Chumayro' (bag. 2)


“Antara Cinta Dan Cita”
Oleh: Princess_Anisa

.................................
“Mbak, besok adik mau balik” Chumayro memamerkan senyum manisnya pada Shofi.
“Balik… kalau kangen Fatir gimana? Sekalian ibu ikut juga…”
 Gadis berhijab merah itu merasa aneh dengan ucapan Shofi tadi. “Ikut ke pondok nganterin adik? Gak usah repot-repot, lagi pula besok adik bareng kak Taufiq, jadi pagi banget, Mbak”
Shofi tersenyum dan beranjak mendekati Chumayro “Jadi… adik belum tahu kalau mau disowankan boyong?… Dua minggu lagi acara lamaran, Dik”
Mendengar kata boyong jantung Chumayro serasa berhenti berdetak, dadanya bergetar hebat bercampur sesak, seketika air matanya menetes dan semakin deras. Dengan terbata-bata Chumayro mencoba untuk menjawab “Kenapa… terburu-buru… Mbak?”
Shofi dapat merasakan kalau adiknya tidak setuju dengan rencana itu.
“Adik… Mbak sebenarnya juga kurang setuju. Tapi ini permintaan dari keluarga Fatir. Adik keberatan, ya?” Air mata Shofi ikut mengiringi. Segera ia dekap erat adik kesayangannya itu. Sedangkan tangis Chumayro semakin menjadi.
Sungguh Chumayro takkan berani menolak persetujuan yang sudah terlanjur terjadi. Namun akankah dia dapat merelakan Fatir mengambil hal yang paling ia idamkan? Membayangkan boyong saja tidak bisa. Keinginannya untuk bisa menamatkan masa taallumnya sudah sangat bulat.
“Sudah 2 tahun ibu dan mbak berjuang memondokkan adik yang hampir boyong karena ayah pergi. Sekarang sudah ada kak Ilham. Tinggal selangkah lagi kan, Mbak...” Chumayro mengusap pipinya yang sudah basah dengan hijab yang ia pakai.
“Adik keberatan, yach?”
Dengan pelan Chumayro memberanikan diri untuk menjawab. “Memangnya kalau adik keberatan akan merubah semuanya?”
Sejurus kemudian adik dan kakak itu kembali larut dalam tangisan. Tanpa mereka sadari ternyata Ilham sudah berdiri di belakang mereka dan mendengarkan pula semua pembicaraan mereka tadi.
“Kemarin menyatakan iya kenapa sekarang keberatan?!”
Serentak Chumayro dan Shofi kaget luar biasa dengan keikutsertaan Ilham yang mendadak itu. Kalau dibiarkan bisa terjadi perang mulut. Shofi segera mengajak suaminya masuk dan berusaha memberi pengertian. Tinggallah Chumayro termenung sendirian meratapi apa yang terjadi padanya. Teringat jelas pesan ayahnya saat acara tamatan Shofi dulu.
“Kalau mbak Shofi  khatam Chumayro juga harus khatam diniyahnya!”
Kembali air matanya mengalir deras seakan tak mau berhenti walau sejenak.
.....................................................................
Semalaman Chumayro merenung dan memasrahkan segalanya kepada sang pencipta agung Allah SWT. Hingga fajar mulai nampak butian-butiran bening masih tetap ada yang menetes dari pelupuk matanya yang mulai bengkak itu. Chumayro bergegas bersiap-siap, tapi bukan untuk balik melainkan untuk berziarah ke makam ayah tercinta yang tak terlalu jauh dari rumahnya.
Dengan mengenakan hijab putih wajah anggun Chumayro nampak bersinar. Ia duduk di dekat batu nisan ayahnya. Dengan terbata-bata ia lantunkan doa untuk sang ayah. Ada banyak sekali yang ia ceritakan sambil berharap itu bisa membuatnya lebih tenang. Hatinya terus merintih mengadu tak ingin disowankan boyong. Di samping pusara orang yang sangat dicintainya itu ia harap Allah memberikan  sedikit ketenangan padanya.
Angin mulai berhembus. Kesejukan datang tenangkan hati yang gundah. Tiba-tiba Chumayro seperti mendapat sebuah ilham. Teringat ia dengan secuil kata mutiara; “Gapailah cita-citamu baru cintamu” Bibir manisnya tersenyum. Entah mengapa tiba-tiba hatinya terasa nyaman dan tenang. Dipandangnya makam ayah tercinta kemudian berpamitan dan beranjak melangkahkan kaki kembali menuju rumahnya dengan senyum manis menghias wajah.
Dari kejauhan dilihatnya Taufiq yang sudah menunggu di depan rumah. Ia percepat langkah kakinya.
“Assalamualaikum, kak Taufiq” Sapa Chumayro pada sepupunya yang sudah berpakaian rapi lengakap dengan tasnya itu.
“Waalaikumsalam, May. Sudah siap?”
May tersenyum dengan pertanyaan Taufiq “May gak jadi...”Belum selesai ngomong Shofi menghampiri keduanya.
“Kak Taufiq pagi sekali?” Basa-basi Shofi.
“Contoh guru teladan berangkatnya pagi donk!!! hehe” Jawab Taufiq mantap. Shofi dan Chumayro tersenyum melihat sepupu mereka yang ke-PD`an itu.
“Jadi sudah direncanakan berangkat bareng to? Nggak papa lagi pula tempat ngajar kak taufiq dekat dengan pondok May...”
Kini Chumayro yang jadi bingung dengan ucapan Shofi barusan. “Mbak Shofi, tadi malam mbak bilang...”
Shofi tersenyum menatap sayang adiknya. “Em... Kak Taufiq tunggu sebentar yach...!” Shofi menggandeng adiknya untuk masuk. Chumayro semakin bertambah bingung. Gimana tidak? Kenapa kak Taufiq diminta untuk menunggu kalau memang tidak jadi balik? Tapi...
“Ada apa sih?” Pertanyaan dalam benaknya.
“Adik ditunggu ibu dan mas Ilham di dalam. Ada yang ingin dibicarakan” Pikir Chumayro pasti akan membahas lamaran. Ibu dan Ilham tersenyum melihat mata May yang sudah sembab mengantong. Shofi mengajak Chumayro untuk duduk. Suasana jadi menjadi tenang. Ibu memulai...
“Chumayro sudah besar. Bisa menentukan pilihan yang terbaik. Ibu, kak Ilham dan mbak Shofi hanya bisa membantu May memberi pilihan. Tetapi tetap yang menentukan May sendiri...”
Chumayro terdiam, air matanya menetes kembali. Ilhampun angkat bicara.
“Kak Ilham dan Fatir sudah seperti saudara sendiri. Jadi, apapun yang terjadi hubungan kakak dengan dia akan baik-baik saja. Tentukan pilihanmu insyaallah Fatir akan memahaminya”
Dengan menyeka air matanya Chumayro menjawab.
 “Bismilahirrohmanirrohim... May ingin menyempurnakan diniyah May...” Kemudian gadis itu menunduk.
Ibu dan mbak Shofi tersenyum haru. Keduanya menitikan air mata. Sedang Ilham terdiam sejenak. Kemudian mengambil HP dan menelepon Fatir, memberitahukan keputusan Chumayro. Fatir menerima dengan lapang dada walaupun dia benar-benar telah jatuh hati pada Chumayro. Justru dia kagum dengan kepribadian gadis yang hampir menjadi calon istrinya. Chumayropun meminta maaf kepada keluarga Fatir. Dia berharap apapun yang terjadi semua tetap menjaga shilaturohim.
“WOOY!!! JADI NGGAK???” Suara teriakan dari Taufiq yang sudah menunggu terlalu lama di luar.
“Jadi kak Taufiq...” Ilham mendekati Taufiq yang sedari tadi di tinggal sendirian.
“Ech... Ilham. Cewek kalau mau bepergian pasti ribet, ya?”
“Iya juga, sich...” Keduanya tersenyum bersamaan.
Chumayro`pun dating dengan didampingi ibu dan mbak Shofi. “Ibu, terimakasih atas kebijakannya. May berangkat” Diciumnya tangan ibu tercintanya itu dengan penuh takdzim.
“Iya… Yang rajin ngajinya. Jangan lupa sholat berjamaah.”
Chumayro tersenyum mengangguk. Lalu dia mendekat pada Shofi. “Mbak, adik berangkat. Terimakasih atas pengertiannya…”
“Iya… Adikku yang cantiiik…” Kemudian keduanya berpelukan hangat sekali.
“Kak Ilham, May berangkat. Kalau sekarang belum bisa dapat Chafidz… Basih banyak kok Chafidz-chafidz di luar yang gantengnya nggak kalah dari Fatir…” Goda Cumayro pada ILham itu.
“Iya… Terserah kamu nyari yang bagaimana. Kalau balik ke pondok nggak usah berpikir yang macem-macem. Belajar saja dengan sungguh-sungguh ” Jawab Ilham. Chumayro seangat senang karena semua bisa berakhir dengan damai.
“Siap, Kak. Assalamu`alaikum semua…”
“Wa`alaikumsalam warohmatullah…” Dan Taufiq`pun akhirnya membawa Chumayro pergi. 
Hem… Mentari hangat bawakan sebongkah semangat. Sepanjang perjalanan Chumayro diam bertafakur tentang semua yang telah terjadi padanya selama satu minggu ini. Tak bosan-bosannya ia mengucapkan syukur. Senyum manis kini benar-benar bisa kembali melekat pada dirinya. Terbayang sudah wajah ibunyai, Abah yai, siecha juga teman-teman santri lainnya… Hatinya merasa sangat rindu, sudah tak sabar ingin segera sampai ke pondok.
Satu jam berlalu dengan senang, akhirnya Chumayro sampai depan gerbang. “Hem… sudah sampai. Terimakasih, kak Taufiq…”
“Iya. Sama-sama, May. Ya sudahkalau begitu kakak langsung jalan ya… Assalamu`alaikum”
“He’em, kak. Wa`alaikumsalam…” Dan Taufiq`pun berlalu. Chumayro berbalik, terlihat gerbang terbuka menyambut kedatangannya. Namun pada saat yang sama, tanpa sepengetahuannya ternyata Ibu nyai sedang bersantai bersama neng Eliecha di depan ndalem menanti gus Ikrom, putra tertua beliau yang akan pulang pagi ini.
“Bismillah…”
Baru beberapa langkah saja Chumayro sudah bertemu dengan bunyainya. Perempuan berwajah anggun meski telah berputra 6 itu tersenyum melihat santri putrinya telah balik. Dengan sungkuk-sungkuktakdzim Chumayro mendekat dan uluk salam.
“Assalamu’alaikum…” Diraihnya tangan ibu nya lalu diciumnya.
“Wa’alaikumsalam.. Kamu balik kan, May?”
Chumayro merasa agak aneh dengan pertanyaan Ibu nyainya itu “Njih, Bu…”
Ibu nyai memberikan neng Eliecha pada Chumayro untuk digendong “Ibu dengar katanya kamu…” Beliau tidak meneruskan perkataannya.
Mboten, Bu… May masih kepengen mondok…” Jawab Chumayro sambil tersenyum menunduk.
“Iya, May… alfiyah kamu kan sebentar lagi akan khatam. Bisa jadi ini cobaan untuk kamu, May”
“Njih, Bu…”
Mobil Abah Yai akhirnya tiba juga. Chumayro sempat minta izin untuk undur diri namun ibu nyai mencegahnya.“Di sini dulu, May… Biasanya kalau Ikrom pulang bawa barang-barang…”
“Njih, Bu…” Chumayro berdiri di belakang Bu Nyai dengan masih menggendong neng Eliecha menyambut rawuhnya gus Ikrom putra tertua Abah Yai yang mondok di Kediri. Pintu depan mobilpun terbuka, dan turunlah seorang pemuda tampan, berkulit putih dengan wajah yang memancarkan kedalaman ilmunya. Dialah gus Ikrom yang digadang-gadang akan meneruskan estafet pesantren sepeninggal Abahnya nanti.
“Assalamu’alaikum, Bu…” Gus Ikrom mencium asto ibunya kemudian menatap adik lucunya yang berada di gendongan Chumayro. “Eliecha… ayo ikut mas…” Gus muda itu meminta Eliecha dari Chumayro, sedang di samping mobil nampak kang Nubhan dan ustadz Nizar sedang menunggu perintah dari Bunyai.
“Abah ten pundi, Bu?” Gus Ikrom mencubit pipi gendut neng Eliecha.
“Abah di kamar… oh ya. Chumayro… tolong bantu ustadz Nizar membawa barang masuk. Biar Nubhan mencuci mobilnya…”
“Njih, Bu..” Lalu Ibu nyai masuk ke ndalem didampingi gus Ikrom. Kini tinggallah mereka bertiga.
“May… Katanya kamu pulang?” Tanya Nubhan. Sedang ustadz Nizar memilih jadi pendengar.
“Iya, Kang… Ini baru saja sampai” Jawab Chumayro sedikit salah tingkah karenaa ada ustad Nizar di samping Nubhan.
“Oo… Lamaran, yach?” Nubhan menebak asal-asalan.
“Hah?! Lamaran!! Nggak kok, Kang. Cuma pulang biasa… Ustadz apa yang bisa saya bantu?” Chumayro beralih bertanya pada ustadz Nizar yang sejak tadi diam saja.
“Sebentar, May…” Ustadz Nizar mengambilkan sebuah tas ransel ukuran sedang dari dalam mobil “Di mobil masih ada kitab-kitab, biar saya saja yang bawa”.
“Iya, Ustadz…”
Ustadz Nizar mengulurkan tas ransel yang berisi pakaian gus Ikrom itu pada Chumayro. Di saat bersamaan tiba-tiba dari balik mobil terdengar suara Nubhan yang sengaja terbatuk untuk menggoda Ustadz dan santri putrinya itu.
“Uhuk-uhuk… Eh heem…”
Spontan Nizar dan Chumayro langsung menoleh kearah asal suara. “Kenapa, Kang Nubhan?”
“Enggak… Cuma keselek cinta… eh cinta… eh cicak, Ustadz… Cuma cicak… hehehe” Jawab Nubhan sambil menyembulkan kepalanya dari balik mobil.  Sejurus kemudian membalik sambil tersenyum jahil meneruskan pekerjaannya.
“Ada-ada saja kang Nubhan itu…” Ustadz Nizar beranjak mengambil kitab-kitab dari dalam mobil. Sedang di sisi lain ternyata Chumayro nampak masih salah tingkah dengan godaan Nubhan tadi. Namun cepet-cepat gadis itu mengusir kekakuannya.
“Ustadz… Pasti saya sudah tertinggal pelajaran banyak, ya?”
Keduanya masuk ndalem, ustadz Nizar berjalan di depan sedang Chumayro mengekor di belakangnya.
“Nggak juga, May… Kemarin saya sempat absen”  Ustadz Nizar memamerkan senyum manisnya. Begitu pula Chumayro, gadis berwajah anggun itupun membalasnya dengan senyuman yang tak kalah manis…
Ustadz Nizar berjalan cepat dengan setumpuk kitab yang dibawanya. Angin’pun berhembus sejuk. Tiba-tiba dari tumpukan kitab yang sedang dibawa Nizar ada selembar kertas melayang dan jatuh tepat di depan kaki Chumayro. Cepat-cepat memungutnya. Tak sengaja terbaca olehnya…
“Jangan bersedih, ya… Jika sekarang dia pergi, sesungguhnya cinta sejati setia menanti…”
Dalam sekejap hati Chumayro bergetar. Namun bibir manisnya tersenyum mengartikan kata-kata. Pada saat yang bersamaan ustadz Nizar berbalik, dan mendapati santri putrinya tersenyum manis karena secuil kertas, iapun ikut tersenyum.
 (TAMAT)

Comments