May… kamu baik-baik saja, kan?!” Siecha bingung melihat tingkah sahabatnya yang tiba-tiba berubah menjadi aneh itu. Namun Chumairo tetap diam “May… kamu nggak lagi kesurupan, kan?”
May yang sedari tadi diam, langsung melotot melihat Siecha.“Hah?! Maksud loch?!”
“Ya… habisnya nggak ada angin nggak ada hujan…”
“Sst… diam!” Chumayro langsung memotong. Lalu keduanya terdiam. Siecha semakin merasa aneh.
“Cha… kamu tahu kan kemarin aku dan neng Eliha bercanda? Mungkin Bunyai berpikir kalau neng Eliha suka dan cocok sama aku. Terus…” May tidak meneruskan ceritanya.
“Terus bagaimana?” Siecha menggoyang-goyangkan bahu Chumairo lantaran tak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
”Iya … iya! Lepasin dong! Terus Bunyai mengajak aku tindakan keSurabaya. Acara nikahan 3 hari. Aduh… Mbak Fathimah sih nggak balik-balik…” Chumayro kembali mengubrak-abrik lemarinya bingung menyerasikan antara baju, kerudung dan sarung.
“Wach… nggak nyangka aku, May… Baru sekali kamu main sama neng Elieha langsung diajak tindak! Em… Keren!”
May bergerak cepat sedang Siecha di sampingnya dikaein alis korban cuek. Tidak tahan dikaein, Siecha melanjutkan omongannya.“May… bagaimana, yach… kalau tindakannya ngajak… em… siapa yach… itu, tu…” Siecha mencoba memancing prhatian Chumayro. Ternyata benar! May yang tadinya lari sana lari sini langsung berhenti dan memandang Siecha.
“Heh!Lagi mikir apa kamu, Cha?” Tanya Chumayro penasaran.
“Halah… berlagak nggak faham kamu, May…”
 Semakin tajam May memandang Siecha yang cengar-cengir.
“Em… bagaimana yach kalau kamu satu mobil dengan ustadz yang selama ini kamu puji-puji…”
May cepat-cepat berjalan mendekati Siecha yang duduk dengan santainya.“Maksudmu ustadz…”
Kedua gadis remaja menginjak dewasa itu saling bertatapan dan… menjerit bersamaan…
“A… a… a…”
…………………………………..
Hembusan angin lembut tak mampu menyejukkan. Detakan jam dinding yang biasa lambat mendadak terasa cepat. Semua sudah siap, namun seorang gadis manis berkerudung cokelat nampak tertunduk di pojok kamar. Siecha sedari tadi setia duduk di sampingnya dengan tetap cengar-cengir melihat sahabatnya yang sedang dilema itu.
“Santai saja, May! Nggak usah terlalu difikirkan. Lagi pula cuma 3 hari, nggak 10 hari. Nanti kalau kamu kangen aku, kirim fatichah saja… biar hilang rasa kangennya! Hehe…”Siecha mencoba menggoda Chumayro yang sedari tadi terus diam. Namun gadis itu hanya membalas dengan sekejap senyuman lalu kembali terdiam. Biasanya Chumayro paling tidak tahan kalau digoda Siecha. Ya… mau bagaimana lagi? Akhirnya Siechapun ikut terdiam. Tak lama kemudian terdengar suara uluk salam dari arah pintu.
“Assalamualaikum…”
Seorang gadis masuk dengan senyum tersungging manis  di bibirnya, membuyarkan keheningan antara Chumayro dan Siecha.
“Walaikumsalam… Mbak Nisa?!” Keduanya berpandangan heran. Tak tahan karena penasaran, Siechapun segera bertanya.“Lho? Mbak Nisa ikut tindakan?”
Nampak Nisa berpakaian cantik dan rapi sambil menyangking tas sedang “Iya dek Siecha. Mbak ikut tindakan. Tuch… nemenin dek May. Jadi kalau sudah siap, yuk berangkat. Sudah ditunggu Ibu Abah!”
Mendengar penuturan gadis berparas anggun itu, May menjadi senang dan bisa menghembuskan nafas lega.“Syukurlah, mbak. May pikir May akan sendirian nanti. Cha… jangan iri, loch!” May menggoda Siecha yang ternyata ngefans berat dengan pengurus senior satu ini. Nisa merasa aneh dengan ucapan May tapi dia memilih diam saja dan beranjak mendekati juniornya itu.
“Yuk, dek! Mbak bantuin bawa barangnya…” Nisa bergegas.
“Nggak usah repot-repot, mbak. Seharusnya malah May yang bantuin mbak Nisa. Ya nggak, Cha!” May melirik pada Siecha sambil menyikut tangan kanannya. Siecha hanya diam sambil menahan dongkol hati. Nisa tersenyum melihat tingkah keduanya.
“Dek Siecha… kami pergi dulu, ya. Doakan semoga keselamatanNYA selalu menyertai kami”
“Amien…” Siecha dan Chumayro menjawab bersamaan. Kemudian ketiganya beranjak berpisah.
“Dada yayang Siecha…” May meLambaikan tangan diiringi senyum jahil.
“Hmm… bukan melambai! Tapi uluk salam dan berjabat tangan!” Tegur Nisa.
“Iya, mbak. Maaf…” May menunduk malu. Kemudian ia bergegas menjabat tangan serta uluk salam. Siecha menahan tawa sebagai tanda kemenangannya. Senjata makan tuan. Rasain lu!
Kembali Nisa tersenyum karenanya. Ketiga santri putri itu akhirnya berpisah. Nisa dan Chumayro berjalan menuju depan ndalem. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Chumayro kembali teringat dengan seseorang yang belakangan ini selalu mengganggu pikirannya. Tak tahandengan penasarannya, diapun memberanikan diri untuk bertanya pada Nisa.
“Mbak Nisa. Kira-kira siapa, ya kang-kang yang diajak tindakan Abah?”
Nisa merasa aneh dengan pertanyaan gadis yang berjalan di sampingnya itu. “Emm… siapa, yach? Nanti dek May tahu sendiri. Lagi pula…” Nisa tidak melanjutkan. Bukankah May cuwek dengan cowok?. Sedang di sisi lain Chumayrosadar kalau Nisa menangkap sesuatu yang aneh dari pertanyaannya tadi. Tapi dia mencoba untuk tetap tenang.
“Lagi pula… kang-kangnya pasti sudah duduk di kursi belakang…”
Terlihat Bunyai sedang berdiri di samping mobil menunggu kedatangan Nisa dan Chumayro. Dua santri putri yang menyadari keterlambatannya itupun segera mempercepat langkah kaki mereka. Sesampainya, Bunyai tersenyum ramah memaklumi keterlambatan keduanya.
“Ayo! Masuk duluan!” Bunyai mempersilahkan. Kemudian beliau sendiri duduk di bangku belakang Abah Yai.
Saat masuk mobil, rasa penasaran Chumayro tetap tak mampu memberinya keberanian untuk melihat siapa saja yang duduk di belakang. Namun, sekilas gadis itu bisa dapat melihat ada dua orang yang duduk di belakang. Yang satu berbaju batik. Sedang satunya lagi mengenakan kemejan hijau muda. Hati Chumayro mulai bimbang. Dia mencoba untuk tetap tenang. Nisa memegang tangan kiri juniornya itu sambil tersenyum. Perlahan kebimbangan May’pun mereda.
Chumayro mencoba beralih mengamati sekelilingnya. Terlihat neng Eliecha dengan nyamannya duduk di pangkuan Abah Yai. Bunyai santai dengan tasbihnya. Sedang mbak Nisa diam menikmati pemandangan luar. Tak lama kemudian syair-syair sholawat telah menguasai ruang kabin yang terisi 8 orang itu.
Detik demi detik dan menit demi menitpun berlalu, akhirnya sampai juga. Kang Nubhan memarkir mobil tepat di depan ndalem besar dengan tekstur bangunan kuno.
Neng Eliecha yang tadinya tidur terbangun juga. Bunyai segera menggendongnya keluar.   “Kang, tolong semua barang dibawa masuk!” Kemudian beliau masuk dhalem berdampingan dengan Abah Yai.
Kang Nubhan keluar untuk membuka bagasi yang penuh dengan barang. Disusul seseorang berbaju batik tua mengambil 2 tas besar. Dia kang Ainun, khadam[3] baru yang terkenal cuwek tapi ahli memasak. Walaupun khadam baru, kang Ainun ini mendapat julukan khadam kesayangan Abah Yai. Bagaimana tidak? Dia selalu bisa diandalkan daLam segala hal.
Dan satu lagi seseorang yang berkemejan hijau muda. Dia menyangkul tas ukuran sedang. Berpenampilan rapi, wajahnya menyejukkan dan tutur katanya ramah. Dialah ustadz Nizar yang belakangan ini membayang-bayangi hari seorang gadis cuwek, Chumayro.
Ustadz Nizar tersenyum melihat Nisa dan Chumayro ngantri mengambil barang. Ditengoknya beberapa barang yang belum terbawa. Nisa tersenyum memahaminya.
“Ustadz tidak usah khawatir. Biar Nisa dan May yang bawa sisanya…” Nisa bergegas menuju bagasi, sedang Chumayro terdiam memandang sang ustadz masuk ndalem. Nisa tersenyum melihat seorang gadis yang selama ini dipandangnya cuwek dengan lawan jenis ternyata sedang jatuh hati pada seorang ustadz Nizar.
“Dek May…” Panggilan Nisa membuat gragapan Chumayro.
“Iya, mbak Nisa…” May menunduk malu karena tertangkap basah Nisa.
“Kalau nglamunnya sudahan, tolong bawakan tasnya neng Eliecha, ya…” Nisa menunggu May untuk masuk ndalem bersama.
“Iya, mbak… maafkan, May…”
Nisa hanya menjawabnya dengan senyuman. Kemudian keduanyapun masuk. Dan betapa beruntungnya mereka disambut hangat beberapa Bunyai dari pondok-pondok besar. Nisa mengajak Chumayro kepondok untuk sholat berjamaah. Usai sholat keduanya kembali ke dhalem. Ibu Nyai dengan menggendong neng Eliecha menghampiri keduanya.
“Nisa, sudah makan?”
 Nisa mengangguk menunduk.
“Kalau mau makan, ambil sendiri di dapur seperti biasa. Tidak usah menunggu diperintah”
Nisa dan Chumayro tersenyum bersamaan mendengar dawuh Bunyai.
“Udah makan belum?” Bunyai mengulang pertanyaan beliau.
Sampun[4]. Tadi ada mbak-mbak pondok yang mengambilkan, Bu…”
Bunyai tersenyum lega “Ya sudah. Kalau begitu tolong Eliecha ajak main. Dekat-dekat sini. Jangan jauh-jauh…” Diserahkannya si kecil pada Chumayro.
Dhalem yang begitu megah terasa sempit karena banyaknya orang dan barang. Nisa dan Chumayro memilih keluar. Di depan ada kursi panjang tepat di bawah rindang pohon rambutan dan sorot lampu taman. Ketiganyapun bercanda ria tanpa menyadari kalau ada 2 pasang mata yang terus memperhatikan mereka. Kedua orang itu tak lain adalah kang Nubhan yang satu bulan lagi akan menikah dengan gadis pilihan Abah Yai, dan satunya lagi ustadz Nizar.
“Ustadz, kapan nyusul?” Nubhan memulai sambil menyeruput teh hangatnya.
“Kalau ada calonnya, segera…” Jawab ustadz Nizar santai.
“Seandainya ustadz Nizar menikah, gadis yang bagaimana yang ustadz idamkan?”
Mendengar pertanyaan Nubhan itu, ustadz Nizar terdiam sejenak. Dipandangnya Chumayro yang terlihat konyol bila bercanda dengan neng Eliecha.
“Em… seandainya aku menikah? Aku ingin gadis yang kunikahi adalah gadis yang kucintai. Dia tidak harus cantik ataupun harus anak bangsawan. Dia gadis biasa yang apa adanya. Pandai. Oh, ya! satu lagi. Pastinya dia harus anak pondokan!”
“Chumayro?” Nubhan menjawab.
“Ha?! Chumayro? Kenapa Chumayro?!” Nizar cukup kaget dengan jawaban Nubhan yang begitu mantapnya.
“Halah… ustadz-ustadz. Orang bodoh juga tahu kalau orangnya Chumayro. Dari tadi ustadz bicara panjang lebar sambil menatap Chumayro diiringi senyum penuh cinta…” Nubhan menatap tajam Nizar. Namun Nizar malah tertawa lebar.
“Hahaha… Kang-kang, Ada-ada saja halusinasinya! Ngomong-ngomong pandai juga sampeyan merangkai kata? Oh sebentar lagi kan mau menikah? Makanya pandai merangkai kata cinta…” Keduanya tertawa.
“Ustadz sudah lapar? Kalau sudah, biar saya ambilkan makan di dalam” Ajak Nubhan yang sudah tak canggung-canggung lagi karena sudah sering diajak tindakan. Lagipula cacing di dalam perutnya sudah protes minta makan.
“Ya terserah kang Nubhan saja…!”
Nubhan langsung berjalan menuju dapur. Sedangkan ustadz Nizar sendirian terdiam. Ternyata ustadz muda itu terbayang dengan ucapan Nubhan barusan. Kembali ia memperhatikan Chumayro yang jaraknya tidak begitu jauh. Perlahan matanya terpejam. Dalam hatinya tumbuh pertanyaan,
“Apakah Chumayro gadis manis yang mampu meluluhkan hatinya?”Tak sadar bibirnya tersenyum manis.
Tanpa terasa waktu 3 hari telah berlalu. Tepat pukul 18:30 WIB Ibu Nyai mengutus beres-beres untuk kundur[5]. Beberapa menit kemudian semua sudah siap. Nisa dan Chumayro duduk di depan ndalem menunggu timbalan[6]. Kedua gadis itu terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Nisa mencoba mengingat apa yang masih ketinggalan. Sedang Chumayro mengenang saat-saat bersama dengan masyayech-masyayech alim. Segudang masalah dalam benaknya lenyap saat memandang wajah para Bunyai yang rawuh[7] dari pondok-pondok besar. Tak henti-hentinya May bersyukur akan keagunganNYA. Tak lama Bunyai menghampiri keduanya.
“Nisa, Chumayro… ayo masuk! Tidak ada yang ketinggalan, kan?”
Keduanya tersenyum mengangguk dan langsung masuk mobil. Sepanjang perjalanan Chumayro memilih diam. Dipejamkannya matanya. Terbayang sahabatnya Siecha. Betapa hebohnya gadis itu bila dia menceritakan kisah keberuntungannya selama tindakan 3 hari ini. Tak lama kemudian gadis itu sudah tak sadarkan diri. Ia tertidur di pundak Nisa. Bunyai dan Nisa tersenyum memaklumi Chumayro yang terlihat kecapekan.
Lama Chumayro tertidur. Dia baru terbangun saat merasakan jalan yang tiba-tiba bergelombang. Sepasang mata yang memerah mencoba melihat keluar.
“Sudah sampai pondok?!” Kagetnya dalam hati.
Abah Yai mengawali turun, disusul Bunyai “Syukurlah sudah sampai… ayo semuanya turun”
May merasa malu setengah mati karena telah ketiduran. Seperti biasa semua bekerjasama menurunkan barang dari dalam mobil. Chumayro dengan membawa barang seambrek melangkah menuju ndalem. Mbak Nurul yang biasa nyapu ndalem segera menyambutnya.
“Dik May, capek? Sini mbak bantuin… oh ya, kemarin ibu dik May telepon. Kata beliau besok dik May mau dijemput…” 
“Hah?! Dijemput, mbak?! Kok mendadak? Ada apa ya?”
“Wah… kalau itu mbak tidak tahu, dik…”
Sambil menggaru-garuk kepalanya yang tidak gatal, Chumayro kembali ke pondok untuk beres-beres.
Waktu menunjukkan angka 19:30 WIB. Keriuhan tak nampak memperparah kelelahan Chumayro. Gadis itu justru bersyukur di tengah riuhnya kegiatan takror. Segera ia masuk kamar dan merebahkan diri tepat di depan lemarinya. Kakinya yang tak begitu panjang disodorkan untuk membuka lemari. Kitab, baju dan sarung tertata cantik menyapa wajah lembutnya yang terlihat lelah. Tas sangkul yang masih berisi baju habis tindakan diseretnya untuk mengganjal kepala yang terasa berat. Dua mata lentiknya mulai terpejam pelan. Tak peduli besok dia dijemput. Rasa capek dan kantuk memaksanya untuk beristirahat.
Di sisi lain, Siecha satu-satunya yang mengetahui kedatangan sahabatnya menahan diri untuk tidak izin pulang takror lebih dulu. Em.. rasanya nggak sabar wawancara pribadi dengan Chumayro. Lama dengan penntiannya akhirnya jam takror usai juga. Tanpa basa-basi Siecha langsung menuju kamarnya. Namun ia harusmenerima kecewa karena mendapati sahabatnya itu sudah tertidur pulas. Dia tersenyum kasihan melihat Chumayro yang berbantal tas. Segera ia ganti dengan  bantal lengkap dengan selimutnya.
“Chumayro… Chumayro. Melas banget sih kamu…” Kemudian ditutupnya lemari May yang terbuka lebar. Ninda teman sekelasnya menghampiri.
“Hey Cha! Gimana? Jadi membuat artikel bareng?”
“Jadi donk” Siecha beranjak mengambal bahan untuk membuat artikel di daLam lemarinya.
“Wah… Chumayro sudah datang ta? Habis diajak tindakan Bunyai, kan?” Ninda baru tersadar dengan keberadaan Chumayro.
“He`em. Yuk kita cari tempat yang nyaman…”
………………………………………………….
Merdunya suara pecinta al quran terdengar mengalun lirih. Ayat demi ayat mengalir menyentuh kalbu. Chumayro terbangun karenanya. Ditatapnya jam dinding yang ikut berdzikir mengiringi. 03:00 WIB. Dengan mata terpejam gadis manis yang belum benar-benar terbangun itu merapikan rambut panjangnya. Walaupun rasa malas masih menyelimuti namun ia tetap bergegas beranjak menuju kamar mandi untuk mensucikan diri.
Pagi ini ia izin tidak ikut ngaji di ndalem. Dia buka tas berisi 2 pasang baju yang dia pakai selama tindakankemarin. Siecha menghampiri dengan membawa al Quran.
“Chumayro!!!” Sapanya dengan semangat.
“A…a…a…” Keduanya menjerit bersamaan seolah-olah telah berpisah selama puluhan tahun. Gadis yang masih mengenakan mukena itu segera meletakkan al Qurannya berganti mengambil bantal. BOOKH!! Tiba-tiba dia melempar bantal itu  tepat kearah Chumayro. Tidak mau kalah Chumayro segera mengambilnya dan melemparkannya kembali ke Siecha. Eit… Meleset!
“Ha ha ha… nggak bakat melempar kamu, May!”
“Halah sok tau kamu, Cha… Oh ya. Semalam kamu yang menyelimuti aku kan? Makasih ya… yayang Siecha”
“Iya. Parah kamu May. 3 hari aku menunggumu eh pas ketemu kamu sudah ngorok… Ngomong-ngomong gimana tindakannya?” Siecha sudah tak sabar ingin mendengarkan cerita dari Chumayro.
“Em… mulai dari mana ya?” Chumayro pura-pura berpikir.
“May… cepetan donk. Jangan bikin penasaran”
“Aha! Mungkin dipijit adalah awal yang bagus!” Jawab Chumayro semangat.
“Oky! Nggak masalah. Pasti kamu capek banget ya, May?”
“Lumayan”
Kemudian Chumayro menceritakan tindakan pertamanya dengan senang hati. Siecha heboh karena iri dengan apa yang sudah dialami sahabatnya itu. “Aku yakin Cha suatu saat kamu pasti akan merasakannya juga” Hibur Chumayro.
“Semoga”
“Assalamualaikum” Terdengar suara salam dari arah pintu. Ternyata Lily yang datang. “Mbak May,sampean disambang[8], ditunggu di depan”
“Waalaikumsalam. Iya, makasih ya Liy” Chumayro beranjak dari samping Siecha. “Cha, aku mau sowan pulang. Kamu tunggu di sini nanti aku certain”
“Oky” Kali ini Siecha menurut meski dia merasa ada yang aneh dengan Chumayro. Mengapa mendadak begini? 5 menit kemudian Chumayro sudah kembali ke kamarnya.
“Gimana, May?”
“Apanya yang gimana?”
“Kamu ini… pelupa atau amnesia sich?”
“Oh… kamu ikut kedepan nggak?” Dengan meyangkul tas ukuran sedang Chumayro merapikan kerudung parisnya.
“Aduh May… dari tadi kamu bercerita panjang lebar denganku tapi kenapa nggak bilang kalau kamu mau pulang?” Siecha berdiri di sampingnya.
“Ya aku sendiri bingung. Kenapa mendadak?” Chumayro menggandeng Siecha dan berjalan bersama menuju depan ndalem “Jujur Cha… aku nggak tahu kenapa aku tiba-tiba mau dijemput. Kamu tahu sendiri kan sebelum aku ke Surabaya keluargaku baik-baik saja. Aku curiga ada yang disembunyikan. Tapi apa?” Siecha yang bejalan di sampingnya hanya diam mendengarkan. “Cha… kok malah diam?”
“Maaf lo ya… tapi aku jadi berpikir, jangan-jangan kamu mau dijodohin May?! Biasanya cewek seumuran kita kalau di rumah sudah dinikahkan. Iya nggak?… Tapi May, bagaimana dengan cintamu pada ustadz Nizar?” Kini berganti Chumayro yang terdiam. Tanpa sadar, keduanya dikagetkan dengan keberadaan seorang laki-laki berjaket hitam yang sudah berdiri tepat di depan mereka.
“Chumayro! Kamu di sini… Kakak menunggumu dari tadi”
“Ha?! Kak Ilham? Sudah lama menunggunya, Kak?” May segera bersalaman dan mencium tangan kakak iparnya itu.
“Lumayan… bagaimana? Sudah siap semua?”
Sampun, Kak” May bergegas berpamitan dengan Siecha “Cha… aku mau pulang. Titip salam buat mbak Nisa ya… Kemarin aku nggak sempat minta maaf” Lalu sepasang sahabat itu berpelukan sangat erat seolah itu adalah pertemuan terakhir bagi mereka berdua.
“Assalamualaikum”
Siecha sudah tak mampu berkata apa-apa lagi kecuali hanya menjawab salam sahabatnya itu dengan suara serak menahan tangis. “Waalaikumsalam warohmatullah” Lalu sejurus kemudian Chumayro dan kakak iparnya sudah tak nampak lagi darinya.
Sepanjang perjalanan Chumayro lebih memilih diam karena khawatir mengganggu konsentrasi Ilham menyetir. Pikiran gadis manis itu terus mondar-mandir kesana kemari layaknya kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang menyertainya. Nizar… hatinya resah memikirkan cintanya. Sibuk dengan lamunannya, tanpa Chumayro sadari ternyata dia sudah masuk ke desanya.
“Ayo turun, May” Sudah sampai di depan rumah.
“Kok turun?! … Ha?! Sudah sampai, kak?! Kok cepat?”
Chumayro melangkah menuju rumahnya, sebuah bangunan sederhana berdinding batu bata merah, berlantai tanah dan dengan genting yang sedikit rusak di sana-sini, yang telah menyimpan begitu banyak kenangan bagi gadis bertubuh mungil itu. Kenangannya bersama sang ayah tercinta yang telah pergi 2 tahun yang lalu, juga ibunya dan saudara satu-satunya. Seorang perempuan cantik berjlbab merah muda segera menyambut hangat kedatangan Chumayro. Dialah Shofi, Kakak kandung Chumayro.
“Assalamualaikum… Mbak Shofi…”
“Waalaikumsalam, Dik…” Kedua saudara yang baru bertemu itu berpelukan melepas rindu. Dari dalam terlihat seorang perempuan berkepala empat melangkahkan kakinya untuk mendekat sambil terus menatap haru kedua putri tercintanya itu. Senyum kerinduan nampak menghias wajah yang telahberkeriput termakan usia.
“Ibu?!” Chumayro yang menyadari kehadiran ibundanya segera beralih memeluk orang yang selalu ia khawatirkan itu. “Ibu baik-baik saja, kan?”
“Iya…”
“Terus kenapa adik disuruh pulang? Bikin khawatir saja…”
“Seseorang yang mengharapkanmu dik yang meminta agar kamu dijemput…” Shofi mengajak adiknya masuk dan duduk bersama di kursi panjang.
“Seseorang siapa, Mbak?” perlahan Chumayro mulai mengerti kenapa dia disuruh pulang.
“Dia berkelahiran di seberang pulau Sumatera. Sekarang dia mondok di Gresik. Sebelumnya dia sudah mondok dan menghafalkan al quran di Malang. Sifatnya taat, pendiam, bak hati. Umurnya selisih 4 tahun dengan kamu, Dik. Dan bagaimana dia tahu tentang kamu… 2 minggu yang lalu mas Ilham menelepon teman sepondoknya dulu. Dan kebetulan pemuda itu di sana juga. Setelah lama mengobrol dengan mas Ilham dia minta dicarikan seorang gadis sholichah untuk dijadikan pendamping hidupnya…” Shofi menjelaskan panjang lebar tentang pemuda yang sekarang sedang dijemput suaminya di stasiun.
Chumayro yang biasanya terbuka dengan semua permasalahan kali ini membisu. Ditatapnya sang ibu yang sedari tadi duduk di sisinya. Beliau tersenyum penuh harap. Tak sanggup rasanya menggores kekecewaan pada ibu yang kini menjanda setelah ditinggal sang suami tercinta 2 tahun lalu karena sakit kelainan jantung.
“Apa yang kamu pikirkan, Dik? Mas Ilham kenal dekat dengan dia…” Shofi berusaha membujuk adiknya yang hanya diam saja.
“Hm…” Chumayro hanya membalas dengan senyuman untuk kemudian kembali dalam keterdiamannya. Dadanya terasa sesak menahan perasaan yang tak karuan. Sebesar apapun cintanya pada Nizar takkanmampu mengalahkan cintanya pada sang ibu yang setiap saat selalu ia khawatirkan itu.
“Begini saja, Mbak. Adik sekarang belum bisa menyatakan iya ataupun tidak. Kita lihat saja nanti”
20 menit berlalu. Ilham akhirnya datang kembali bersama seorang pemuda. Tidak terlalu tinggi. Bertubuh sedang, wajahnya pancarkan kealiman dan tutur katanya lembut merendah. Pemuda bernama lengkap M Fatir al Aidy tersebut melantunkan ayat suci al quran karena diminta Ilham. Keelokan suaranya mampu menyentuh hati Chumayro. Senyum Fatir yang menyejukkanpun akhirnya meluluhkan seorang Chumayro yang cuwek. Dalam hitungan menit gadis itupunberkenan membukakan hatinya. Kini tinggalah perjuangannya melupakan ustadz Nizar. Tak terasa air matanya menetes mengiringi tekadnya. “PASTI BISA!” Lagi pula tamatan diniyah tinggal 1 tahun lagi. Semangat Chumayro Semangat.
Tiga hari di rumah terasa hanya sekejap. Kedua keluarga besar setuju dan langsung menyusun rencana lamaran sekaligus acara pernikahan. Namun semua itu tanpa sepengetahuan Chumayro.  Suatu malam yang tenang Chumayro ditemani Shofi duduk santai di depan rumah menikmati terangnya bulan yang bertaburan bintang.
“Mbak, besok adik mau balik” Chumayro memamerkan senyum manisnya pada Shofi.
“Balik… kalau kangen Fatir gimana? Sekalian ibu ikut juga…”
(bersambung)



[1] Memanggil.
[2] Dijenguk.
[3] Sebutan untuk santri putra yang memilih mengabdi di kediaman kyainya. Kalau santri putri disebut khadimah.
[4] Sudah.
[5] Pulang.
[6] Perintah.
[7] Hadir.
[8] Dikunjungi.

Comments