“Antara Cinta Dan Cita”
Oleh: Princess_Anisa
Langit biru menyapa dengan iringan
pelangi terindah yang pernah kulihat. Anginpun turut serta datang dengan
hembusan sejuknya membelai lembut menepis kelelahan perlahan. Sungguh ciptaan
Allah sang Kholiq yang tiada bandingannya. Rasanya enggan meninggalkan walau
sejenak. Nampak Chumairo, gadis manis
yang menginjak dewasa duduk sendirian di depan gedung diniyah al Musthofa sore
itu. Dalam diamnya dia berusaha menghilangkan kepenatan yang hampir memenuhi
batok kepala. Segudang masalah tersimpan tak karuan. Dengan bertafakkur akan
keagungan sang Kholiq itu dirasakannya
kepenatan itu perlahan mereda.
Sayup-sayup terdengar suara
seseorang memanggil-manggil namanya.
Namun gadis berjilbab merah itu enggan merespon. Lama-lama suara itu
makin jelas, kemudian menghilang.
“Chumairo`!!! kamu nggak dengar
nama kamu dipanggil-panggil orang?!” Suara orang yang mendadak tak lekas
membuat Chumayro kaget.
“Yach… denger kok!” Jawab gadis
itu enteng. Padahal Siecha gadis cantik berparas ala modern telah berdiri tepat
di depannya menahan emosi.
Chumayro yang sedari tadi hanya diam
demi mendengar nama Bunyai disebutia langsung berdiri “Beneran, Cha?! Ada apa,
ya… gawat nich!” Teringat kemarin dia bercanda ria dengan Neng Elieha yang
berumur 2 tahun, putri ibu Nyai yang kedua. Apakah telah terjadi sesuatu pada
sikecil?!
“Heh! Malah nglamun?! Lebih gawat
lagi kalau kamu nggak cepat-cepat sowan ke ndalem…” Siecha membuyarkan lamunan May.
“Iya ya Cha… Doain aku ya semoga
saja nggak ada apa-apa… Jujur aku
takut… Ini pertama kalinya Bunyai nimbali aku… Deg-degan…!”
Sejenak May duduk… Memejamkan mata… Sejurus kemudian bibirnya sudah komat-kamit
membaca sesuatu. Melihat temannya kebingungan justru Siecha menjahilinya.
“Chumairo`… jangan-jangan kamu
akan dijadikan mantu ibu Nyai?! Kamu, kan alim banget… Nggak pernah pacaran,
beda dari yang lain… Lagi pula, putra ibu Nyai yang di pondok ganteng banget…he
he ”
“Hah? menantunya?! Tega-teganya
kamu, Cha! Teman bingung kayak gini malah dibercandain… Nggak lucu! Tambah
puyeng nih kepalaku!”
…………………………………..
“Assalamualaikum…” Salam Chumayro
dengan nada pelan. Ia ambil nafas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan. Dia
merasa seperti mau dihisab saja. Tak lama pintu kamarpun terbuka. Nampak sosok
bijak berparas anggun namun terlihat sederhana. Tapi tetap istimewa.
“Alhamdulillah…” Sejenak Bunyai memperhatikan
wajah Chumairo yang tegang. “Kamu sudah keluar dari tempat persembunyianmu
Chumairo! Seisi pondok mencarimu. Siapa yang menemukanmu?” Untuk mengusir
ketegangan Bunyai sengaja menggoda santri putrinya yang masih menunduk itu.
Beliau tersenyum ramah.
“Siecha, Bu`…” Jawab Chumairo
pelan. Kemudian Bunyai duduk didepan May, menghembuskan nafas lega. Suasana
menjadi lebih tenang.
“Begini May, 15 menit lagi ibu
hendak tindakan ke Surabaya . Acara nikahan tiga hari. Berhubung
Fathimah yang biasa menjaga si kecil Elieha pulang Ibu harap kamu bersedia
menjaga Elieha selama diSurabaya nanti. Akhir-akhir ini kamu tidak akan disambang[2]
keluargamu, kan?”
May terdiam. Terjawab sudah rasa
penasaran dan berganti kebingungan. Bagaimana tidak? Mau jawab tidak mau…
Santri nomor berapa yang berani menolak utusan Bunyai’nya? Mau jawab iya… jujur May belum siap! Bagaimana nich? Terlalu
Lama diam, akhirnya Bunyai menyambung dawuhnya.
“Ya sudah… Sekarang kamu lekas
siap-siap. Bawalah baju ganti untuk 3 hari. Kalau bajunya Elieha sudah
disiapkan Nisa. Paham, May?” May yang diam dalam kebingungannya akhirnya
menjawab…
“Njih, Bu`…” Gadis itu
mengangguk.
“Nggak usah takut Chumairo… biasa
saja” Ibu Nyai kembali masuk kekamarnya sambil tersenyum. Sedang May segera beranjak
kembali menuju kamarnya.
“Kacau… kacau… kacau…” Sibuk dengan
pikirannya, tak sadar dia menabrak sesosok gadis cantik putih tinggi langsi
yang biasa dijuluki Miss-nya pondok putri… “BRUAK!!!” Tubuh May jatuh kelantai
sedang Isika tetap berdiri disanpingnya.
“Isika… maaf aku nggak sengaja”
Isika membalas dengan sekecap senyuman dan berlalu seperti tidak punya dosa.
“Ih… dach bagus aku minta maaf!
Sok jual mahal!” Tabrakan tak sengaja membuat dongkol hati Chumayro. Di depan
pintu terlihat Sieha melambai-lambaikan tangannya.
“May…sini May!”
Tak sabar dengan penantiannya,
Siecha langsung menghampiri May dan merangkul bahu sahabatnya itu menuju ke kamar. “May…
gimana?” Sieha menatap penasaran.
“Gimana, apanya? Tau ah!” Chumayro
tidak terlalu memperdulikan Sieha. Dia sedang sibuk mengobrak-abrik isi
lemarinya. Memilih baju ganti untuk 3 hari sesuai perintah Bunyai.
“May… kamu baik-baik saja, kan?!”
Siecha bingung melihat tingkah sahabatnya yang tiba-tiba berubah menjadi aneh
itu. Namun Chumairo tetap diam “May… kamu nggak lagi kesurupan, kan?”
May yang sedari tadi diam,
langsung melotot melihat Siecha.“Hah?! Maksud loch?!”
“Ya… habisnya nggak ada angin
nggak ada hujan…”
“Sst… diam!” Chumayro langsung
memotong. Lalu keduanya terdiam. Siecha semakin merasa aneh.
“Cha… kamu tahu kan kemarin aku
dan neng Eliha bercanda? Mungkin Bunyai berpikir kalau neng Eliha suka dan
cocok sama aku. Terus…” May tidak meneruskan ceritanya.
“Terus bagaimana?” Siecha menggoyang-goyangkan
bahu Chumairo lantaran tak sabar menunggu kelanjutan ceritanya.
”Iya … iya! Lepasin dong! Terus Bunyai
mengajak aku tindakan keSurabaya. Acara nikahan 3 hari. Aduh… Mbak
Fathimah sih nggak balik-balik…” Chumayro kembali mengubrak-abrik lemarinya
bingung menyerasikan antara baju, kerudung dan sarung.
“Wach… nggak nyangka aku, May…
Baru sekali kamu main sama neng Elieha langsung diajak tindak! Em…
Keren!”
May bergerak cepat sedang Siecha
di sampingnya dikaein alis korban cuek. Tidak tahan dikaein, Siecha melanjutkan
omongannya.“May… bagaimana, yach… kalau tindakannya ngajak… em… siapa
yach… itu, tu…” Siecha mencoba memancing prhatian Chumayro. Ternyata benar! May
yang tadinya lari sana lari sini langsung berhenti dan memandang Siecha.
“Heh!Lagi mikir apa kamu, Cha?”
Tanya Chumayro penasaran.
“Halah… berlagak nggak faham kamu,
May…”
Semakin tajam May memandang Siecha yang
cengar-cengir.
“Em… bagaimana yach kalau kamu
satu mobil dengan ustadz yang selama ini kamu puji-puji…”
May cepat-cepat berjalan mendekati
Siecha yang duduk dengan santainya.“Maksudmu ustadz…”
Kedua gadis remaja menginjak
dewasa itu saling bertatapan dan… menjerit bersamaan…
“A… a… a…”
…………………………………..
Hembusan angin lembut tak mampu
menyejukkan. Detakan jam dinding yang biasa lambat mendadak terasa cepat. Semua
sudah siap, namun seorang gadis manis berkerudung cokelat nampak tertunduk di
pojok kamar. Siecha sedari tadi setia duduk di sampingnya dengan tetap
cengar-cengir melihat sahabatnya yang sedang dilema itu.
“Santai saja, May! Nggak usah
terlalu difikirkan. Lagi pula cuma 3 hari, nggak 10 hari. Nanti kalau kamu
kangen aku, kirim fatichah saja… biar hilang rasa kangennya! Hehe…”Siecha
mencoba menggoda Chumayro yang sedari tadi terus diam. Namun gadis itu hanya
membalas dengan sekejap senyuman lalu kembali terdiam. Biasanya Chumayro paling
tidak tahan kalau digoda Siecha. Ya… mau bagaimana lagi? Akhirnya Siechapun
ikut terdiam. Tak lama kemudian terdengar suara uluk salam dari arah pintu.
“Assalamualaikum…”
Seorang gadis masuk dengan senyum
tersungging manis di bibirnya,
membuyarkan keheningan antara Chumayro dan Siecha.
“Walaikumsalam… Mbak Nisa?!”
Keduanya berpandangan heran. Tak tahan karena penasaran, Siechapun segera
bertanya.“Lho? Mbak Nisa ikut tindakan?”
Nampak Nisa berpakaian cantik dan
rapi sambil menyangking tas sedang “Iya dek Siecha. Mbak ikut tindakan.
Tuch… nemenin dek May. Jadi kalau sudah siap, yuk berangkat. Sudah ditunggu Ibu
Abah!”
Mendengar penuturan gadis berparas
anggun itu, May menjadi senang dan bisa menghembuskan nafas lega.“Syukurlah,
mbak. May pikir May akan sendirian nanti. Cha… jangan iri, loch!” May menggoda
Siecha yang ternyata ngefans berat dengan pengurus senior satu ini. Nisa merasa
aneh dengan ucapan May tapi dia memilih diam saja dan beranjak mendekati
juniornya itu.
“Yuk, dek! Mbak bantuin bawa barangnya…”
Nisa bergegas.
“Nggak usah repot-repot, mbak.
Seharusnya malah May yang bantuin mbak Nisa. Ya nggak, Cha!” May melirik pada
Siecha sambil menyikut tangan kanannya. Siecha hanya diam sambil menahan
dongkol hati. Nisa tersenyum melihat tingkah keduanya.
“Dek Siecha… kami pergi dulu, ya.
Doakan semoga keselamatanNYA selalu menyertai kami”
“Amien…” Siecha dan Chumayro
menjawab bersamaan. Kemudian ketiganya beranjak berpisah.
“Dada yayang Siecha…” May
meLambaikan tangan diiringi senyum jahil.
“Hmm… bukan melambai! Tapi uluk
salam dan berjabat tangan!” Tegur Nisa.
“Iya, mbak. Maaf…” May menunduk
malu. Kemudian ia bergegas menjabat tangan serta uluk salam. Siecha menahan
tawa sebagai tanda kemenangannya. Senjata makan tuan. Rasain lu!
Kembali Nisa tersenyum karenanya.
Ketiga santri putri itu akhirnya berpisah. Nisa dan Chumayro berjalan menuju
depan ndalem. Di tengah perjalanan, tiba-tiba Chumayro kembali teringat
dengan seseorang yang belakangan ini selalu mengganggu pikirannya. Tak tahandengan
penasarannya, diapun memberanikan diri untuk bertanya pada Nisa.
“Mbak Nisa. Kira-kira siapa, ya
kang-kang yang diajak tindakan Abah?”
Nisa merasa aneh dengan pertanyaan
gadis yang berjalan di sampingnya itu. “Emm… siapa, yach? Nanti dek May tahu
sendiri. Lagi pula…” Nisa tidak melanjutkan. Bukankah May cuwek dengan cowok?.
Sedang di sisi lain Chumayrosadar kalau Nisa menangkap sesuatu yang aneh dari
pertanyaannya tadi. Tapi dia mencoba untuk tetap tenang.
“Lagi pula… kang-kangnya pasti
sudah duduk di kursi belakang…”
Terlihat Bunyai sedang berdiri di
samping mobil menunggu kedatangan Nisa dan Chumayro. Dua santri putri yang
menyadari keterlambatannya itupun segera mempercepat langkah kaki mereka.
Sesampainya, Bunyai tersenyum ramah memaklumi keterlambatan keduanya.
“Ayo! Masuk duluan!” Bunyai
mempersilahkan. Kemudian beliau sendiri duduk di bangku belakang Abah Yai.
Saat masuk mobil, rasa penasaran
Chumayro tetap tak mampu memberinya keberanian untuk melihat siapa saja yang
duduk di belakang. Namun, sekilas gadis itu bisa dapat melihat ada dua orang
yang duduk di belakang. Yang satu berbaju batik. Sedang satunya lagi mengenakan
kemejan hijau muda. Hati Chumayro mulai bimbang. Dia mencoba untuk tetap tenang.
Nisa memegang tangan kiri juniornya itu sambil tersenyum. Perlahan kebimbangan
May’pun mereda.
Chumayro mencoba beralih mengamati
sekelilingnya. Terlihat neng Eliecha dengan nyamannya duduk di pangkuan Abah
Yai. Bunyai santai dengan tasbihnya. Sedang mbak Nisa diam menikmati
pemandangan luar. Tak lama kemudian syair-syair sholawat telah menguasai ruang
kabin yang terisi 8 orang itu.
Detik demi detik dan menit demi
menitpun berlalu, akhirnya sampai juga. Kang Nubhan memarkir mobil tepat di
depan ndalem besar dengan tekstur bangunan kuno.
Neng Eliecha yang tadinya tidur
terbangun juga. Bunyai segera menggendongnya keluar. “Kang, tolong semua barang dibawa masuk!”
Kemudian beliau masuk dhalem berdampingan dengan Abah Yai.
Kang Nubhan keluar untuk membuka
bagasi yang penuh dengan barang. Disusul seseorang berbaju batik tua mengambil
2 tas besar. Dia kang Ainun, khadam[3]
baru yang terkenal cuwek tapi ahli memasak. Walaupun khadam baru, kang
Ainun ini mendapat julukan khadam kesayangan Abah Yai. Bagaimana tidak?
Dia selalu bisa diandalkan daLam segala hal.
Dan satu lagi seseorang yang
berkemejan hijau muda. Dia menyangkul tas ukuran sedang. Berpenampilan rapi,
wajahnya menyejukkan dan tutur katanya ramah. Dialah ustadz Nizar yang
belakangan ini membayang-bayangi hari seorang gadis cuwek, Chumayro.
Ustadz Nizar tersenyum melihat
Nisa dan Chumayro ngantri mengambil barang. Ditengoknya beberapa barang yang
belum terbawa. Nisa tersenyum memahaminya.
“Ustadz tidak usah khawatir. Biar
Nisa dan May yang bawa sisanya…” Nisa bergegas menuju bagasi, sedang Chumayro
terdiam memandang sang ustadz masuk ndalem. Nisa tersenyum melihat
seorang gadis yang selama ini dipandangnya cuwek dengan lawan jenis ternyata
sedang jatuh hati pada seorang ustadz Nizar.
“Dek May…” Panggilan Nisa membuat
gragapan Chumayro.
“Iya, mbak Nisa…” May menunduk
malu karena tertangkap basah Nisa.
“Kalau nglamunnya sudahan, tolong
bawakan tasnya neng Eliecha, ya…” Nisa menunggu May untuk masuk ndalem
bersama.
“Iya, mbak… maafkan, May…”
Nisa hanya menjawabnya dengan
senyuman. Kemudian keduanyapun masuk. Dan betapa beruntungnya mereka disambut
hangat beberapa Bunyai dari pondok-pondok besar. Nisa mengajak Chumayro
kepondok untuk sholat berjamaah. Usai sholat keduanya kembali ke dhalem.
Ibu Nyai dengan menggendong neng Eliecha menghampiri keduanya.
“Nisa, sudah makan?”
Nisa mengangguk menunduk.
“Kalau mau makan, ambil sendiri di
dapur seperti biasa. Tidak usah menunggu diperintah”
Nisa dan Chumayro tersenyum
bersamaan mendengar dawuh Bunyai.
“Udah makan belum?” Bunyai
mengulang pertanyaan beliau.
Bunyai tersenyum lega “Ya sudah.
Kalau begitu tolong Eliecha ajak main. Dekat-dekat sini. Jangan jauh-jauh…” Diserahkannya
si kecil pada Chumayro.
Dhalem
yang begitu megah terasa sempit karena banyaknya orang dan barang. Nisa dan
Chumayro memilih keluar. Di depan ada kursi panjang tepat di bawah rindang
pohon rambutan dan sorot lampu taman. Ketiganyapun bercanda ria tanpa menyadari
kalau ada 2 pasang mata yang terus memperhatikan mereka. Kedua orang itu tak
lain adalah kang Nubhan yang satu bulan lagi akan menikah dengan gadis pilihan
Abah Yai, dan satunya lagi ustadz Nizar.
“Ustadz, kapan nyusul?” Nubhan
memulai sambil menyeruput teh hangatnya.
“Kalau ada calonnya, segera…”
Jawab ustadz Nizar santai.
“Seandainya ustadz Nizar menikah,
gadis yang bagaimana yang ustadz idamkan?”
Mendengar pertanyaan Nubhan itu,
ustadz Nizar terdiam sejenak. Dipandangnya Chumayro yang terlihat konyol bila
bercanda dengan neng Eliecha.
“Em… seandainya aku menikah? Aku
ingin gadis yang kunikahi adalah gadis yang kucintai. Dia tidak harus cantik
ataupun harus anak bangsawan. Dia gadis biasa yang apa adanya. Pandai. Oh, ya!
satu lagi. Pastinya dia harus anak pondokan!”
“Chumayro?” Nubhan menjawab.
“Ha?! Chumayro? Kenapa Chumayro?!”
Nizar cukup kaget dengan jawaban Nubhan yang begitu mantapnya.
“Halah… ustadz-ustadz. Orang bodoh
juga tahu kalau orangnya Chumayro. Dari tadi ustadz bicara panjang lebar sambil
menatap Chumayro diiringi senyum penuh cinta…” Nubhan menatap tajam Nizar.
Namun Nizar malah tertawa lebar.
“Hahaha… Kang-kang, Ada-ada saja
halusinasinya! Ngomong-ngomong pandai juga sampeyan merangkai kata? Oh
sebentar lagi kan mau menikah? Makanya pandai merangkai kata cinta…” Keduanya tertawa.
“Ustadz sudah lapar? Kalau sudah,
biar saya ambilkan makan di dalam” Ajak Nubhan yang sudah tak canggung-canggung
lagi karena sudah sering diajak tindakan. Lagipula cacing di dalam
perutnya sudah protes minta makan.
“Ya terserah kang Nubhan saja…!”
Nubhan langsung berjalan menuju
dapur. Sedangkan ustadz Nizar sendirian terdiam. Ternyata ustadz muda itu
terbayang dengan ucapan Nubhan barusan. Kembali ia memperhatikan Chumayro yang
jaraknya tidak begitu jauh. Perlahan matanya terpejam. Dalam hatinya tumbuh
pertanyaan,
“Apakah Chumayro gadis manis yang
mampu meluluhkan hatinya?”Tak sadar bibirnya tersenyum manis.
Tanpa terasa waktu 3 hari telah
berlalu. Tepat pukul 18:30 WIB Ibu Nyai mengutus beres-beres untuk kundur[5].
Beberapa menit kemudian semua sudah siap. Nisa dan Chumayro duduk di depan ndalem
menunggu timbalan[6].
Kedua gadis itu terdiam sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Nisa mencoba mengingat apa yang
masih ketinggalan. Sedang Chumayro mengenang saat-saat bersama dengan
masyayech-masyayech alim. Segudang masalah dalam benaknya lenyap saat memandang
wajah para Bunyai yang rawuh[7]
dari pondok-pondok besar. Tak henti-hentinya May bersyukur akan keagunganNYA.
Tak lama Bunyai menghampiri keduanya.
“Nisa, Chumayro… ayo masuk! Tidak
ada yang ketinggalan, kan?”
Keduanya tersenyum mengangguk dan
langsung masuk mobil. Sepanjang perjalanan Chumayro memilih diam. Dipejamkannya
matanya. Terbayang sahabatnya Siecha. Betapa hebohnya gadis itu bila dia
menceritakan kisah keberuntungannya selama tindakan 3 hari ini. Tak lama
kemudian gadis itu sudah tak sadarkan diri. Ia tertidur di pundak Nisa. Bunyai
dan Nisa tersenyum memaklumi Chumayro yang terlihat kecapekan.
Lama Chumayro tertidur. Dia baru
terbangun saat merasakan jalan yang tiba-tiba bergelombang. Sepasang mata yang
memerah mencoba melihat keluar.
“Sudah sampai pondok?!” Kagetnya
dalam hati.
Abah Yai mengawali turun, disusul Bunyai
“Syukurlah sudah sampai… ayo semuanya turun”
May merasa malu setengah mati
karena telah ketiduran. Seperti biasa semua bekerjasama menurunkan barang dari
dalam mobil. Chumayro dengan membawa barang seambrek melangkah menuju ndalem.
Mbak Nurul yang biasa nyapu ndalem segera menyambutnya.
“Dik May, capek? Sini mbak
bantuin… oh ya, kemarin ibu dik May telepon. Kata beliau besok dik May mau dijemput…”
“Hah?! Dijemput, mbak?! Kok
mendadak? Ada apa ya?”
“Wah… kalau itu mbak tidak tahu,
dik…”
Sambil menggaru-garuk kepalanya
yang tidak gatal, Chumayro kembali ke pondok untuk beres-beres.
Waktu menunjukkan angka 19:30 WIB.
Keriuhan tak nampak memperparah kelelahan Chumayro. Gadis itu justru bersyukur
di tengah riuhnya kegiatan takror. Segera ia masuk kamar dan merebahkan diri
tepat di depan lemarinya. Kakinya yang tak begitu panjang disodorkan untuk
membuka lemari. Kitab, baju dan sarung tertata cantik menyapa wajah lembutnya
yang terlihat lelah. Tas sangkul yang masih berisi baju habis tindakan
diseretnya untuk mengganjal kepala yang terasa berat. Dua mata lentiknya mulai
terpejam pelan. Tak peduli besok dia dijemput. Rasa capek dan kantuk memaksanya
untuk beristirahat.
Di sisi lain, Siecha satu-satunya
yang mengetahui kedatangan sahabatnya menahan diri untuk tidak izin pulang
takror lebih dulu. Em.. rasanya nggak sabar wawancara pribadi dengan Chumayro.
Lama dengan penntiannya akhirnya jam takror usai juga. Tanpa basa-basi Siecha
langsung menuju kamarnya. Namun ia harusmenerima kecewa karena mendapati
sahabatnya itu sudah tertidur pulas. Dia tersenyum kasihan melihat Chumayro
yang berbantal tas. Segera ia ganti dengan
bantal lengkap dengan selimutnya.
“Chumayro… Chumayro. Melas banget
sih kamu…” Kemudian ditutupnya lemari May yang terbuka lebar. Ninda teman
sekelasnya menghampiri.
“Hey Cha! Gimana? Jadi membuat
artikel bareng?”
“Jadi donk” Siecha beranjak
mengambal bahan untuk membuat artikel di daLam lemarinya.
“Wah… Chumayro sudah datang ta?
Habis diajak tindakan Bunyai, kan?” Ninda baru tersadar dengan keberadaan
Chumayro.
“He`em. Yuk kita cari tempat yang
nyaman…”
………………………………………………….
Merdunya suara pecinta al quran
terdengar mengalun lirih. Ayat demi ayat mengalir menyentuh kalbu. Chumayro
terbangun karenanya. Ditatapnya jam dinding yang ikut berdzikir mengiringi. 03:00
WIB. Dengan mata terpejam gadis manis yang belum benar-benar terbangun itu
merapikan rambut panjangnya. Walaupun rasa malas masih menyelimuti namun ia
tetap bergegas beranjak menuju kamar mandi untuk mensucikan diri.
Pagi ini ia izin tidak ikut ngaji
di ndalem. Dia buka tas berisi 2 pasang baju yang dia pakai selama tindakankemarin.
Siecha menghampiri dengan membawa al Quran.
“Chumayro!!!” Sapanya dengan
semangat.
“A…a…a…” Keduanya menjerit
bersamaan seolah-olah telah berpisah selama puluhan tahun. Gadis yang masih
mengenakan mukena itu segera meletakkan al Qurannya berganti mengambil bantal.
BOOKH!! Tiba-tiba dia melempar bantal itu
tepat kearah Chumayro. Tidak mau kalah Chumayro segera mengambilnya dan
melemparkannya kembali ke Siecha. Eit… Meleset!
“Ha ha ha… nggak bakat melempar
kamu, May!”
“Halah sok tau kamu, Cha… Oh ya.
Semalam kamu yang menyelimuti aku kan? Makasih ya… yayang Siecha”
“Iya. Parah kamu May. 3 hari aku
menunggumu eh pas ketemu kamu sudah ngorok… Ngomong-ngomong gimana tindakannya?”
Siecha sudah tak sabar ingin mendengarkan cerita dari Chumayro.
“Em… mulai dari mana ya?” Chumayro
pura-pura berpikir.
“May… cepetan donk. Jangan bikin
penasaran”
“Aha! Mungkin dipijit adalah awal
yang bagus!” Jawab Chumayro semangat.
“Oky! Nggak masalah. Pasti kamu
capek banget ya, May?”
“Lumayan”
Kemudian Chumayro menceritakan tindakan
pertamanya dengan senang hati. Siecha heboh karena iri dengan apa yang sudah
dialami sahabatnya itu. “Aku yakin Cha suatu saat kamu pasti akan merasakannya
juga” Hibur Chumayro.
“Semoga”
“Assalamualaikum” Terdengar suara
salam dari arah pintu. Ternyata Lily yang datang. “Mbak May,sampean disambang[8],
ditunggu di depan”
“Waalaikumsalam. Iya, makasih ya
Liy” Chumayro beranjak dari samping Siecha. “Cha, aku mau sowan pulang.
Kamu tunggu di sini nanti aku certain”
“Oky” Kali ini Siecha menurut
meski dia merasa ada yang aneh dengan Chumayro. Mengapa mendadak begini? 5
menit kemudian Chumayro sudah kembali ke kamarnya.
“Gimana, May?”
“Apanya yang gimana?”
“Kamu ini… pelupa atau amnesia
sich?”
“Oh… kamu ikut kedepan nggak?” Dengan
meyangkul tas ukuran sedang Chumayro merapikan kerudung parisnya.
“Aduh May… dari tadi kamu
bercerita panjang lebar denganku tapi kenapa nggak bilang kalau kamu mau
pulang?” Siecha berdiri di sampingnya.
“Ya aku sendiri bingung. Kenapa
mendadak?” Chumayro menggandeng Siecha dan berjalan bersama menuju depan ndalem
“Jujur Cha… aku nggak tahu kenapa aku tiba-tiba mau dijemput. Kamu tahu sendiri
kan sebelum aku ke Surabaya keluargaku baik-baik saja. Aku curiga ada yang
disembunyikan. Tapi apa?” Siecha yang bejalan di sampingnya hanya diam
mendengarkan. “Cha… kok malah diam?”
“Maaf lo ya… tapi aku jadi
berpikir, jangan-jangan kamu mau dijodohin May?! Biasanya cewek seumuran kita
kalau di rumah sudah dinikahkan. Iya nggak?… Tapi May, bagaimana dengan cintamu
pada ustadz Nizar?” Kini berganti Chumayro yang terdiam. Tanpa sadar, keduanya
dikagetkan dengan keberadaan seorang laki-laki berjaket hitam yang sudah
berdiri tepat di depan mereka.
“Chumayro! Kamu di sini… Kakak
menunggumu dari tadi”
“Ha?! Kak Ilham? Sudah lama
menunggunya, Kak?” May segera bersalaman dan mencium tangan kakak iparnya itu.
“Lumayan… bagaimana? Sudah siap
semua?”
“Sampun, Kak” May bergegas
berpamitan dengan Siecha “Cha… aku mau pulang. Titip salam buat mbak Nisa ya…
Kemarin aku nggak sempat minta maaf” Lalu sepasang sahabat itu berpelukan
sangat erat seolah itu adalah pertemuan terakhir bagi mereka berdua.
“Assalamualaikum”
Siecha sudah tak mampu berkata
apa-apa lagi kecuali hanya menjawab salam sahabatnya itu dengan suara serak
menahan tangis. “Waalaikumsalam warohmatullah” Lalu sejurus kemudian Chumayro
dan kakak iparnya sudah tak nampak lagi darinya.
Sepanjang perjalanan Chumayro
lebih memilih diam karena khawatir mengganggu konsentrasi Ilham menyetir.
Pikiran gadis manis itu terus mondar-mandir kesana kemari layaknya
kendaraan-kendaraan yang berlalu lalang menyertainya. Nizar… hatinya resah
memikirkan cintanya. Sibuk dengan lamunannya, tanpa Chumayro sadari ternyata
dia sudah masuk ke desanya.
“Ayo turun, May” Sudah sampai di
depan rumah.
“Kok turun?! … Ha?! Sudah sampai,
kak?! Kok cepat?”
Chumayro melangkah menuju
rumahnya, sebuah bangunan sederhana berdinding batu bata merah, berlantai tanah
dan dengan genting yang sedikit rusak di sana-sini, yang telah menyimpan begitu
banyak kenangan bagi gadis bertubuh mungil itu. Kenangannya bersama sang ayah
tercinta yang telah pergi 2 tahun yang lalu, juga ibunya dan saudara
satu-satunya. Seorang perempuan cantik berjlbab merah muda segera menyambut hangat
kedatangan Chumayro. Dialah Shofi, Kakak kandung Chumayro.
“Assalamualaikum… Mbak Shofi…”
“Waalaikumsalam, Dik…” Kedua
saudara yang baru bertemu itu berpelukan melepas rindu. Dari dalam terlihat
seorang perempuan berkepala empat melangkahkan kakinya untuk mendekat sambil
terus menatap haru kedua putri tercintanya itu. Senyum kerinduan nampak
menghias wajah yang telahberkeriput termakan usia.
“Ibu?!” Chumayro yang menyadari
kehadiran ibundanya segera beralih memeluk orang yang selalu ia khawatirkan
itu. “Ibu baik-baik saja, kan?”
“Iya…”
“Terus kenapa adik disuruh pulang?
Bikin khawatir saja…”
“Seseorang yang mengharapkanmu dik
yang meminta agar kamu dijemput…” Shofi mengajak adiknya masuk dan duduk
bersama di kursi panjang.
“Seseorang siapa, Mbak?” perlahan
Chumayro mulai mengerti kenapa dia disuruh pulang.
“Dia berkelahiran di seberang
pulau Sumatera. Sekarang dia mondok di Gresik. Sebelumnya dia sudah mondok dan
menghafalkan al quran di Malang. Sifatnya taat, pendiam, bak hati. Umurnya
selisih 4 tahun dengan kamu, Dik. Dan bagaimana dia tahu tentang kamu… 2 minggu
yang lalu mas Ilham menelepon teman sepondoknya dulu. Dan kebetulan pemuda itu
di sana juga. Setelah lama mengobrol dengan mas Ilham dia minta dicarikan
seorang gadis sholichah untuk dijadikan pendamping hidupnya…” Shofi menjelaskan
panjang lebar tentang pemuda yang sekarang sedang dijemput suaminya di stasiun.
Chumayro yang biasanya terbuka
dengan semua permasalahan kali ini membisu. Ditatapnya sang ibu yang sedari tadi
duduk di sisinya. Beliau tersenyum penuh harap. Tak sanggup rasanya menggores
kekecewaan pada ibu yang kini menjanda setelah ditinggal sang suami tercinta 2
tahun lalu karena sakit kelainan jantung.
“Apa yang kamu pikirkan, Dik? Mas
Ilham kenal dekat dengan dia…” Shofi berusaha membujuk adiknya yang hanya diam
saja.
“Hm…” Chumayro hanya membalas
dengan senyuman untuk kemudian kembali dalam keterdiamannya. Dadanya terasa
sesak menahan perasaan yang tak karuan. Sebesar apapun cintanya pada Nizar
takkanmampu mengalahkan cintanya pada sang ibu yang setiap saat selalu ia
khawatirkan itu.
“Begini saja, Mbak. Adik sekarang
belum bisa menyatakan iya ataupun tidak. Kita lihat saja nanti”
20 menit berlalu. Ilham akhirnya
datang kembali bersama seorang pemuda. Tidak terlalu tinggi. Bertubuh sedang,
wajahnya pancarkan kealiman dan tutur katanya lembut merendah. Pemuda bernama
lengkap M Fatir al Aidy tersebut melantunkan ayat suci al quran karena diminta
Ilham. Keelokan suaranya mampu menyentuh hati Chumayro. Senyum Fatir yang
menyejukkanpun akhirnya meluluhkan seorang Chumayro yang cuwek. Dalam hitungan
menit gadis itupunberkenan membukakan hatinya. Kini tinggalah perjuangannya
melupakan ustadz Nizar. Tak terasa air matanya menetes mengiringi tekadnya.
“PASTI BISA!” Lagi pula tamatan diniyah tinggal 1 tahun lagi. Semangat Chumayro
Semangat.
Tiga hari di rumah terasa hanya
sekejap. Kedua keluarga besar setuju dan langsung menyusun rencana lamaran
sekaligus acara pernikahan. Namun semua itu tanpa sepengetahuan Chumayro. Suatu malam yang tenang Chumayro ditemani Shofi
duduk santai di depan rumah menikmati terangnya bulan yang bertaburan bintang.
“Mbak, besok adik mau balik”
Chumayro memamerkan senyum manisnya pada Shofi.
“Balik… kalau kangen Fatir gimana?
Sekalian ibu ikut juga…”
(bersambung)
Comments