“Antara Cinta Dan Cita”
Oleh: Princess_Anisa
.................................
“Mbak, besok adik mau balik”
Chumayro memamerkan senyum manisnya pada Shofi.
“Balik… kalau kangen Fatir gimana?
Sekalian ibu ikut juga…”
Gadis berhijab merah itu merasa aneh dengan
ucapan Shofi tadi. “Ikut ke pondok nganterin adik? Gak usah repot-repot, lagi
pula besok adik bareng kak Taufiq, jadi pagi banget, Mbak”
Shofi tersenyum dan beranjak
mendekati Chumayro “Jadi… adik belum tahu kalau mau disowankan boyong?…
Dua minggu lagi acara lamaran, Dik”
Mendengar kata boyong
jantung Chumayro serasa berhenti berdetak, dadanya bergetar hebat bercampur
sesak, seketika air matanya menetes dan semakin deras. Dengan terbata-bata
Chumayro mencoba untuk menjawab “Kenapa… terburu-buru… Mbak?”
Shofi dapat merasakan kalau adiknya
tidak setuju dengan rencana itu.
“Adik… Mbak sebenarnya juga kurang
setuju. Tapi ini permintaan dari keluarga Fatir. Adik keberatan, ya?” Air mata
Shofi ikut mengiringi. Segera ia dekap erat adik kesayangannya itu. Sedangkan
tangis Chumayro semakin menjadi.
Sungguh Chumayro takkan berani
menolak persetujuan yang sudah terlanjur terjadi. Namun akankah dia dapat
merelakan Fatir mengambil hal yang paling ia idamkan? Membayangkan boyong
saja tidak bisa. Keinginannya untuk bisa menamatkan masa taallumnya sudah
sangat bulat.
“Sudah 2 tahun ibu dan mbak
berjuang memondokkan adik yang hampir boyong karena ayah pergi. Sekarang
sudah ada kak Ilham. Tinggal selangkah lagi kan, Mbak...” Chumayro mengusap
pipinya yang sudah basah dengan hijab yang ia pakai.
“Adik keberatan, yach?”
Dengan pelan Chumayro memberanikan
diri untuk menjawab. “Memangnya kalau adik keberatan akan merubah semuanya?”
Sejurus kemudian adik dan kakak
itu kembali larut dalam tangisan. Tanpa mereka sadari ternyata Ilham sudah
berdiri di belakang mereka dan mendengarkan pula semua pembicaraan mereka tadi.
“Kemarin menyatakan iya kenapa
sekarang keberatan?!”
Serentak Chumayro dan Shofi kaget
luar biasa dengan keikutsertaan Ilham yang mendadak itu. Kalau dibiarkan bisa
terjadi perang mulut. Shofi segera mengajak suaminya masuk dan berusaha memberi
pengertian. Tinggallah Chumayro termenung sendirian meratapi apa yang terjadi
padanya. Teringat jelas pesan ayahnya saat acara tamatan Shofi dulu.
“Kalau mbak Shofi khatam Chumayro juga harus khatam diniyahnya!”
Kembali air matanya mengalir deras
seakan tak mau berhenti walau sejenak.
.....................................................................
Semalaman Chumayro merenung dan
memasrahkan segalanya kepada sang pencipta agung Allah SWT. Hingga fajar mulai
nampak butian-butiran bening masih tetap ada yang menetes dari pelupuk matanya
yang mulai bengkak itu. Chumayro bergegas bersiap-siap, tapi bukan untuk balik
melainkan untuk berziarah ke makam ayah tercinta yang tak terlalu jauh dari
rumahnya.
Dengan mengenakan hijab putih
wajah anggun Chumayro nampak bersinar. Ia duduk di dekat batu nisan ayahnya.
Dengan terbata-bata ia lantunkan doa untuk sang ayah. Ada banyak sekali yang ia
ceritakan sambil berharap itu bisa membuatnya lebih tenang. Hatinya terus
merintih mengadu tak ingin disowankan boyong. Di samping pusara orang
yang sangat dicintainya itu ia harap Allah memberikan sedikit ketenangan padanya.
Angin mulai berhembus. Kesejukan
datang tenangkan hati yang gundah. Tiba-tiba Chumayro seperti mendapat sebuah
ilham. Teringat ia dengan secuil kata mutiara; “Gapailah cita-citamu baru
cintamu” Bibir manisnya tersenyum. Entah mengapa tiba-tiba hatinya terasa
nyaman dan tenang. Dipandangnya makam ayah tercinta kemudian berpamitan dan
beranjak melangkahkan kaki kembali menuju rumahnya dengan senyum manis menghias
wajah.
Dari kejauhan dilihatnya Taufiq
yang sudah menunggu di depan rumah. Ia percepat langkah kakinya.
“Assalamualaikum, kak Taufiq” Sapa
Chumayro pada sepupunya yang sudah berpakaian rapi lengakap dengan tasnya itu.
“Waalaikumsalam, May. Sudah siap?”
May tersenyum dengan pertanyaan
Taufiq “May gak jadi...”Belum selesai ngomong Shofi menghampiri keduanya.
“Kak Taufiq pagi sekali?”
Basa-basi Shofi.
“Contoh guru teladan berangkatnya
pagi donk!!! hehe” Jawab Taufiq mantap. Shofi dan Chumayro tersenyum melihat
sepupu mereka yang ke-PD`an itu.
“Jadi sudah direncanakan berangkat
bareng to? Nggak papa lagi pula tempat ngajar kak taufiq dekat dengan pondok
May...”
Kini Chumayro yang jadi bingung
dengan ucapan Shofi barusan. “Mbak Shofi, tadi malam mbak bilang...”
Shofi tersenyum menatap sayang
adiknya. “Em... Kak Taufiq tunggu sebentar yach...!” Shofi menggandeng adiknya
untuk masuk. Chumayro semakin bertambah bingung. Gimana tidak? Kenapa kak
Taufiq diminta untuk menunggu kalau memang tidak jadi balik? Tapi...
“Ada apa sih?” Pertanyaan dalam
benaknya.
“Adik ditunggu ibu dan mas Ilham
di dalam. Ada yang ingin dibicarakan” Pikir Chumayro pasti akan membahas
lamaran. Ibu dan Ilham tersenyum melihat mata May yang sudah sembab mengantong.
Shofi mengajak Chumayro untuk duduk. Suasana jadi menjadi tenang. Ibu
memulai...
“Chumayro sudah besar. Bisa
menentukan pilihan yang terbaik. Ibu, kak Ilham dan mbak Shofi hanya bisa
membantu May memberi pilihan. Tetapi tetap yang menentukan May sendiri...”
Chumayro terdiam, air matanya
menetes kembali. Ilhampun angkat bicara.
“Kak Ilham dan Fatir sudah seperti
saudara sendiri. Jadi, apapun yang terjadi hubungan kakak dengan dia akan
baik-baik saja. Tentukan pilihanmu insyaallah Fatir akan memahaminya”
Dengan menyeka air matanya
Chumayro menjawab.
“Bismilahirrohmanirrohim... May ingin
menyempurnakan diniyah May...” Kemudian gadis itu menunduk.
Ibu dan mbak Shofi
tersenyum haru. Keduanya menitikan air mata. Sedang Ilham terdiam sejenak.
Kemudian mengambil HP dan menelepon Fatir, memberitahukan keputusan Chumayro.
Fatir menerima dengan lapang dada walaupun dia benar-benar telah jatuh hati
pada Chumayro. Justru dia kagum dengan kepribadian gadis yang hampir menjadi
calon istrinya. Chumayropun meminta maaf kepada keluarga Fatir. Dia berharap
apapun yang terjadi semua tetap menjaga shilaturohim.
“WOOY!!! JADI NGGAK???” Suara
teriakan dari Taufiq yang sudah menunggu terlalu lama di luar.
“Jadi kak Taufiq...” Ilham
mendekati Taufiq yang sedari tadi di tinggal sendirian.
“Ech... Ilham. Cewek kalau mau
bepergian pasti ribet, ya?”
“Iya juga, sich...” Keduanya
tersenyum bersamaan.
Chumayro`pun dating dengan
didampingi ibu dan mbak Shofi. “Ibu, terimakasih atas kebijakannya. May
berangkat” Diciumnya tangan ibu tercintanya itu dengan penuh takdzim.
“Iya… Yang rajin ngajinya. Jangan
lupa sholat berjamaah.”
Chumayro tersenyum mengangguk.
Lalu dia mendekat pada Shofi. “Mbak, adik berangkat. Terimakasih atas
pengertiannya…”
“Iya… Adikku yang cantiiik…”
Kemudian keduanya berpelukan hangat sekali.
“Kak Ilham, May berangkat. Kalau
sekarang belum bisa dapat Chafidz… Basih banyak kok Chafidz-chafidz di luar
yang gantengnya nggak kalah dari Fatir…” Goda Cumayro pada ILham itu.
“Iya… Terserah kamu nyari yang
bagaimana. Kalau balik ke pondok nggak usah berpikir yang macem-macem. Belajar
saja dengan sungguh-sungguh ” Jawab Ilham. Chumayro seangat senang karena semua
bisa berakhir dengan damai.
“Siap, Kak. Assalamu`alaikum
semua…”
“Wa`alaikumsalam warohmatullah…”
Dan Taufiq`pun akhirnya membawa Chumayro pergi.
Hem… Mentari hangat bawakan
sebongkah semangat. Sepanjang perjalanan Chumayro diam bertafakur tentang semua
yang telah terjadi padanya selama satu minggu ini. Tak bosan-bosannya ia
mengucapkan syukur. Senyum manis kini benar-benar bisa kembali melekat pada
dirinya. Terbayang sudah wajah ibunyai, Abah yai, siecha juga teman-teman
santri lainnya… Hatinya merasa sangat rindu, sudah tak sabar ingin segera
sampai ke pondok.
Satu jam berlalu dengan senang,
akhirnya Chumayro sampai depan gerbang. “Hem… sudah sampai. Terimakasih, kak
Taufiq…”
“Iya. Sama-sama, May. Ya
sudahkalau begitu kakak langsung jalan ya… Assalamu`alaikum”
“He’em, kak. Wa`alaikumsalam…” Dan
Taufiq`pun berlalu. Chumayro berbalik, terlihat gerbang terbuka menyambut
kedatangannya. Namun pada saat yang sama, tanpa sepengetahuannya ternyata Ibu
nyai sedang bersantai bersama neng Eliecha di depan ndalem menanti gus Ikrom,
putra tertua beliau yang akan pulang pagi ini.
“Bismillah…”
Baru beberapa langkah saja
Chumayro sudah bertemu dengan bunyainya. Perempuan berwajah anggun meski telah
berputra 6 itu tersenyum melihat santri putrinya telah balik. Dengan
sungkuk-sungkuktakdzim Chumayro mendekat dan uluk salam.
“Assalamu’alaikum…” Diraihnya
tangan ibu nya lalu diciumnya.
“Wa’alaikumsalam.. Kamu balik kan,
May?”
Chumayro merasa agak aneh dengan
pertanyaan Ibu nyainya itu “Njih, Bu…”
Ibu nyai memberikan neng Eliecha
pada Chumayro untuk digendong “Ibu dengar katanya kamu…” Beliau tidak
meneruskan perkataannya.
“Mboten, Bu… May masih kepengen mondok…” Jawab Chumayro sambil
tersenyum menunduk.
“Iya, May… alfiyah kamu kan
sebentar lagi akan khatam. Bisa jadi ini cobaan untuk kamu, May”
“Njih, Bu…”
Mobil Abah Yai akhirnya tiba juga.
Chumayro sempat minta izin untuk undur diri namun ibu nyai mencegahnya.“Di sini
dulu, May… Biasanya kalau Ikrom pulang bawa barang-barang…”
“Njih, Bu…” Chumayro berdiri di
belakang Bu Nyai dengan masih menggendong neng Eliecha menyambut rawuhnya gus
Ikrom putra tertua Abah Yai yang mondok di Kediri. Pintu depan mobilpun
terbuka, dan turunlah seorang pemuda tampan, berkulit putih dengan wajah yang
memancarkan kedalaman ilmunya. Dialah gus Ikrom yang digadang-gadang akan meneruskan
estafet pesantren sepeninggal Abahnya nanti.
“Assalamu’alaikum, Bu…” Gus Ikrom
mencium asto ibunya kemudian menatap adik lucunya yang berada di gendongan
Chumayro. “Eliecha… ayo ikut mas…” Gus muda itu meminta Eliecha dari Chumayro,
sedang di samping mobil nampak kang Nubhan dan ustadz Nizar sedang menunggu
perintah dari Bunyai.
“Abah ten pundi, Bu?” Gus Ikrom
mencubit pipi gendut neng Eliecha.
“Abah di kamar… oh ya. Chumayro…
tolong bantu ustadz Nizar membawa barang masuk. Biar Nubhan mencuci mobilnya…”
“Njih, Bu..” Lalu Ibu nyai masuk
ke ndalem didampingi gus Ikrom. Kini tinggallah mereka bertiga.
“May… Katanya kamu pulang?” Tanya
Nubhan. Sedang ustadz Nizar memilih jadi pendengar.
“Iya, Kang… Ini baru saja sampai”
Jawab Chumayro sedikit salah tingkah karenaa ada ustad Nizar di samping Nubhan.
“Oo… Lamaran, yach?” Nubhan
menebak asal-asalan.
“Hah?! Lamaran!! Nggak kok, Kang.
Cuma pulang biasa… Ustadz apa yang bisa saya bantu?” Chumayro beralih bertanya
pada ustadz Nizar yang sejak tadi diam saja.
“Sebentar, May…” Ustadz Nizar
mengambilkan sebuah tas ransel ukuran sedang dari dalam mobil “Di mobil masih
ada kitab-kitab, biar saya saja yang bawa”.
“Iya, Ustadz…”
Ustadz Nizar mengulurkan tas
ransel yang berisi pakaian gus Ikrom itu pada Chumayro. Di saat bersamaan
tiba-tiba dari balik mobil terdengar suara Nubhan yang sengaja terbatuk untuk
menggoda Ustadz dan santri putrinya itu.
“Uhuk-uhuk… Eh heem…”
Spontan Nizar dan Chumayro
langsung menoleh kearah asal suara. “Kenapa, Kang Nubhan?”
“Enggak… Cuma keselek cinta… eh
cinta… eh cicak, Ustadz… Cuma cicak… hehehe” Jawab Nubhan sambil menyembulkan
kepalanya dari balik mobil. Sejurus
kemudian membalik sambil tersenyum jahil meneruskan pekerjaannya.
“Ada-ada saja kang Nubhan itu…”
Ustadz Nizar beranjak mengambil kitab-kitab dari dalam mobil. Sedang di sisi
lain ternyata Chumayro nampak masih salah tingkah dengan godaan Nubhan tadi.
Namun cepet-cepat gadis itu mengusir kekakuannya.
“Ustadz… Pasti saya sudah
tertinggal pelajaran banyak, ya?”
Keduanya masuk ndalem, ustadz
Nizar berjalan di depan sedang Chumayro mengekor di belakangnya.
“Nggak juga, May… Kemarin saya
sempat absen” Ustadz Nizar memamerkan
senyum manisnya. Begitu pula Chumayro, gadis berwajah anggun itupun membalasnya
dengan senyuman yang tak kalah manis…
Ustadz Nizar berjalan cepat dengan
setumpuk kitab yang dibawanya. Angin’pun berhembus sejuk. Tiba-tiba dari
tumpukan kitab yang sedang dibawa Nizar ada selembar kertas melayang dan jatuh
tepat di depan kaki Chumayro. Cepat-cepat memungutnya. Tak sengaja terbaca
olehnya…
“Jangan bersedih, ya… Jika
sekarang dia pergi, sesungguhnya cinta sejati setia menanti…”
Dalam sekejap hati Chumayro
bergetar. Namun bibir manisnya tersenyum mengartikan kata-kata. Pada saat yang
bersamaan ustadz Nizar berbalik, dan mendapati santri putrinya tersenyum manis
karena secuil kertas, iapun ikut tersenyum.
(TAMAT)
Comments