Harta Karun Bunyai

 


Harta Karun Bunyai

(Moh. Kholil Mughofar)

 

Debu beterbangan saat Salsa, Sita, dan Renita membersihkan kamar almarhum Bunyai Khadijah yang sudah terbengkalai selama lima belas tahun. Sebagai santri senior, mereka ditugaskan untuk merapikan kamar tersebut yang akan dijadikan perpustakaan mini untuk pesantren.

"Lihat ini!" seru Sita sambil mengangkat sebuah kotak kayu berukir dari balik lemari tua. Tangannya gemetar saat membuka pengait kotak tersebut. Di dalamnya, selembar perkamen kusam terlipat rapi.

"Ini... seperti peta," gumam Renita, mengamati garis-garis kecokelatan yang membentuk sebuah pulau. Di sudut peta tertulis "Pulau Komodo" dengan huruf Arab yang sudah memudar.

Mereka bertiga saling berpandangan. Cerita tentang masa muda Bunyai Khadijah sebagai pelaut yang gemar menjelajah nusantara memang sering mereka dengar dari para ustadzah senior. Tapi tidak ada yang pernah menyebut tentang harta karun.

Setelah meminta izin untuk "ziarah" ke makam Bunyai Khadijah di kampung halamannya di Bima, ketiga santriwati itu memulai petualangan mereka ke Pulau Komodo. Berbekal tabungan pribadi dan peta kuno tersebut, mereka menyeberang dengan kapal feri dari Labuan Bajo.

"Menurut peta ini, kita harus mendaki bukit di sebelah utara," kata Salsa sambil mengusap keringat. Matahari Flores yang terik memanggang kulit mereka yang terbalut gamis dan jilbab.

Di tengah perjalanan, mereka berpapasan dengan komodo yang sedang berjemur. Jantung mereka berdegup kencang, tapi pengalaman bertahun-tahun di pesantren telah mengajarkan mereka untuk tetap tenang dalam situasi apapun.

"Bismillah," bisik Sita, menggenggam tasbih di sakunya. Perlahan, mereka memutar arah untuk menghindari reptil purba tersebut.

Petunjuk dalam peta membawa mereka ke sebuah gua tersembunyi di balik rimbunnya pohon lontar. Di mulut gua, terukir kaligrafi yang sama dengan yang ada di peta: "Mencari harta, temukan makna."

Dengan bantuan senter ponsel, mereka menyusuri lorong gua yang berkelok. Di ujung lorong, sebuah peti kayu dengan ukiran serupa kotak tempat mereka menemukan peta tergeletak di altar batu.

"Alhamdulillah," ucap mereka bersamaan. Namun, ketika membuka peti tersebut, mereka tidak menemukan emas atau permata. Yang ada hanyalah sebuah mushaf Al-Quran kuno dan buku catatan harian Bunyai Khadijah.

Di halaman terakhir buku itu tertulis: "Harta yang sebenarnya adalah ilmu dan pengalaman. Setiap tempat yang kujelajahi mengajarkanku kebesaran Allah SWT. Siapapun yang menemukan catatan ini, semoga kalian juga menemukan makna dalam setiap perjalanan."

Salsa, Sita, dan Renita tersenyum. Mereka paham sekarang mengapa Bunyai Khadijah dikenal sebagai ulama perempuan yang bijaksana. Petualangan ini bukan sekadar mencari harta karun fisik, tapi juga pembelajaran tentang keberanian, persahabatan, dan makna kehidupan yang lebih dalam.

Mushaf dan buku catatan itu kini menjadi koleksi berharga perpustakaan mini pesantren, menginspirasi generasi santri berikutnya untuk terus mencari ilmu dan hikmah dalam setiap langkah kehidupan. (Selesai)

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi