Kau Fir'aun


Oleh: Moh Kholil Mughofar



Kalau dengar suara kentheng terasa seperti mendengar genderang perang. Bawaannya emosi melulu. Pasti sebentar lagi orang itu bakal nongol hidungnya, lalu dengan suara cempreng nyanyi ‘tangi-tangi-tangi, jamaah-jamaah-jamaah’ ..... bikin telinga sakit saja!


“Bugh-bugh-bugh.....”

Tuh kan bener... si Firaun sudah bangkit dari sarkofagus-nya. Mojok kamar, tarik kaki, ambil posisi tidur. Masa bodoh dengannya.

“Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi e! BUGH!”

Sepertinya beberapa teman sudah menyerah dan memilih bangun. Tapi jangan harap aku mau....

 “Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi!”

Pura-pura tidak dengar.... aku mau hitung ayamnya ndalem saja biar bisa tidur. Satu ayam, dua ayam, tiga ayam,,,

“Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi!”

Ah... Cuma mimpi! Cuma mimpi!

“Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi!”

ZZZzzTTTtt....

“Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi!”

Sudah yang keempat kali. Hmm....

“Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi!”

Meskipun kamu apakan pun aku tidak akan mau bangun. Dasar Firaun!!!

“Ayo tangi-tangi! BUGH! Ayo tangi!”

“..............”

Sudah tidak ada suara? Kulirik sebentar. Dia diam melihatku. Menghembuskan nafas sebentar kemudian keluar. Hahaha.... aku tertawa senang dalam hati. Aku menang! Lha yo to... hidup kok dipakai mengganggu ketenangan orang lain terus? Apa dia tidak punya pekerjaan lain? Tanpa diapun kami bisa apa saja. Malah dia itu pengganggu... Nyuruh-nyuruh tapi tidak mau melakukan sendiri. FIRAUN!

...................................

Bakda dhuhur kesempatan untuk pergi keluar sebab nanti bakda ashar sudah kegiatan lagi. Waktu yang sangat singkat. Seharusnya sehabis dhuhur sampai maghrib dikosongkan saja biar nanti malam waktu diniyah tidak mengantuk. Tapi orang-orang atas itu tidak mau tahu. Ah... daripada kesal memikirkannya mending kubuat keluar saja. Sudah janjian dengan Heru bersama-sama dolan ke pondok lor.

Berdua kami berjalan ke depan. Kulihat sebentar kearah dalam kamar asatidz. Nampak si Firaun sedang duduk di depan komputer. Main game. Apa lagi kalau tidak itu? Nonton film. Semaunya sendiri.

“Ayo....” Heru menarik tanganku. Kulanjutkan jalanku. Keluar gerbang kami berjalan keutara.

Melihat kanan kiri jalan banyak sekali toko. Mulai supermurah, toko buah, toko kelontong, salon, tambal ban, warung makan, warung kopi, toko baju, toko parfum sampai jasa laundry. Temapt-tempat semacam ini sangat mengganggu iman kami para santri. Lha pye to..... kesempatan bisa buka pesbuk jarang-jarang didapat. Bisanya kalau Cuma berani nekat. Dulu tempat itu lokasi penimbunan sampah daur ulang, namun setelah insiden kebakaran yang cukup hebat lokasinya berganti menjadi komplek kecil pertokoan seperti sekarang. Sisa kebakaran masih nampak di rumah belakang bakso tenis.

Berjalan terus ke utara... ah? Bukankah itu si Firaun?? Aku langsungberhenti. Tangan Heru segera kutarik. Dia menoleh “Ada apa sih??”

Aku menunjuk ke arah si Firaun yang nampak lagi berbicara dengan seorang anak perempuan yang tak pernah kulihat sebelumnya. Mereka sangat berdekatan. “Lihat si Firaun itu...” Bisikku.

“Eh... pak Budin?!”

“Kenal gak dengan anak perempuan itu?”

“Wah... belum pernah...” Heru menggeleng “Manis sekali ya gadis itu...”

“Dasar!!!” Umpatku agak keras. Heru terkaget. “Melarang-larang bertemu ajnabiyah tapi dia sendiri melanggarnya. Benar-benar membuatku semakin kecewa”

“Tapi.... apa benar seperti itu...” Heru meragu, sebentar dia menoleh kepadaku lalu kembali melihat si Firaun yang mulai berjalan. Selang sebentar dua orang itu berboncengan pergi menaiki motor  menghilang dari pandangan kami.

“Lihat kan?!”

.......................

Kejadian tadi siang benar-benar membuatku marah. Dan muak! Apalagi si Firaun itu  sampai selarut ini belum juga terlihat batang hidungnya. Pasti sedang pacaran... atau mungkin saja sudah terjerumus ke hal-hal yang hina. Seperti itukah yang namanya ustadz? Setiap hari ngomong ‘apa yang kamu katakan harus sebanding dengan apa yang kamu perbuat’, BAH! Omong kosong!

“Hush! Jangan begitu....” Arul yang seangkatan denganku mencoba membela si Firaun “Mungkin saja itu famili pak Budin, kan kita belum tahu”

“Ah... kau ini terlalu chusnudz dzon, Rul. Aku yakin dia pasti pacar ustadz yang tidak tahu diri itu. Membuatku muak saja” kutendang bangku didepanku sekenanya sebagai pelampiasan.

“Aku setuju denganmu!” Toyib datang bersama Imam dan Ayub. “Beberapa hari yang lalu sebenarnya kami bertiga juga melihat pak Budin sedang berduaan dengan anak perempuan yang ciri-cirinya sama persis dengan yang kamu lihat tadi siang. Anaknya berwajah tirus, berkulit putih, manis, jilbab paris dengan tinggi badan sepundak pak Budin, kan?”

“Persis!” Jawabku semangat. Aku semakin yakin.

“Berarti ya itu!!!” Suara Toyib meninggi.

Semuanya terdiam. Sibuk dengan pemikirannya masing-masing. Antara ingin mengumumkan kelakuan si Firaun dan menangkap basah bila mungkin. Namun butuh lebih dari ini agar bisa mengurusnya.

“Kami sempat menguping pembicaraan mereka...” Imam akhirnya ikut bercerita. Semuanya menoleh padanya “Mereka berdua sedang membicarakan masalah nikah-nikah!”


Gara-gara memikirkan cerita Imam tadi aku sampai tidak bisa tidur. Kok gak habis pikir dengan kelakuan si Firaun itu. Ah! Semakin sumpek! Kulangkahkan kakiku untuk berkeliling asrama-mushola-naik turun tangga. Musim penghujan memang sangat dingin. Sudah sepi sekali. Kebanyakan memilih tidur di kamar, yang di mushola tinggal sedikit. Di depan, di gazebo nampaknya ada 3 anak, dari kamar B2, merekapun juga sudah melungker dengan kemulnya masing-masing. Ngorok. Piket jaga kok malah ditinggal tidur. Bagaimana kalau si.....

Itu dia! Si Firaun kembali. Dibukanya perlahan gerbang besi depan. Pasti sebab takut ketahuan. Cepat-cepat kuambil sandal. Motor sudah di parkir. Aku berdiri diam di belakangnya dengan pandangan yang kubuat setajam mungkin. Saat berbalik ia cukup kaget.

“Eh?! Arul? Belum tidur Rul?” Basa-basi. Ia memandangku dengan wajah bodohnya. Sama sekali tidak merasa bersalah. Seburuk inilah dia. Ustadz Budin. Orang yang paling vokal melarang ini itu. Santri harus begini. Santri tidak boleh begini... “Maaf Rul, saya sangat mengantuk. Tak tinggal ke kamar dulu ya” Ia menepuk pundakku lalu melenggang pergi.



Hah! Kutendang pot bunga sekeras-kerasnya.

Fauzi terbangun, ia celingukan mencari asal sumber suara keras tadi. Kemudian menemukanku sedang berdiri di barat gazebo tempatnya. “Ada apa Rul?! Suara tadi dari kamu ta???”. Kubentak dia lalu kutinggal pergi. Fauzi hanya bisa melongo, garuk-garuk kepala lau merebah lagi.

.......................................

Hari ini pulang pagi. Setiap tanggal 4 ada sidang guru madrasah. Aku bersegera kembali ke pondok. Sedang malas melakukan apapun. Pikiranku budeg gak karuan gara-gara si Firaun. Kuhabiskan saja waktuku dengan ngobrol bersama teman-teman sekamar di teras naikan tangga. Sekedar penghilang stres yang tadi malam. Cukup manjur juga. Arah barat langsung bisa melihat ndalem kulon. Bangunannya besar dan cukup megah, sangat kontras dengan ndalem sepuh yang di depan. Sangat sederhana bahkan catnya banyak yang sudah terkelupas. Nampak ada orang yang muncul dari dalam. Dengan kepala tertunduk ia berjalan pelan ke asrama lalu menghilang di bawah. Akupun tersenyum.

Si Fir’aun sudah mendapatkan hukumannya. Tentu saja ndalem akan sangat marah dengan kelakuannya tersebut. Cepat-cepat aku turun kebawah. Sudah ada Heru, Imam dan beberapa teman lain di dekat kenteng. Aku mendekat. Seolah sudah bisa menebak tujuanku, Heru berbisik.

“...... Pak Budin katanya akan boyong hari ini ....”

“Disuruh ndalem?”

“Nampaknya. Mungkin nanti malam baru pulang”

“Kok begitu?”

“Kurang faham aku ... Tadi aku hanya sempat mendengar sekilas pembicaraan di kamar pengurus”

Aku tersenyum. Oh ya .... “Harus diberi kenang-kenangan, Her”

Heru mengerutkan dahinya. “Maksudnya?”. Kubiarkan saja dia menebak-nebak.

.........................................

Shubuh yang begitu tenang tanpa ada suara cempreng si Firaun.

Wiridan berlangsung seperti biasanya. Banyak yang mengantuk. 10 menit Abah yai meraih microphon. Yang dibelakang cepat-cepat menyalakan power.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un”

Aku menoleh ke yang lain. Ternyata  memang bukan aku saja yang mendongakkan kepala demi mendengar kalimat tarjih abah yai. Siapa yang meninggal?? Kusenggol siku Heru, dia malah membalas dengan mendesis menyuruhku diam. Kualihkan kembali perhatianku kepada abah yai yang masih belum melanjutkan dawuh beliau.

“Tidak ada yang tahu kapan ajal akan datang. Tidak ada yang bisa mengira-ngira kapan terakhir kali kita bisa bertemu dengan orang-orang yang kita sayangi. Dankapanpun, perpisahan selalu terasa menyakitkan....”

Abah yai kembali berhenti. Sebentar kemudian aku mulai mendengar suara isak tangis dari utara satir. Semakin lama semakin banyak. Dari arah belakangpun juga agak sedikit gaduh, namun abah yai membiarkannya, tidak seperti biasanya langsung duko. Aku masih berusaha untuk memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. “........ Tadi malam, tepat pukul 01:00 anakku, ning Una mengalami kecelakaan bersama suaminya. Dia mengalami pendarahan dalam di kepala dan meninggal seketika... (abah yai terisak) Sedang suaminya sekarang masih koma dan dirawat di RS. Bhayangkara BJN..... Sahal ada?”

Ustadz Sahal maju ke depan dengan sungkuk-sungkuk dan bersimpuh di samping abah yai. Ia kepala pondok.

“Pimpin anak-anak tahlil...” . “Nggeh...”

Abah yai bangkit dan segera kembali ke ndalem. Suara mobil terdengar lalu terlihat melintas keluar pesantren.

....................

“Siapa ning Una??”

“Kamu belum pernah dengar?” Mualimin mengernyitkan dahi. Ekspresi wajah yang membuatku kurang nyaman. “Ning Una itu keponakan Abah yai namun beda mbah. Meski begitu beliau sangat menyayanginya dan bahkan menganggapnya sebagai anak”

“Kok aku belum pernah lihat...?”

“Memang ning Una lebih suka berbaur dengan para santriyat di asrama. Biasanya ia ikut di kamar pengurus putri. Karena hal itulah banyak santri putri yang menangis tadi shubuh. Baru sekali aku melihatnya”

 “Eh,,, memangnya bagaimana penampilan ning Una itu?”

“Waaaaah .... bidadari Rul!” . Bidadari?? Perumpamaan yang terlalu mengejutkan. “Sangat cantik. Posturnya mungil namun sangat pas. Meskipun dzuriyah ndalem ning Una itu sangat merendah. Ia bersikap layaknya santriyat pondok. Semuapun senang dan menaruh segan padanya. Terutama sifat sumehnya yang suka bertegur sapa. Cara bicaranya tidak sombong dan...”

“Stop Min! Kau terlalu bersemangat... jadi intinya, ning Una adalah tipe idaman? Lalu kapan ia menikah?”

“Naaaaaaah, aku baru mendengar hal ini tadi usai jamaah. Ternyata ning Una sudah menikah 1 minggu ini. Namun baru sirri. Rencananya walimah ursy-nya akan diadakan besok hari Rabo di rumah suaminya”

“Eh?! Berarti tinggal 3 hari lagi?”

....................

Rombongan kami akhirnya sampai juga di rumah duka. Ndalem ning Una nampak sederhana namun sangat rapi. Ada banyak sekali bunga hias di halaman. Pohon mangga dan rambutan berdiri di sekitar pagar. Bermacam-macam bunga anggrek menempel dengan serasinya.

Sudah banyak pelayat yang hadir. Juga dari dzuriyah keluarga besar ndalem. Dan itu? Eh, bukannya itu ustadz Mawan kakak Budin si Firaun? Kuedarkan pandangan namun tak juga menemukan si Firaun. Hmmm, benar-benar keterlaluan. Ning-nya meninggal namun dia tidak nampak batang hidungnya, Ayub menanyakan mengapa tiba-tiba aku menggeleng-gelengkan kepala, kujawab tidak ada apa-apa. Tidak perlu terlalu dipikirkan. Ah mungkin si Firaun sedang sibuk dengan motornya yang kurusak rem belakangnya. Haha. Lucu juga kalau mengingat hal ini lagi. Sebuah kenang-kenangan yang memang pantas untuk si Firaun. Melihatku tersenyum Heru segera menyikutku. Ah iya. Seharusnya semua berkabung kan.

Kami kebagian duduk di sekitar pohon rambutan. Kalau hari ini panas tentu akan sangat menyenangkan mendapat posisi yang sejuk begini. Namun langit redup seolah akan hujan namun tanpa mendung. Kami yang berseragam putih cukup menjadi pusat perhatian meski hanya sebentar.

Abah yai nampak sedang berbincang dengan beberapa orang di dekat pintu depan. Mereka berbisik lalu mengangguk. Abah yai pindah sedang bapak-bapak itu berjalan ke arah yang lain. Sebentar kemudian pengeras suara mulai berdenging. Perhatian kami tersita ke arah lain. Acara pelepasan jenazah sudah dimulai dengan dipandu kyai sekitar.

Muqoddimah dan isinya cukup bagus untuk disampaikan di kalangan dzuriyah pesantren. Bahasa jawanya juga sangat halus mencerminkan keilmuan kyai tersebut. Di akhir pidato beliau menambahkan beberapa patah kata tambahan. “Dan semoga keluarga khususnya suami ning Una, ustadz Muhibudin diberikan kekuatan dan segera bisa pulih kembali”

Semua menjawab amin begitupun denganku. Namun ada sedikit keganjalan, nama itu cukup familiar. Ustadz Muhibudin... Oh ya sama dengan nama si Firaun. Aku menoleh ke samping. Heru mengangguk. Sejak kapan kamu tahu??

“Bakda shubuh. Aku diberitahu pak Sahal tentang hal ini. Ternyata yang menikah dengan ning Una itu pak Budin.... kamu kucari-cari tidak ketemu, Rul”

Ah tadi pagi aku dan Mualimin sedang duduk-duduk di atas dek jeding. “Lalu?”

“Berarti selama ini kita sudah salah faham. Yang bersama dengan pak Budin itu bukan pacarnya namun...”

“Ning Una?! Istrinya!” Heru mengangguk namun segera merubah posisi duduknya. Ah aku terlalu sibuk dengan pikiranku. Kalau begitu, yang sedang koma di RS itu pak Budin... dan kecelakaan tadi malam??? Apakah berarti ....

“Arul..”

Eh? Aku mendongak. Abah yai?!

“Ikut denganku” Wajah beliau sangat dingin. Kulirik Heru dan yang lain, semua menunduk sangat dalam seolah sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

....................

Di depan kamar ada beberapa orang bapak-bapak dan seorang ibu muda duduk saling bersanding. Sedang dua lagi berdiri di samping pintu. Ada ustadz Sahal juga. Semua memandangku dengan sorot mata yang sangat tajam. Bahkan si ibu muda dipegangi bapak yang disampingnya, seolah ia begitu ingin menerkamku. Setelah itu aku sudah tak berani melirik lagi. Abah yai berhenti di depan pintu. Bapak-bapak yang di samping ustadz Sahal memberi isyarat mengangguk. Beliau berpaling.

“Masuk!”

Aku tak berani menjawab, hanya sungkuk-sungkuk dan pelan-pelan mendorong pintu kamar. Begitu sudah di dalam pintu kembali tertutup.

“..... Arul ...”

Aku tak tahu harus menjawab apa. Bahkan tak tahu apa yang harus kulakukan di sini. Dan bahkan sama sekali tak ada apapun di dalam kepalaku.

“.... Kamu kan yang merusak rem belakang motorku...” Suara pak Budin sangat pelan hampir-hampir tak bisa kudengar kalau saja tidak sehening ini. Begitu heningnya sampai suara langkah semutpun aku bisa mendengarnya saat ini. Dan selanjutnya aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya tanpa berharap siapapun mau memaafkanku. Dan entah bagaimana setelah itu sudah tak ada apapun yang bisa kuingat lagi.

Comments