SENJA YANG SETIA MENUNGGU
Moh. Kholil Mughofar
Langit Jombang mengucurkan
gerimis tipis saat Mbak Nyai memanggilku ke ndalem. Daun-daun kelor di samping
surau pesantren bergoyang lembut, seolah ikut berbisik tentang kabar yang bakal
kuterima. Batinku sudah menduga, pasti ada tamu yang datang lagi. Ini sudah
yang kesekian kalinya dalam setahun terakhir.
"Nduk Lathifah, mriki,"
panggil Mbak Nyai dengan suara lembutnya yang khas.
Kurapikan ujung kerudung putihku
sebelum mengetuk pintu ruang tamu ndalem. Di dalam, seorang wanita setengah
baya tersenyum sumringah melihatku datang. Di sampingnya, seorang lelaki
berkopiah putih menundukkan wajah, entah malu atau sungkan.
"Nah, niki putri kulo sing
paling pinter nang pondok," ucap Mbak Nyai memperkenalkanku, meski aku
tahu beliau hanya memuji berlebihan.
Allahumma yassir wala tu'assir.
Kuhela nafas panjang dalam hati.
"Monggo, Bu Siti, Pak Karto,
sampean jelaskan maksud kedatangane," Mbak Nyai mempersilakan dengan
bahasa Jawa halus khas pesantren.
Bu Siti berdehem sejenak.
"Jadi, Nduk, putraku Ahmad ini sudah mapan. Alhamdulillah, dia guru di
madrasah aliyah di Kediri, punya rumah sendiri, dan siap nikah. Kami dengar
dari Pak Kyai kalau di pondok ini ada santri putri yang sudah lulus kuliah dan
belum menikah. Kami bermaksud melamar, kalau Allah meridhoi."
Aku tersenyum tipis. Cerita yang
sama, orang yang berbeda, dan jawaban yang tak akan berubah.
"Mohon maaf, Bu, Pak. Untuk
saat ini, kula dereng kepingin rabi," jawabku lembut dengan bahasa Jawa
yang kubuat sehalus mungkin.
Raut kecewa langsung terpancar
dari wajah mereka. Mbak Nyai menghela nafas—beliau sudah hafal dengan
jawabanku.
"Tapi kan usiamu sudah 27
tahun, Nduk. Apa ndak sayang?" tanya Bu Siti, hampir seperti memohon.
"Nggih, kula paham, Bu. Tapi
kula taksih pingin ngabdi ten pondok," jawabku mantap.
Diam-diam, hatiku berujar maaf.
Bukan pondok yang menjadi alasan sebenarnya. Tapi seseorang yang kurindukan
setiap kali adzan Maghrib berkumandang.
Namanya Gus Harun. Putra ketiga
Kyai Bahauddin dari pesantren sebelah. Beliau mengajarkan kitab Ihya
Ulumuddin setiap Selasa dan Jumat ba'da Ashar. Usianya mungkin 35 tahun,
dengan wajah yang selalu teduh dan suara yang tak pernah meninggi meski
menghadapi santri yang bandel.
Lima tahun lalu, ketika aku masih
menjadi mahasiswi semester akhir sekaligus pengajar di pesantren, itulah
pertama kalinya aku mendengar beliau mengupas bab mahabbah dalam kitab
kuning. Caranya menjelaskan tentang cinta yang suci, tentang rindu yang
mendekatkan pada Allah, tentang bagaimana mencintai makhluk sebagai jembatan
untuk mencintai Sang Khalik, terasa begitu menyentuh.
"Hubbun yaqarribuna ila
hubbillah, fa huwa mahmud." Cinta yang mendekatkan kita pada cinta
Allah, itulah cinta yang terpuji, begitu beliau menjelaskan.
Dan sejak itu, aku merasakan ada
yang berbeda dalam dadaku setiap kali melihat sosok tinggi dengan surban putih
itu melangkah ke dalam kelas. Mungkin inilah yang dimaksud para pujangga
tentang "ketaman" ati"—hati yang terkena panah asmara.
Tapi aku bukanlah gadis yang
berani mengungkapkan perasaan. Biarlah aku pendam, kusimpan rapi seperti
selembar surat yang tak pernah terkirim.
"Piye, Fah? Kok malah
ngalamun?" tegur Mbak Atik, sahabatku sejak nyantri, membuyarkan
lamunanku.
"Ora opo-opo, Mbak. Mung
kelingan pelajaran pas jaman semono," jawabku sambil membereskan
kitab-kitab yang berserakan di depanku.
"Halah, mosok yo? Opo mergo
awan iki Gus Harun ora rawuh ngaji?" goda Mbak Atik yang terlalu hafal
dengan kebiasaanku.
Kulempar bantal ke arahnya.
"Gusti Allah, ngapunten. Aku rak wis tau ngomong, aku gelem dadi
guru nang kene mergo pancen seneng ngajar, dudu mergo liyo-liyone."
Mbak Atik tertawa kecil. "Yo
wis, yo wis. Tapi sampeyan kapan gelem nompo lamaran? Wis ping piro ta ditolak?
Ojo nganti kebablasen, mengko dadi perawan kasep tenan."
Aku hanya tersenyum. Bagaimana
menjelaskan bahwa hatiku sudah terikat pada seseorang yang bahkan mungkin tak
pernah melirikku lebih dari sekadar santri?
"Nduk Lathifah, saged mriki
sekedap?"
Suara Mbak Nyai memanggilku saat
aku baru selesai mengajar kelas Jurumiyah untuk santri baru. Dengan langkah
ringan, aku bergegas ke ndalem. Namun langkahku terhenti ketika melihat siapa
yang duduk di ruang tamu bersama Kyai dan Mbak Nyai.
Gus Harun.
"Assalamu'alaikum,"
ucapku pelan, nyaris seperti bisikan.
"Wa'alaikumsalam,"
jawab mereka bersamaan.
"Nduk, lenggaho
dhisik," pinta Mbak Nyai.
Dengan jantung berdegup kencang,
aku duduk di ujung kursi, berusaha menjaga jarak sejauh mungkin dari Gus Harun
yang tampak tenang seperti biasa.
"Jadi begini, Nduk,"
Kyai memulai pembicaraan. "Pondok putri di Banyuwangi butuh pengajar kitab
untuk program tahfidz. Mbak Nyai pikir, sampean yang paling cocok untuk tugas
ini."
Sejenak aku terdiam. Banyuwangi?
Itu berarti jauh dari Jombang. Jauh dari... Gus Harun.
"Tapi, Yai..." suaraku
tercekat.
"Gus Harun yang
merekomendasikan sampean," tambah Mbak Nyai, membuat jantungku serasa
berhenti berdetak.
Aku melirik ke arah Gus Harun
yang masih menatap lurus ke depan. Tak ada ekspresi berarti di wajahnya.
"Menurut saya, Ning Lathifah
sangat mumpuni untuk mengajar disana. Kemampuan bahasa Arabnya bagus, pemahaman
kitabnya mendalam, dan cara mengajarnya mudah dipahami santri," Gus Harun
menjelaskan dengan nada datar, seolah hanya membicarakan soal akademis.
Ada perasaan hangat sekaligus
nyeri yang menjalar di dadaku. Ia mengakui kemampuanku, tapi pada saat yang
sama, ia juga mendorongku untuk pergi jauh.
"Saya... saya mohon waktu
untuk berpikir, Yai," jawabku akhirnya.
Langit senja di atas pesantren
selalu mengingatkanku pada perasaanku pada Gus Harun. Merah jingga, hangat,
namun tak pernah bisa kugapai—seperti amplop merah yang kusimpan di bawah
lipatan sajadahku. Surat yang kutulis tapi tak pernah kuberanikan diri untuk
menyerahkannya.
"Jadi, piye putusanmu,
Fah?" tanya Mbak Atik ketika kami duduk bersama di serambi kamar santri.
"Mungkin aku bakal nerima
tawaran nang Banyuwangi," jawabku pelan.
"Lah? Terus Gus Harun
piye?"
Aku tersenyum getir. "Yo
piye maneh, Mbak. Wong beliau ae ora ngerti yen aku nduwe roso. Limang tahun
aku neng kene, ora sepisan wae beliau nuduhke nek peduli luwih seko santri
biasa."
"Tapi sampean wis nolak akeh
lamaran mergo beliau..."
"Iku pilihan kulo, Mbak.
Dudu salahnya Gus Harun."
Malam itu, setelah semua santri
tertidur, aku membuka amplop merah yang kusimpan selama bertahun-tahun. Kubaca
sekali lagi isi surat yang tak pernah terkirim itu, lalu perlahan melipat dan
memasukkannya ke dalam kitab Ihya Ulumuddin yang akan kukembalikan besok
pagi.
"Assalamu'alaikum,
Gus. Mohon maaf mengganggu," ucapku setelah mengetuk pintu ruang ustadz di
kompleks pesantren putra.
"Wa'alaikumsalam.
Monggo, Ning. Ada yang bisa saya bantu?" Gus Harun menjawab dari balik
meja kerjanya yang dipenuhi tumpukan kitab.
"Saya ingin mengembalikan
kitab yang Gus pinjamkan dulu," kataku sambil menyodorkan kitab Ihya
Ulumuddin yang sudah kupegang erat-erat, takut amplop merah di dalamnya
terjatuh.
"Oh, iya. Terimakasih.
Bagaimana, sudah diputuskan soal tawaran ke Banyuwangi?"
"Insya Allah saya bersedia,
Gus."
Gus Harun mengangguk.
"Alhamdulillah. Saya yakin Ning Lathifah akan menjadi ustadzah yang
dibutuhkan disana."
Tak ada kata yang menahan. Tak
ada tanda ia akan merindukanku. Hatiku terasa nyeri, tapi aku berusaha
tersenyum.
"Baiklah kalau begitu, saya
permisi dulu, Gus. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Dua minggu kemudian, di malam
sebelum keberangkatanku ke Banyuwangi, Mbak Nyai memanggilku ke ndalem.
"Nduk, ono tamu kanggo
sampean," ucap beliau dengan senyum misterius.
Hatiku mencelos ketika melihat
Gus Harun duduk di ruang tamu, dengan pakaian rapi dan wajah yang tampak lebih
tegang dari biasanya.
"Assalamu'alaikum,"
salamku pelan.
"Wa'alaikumsalam,"
jawabnya, kali ini dengan suara yang sedikit bergetar.
Mbak Nyai dan Kyai mendadak
pamit, meninggalkan kami berdua dalam keheningan yang canggung.
"Ning..." Gus Harun
memulai, lalu terdiam.
"Nggih, Gus?" balasku,
bertanya-tanya apa gerangan yang ingin disampaikan.
Gus Harun mengeluarkan sesuatu
dari saku jubahnya. Amplop merah. Amplop merahku.
"Saya menemukan ini di dalam
kitab yang Ning kembalikan," ucapnya pelan.
Wajahku seketika panas. Ya Allah,
apa yang telah kulakukan? Bagaimana mungkin aku bisa seceroboh itu?
"Maafkan saya, Gus. Itu...
itu..." aku tergagap, tak tahu harus berkata apa.
"Saya sudah
membacanya," potong Gus Harun, membuat jantungku seolah berhenti berdetak.
"Dan saya punya jawaban untuk surat ini."
Kepalaku tertunduk dalam,
menunggu penolakan yang pasti akan datang. Mungkin nasihat tentang cinta yang
salah, atau mungkin teguran halus tentang batas-batas yang seharusnya dijaga
antara ustadz dan santri.
"Saya juga merasakan hal
yang sama."
Lima kata itu membuatku
mengangkat wajah dengan cepat, hampir tak percaya dengan apa yang kudengar.
"Maaf?" bisikku, seolah
takut salah dengar.
"Lima tahun, Ning. Lima
tahun saya memendam perasaan ini. Tapi saya tak bisa mengungkapkannya karena
posisi saya sebagai pengajar dan Ning sebagai santri, meski sudah menjadi
ustadzah."
Air mata mulai menggenang di
pelupuk mataku. "Tapi... kenapa Gus merekomendasikan saya ke
Banyuwangi?"
Gus Harun tersenyum tipis.
"Karena saya ingin Ning berkembang. Saya tak ingin perasaan saya
menghalangi Ning untuk maju. Tapi setelah membaca surat ini... saya sadar bahwa
mungkin ini sudah saatnya saya bicara."
"Jadi..."
"Kalau Ning berkenan, saya
ingin menemui wali Ning, untuk melamar secara resmi. Bukan sebagai ustadz yang
melamar santrinya, tapi sebagai lelaki yang mencintai seorang wanita dengan
tulus."
Di luar, kumandang adzan Maghrib
mulai terdengar. Suara yang selama ini selalu mengingatkanku pada rasa rindu
yang tak terucapkan. Tapi kali ini, adzan itu terdengar seperti doa yang
terkabulkan.
"Dawuh panjenengan,
Gus," jawabku dengan senyum yang tak bisa kutahan lagi.
Seperti senja yang setia menunggu
malam, kadang cinta perlu waktu untuk menemukan jalannya. Dan surat yang
akhirnya terkirim, meski tak sengaja, telah membuka pintu yang selama ini
terkunci rapat.
Ing atase sak kabehe sukur,
kula matur nuwun dumateng Gusti Allah kang wis maringi katresnan ingkang suci
iki
Tamat
Comments