Portal Menuju Angkasa
Portal Menuju Angkasa
(Moh. Kholil
Mughofar)
"Subhanallah..."
bisik Salsa takjub saat tangannya tak sengaja menyentuh ukiran aneh di dinding
mushola tua pesantren. Ukiran itu berpendar kebiruan, memancarkan cahaya yang
semakin terang.
"Salsa,
mundur!" teriak Renita panik, tapi terlambat. Dalam sekejap, pusaran
energi misterius menyedot mereka bertiga—Salsa, Sita, dan Renita—ke dalam
portal yang tiba-tiba terbentuk.
Ketika membuka
mata, mereka mendapati diri berada di dalam sebuah pesawat angkasa berteknologi
tinggi. Melalui jendela transparan, tampak hamparan bintang-bintang dan
planet-planet yang berkilauan.
"Masya
Allah... ini tidak mungkin," gumam Sita sambil mencubit pipinya sendiri.
Jilbab syar'inya melayang-layang karena gravitasi rendah.
Sebuah hologram
muncul di hadapan mereka, menampilkan wajah familiar sang pendiri pesantren,
Kyai Zainuddin. "Jika kalian melihat pesan ini, berarti kalian telah
menemukan portal yang saya ciptakan. Saya bukan hanya seorang kyai, tapi juga
seorang ilmuwan quantum yang telah lama meneliti hubungan antara spiritualitas
dan sains."
"Tunggu,
bukankah Kyai Zainuddin hidup di abad 19?" tanya Renita bingung.
Mereka bertiga
terpana melihat keajaiban ciptaan Allah yang terbentang di hadapan mereka.
Pesawat membawa mereka melewati cincin Saturnus, menembus kabut bintang, hingga
mendekati galaksi-galaksi yang jauh.
"Ini
menakjubkan! Lihat, bintang-bintang itu membentuk kaligrafi 'Allah'!" seru
Salsa menunjuk ke arah konstelasi yang berkilauan.
Sita, yang
sejak kecil bermimpi menjadi astronot, tak bisa menahan air matanya.
"Selama ini aku mengira tak mungkin menjadi astronot sambil tetap
berjilbab. Ternyata Allah Maha Kuasa..."
Namun
kegembiraan mereka tak berlangsung lama. Alarm pesawat berbunyi nyaring. Di
kejauhan, tampak pusaran hitam raksasa yang menarik segala sesuatu ke dalamnya.
"Black
hole!" teriak Renita. "Kita harus menghindar!"
Pesawat mereka
mulai berguncang hebat. Sistem navigasi otomatis tidak berfungsi. Mereka
tersedot semakin dekat ke arah pusaran mematikan itu.
"Laa ilaha
illallah!" jerit Sita panik. "Tidaaaak!"
"Sita!
Sita! Bangun!"
Sita membuka
mata dengan tersentak. Di sekelilingnya, Salsa dan Renita memandang dengan
khawatir. Mereka masih berada di mushola tua pesantren, tempat mereka biasa
mengaji ba'da Ashar.
"Kamu
ketiduran pas wiridan," kata Renita geli. "Tadi teriak-teriak tentang
black hole segala."
Sita mengusap
wajahnya yang berkeringat. Di dinding mushola, ukiran kuno itu masih ada—tapi
tak berpendar. Hanya ukiran biasa dengan kaligrafi indah bertuliskan:
"Semua rahasia alam semesta ada dalam Al-Quran."
"Mimpi
yang aneh," gumam Sita. "Tapi entah kenapa, aku merasa Allah ingin
menunjukkan sesuatu padaku."
"Apa
itu?" tanya Salsa penasaran.
Sita tersenyum.
"Bahwa tak ada yang mustahil bagi Allah. Dan kita, para santriwati, bisa
menjadi apapun yang kita impikan selama tetap berpegang pada syariat."
Mereka bertiga
tertawa, lalu bergegas ke kamar untuk persiapan sholat Maghrib. Meski hanya
mimpi, petualangan ruang angkasa itu memberikan perspektif baru tentang
kebesaran Allah dan luasnya kemungkinan yang bisa mereka raih. (Selesai)

Comments