Selembar Kertas yang Terlambat Terbakar

 


Selembar Kertas yang Terlambat Terbakar

Syauqi Muhammad

 

Tiga puluh hari sudah. Tiga puluh hari yang terasa seperti tiga puluh tahun bagi Syauqi. Kakinya letih mengepel seluruh lantai asrama putra setiap hari setelah jamaah Subuh. Tangannya kasar setelah mencuci semua piring di dapur asrama selepas maghrib. Rambutnya yang dulu ditata rapi kini dicukur habis hingga plontos. Semua itu adalah bagian dari hukuman yang diterimanya karena melanggar salah satu aturan terberat di Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro: pacaran dengan santri putri.

"Yakin enggak mau kasih tahu siapa yang mengirim surat-surat itu ke asrama putri?" Pak Akom, kepala asrama putra yang luar biasa galak, bertanya untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tegak di depan Syauqi yang sedang mengepel lorong asrama.

"Saya sendiri, Pak," jawab Syauqi tanpa mengangkat wajahnya. Jawaban yang sama yang ia berikan setiap kali ditanya.

Pak Akom mendengus. "Kamu pikir kami tidak tahu kalau santri lain ikut membantu? Kamu pikir mungkin seorang diri menyelundupkan surat-surat itu ke asrama putri tanpa bantuan?"

Syauqi tetap diam, meneruskan kegiatannya mengepel.

Di asrama putri yang terletak di utara mushola, di balik tembok tinggi yang memisahkan santri putra dan putri, Mieta juga menjalani hukumannya. Gadis itu kini dipaksa bangun satu jam lebih awal dari santri lainnya untuk membersihkan kamar mandi asrama, dilarang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler selama tiga bulan, dan harus menghafal sepuluh hadits tentang menjaga pandangan dan pergaulan setiap harinya.

"Ini hadits kesepuluh yang kamu hafalkan hari ini?" Bu Hawa, kepala asrama putri yang tegas namun berwibawa, bertanya pada Mieta yang berdiri di depannya dengan kepala tertunduk.

"Iya, Bu," jawab Mieta pelan.

"Baik, coba bacakan."

"Dari Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa belum mampu, maka berpuasalah, karena puasa dapat menekan syahwatnya.'" Mieta melafalkan hadits itu dengan suara bergetar.

Bu Hawa mengangguk puas. "Sudah paham makna hadits ini?"

"Sudah, Bu," jawab Mieta. Air matanya menggenang, tapi ia tahan sekuat tenaga agar tidak jatuh.

"Semoga ini jadi pelajaran berharga untukmu," kata Bu Hawa, nadanya melembut. "Kamu santri yang cerdas, Mieta. Sayang kalau masa depanmu rusak hanya karena hal seperti ini."

Mieta hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata.


Dua puluh hari sebelumnya, suasana Pesantren Maulana Malik Ibrahim gempar. Pagi itu, setelah jamaah Subuh, Pak Emi—kepala keamanan putra yang beringas dan galak—menggeledah asrama putra secara mendadak. Berdasarkan laporan dari beberapa santri, ada kegiatan mencurigakan yang dilakukan oleh sebagian santri putra.

"Buka lemari kalian semua!" perintah Pak Emi dengan suara menggelegar. "Keluarkan semua barang-barang kalian!"

Santri putra bergegas mematuhi perintah tersebut, termasuk Syauqi yang mendadak pucat. Ia berusaha terlihat tenang, tapi jantungnya berdebar kencang.

"Qi, tenang," bisik Alif, teman sekamarnya yang gila belajar. "Kalau kamu panik, malah mencurigakan."

Syauqi berusaha mengendalikan dirinya. Ia berdoa dalam hati, berharap surat-surat yang disimpan di bawah kasurnya tidak ditemukan.

Namun, harapannya pupus ketika Pak Emi membongkar kasurnya dan menemukan sekumpulan surat beramplop pink yang disembunyikan di dalam sarung bantal.

"Apa ini?" Pak Emi mengangkat surat-surat itu tinggi-tinggi, memperlihatkannya pada semua santri. "Syauqi! Jelaskan apa ini!"

Semua mata tertuju pada Syauqi yang kini berdiri terpaku. Farel yang biasanya tertidur pun kini terbangun sepenuhnya, menatap Syauqi dengan tatapan tidak percaya.

"I-itu surat saya, Pak," jawab Syauqi terbata.

"Surat untuk siapa?" tanya Pak Emi, membuka salah satu amplop dan mulai membaca isinya. "'Untuk M yang selalu kurindukan...' M siapa ini, Syauqi?"

Syauqi menelan ludah. "Mieta, Pak. Santri putri kelas dua Aliyah."

Seisi kamar mendadak riuh. Beberapa santri berbisik-bisik, sementara yang lain menatap Syauqi dengan pandangan tidak percaya.

"Astaghfirullah," Pak Emi menggelengkan kepala. "Kamu tahu kan pacaran dilarang keras di pesantren ini?"

"Iya, Pak," jawab Syauqi lirih.

"Ikut saya ke kantor sekarang."

Sementara itu, di asrama putri, Bu Fika—kepala keamanan putri yang pendiam namun ahli memecahkan kasus—juga sedang melakukan penggeledahan. Berdasarkan informasi dari Pak Emi, kemungkinan ada santri putri yang berhubungan dengan santri putra melalui surat-menyurat.

"Semua buka lemari kalian," perintah Bu Fika dengan suara tenang namun mengintimidasi.

Santri putri bergegas mematuhi perintah tersebut, termasuk Mieta yang berusaha terlihat biasa meski hatinya was-was.

"Bu, saya boleh ke kamar mandi sebentar?" tanya Mieta, berusaha mencari alasan untuk menyelamatkan surat-surat dari Syauqi yang disimpannya di bawah bantal.

"Tidak," jawab Bu Fika tegas. "Tunggu sampai penggeledahan selesai."

Mieta hanya bisa pasrah ketika Bu Fika memeriksa tempat tidurnya dan menemukan surat-surat beramplop biru yang disembunyikan di bawah bantal.

"Mieta, ini apa?" tanya Bu Fika, membuka salah satu amplop. "'Untuk bidadari surga yang tersesat di bumi...' Dari siapa ini?"

Mieta menunduk, tidak berani menatap mata Bu Fika. "Dari Syauqi, Bu. Santri putra kelas tiga Aliyah."

Rizka, teman sekamar Mieta yang selalu ikut campur urusan orang lain, langsung bereaksi. "Jadi selama ini surat-surat yang kamu sembunyikan itu dari Syauqi? Pantas saja kamu selalu senyum-senyum sendiri setiap habis membacanya!"

"Diam, Rizka," tegur Bu Fika. "Mieta, ikut saya ke kantor sekarang."


Satu bulan sebelum penggeledahan itu terjadi, Syauqi dan Mieta bertemu secara tidak sengaja di toko kitab milik Pak Kholil yang terletak di depan pesantren. Hari itu adalah hari Minggu, satu-satunya hari di mana santri diperbolehkan keluar pesantren untuk membeli keperluan atau sekadar mencari udara segar.

Syauqi sedang mencari kitab Bulughul Maram untuk tugas madrasah diniyahnya ketika Mieta masuk ke toko tersebut. Gadis itu mengenakan kerudung putih dan gamis biru muda, terlihat anggun dan bersahaja.

"Permisi, Pak, ada kitab Riyadhus Shalihin terjemahan?" tanya Mieta pada Pak Kholil yang sedang duduk di belakang meja kasir.

"Ada, Nak. Di rak sebelah sana," jawab Pak Kholil, menunjuk ke arah rak yang sama dengan tempat Syauqi berdiri.

Mieta mengangguk dan berjalan ke arah rak tersebut, berdiri tepat di samping Syauqi yang pura-pura fokus mencari kitab.

"Maaf, permisi," kata Mieta sopan, berusaha mengambil kitab yang berada di dekat Syauqi.

"Oh, silakan," Syauqi menggeser tubuhnya, memberikan ruang untuk Mieta. Mata mereka bertemu sejenak, dan entah mengapa, jantung Syauqi berdebar lebih kencang.

"Terima kasih," ucap Mieta dengan senyum tipis.

Syauqi hanya mengangguk, tidak berani berkata-kata lebih jauh. Namun dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari gadis di hadapannya ini. Sesuatu yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh.

Ketika Mieta hendak membayar kitabnya, Syauqi memberanikan diri untuk menyapa.

"Kamu santri Pesantren Maulana Malik Ibrahim juga?" tanya Syauqi, berusaha terdengar kasual.

Mieta mengangguk. "Iya, kelas dua Aliyah. Kamu juga?"

"Kelas tiga Aliyah," jawab Syauqi. "Namaku Syauqi."

"Mieta," balas gadis itu singkat, namun dengan senyum yang membuat Syauqi semakin berdebar.

Percakapan singkat itu berakhir ketika Pak Kholil memanggil Mieta untuk membayar kitabnya. Namun, tanpa disadari keduanya, percakapan itu adalah awal dari hubungan terlarang di pesantren.


Dua minggu setelah pertemuan pertama di toko kitab, Syauqi memberanikan diri untuk menulis surat pertamanya untuk Mieta. Ia tahu bahwa yang dilakukannya melanggar aturan pesantren, tapi entah mengapa hatinya tidak bisa dibohongi. Ia tertarik pada Mieta.

"Qi, kamu yakin mau ngirim surat ini?" tanya Naufal, teman sekamarnya yang netral dan selalu menjadi tempat curhat Syauqi.

"Iya, Fal. Cuma sekali ini kok," jawab Syauqi, melipat surat yang baru saja ditulisnya dan memasukkannya ke dalam amplop biru.

"Kamu tahu kan kalau ketahuan bisa kena hukuman berat?" Naufal mengingatkan.

"Iya, aku tahu," Syauqi menghela nafas. "Tapi kalau tidak dicoba, nanti aku menyesal."

Naufal menggelengkan kepala. "Terserah kamu lah. Tapi jangan bawa-bawa aku kalau ketahuan."

Syauqi mengangguk. "Tenang aja. Aku sudah punya rencana."

Rencana Syauqi adalah menitipkan surat tersebut kepada Mbak Qia, kepala kantin putri yang jago berbahasa Inggris. Mbak Qia dikenal sebagai santri senior yang ramah dan sering dimintai tolong oleh santri-santri untuk hal-hal kecil.

"Mbak, boleh minta tolong?" tanya Syauqi saat berpapasan dengan Mbak Qia di dekat kantin.

"Boleh, ada apa?" tanya Mbak Qia.

"Tolong kasih ini ke Mieta, santri putri kelas dua Aliyah," Syauqi menyerahkan amplop biru tersebut. "Ini cuma surat tentang tugas kelompok pesantren," dustanya.

Mbak Qia menatap Syauqi dengan tatapan menyelidik. "Tugas kelompok? Bukannya santri putra dan putri tidak pernah sekelompok?"

Syauqi salah tingkah. "Eh, maksudnya... ini tugas dari Kyai Ihsan, Mbak. Beliau menyuruh kami menulis refleksi tentang ceramah beliau minggu lalu, dan kebetulan saya lupa mencatat beberapa hal, jadi mau tanya ke Mieta."

Mbak Qia masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengambil surat tersebut. "Baiklah, akan saya sampaikan."

"Terima kasih, Mbak," ucap Syauqi lega.

Mieta menerima surat tersebut dengan perasaan campur aduk. Ia terkejut sekaligus senang mendapat surat dari Syauqi, santri putra yang diam-diam ia perhatikan sejak pertama kali bertemu di toko kitab.

"Surat dari siapa, Ta?" tanya Ulfa, teman sekamar Mieta yang mulutnya tidak bisa diam.

"Bukan siapa-siapa," jawab Mieta cepat, menyembunyikan surat tersebut di balik buku.

"Jangan-jangan surat cinta ya?" goda Ulfa.

"Astaghfirullah, enggak lah," kilah Mieta, meski wajahnya merona.

Malam itu, setelah semua temannya tertidur, Mieta membuka surat dari Syauqi dengan debar jantung yang tak karuan.

"Untuk Mieta yang pernah kutemui di toko kitab,

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Mungkin ini terdengar aneh dan tiba-tiba, tapi sejak bertemu denganmu di toko kitab, aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku ingin mengenalmu lebih jauh. Aku tahu ini melanggar aturan pesantren, tapi aku memberanikan diri untuk menulis surat ini.

Jika kamu bersedia, tolong balas surat ini. Jika tidak, aku akan mengerti dan tidak akan mengganggumu lagi.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Syauqi"

Mieta membaca surat itu berulang-ulang, tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Ia tahu bahwa membalas surat ini berarti melanggar aturan pesantren. Namun, seperti Syauqi, hatinya tidak bisa dibohongi. Ia tertarik pada Syauqi.

Dengan tangan gemetar, Mieta mengambil kertas dan pulpen, mulai menulis balasan untuk Syauqi.


Dua bulan berlalu sejak surat pertama dikirimkan. Syauqi dan Mieta terus bertukar surat secara diam-diam. Kadang melalui Mbak Qia, kadang melalui Kang Bahrul, kepala kantin putra yang ahli memasak dan ternyata juga bisa diajak kerja sama. Bahkan, beberapa kali mereka berhasil bertemu secara sembunyi-sembunyi di toko kitab milik Pak Kholil pada hari Minggu.

"Kamu tidak takut ketahuan?" tanya Mieta pada suatu pertemuan di toko kitab.

"Takut," jawab Syauqi jujur. "Tapi aku lebih takut tidak bisa bertemu denganmu."

Mieta tersenyum malu. "Kita harus hati-hati, Qi. Kalau ketahuan, kita bisa kena hukuman berat."

"Aku tahu," Syauqi mengangguk. "Tapi selama ini aman-aman saja kan? Kita cuma bertemu di toko kitab, itu pun di hari Minggu saat diperbolehkan keluar."

"Tapi surat-menyurat kita? Itu juga melanggar aturan," Mieta mengingatkan.

"Iya sih," Syauqi mengakui. "Tapi kita sudah sejauh ini, dan belum ada tanda-tanda ketahuan."

Tanpa mereka sadari, beberapa santri mulai mencurigai kedekatan mereka. Rizka, teman kamar Mieta yang selalu ikut campur urusan orang lain, mulai memperhatikan perubahan sikap Mieta. Gadis itu lebih sering senyum-senyum sendiri dan selalu menunggu-nunggu surat beramplop biru.

"Mieta, kamu pacaran ya sama Syauqi?" tanya Rizka suatu malam.

Mieta tersentak. "A-apa maksudmu? Enggak kok."

"Jangan bohong deh. Aku lihat kok surat-surat yang kamu sembunyikan di bawah bantal. Semua dari Syauqi kan?" desak Rizka.

"Kamu baca surat-suratku?" Mieta kaget.

"Enggak sih, cuma lihat nama pengirimnya aja," jawab Rizka. "Jadi bener ya kamu pacaran sama dia?"

"Bukan pacaran," kilah Mieta. "Kita cuma... berteman."

Rizka mendengus. "Berteman kok sembunyi-sembunyi? Kamu tahu kan kalau ketahuan bisa kena hukuman?"

"Iya, aku tahu," Mieta menghela nafas. "Makanya tolong jangan bilang siapa-siapa."

Rizka terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kamu harus hati-hati."

Sayangnya, janji Rizka untuk merahasiakan hubungan Mieta dan Syauqi tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, entah karena kelepasan atau memang sengaja, Rizka menceritakan hal tersebut pada Husna, teman sekamarnya yang suka menabuh apa pun yang dia temukan.

"Serius, Mieta pacaran sama Syauqi?" tanya Husna kaget.

"Iya, aku lihat sendiri surat-suratnya," jawab Rizka.

"Ya ampun, padahal Mieta kan santri teladan. Kok bisa-bisanya melanggar aturan seperti itu," komentar Husna.

Tanpa disadari keduanya, pembicaraan mereka terdengar oleh Khalila, santri putri yang jenius dan kebetulan lewat di depan kamar mereka.

Khalila, yang selalu taat aturan dan menjunjung tinggi kedisiplinan, merasa terganggu dengan pelanggaran yang dilakukan Mieta dan Syauqi. Setelah menimbang-nimbang selama beberapa hari, akhirnya ia memutuskan untuk melaporkan hal tersebut kepada Bu Fika, kepala keamanan putri.

"Bu, saya ingin melaporkan sesuatu," kata Khalila saat bertemu Bu Fika di kantor keamanan.

"Ada apa, Khalila?" tanya Bu Fika.

"Saya dengar... ada santri putri dan santri putra yang menjalin hubungan terlarang," kata Khalila dengan suara pelan.

"Siapa?" tanya Bu Fika serius.

"Mieta dan Syauqi, Bu."

Bu Fika mengerutkan dahi. "Kamu punya bukti?"

"Saya dengar dari Rizka dan Husna, katanya mereka saling berkirim surat," jawab Khalila. "Dan... saya pernah melihat mereka bertemu di toko kitab Pak Kholil pada hari Minggu."

Bu Fika mencatat informasi tersebut. "Baik, terima kasih atas laporannya, Khalila. Saya akan menyelidiki hal ini lebih lanjut."

Segera setelah itu, Bu Fika menghubungi Pak Emi, kepala keamanan putra, untuk mendiskusikan masalah ini. Mereka sepakat untuk melakukan penggeledahan mendadak di kedua asrama untuk mencari bukti-bukti hubungan terlarang tersebut.

Dan di sinilah mereka sekarang. Syauqi dan Mieta tertangkap basah dengan bukti surat-surat yang mereka simpan. Keduanya harus menghadapi konsekuensi dari perbuatan mereka: hukuman berat dari pesantren dan kekecewaan dari para ustadz dan kyai.


"Apa yang kamu pikirkan, Nak?" tanya Kyai Ihsanuddin dengan suara lembut namun tegas saat Syauqi dipanggil ke rumahnya yang terletak di depan kompleks pesantren.

"Maafkan saya, Kyai," ucap Syauqi penuh penyesalan. "Saya khilaf."

"Kamu tahu kan bahwa pacaran itu dilarang dalam Islam, apalagi di lingkungan pesantren?" tanya Kyai Ihsan.

"Iya, Kyai," jawab Syauqi lirih.

"Pacaran itu mendekati zina, dan Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, 'Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk,'" Kyai Ihsan mengutip ayat Al-Quran.

Syauqi hanya bisa tertunduk, mendengarkan nasihat Kyai Ihsan dengan hati yang perih.

"Tapi saya percaya kamu adalah anak yang baik, Syauqi," lanjut Kyai Ihsan. "Kamu hanya tersesat. Karena itu, saya dan dewan pesantren memutuskan untuk tidak mengeluarkanmu dari pesantren, tapi kamu harus menjalani hukuman selama tiga bulan."

"Terima kasih, Kyai," ucap Syauqi lega. "Saya bersedia menerima hukuman apa pun."

"Rambutmu akan dicukur plontos, kamu harus mengepel seluruh lantai asrama setiap hari setelah Subuh, mencuci semua piring di dapur asrama setelah Maghrib, dan menghafalkan juz 30 Al-Quran," kata Kyai Ihsan menyebutkan hukuman untuk Syauqi.

"Baik, Kyai," Syauqi menerima dengan lapang dada.

"Dan yang terpenting," Kyai Ihsan menatap Syauqi dengan tatapan serius, "kamu tidak boleh mencoba menghubungi Mieta lagi. Sampai kapan pun."

Syauqi tercekat, tapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. "Baik, Kyai."


Kembali ke masa kini, tiga puluh hari setelah tertangkap. Syauqi masih menjalani hukumannya dengan patuh. Ia belajar banyak dari kesalahan ini. Bahwa ada cara yang benar untuk menyalurkan perasaan, dan pacaran bukanlah salah satunya, apalagi di lingkungan pesantren.

Suatu sore, setelah jamaah Ashar, Syauqi dipanggil ke rumah Kyai Ihsan. Jantungnya berdebar, khawatir ada kesalahan lain yang dilakukannya.

"Bagaimana kabarmu, Syauqi?" tanya Kyai Ihsan ramah.

"Alhamdulillah baik, Kyai," jawab Syauqi.

"Bagaimana dengan hukumanmu? Berat?"

"Awalnya berat, Kyai, tapi sekarang sudah terbiasa," jawab Syauqi jujur.

Kyai Ihsan tersenyum. "Itulah gunanya hukuman, Nak. Bukan untuk membuatmu menderita, tapi untuk membuatmu belajar dari kesalahan."

Syauqi mengangguk paham.

"Saya dengar dari Pak Akom, kamu menjalani hukumanmu dengan baik. Tidak pernah mengeluh, selalu tepat waktu," puji Kyai Ihsan.

"Terima kasih, Kyai," ucap Syauqi.

"Saya juga dengar kamu masih menyembunyikan nama teman-temanmu yang membantu mengirim surat ke asrama putri," lanjut Kyai Ihsan.

Syauqi terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

"Tidak apa-apa, saya menghargai kesetiaanmu pada teman-temanmu. Tapi ingat, Nak, kesetiaan yang sejati adalah kesetiaan pada Allah dan ajaran-Nya," nasihat Kyai Ihsan.

"Iya, Kyai," Syauqi mengangguk.

"Ada satu hal yang ingin saya tanyakan," kata Kyai Ihsan serius. "Apakah kamu benar-benar menyesal atas perbuatanmu?"

Syauqi terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Jujur, Kyai, saya menyesal telah melanggar aturan pesantren dan mendekati zina. Tapi... saya tidak menyesal telah mengenal Mieta. Dia gadis yang baik dan sholehah."

Kyai Ihsan tersenyum tipis. "Jawaban yang jujur. Dan saya menghargai itu."

Hening sejenak sebelum Kyai Ihsan melanjutkan, "Tahu tidak, Syauqi? Dalam Islam, jika seorang laki-laki tertarik pada seorang perempuan dan niatnya baik, ia seharusnya melamar gadis tersebut, bukan mengajaknya pacaran."

"Tapi kami masih sekolah, Kyai," kata Syauqi.

"Memang benar. Kalian masih punya kewajiban untuk menuntut ilmu. Tapi jika niatmu sungguh-sungguh, kamu bisa menyampaikan pada orang tuamu untuk melamar Mieta dan bertunangan dulu. Setelah kalian lulus dan siap, baru menikah," jelas Kyai Ihsan.

Syauqi terkejut dengan perkataan Kyai Ihsan. "Maksud Kyai... saya masih boleh berhubungan dengan Mieta?"

"Dengan cara yang benar dan sesuai syariat," tegas Kyai Ihsan. "Bukan dengan pacaran dan surat-menyurat sembunyi-sembunyi seperti kemarin."

Syauqi tertegun. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.

"Pikirkan baik-baik, Nak. Jangan terburu-buru. Selesaikan dulu hukumanmu, fokus pada pendidikanmu. Jika memang Mieta jodohmu, Allah akan mempertemukan kalian dengan cara yang halal," nasihat Kyai Ihsan.

"Terima kasih, Kyai," ucap Syauqi tulus. "Saya akan memikirkannya baik-baik."

Saat berjalan kembali ke asrama, Syauqi merasa bebannya sedikit terangkat. Mungkin memang benar kata Kyai Ihsan, ada cara yang benar untuk menyalurkan perasaan. Dan ia bertekad, setelah hukumannya selesai dan ia lulus dari pesantren, ia akan menemui orang tuanya dan membicarakan hal ini. Tentang Mieta, tentang niatnya yang sungguh-sungguh, dan tentang cara yang benar untuk menyambung silaturahmi antara dua keluarga.

Langit senja di atas Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro terlihat lebih indah sore itu. Angin berembus lembut, membawa harapan baru bagi hati yang telah menyesali kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.

Di asrama putri, Mieta juga menatap langit yang sama, berdoa agar Allah memudahkan jalannya dan memberikan yang terbaik untuknya. Meski hukumannya berat, ia belajar banyak dari kesalahan ini. Bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang tidak melanggar aturan-Nya, cinta yang suci dan diraih dengan cara yang halal.

Tamat.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi