Selembar Kertas yang Terlambat Terbakar
Selembar Kertas yang Terlambat Terbakar
Syauqi
Muhammad
Tiga
puluh hari sudah. Tiga puluh hari yang terasa seperti tiga puluh tahun bagi
Syauqi. Kakinya letih mengepel seluruh lantai asrama putra setiap hari setelah
jamaah Subuh. Tangannya kasar setelah mencuci semua piring di dapur asrama
selepas maghrib. Rambutnya yang dulu ditata rapi kini dicukur habis hingga
plontos. Semua itu adalah bagian dari hukuman yang diterimanya karena melanggar
salah satu aturan terberat di Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro:
pacaran dengan santri putri.
"Yakin
enggak mau kasih tahu siapa yang mengirim surat-surat itu ke asrama
putri?" Pak Akom, kepala asrama putra yang luar biasa galak, bertanya
untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tegak di depan Syauqi yang sedang
mengepel lorong asrama.
"Saya
sendiri, Pak," jawab Syauqi tanpa mengangkat wajahnya. Jawaban yang sama
yang ia berikan setiap kali ditanya.
Pak
Akom mendengus. "Kamu pikir kami tidak tahu kalau santri lain ikut
membantu? Kamu pikir mungkin seorang diri menyelundupkan surat-surat itu ke
asrama putri tanpa bantuan?"
Syauqi
tetap diam, meneruskan kegiatannya mengepel.
Di
asrama putri yang terletak di utara mushola, di balik tembok tinggi yang
memisahkan santri putra dan putri, Mieta juga menjalani hukumannya. Gadis itu
kini dipaksa bangun satu jam lebih awal dari santri lainnya untuk membersihkan
kamar mandi asrama, dilarang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler selama tiga
bulan, dan harus menghafal sepuluh hadits tentang menjaga pandangan dan
pergaulan setiap harinya.
"Ini
hadits kesepuluh yang kamu hafalkan hari ini?" Bu Hawa, kepala asrama
putri yang tegas namun berwibawa, bertanya pada Mieta yang berdiri di depannya
dengan kepala tertunduk.
"Iya,
Bu," jawab Mieta pelan.
"Baik,
coba bacakan."
"Dari
Abdullah bin Mas'ud radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa
sallam bersabda, 'Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang sudah
mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih menundukkan pandangan dan
lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa belum mampu, maka berpuasalah, karena
puasa dapat menekan syahwatnya.'" Mieta melafalkan hadits itu dengan suara
bergetar.
Bu
Hawa mengangguk puas. "Sudah paham makna hadits ini?"
"Sudah,
Bu," jawab Mieta. Air matanya menggenang, tapi ia tahan sekuat tenaga agar
tidak jatuh.
"Semoga
ini jadi pelajaran berharga untukmu," kata Bu Hawa, nadanya melembut.
"Kamu santri yang cerdas, Mieta. Sayang kalau masa depanmu rusak hanya
karena hal seperti ini."
Mieta
hanya mengangguk, tak mampu berkata-kata.
Dua
puluh hari sebelumnya, suasana Pesantren Maulana Malik Ibrahim gempar. Pagi
itu, setelah jamaah Subuh, Pak Emi—kepala keamanan putra yang beringas dan
galak—menggeledah asrama putra secara mendadak. Berdasarkan laporan dari
beberapa santri, ada kegiatan mencurigakan yang dilakukan oleh sebagian santri
putra.
"Buka
lemari kalian semua!" perintah Pak Emi dengan suara menggelegar.
"Keluarkan semua barang-barang kalian!"
Santri
putra bergegas mematuhi perintah tersebut, termasuk Syauqi yang mendadak pucat.
Ia berusaha terlihat tenang, tapi jantungnya berdebar kencang.
"Qi,
tenang," bisik Alif, teman sekamarnya yang gila belajar. "Kalau kamu
panik, malah mencurigakan."
Syauqi
berusaha mengendalikan dirinya. Ia berdoa dalam hati, berharap surat-surat yang
disimpan di bawah kasurnya tidak ditemukan.
Namun,
harapannya pupus ketika Pak Emi membongkar kasurnya dan menemukan sekumpulan
surat beramplop pink yang disembunyikan di dalam sarung bantal.
"Apa
ini?" Pak Emi mengangkat surat-surat itu tinggi-tinggi, memperlihatkannya
pada semua santri. "Syauqi! Jelaskan apa ini!"
Semua
mata tertuju pada Syauqi yang kini berdiri terpaku. Farel yang biasanya
tertidur pun kini terbangun sepenuhnya, menatap Syauqi dengan tatapan tidak
percaya.
"I-itu
surat saya, Pak," jawab Syauqi terbata.
"Surat
untuk siapa?" tanya Pak Emi, membuka salah satu amplop dan mulai membaca
isinya. "'Untuk M yang selalu kurindukan...' M siapa ini, Syauqi?"
Syauqi
menelan ludah. "Mieta, Pak. Santri putri kelas dua Aliyah."
Seisi
kamar mendadak riuh. Beberapa santri berbisik-bisik, sementara yang lain
menatap Syauqi dengan pandangan tidak percaya.
"Astaghfirullah,"
Pak Emi menggelengkan kepala. "Kamu tahu kan pacaran dilarang keras di
pesantren ini?"
"Iya,
Pak," jawab Syauqi lirih.
"Ikut
saya ke kantor sekarang."
Sementara
itu, di asrama putri, Bu Fika—kepala keamanan putri yang pendiam namun ahli
memecahkan kasus—juga sedang melakukan penggeledahan. Berdasarkan informasi
dari Pak Emi, kemungkinan ada santri putri yang berhubungan dengan santri putra
melalui surat-menyurat.
"Semua
buka lemari kalian," perintah Bu Fika dengan suara tenang namun
mengintimidasi.
Santri
putri bergegas mematuhi perintah tersebut, termasuk Mieta yang berusaha
terlihat biasa meski hatinya was-was.
"Bu,
saya boleh ke kamar mandi sebentar?" tanya Mieta, berusaha mencari alasan
untuk menyelamatkan surat-surat dari Syauqi yang disimpannya di bawah bantal.
"Tidak,"
jawab Bu Fika tegas. "Tunggu sampai penggeledahan selesai."
Mieta
hanya bisa pasrah ketika Bu Fika memeriksa tempat tidurnya dan menemukan
surat-surat beramplop biru yang disembunyikan di bawah bantal.
"Mieta,
ini apa?" tanya Bu Fika, membuka salah satu amplop. "'Untuk bidadari
surga yang tersesat di bumi...' Dari siapa ini?"
Mieta
menunduk, tidak berani menatap mata Bu Fika. "Dari Syauqi, Bu. Santri
putra kelas tiga Aliyah."
Rizka,
teman sekamar Mieta yang selalu ikut campur urusan orang lain, langsung
bereaksi. "Jadi selama ini surat-surat yang kamu sembunyikan itu dari
Syauqi? Pantas saja kamu selalu senyum-senyum sendiri setiap habis
membacanya!"
"Diam,
Rizka," tegur Bu Fika. "Mieta, ikut saya ke kantor sekarang."
Satu
bulan sebelum penggeledahan itu terjadi, Syauqi dan Mieta bertemu secara tidak
sengaja di toko kitab milik Pak Kholil yang terletak di depan pesantren. Hari
itu adalah hari Minggu, satu-satunya hari di mana santri diperbolehkan keluar
pesantren untuk membeli keperluan atau sekadar mencari udara segar.
Syauqi
sedang mencari kitab Bulughul Maram untuk tugas madrasah diniyahnya ketika
Mieta masuk ke toko tersebut. Gadis itu mengenakan kerudung putih dan gamis
biru muda, terlihat anggun dan bersahaja.
"Permisi,
Pak, ada kitab Riyadhus Shalihin terjemahan?" tanya Mieta pada Pak Kholil
yang sedang duduk di belakang meja kasir.
"Ada,
Nak. Di rak sebelah sana," jawab Pak Kholil, menunjuk ke arah rak yang
sama dengan tempat Syauqi berdiri.
Mieta
mengangguk dan berjalan ke arah rak tersebut, berdiri tepat di samping Syauqi
yang pura-pura fokus mencari kitab.
"Maaf,
permisi," kata Mieta sopan, berusaha mengambil kitab yang berada di dekat
Syauqi.
"Oh,
silakan," Syauqi menggeser tubuhnya, memberikan ruang untuk Mieta. Mata
mereka bertemu sejenak, dan entah mengapa, jantung Syauqi berdebar lebih
kencang.
"Terima
kasih," ucap Mieta dengan senyum tipis.
Syauqi
hanya mengangguk, tidak berani berkata-kata lebih jauh. Namun dalam hatinya, ia
merasa ada sesuatu yang berbeda dari gadis di hadapannya ini. Sesuatu yang
membuatnya ingin mengenal lebih jauh.
Ketika
Mieta hendak membayar kitabnya, Syauqi memberanikan diri untuk menyapa.
"Kamu
santri Pesantren Maulana Malik Ibrahim juga?" tanya Syauqi, berusaha
terdengar kasual.
Mieta
mengangguk. "Iya, kelas dua Aliyah. Kamu juga?"
"Kelas
tiga Aliyah," jawab Syauqi. "Namaku Syauqi."
"Mieta,"
balas gadis itu singkat, namun dengan senyum yang membuat Syauqi semakin
berdebar.
Percakapan
singkat itu berakhir ketika Pak Kholil memanggil Mieta untuk membayar kitabnya.
Namun, tanpa disadari keduanya, percakapan itu adalah awal dari hubungan
terlarang di pesantren.
Dua
minggu setelah pertemuan pertama di toko kitab, Syauqi memberanikan diri untuk
menulis surat pertamanya untuk Mieta. Ia tahu bahwa yang dilakukannya melanggar
aturan pesantren, tapi entah mengapa hatinya tidak bisa dibohongi. Ia tertarik
pada Mieta.
"Qi,
kamu yakin mau ngirim surat ini?" tanya Naufal, teman sekamarnya yang
netral dan selalu menjadi tempat curhat Syauqi.
"Iya,
Fal. Cuma sekali ini kok," jawab Syauqi, melipat surat yang baru saja
ditulisnya dan memasukkannya ke dalam amplop biru.
"Kamu
tahu kan kalau ketahuan bisa kena hukuman berat?" Naufal mengingatkan.
"Iya,
aku tahu," Syauqi menghela nafas. "Tapi kalau tidak dicoba, nanti aku
menyesal."
Naufal
menggelengkan kepala. "Terserah kamu lah. Tapi jangan bawa-bawa aku kalau
ketahuan."
Syauqi
mengangguk. "Tenang aja. Aku sudah punya rencana."
Rencana
Syauqi adalah menitipkan surat tersebut kepada Mbak Qia, kepala kantin putri
yang jago berbahasa Inggris. Mbak Qia dikenal sebagai santri senior yang ramah
dan sering dimintai tolong oleh santri-santri untuk hal-hal kecil.
"Mbak,
boleh minta tolong?" tanya Syauqi saat berpapasan dengan Mbak Qia di dekat
kantin.
"Boleh,
ada apa?" tanya Mbak Qia.
"Tolong
kasih ini ke Mieta, santri putri kelas dua Aliyah," Syauqi menyerahkan
amplop biru tersebut. "Ini cuma surat tentang tugas kelompok
pesantren," dustanya.
Mbak
Qia menatap Syauqi dengan tatapan menyelidik. "Tugas kelompok? Bukannya
santri putra dan putri tidak pernah sekelompok?"
Syauqi
salah tingkah. "Eh, maksudnya... ini tugas dari Kyai Ihsan, Mbak. Beliau
menyuruh kami menulis refleksi tentang ceramah beliau minggu lalu, dan
kebetulan saya lupa mencatat beberapa hal, jadi mau tanya ke Mieta."
Mbak
Qia masih terlihat ragu, tapi akhirnya mengambil surat tersebut. "Baiklah,
akan saya sampaikan."
"Terima
kasih, Mbak," ucap Syauqi lega.
Mieta
menerima surat tersebut dengan perasaan campur aduk. Ia terkejut sekaligus
senang mendapat surat dari Syauqi, santri putra yang diam-diam ia perhatikan
sejak pertama kali bertemu di toko kitab.
"Surat
dari siapa, Ta?" tanya Ulfa, teman sekamar Mieta yang mulutnya tidak bisa
diam.
"Bukan
siapa-siapa," jawab Mieta cepat, menyembunyikan surat tersebut di balik
buku.
"Jangan-jangan
surat cinta ya?" goda Ulfa.
"Astaghfirullah,
enggak lah," kilah Mieta, meski wajahnya merona.
Malam
itu, setelah semua temannya tertidur, Mieta membuka surat dari Syauqi dengan
debar jantung yang tak karuan.
"Untuk
Mieta yang pernah kutemui di toko kitab,
Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Mungkin
ini terdengar aneh dan tiba-tiba, tapi sejak bertemu denganmu di toko kitab,
aku tidak bisa berhenti memikirkanmu. Ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku
ingin mengenalmu lebih jauh. Aku tahu ini melanggar aturan pesantren, tapi aku
memberanikan diri untuk menulis surat ini.
Jika
kamu bersedia, tolong balas surat ini. Jika tidak, aku akan mengerti dan tidak
akan mengganggumu lagi.
Wassalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh.
Syauqi"
Mieta
membaca surat itu berulang-ulang, tidak percaya dengan apa yang dibacanya. Ia
tahu bahwa membalas surat ini berarti melanggar aturan pesantren. Namun,
seperti Syauqi, hatinya tidak bisa dibohongi. Ia tertarik pada Syauqi.
Dengan
tangan gemetar, Mieta mengambil kertas dan pulpen, mulai menulis balasan untuk
Syauqi.
Dua
bulan berlalu sejak surat pertama dikirimkan. Syauqi dan Mieta terus bertukar
surat secara diam-diam. Kadang melalui Mbak Qia, kadang melalui Kang Bahrul,
kepala kantin putra yang ahli memasak dan ternyata juga bisa diajak kerja sama.
Bahkan, beberapa kali mereka berhasil bertemu secara sembunyi-sembunyi di toko
kitab milik Pak Kholil pada hari Minggu.
"Kamu
tidak takut ketahuan?" tanya Mieta pada suatu pertemuan di toko kitab.
"Takut,"
jawab Syauqi jujur. "Tapi aku lebih takut tidak bisa bertemu
denganmu."
Mieta
tersenyum malu. "Kita harus hati-hati, Qi. Kalau ketahuan, kita bisa kena
hukuman berat."
"Aku
tahu," Syauqi mengangguk. "Tapi selama ini aman-aman saja kan? Kita
cuma bertemu di toko kitab, itu pun di hari Minggu saat diperbolehkan
keluar."
"Tapi
surat-menyurat kita? Itu juga melanggar aturan," Mieta mengingatkan.
"Iya
sih," Syauqi mengakui. "Tapi kita sudah sejauh ini, dan belum ada
tanda-tanda ketahuan."
Tanpa
mereka sadari, beberapa santri mulai mencurigai kedekatan mereka. Rizka, teman
kamar Mieta yang selalu ikut campur urusan orang lain, mulai memperhatikan
perubahan sikap Mieta. Gadis itu lebih sering senyum-senyum sendiri dan selalu
menunggu-nunggu surat beramplop biru.
"Mieta,
kamu pacaran ya sama Syauqi?" tanya Rizka suatu malam.
Mieta
tersentak. "A-apa maksudmu? Enggak kok."
"Jangan
bohong deh. Aku lihat kok surat-surat yang kamu sembunyikan di bawah bantal.
Semua dari Syauqi kan?" desak Rizka.
"Kamu
baca surat-suratku?" Mieta kaget.
"Enggak
sih, cuma lihat nama pengirimnya aja," jawab Rizka. "Jadi bener ya
kamu pacaran sama dia?"
"Bukan
pacaran," kilah Mieta. "Kita cuma... berteman."
Rizka
mendengus. "Berteman kok sembunyi-sembunyi? Kamu tahu kan kalau ketahuan
bisa kena hukuman?"
"Iya,
aku tahu," Mieta menghela nafas. "Makanya tolong jangan bilang
siapa-siapa."
Rizka
terlihat ragu, tapi akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kamu harus
hati-hati."
Sayangnya,
janji Rizka untuk merahasiakan hubungan Mieta dan Syauqi tidak bertahan lama.
Beberapa hari kemudian, entah karena kelepasan atau memang sengaja, Rizka
menceritakan hal tersebut pada Husna, teman sekamarnya yang suka menabuh apa
pun yang dia temukan.
"Serius,
Mieta pacaran sama Syauqi?" tanya Husna kaget.
"Iya,
aku lihat sendiri surat-suratnya," jawab Rizka.
"Ya
ampun, padahal Mieta kan santri teladan. Kok bisa-bisanya melanggar aturan
seperti itu," komentar Husna.
Tanpa
disadari keduanya, pembicaraan mereka terdengar oleh Khalila, santri putri yang
jenius dan kebetulan lewat di depan kamar mereka.
Khalila,
yang selalu taat aturan dan menjunjung tinggi kedisiplinan, merasa terganggu
dengan pelanggaran yang dilakukan Mieta dan Syauqi. Setelah menimbang-nimbang
selama beberapa hari, akhirnya ia memutuskan untuk melaporkan hal tersebut
kepada Bu Fika, kepala keamanan putri.
"Bu,
saya ingin melaporkan sesuatu," kata Khalila saat bertemu Bu Fika di
kantor keamanan.
"Ada
apa, Khalila?" tanya Bu Fika.
"Saya
dengar... ada santri putri dan santri putra yang menjalin hubungan
terlarang," kata Khalila dengan suara pelan.
"Siapa?"
tanya Bu Fika serius.
"Mieta
dan Syauqi, Bu."
Bu
Fika mengerutkan dahi. "Kamu punya bukti?"
"Saya
dengar dari Rizka dan Husna, katanya mereka saling berkirim surat," jawab
Khalila. "Dan... saya pernah melihat mereka bertemu di toko kitab Pak
Kholil pada hari Minggu."
Bu
Fika mencatat informasi tersebut. "Baik, terima kasih atas laporannya,
Khalila. Saya akan menyelidiki hal ini lebih lanjut."
Segera
setelah itu, Bu Fika menghubungi Pak Emi, kepala keamanan putra, untuk
mendiskusikan masalah ini. Mereka sepakat untuk melakukan penggeledahan
mendadak di kedua asrama untuk mencari bukti-bukti hubungan terlarang tersebut.
Dan
di sinilah mereka sekarang. Syauqi dan Mieta tertangkap basah dengan bukti
surat-surat yang mereka simpan. Keduanya harus menghadapi konsekuensi dari
perbuatan mereka: hukuman berat dari pesantren dan kekecewaan dari para ustadz
dan kyai.
"Apa
yang kamu pikirkan, Nak?" tanya Kyai Ihsanuddin dengan suara lembut namun
tegas saat Syauqi dipanggil ke rumahnya yang terletak di depan kompleks
pesantren.
"Maafkan
saya, Kyai," ucap Syauqi penuh penyesalan. "Saya khilaf."
"Kamu
tahu kan bahwa pacaran itu dilarang dalam Islam, apalagi di lingkungan
pesantren?" tanya Kyai Ihsan.
"Iya,
Kyai," jawab Syauqi lirih.
"Pacaran
itu mendekati zina, dan Allah SWT berfirman dalam Al-Quran, 'Dan janganlah kamu
mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang buruk,'" Kyai Ihsan mengutip ayat Al-Quran.
Syauqi
hanya bisa tertunduk, mendengarkan nasihat Kyai Ihsan dengan hati yang perih.
"Tapi
saya percaya kamu adalah anak yang baik, Syauqi," lanjut Kyai Ihsan.
"Kamu hanya tersesat. Karena itu, saya dan dewan pesantren memutuskan
untuk tidak mengeluarkanmu dari pesantren, tapi kamu harus menjalani hukuman
selama tiga bulan."
"Terima
kasih, Kyai," ucap Syauqi lega. "Saya bersedia menerima hukuman apa
pun."
"Rambutmu
akan dicukur plontos, kamu harus mengepel seluruh lantai asrama setiap hari
setelah Subuh, mencuci semua piring di dapur asrama setelah Maghrib, dan
menghafalkan juz 30 Al-Quran," kata Kyai Ihsan menyebutkan hukuman untuk
Syauqi.
"Baik,
Kyai," Syauqi menerima dengan lapang dada.
"Dan
yang terpenting," Kyai Ihsan menatap Syauqi dengan tatapan serius,
"kamu tidak boleh mencoba menghubungi Mieta lagi. Sampai kapan pun."
Syauqi
tercekat, tapi ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan. "Baik, Kyai."
Kembali
ke masa kini, tiga puluh hari setelah tertangkap. Syauqi masih menjalani
hukumannya dengan patuh. Ia belajar banyak dari kesalahan ini. Bahwa ada cara
yang benar untuk menyalurkan perasaan, dan pacaran bukanlah salah satunya,
apalagi di lingkungan pesantren.
Suatu
sore, setelah jamaah Ashar, Syauqi dipanggil ke rumah Kyai Ihsan. Jantungnya
berdebar, khawatir ada kesalahan lain yang dilakukannya.
"Bagaimana
kabarmu, Syauqi?" tanya Kyai Ihsan ramah.
"Alhamdulillah
baik, Kyai," jawab Syauqi.
"Bagaimana
dengan hukumanmu? Berat?"
"Awalnya
berat, Kyai, tapi sekarang sudah terbiasa," jawab Syauqi jujur.
Kyai
Ihsan tersenyum. "Itulah gunanya hukuman, Nak. Bukan untuk membuatmu
menderita, tapi untuk membuatmu belajar dari kesalahan."
Syauqi
mengangguk paham.
"Saya
dengar dari Pak Akom, kamu menjalani hukumanmu dengan baik. Tidak pernah
mengeluh, selalu tepat waktu," puji Kyai Ihsan.
"Terima
kasih, Kyai," ucap Syauqi.
"Saya
juga dengar kamu masih menyembunyikan nama teman-temanmu yang membantu mengirim
surat ke asrama putri," lanjut Kyai Ihsan.
Syauqi
terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.
"Tidak
apa-apa, saya menghargai kesetiaanmu pada teman-temanmu. Tapi ingat, Nak,
kesetiaan yang sejati adalah kesetiaan pada Allah dan ajaran-Nya," nasihat
Kyai Ihsan.
"Iya,
Kyai," Syauqi mengangguk.
"Ada
satu hal yang ingin saya tanyakan," kata Kyai Ihsan serius. "Apakah
kamu benar-benar menyesal atas perbuatanmu?"
Syauqi
terdiam sejenak, memikirkan jawabannya. "Jujur, Kyai, saya menyesal telah
melanggar aturan pesantren dan mendekati zina. Tapi... saya tidak menyesal
telah mengenal Mieta. Dia gadis yang baik dan sholehah."
Kyai
Ihsan tersenyum tipis. "Jawaban yang jujur. Dan saya menghargai itu."
Hening
sejenak sebelum Kyai Ihsan melanjutkan, "Tahu tidak, Syauqi? Dalam Islam,
jika seorang laki-laki tertarik pada seorang perempuan dan niatnya baik, ia
seharusnya melamar gadis tersebut, bukan mengajaknya pacaran."
"Tapi
kami masih sekolah, Kyai," kata Syauqi.
"Memang
benar. Kalian masih punya kewajiban untuk menuntut ilmu. Tapi jika niatmu
sungguh-sungguh, kamu bisa menyampaikan pada orang tuamu untuk melamar Mieta
dan bertunangan dulu. Setelah kalian lulus dan siap, baru menikah," jelas
Kyai Ihsan.
Syauqi
terkejut dengan perkataan Kyai Ihsan. "Maksud Kyai... saya masih boleh
berhubungan dengan Mieta?"
"Dengan
cara yang benar dan sesuai syariat," tegas Kyai Ihsan. "Bukan dengan
pacaran dan surat-menyurat sembunyi-sembunyi seperti kemarin."
Syauqi
tertegun. Ia tidak pernah memikirkan hal ini sebelumnya.
"Pikirkan
baik-baik, Nak. Jangan terburu-buru. Selesaikan dulu hukumanmu, fokus pada
pendidikanmu. Jika memang Mieta jodohmu, Allah akan mempertemukan kalian dengan
cara yang halal," nasihat Kyai Ihsan.
"Terima
kasih, Kyai," ucap Syauqi tulus. "Saya akan memikirkannya
baik-baik."
Saat
berjalan kembali ke asrama, Syauqi merasa bebannya sedikit terangkat. Mungkin
memang benar kata Kyai Ihsan, ada cara yang benar untuk menyalurkan perasaan.
Dan ia bertekad, setelah hukumannya selesai dan ia lulus dari pesantren, ia
akan menemui orang tuanya dan membicarakan hal ini. Tentang Mieta, tentang
niatnya yang sungguh-sungguh, dan tentang cara yang benar untuk menyambung
silaturahmi antara dua keluarga.
Langit
senja di atas Pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro terlihat lebih indah
sore itu. Angin berembus lembut, membawa harapan baru bagi hati yang telah
menyesali kesalahannya dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi.
Di
asrama putri, Mieta juga menatap langit yang sama, berdoa agar Allah memudahkan
jalannya dan memberikan yang terbaik untuknya. Meski hukumannya berat, ia
belajar banyak dari kesalahan ini. Bahwa cinta yang sejati adalah cinta yang
tidak melanggar aturan-Nya, cinta yang suci dan diraih dengan cara yang halal.
Tamat.
Comments