Pilihan di Persimpangan
Pilihan
di Persimpangan
A.
Farel Azzamy
Matahari
terik membakar aspal jalanan desa Terate, Sugihwaras. Farel menatap motornya
yang sudah dimodifikasi dengan bangga. Liburan pesantren yang hanya dua minggu
ini menjadi kesempatan langka baginya untuk melepas julukan "si tukang
tidur" di Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro dan berganti menjadi
"Farel si raja jalanan" di kampung halamannya.
"Jadi
jadi nih Rel? Besok malam di Dam Klepek?" tanya Bima, teman masa kecilnya
yang tidak pernah mondok.
Farel
mengangguk sambil mengencangkan baut knalpot racing motornya. "Jam sepuluh
malam, Bim. Kita kumpul dulu di warung Pak Darmin."
Sudah
tiga hari Farel dan teman-teman kampungnya merencanakan balap liar di jalanan
sepi dekat Dam Klepek Sukosewu. Jalanan tersebut terkenal mulus, panjang, dan
sepi di malam hari—tempat sempurna untuk mengadakan balap liar yang jadi
tradisi anak muda desa mereka.
"Si
Agus dari desa sebelah nantang kamu lho, Rel. Katanya motor barunya bisa
ngalahin kamu," goda Dani, teman lainnya yang ikut membantu memodifikasi
motor.
Farel
tersenyum tipis. Di pesantren, semua orang mengenalnya sebagai santri yang
kerap tertidur di kelas namun selalu mendapat nilai tertinggi. Tidak ada yang
tahu bahwa di kampungnya, ia punya reputasi sebagai pembalap jalanan yang
disegani.
"Lihat
besok malam," jawabnya singkat.
Malam
itu, Farel berbaring di kamarnya sambil memandangi langit-langit. Pikirannya
terbang ke Pesantren Maulana Malik Ibrahim—tempat yang sudah menjadi rumah
keduanya selama tiga tahun terakhir. Ia teringat suasana mushola yang tenang,
teman-temannya seperti Rado dengan mimpi-mimpi anehnya, Azka yang suka
menghayal, dan nasihat-nasihat KH. Ihsanuddin yang selalu mengena di hati.
"Anak-anakku,
hidup ini seperti berkendara. Kalian yang memilih jalan dan kecepatan, tapi
ingat bahwa setiap pilihan punya konsekuensi,"
ucap Kyai Ihsan pada suatu pengajian kitab setelah Dhuhur.
Tiba-tiba
ponselnya bergetar. Pesan dari Bima: "Besok kita tambah taruhannya, Rel.
Agus mau taruh tiga juta buat balapan besok."
Farel
menghela napas. Taruhan bukanlah hal baru dalam balap liar, tapi entah mengapa
kali ini ia merasa tidak nyaman. Sejak mondok di pesantren, perlahan-lahan
nilai-nilai Islam yang diajarkan mulai meresap ke dalam hatinya.
"Cak,
ini bolak-balik nggak bagus. Balap liar bahayanya bukan cuma sama diri sendiri,
tapi juga bisa bahayain orang lain," Farel
teringat peringatan Pak Emi, kepala keamanan pesantren yang galak tapi selalu
mengingatkan santri dengan tegas tentang peraturan dan keselamatan.
Keesokan
harinya, Farel mendapat telepon dari nomor tidak dikenal.
"Assalamualaikum,"
sapa suara di seberang.
"Waalaikumsalam,"
jawab Farel.
"Ini
dengan Farel? Saya Alif, teman sekamarmu di pesantren."
Farel
terkejut. Alif yang gila belajar itu jarang sekali menelepon, apalagi saat
liburan.
"Iya
Lif, ada apa?"
"Farel,
maaf ganggu liburanmu. Tadi siang Gus Iib datang ke pesantren dan cerita
pengalaman aneh. Katanya beliau bermimpi melihatmu di jalan gelap dan banyak
ambulans. Beliau sampai menanyakan kabarmu ke Kyai Ihsan."
Jantung
Farel berdetak kencang. Gus Iib dikenal memiliki kemampuan spiritual tinggi dan
mimpi-mimpinya sering menjadi pertanda.
"Beliau
bilang cuma mimpi biasa, tapi pesan beliau, kalau kamu ada rencana yang
berisiko, sebaiknya ditunda dulu."
Farel
terdiam. Bayangan jalanan Dam Klepek yang gelap dan rencana balap liar malam
ini berkelebat di pikirannya.
"Makasih
ya, Lif. Sampaikan terima kasihku ke Gus Iib."
Sore
itu, Farel berkendara sendirian menuju Dam Klepek Sukosewu. Jalanan memang
mulus dan panjang, tapi ia baru menyadari betapa tikungannya cukup berbahaya
jika dilewati dengan kecepatan tinggi. Di satu tikungan tajam, ia melihat bekas
kecelakaan—pagar pembatas yang penyok dan serpihan kaca yang masih berserakan.
Farel
menghentikan motornya dan menatap jalan itu lekat-lekat. Kemudian ia
mengeluarkan ponselnya, membuka grup WhatsApp dengan teman-teman kampungnya.
"Guys,
aku nggak ikut balapan malam ini. Ada yang lebih penting," ketiknya.
Ponselnya
langsung berdering dengan notifikasi protes dari teman-temannya.
"Rel,
jangan bercanda!" "Kamu takut kalah sama Agus?" "Payah
nih!"
Farel
tersenyum tipis membaca respons mereka, kemudian mengetik lagi:
"Besok
aku ajak kalian ke tempat yang lebih keren. Kita main bola di pesantrenku. Kyai
Ihsan udah kasih izin santri-santri masuk pondok lebih awal buat tanding bola persahabatan."
Bohong
memang. Tapi Farel tahu ia harus mencari alasan yang bisa diterima
teman-temannya.
Keesokan
harinya, Farel tiba di Pesantren Maulana Malik Ibrahim tiga hari lebih awal
dari jadwal masuk. Kyai Ihsan menyambutnya dengan senyum hangat di teras
rumahnya.
"Sudah
rindu pesantren, Farel?" tanya Kyai dengan suara lembutnya yang khas.
"Iya,
Yai. Saya ingin membaca kitab sebelum kegiatan dimulai," jawab Farel
sambil mencium tangan gurunya.
"Alhamdulillah.
Kebetulan Pak Kholil baru mendapat kiriman kitab baru di tokonya. Kamu bisa ke
sana untuk melihat-lihat."
Farel
menuju toko kitab Pak Kholil di depan pesantren. Di sana, ia bertemu Pak Kholil
yang sedang menata kitab-kitab baru.
"Assalamualaikum,
Pak Kholil," sapa Farel.
"Waalaikumsalam.
Eh, Farel. Kok sudah kembali? Liburan masih lama kan?"
"Ingin
belajar lebih awal, Pak," jawab Farel sambil melihat-lihat kitab di rak.
Pak
Kholil tersenyum. "Nak, saya baru saja membaca sebuah artikel di NU Online
tentang balap liar. Menurut ulama, aktivitas tersebut termasuk dalam kategori
membahayakan jiwa yang dilarang dalam Islam. Allah berfirman dalam surat
Al-Baqarah ayat 195, 'Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan.'"
Farel
terkejut. Bagaimana Pak Kholil bisa tahu?
"Selain
itu," lanjut Pak Kholil, "balapan liar sering melibatkan taruhan yang
termasuk maysir atau judi yang jelas diharamkan. Bahkan tanpa taruhan pun,
membahayakan diri dan orang lain tetap dilarang."
Farel
menunduk. "Saya... mengerti, Pak."
"Saya
tidak tahu apa yang kamu rencanakan selama liburan, Farel. Tapi saya lihat kamu
kembali lebih awal, mungkin ada hikmahnya."
Malam
itu, setelah shalat Isya dan mengaji Al-Qur'an, Farel duduk sendirian di
pelataran mushola. Dari ponselnya, ia melihat story Instagram teman-temannya
yang menunjukkan kecelakaan di jalanan Dam Klepek. Motor Agus, si penantang,
rusak parah setelah menabrak pembatas jalan di tikungan tajam yang tadi sore
Farel perhatikan.
"Alhamdulillah..."
bisiknya lirih.
"Kenapa
kamu kembali lebih awal, Farel?" suara Kyai Ihsan mengejutkannya.
"Saya...
hampir melakukan kesalahan besar, Yai," Farel akhirnya bercerita tentang
rencana balap liar dan bagaimana mimpi Gus Iib dan ingatan tentang ajaran
pesantren membatalkan niatnya.
Kyai
Ihsan menepuk pundaknya. "Farel, kecerdasanmu bukan hanya terlihat dari
nilai-nilaimu di kelas. Tapi juga dari keputusan-keputusan yang kamu ambil
dalam hidup. Allah selalu memberikan petunjuk bagi mereka yang hatinya
terbuka."
"Tapi
saya bohong ke teman-teman, Yai. Saya bilang di pesantren ada tanding bola
persahabatan."
Kyai
Ihsan tersenyum. "Besok telepon mereka. Ajak mereka benar-benar main bola
di sini. Kita bisa adakan pertandingan persahabatan sungguhan antara santri dan
pemuda desamu. Lebih baik balapan di lapangan bola daripada di jalanan
berbahaya, kan?"
Farel
tersenyum lega. Di pesantren ini, ia selalu menemukan jalan keluar untuk setiap
masalah.
"Terima
kasih, Yai."
"Sama-sama,
Farel. Ingat, kecerdasan sejati adalah ketika ilmu membimbing tindakan, bukan
hanya mengisi pikiran."
Senja
kembali merambat perlahan di langit Ngumpakdalem, menerangi Pesantren Maulana
Malik Ibrahim. Dan Farel, untuk pertama kalinya, tidak tertidur di sudut
mushola saat waktu shalat menjelang. Ia terjaga, penuh kesadaran akan nikmat
hidayah yang telah Allah berikan kepadanya melalui pesantren yang dicintainya
ini.
Tamat.
Comments