Bayang-Bayang di Balik Mihrab


Bayang-Bayang di Balik Mihrab

Embun pagi masih menggantung di dedaunan pohon bambu ketika suara azan subuh mengalun dari masjid Pondok Pesantren Putri Darul Hikmah. Suara merdu Gus Fahri—putra sulung Kyai Hasyim—memecah keheningan fajar dengan lantunan yang begitu menyentuh kalbu. Di balik jendela kayu asrama, puluhan pasang mata santri putri mengintip dengan wajah bersemu merah.

Sari menghela napas panjang sambil menatap bayangan tinggi yang bergerak di balik kaca masjid. Sudah tiga tahun ia mondok di sini, namun setiap kali mendengar suara Gus Fahri, jantungnya masih berdebar seperti burung yang ingin terbang. Gadis berusia tujuh belas tahun itu tidak pernah menyangka bahwa perasaan yang selama ini ia pendam rapat-rapat ternyata juga dirasakan oleh santri lain.

"Subhanallah, suaranya hari ini lebih merdu dari biasanya," bisik Dewi, teman sekamarnya, sambil mengelus dada.

Sari hanya tersenyum tipis. Ia tahu Dewi juga mengagumi Gus Fahri, tapi sejauh ini mereka berdua masih bisa menjaga batasan persahabatan. Berbeda dengan Laila—santri angkatan yang sama namun dari kamar sebelah—yang akhir-akhir ini mulai menunjukkan sikap aneh.

Setelah shalat subuh berjamaah, para santri putri biasanya melanjutkan dengan membaca Al-Qur'an hingga waktu sarapan. Pagi itu, Sari memilih tempat duduk di pojok masjid, tempat favoritnya karena dari sana ia bisa melihat mimbar tempat Gus Fahri biasa memberikan kultum singkat.

"Assalamualaikum, Ukhti Sari."

Sari menoleh dan mendapati Laila berdiri di sampingnya dengan senyum yang tampak dipaksakan. Gadis berambut keriting itu duduk tanpa izin, membuat Sari sedikit terganggu.

"Wa'alaikumussalam," jawab Sari singkat, kembali fokus pada mushafnya.

"Aku mau bicara sesuatu denganmu," Laila berbisik. "Tentang Gus Fahri."

Jantung Sari berdetak lebih cepat, namun wajahnya tetap tenang. "Ada apa?"

"Aku tahu kamu... menyukainya." Mata Laila berkilat tajam. "Tapi aku harap kamu tidak melakukan hal-hal yang tidak pantas."

Sari mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

"Kemarin aku melihatmu sengaja jalan lewat kantor ustadz saat Gus Fahri sedang mengajar ngaji anak-anak. Dan minggu lalu, kamu juga yang sukarela membersihkan masjid saat Gus Fahri sedang i'tikaf."

Darah Sari mulai mendidih. Tuduhan Laila memang tidak sepenuhnya salah, tapi cara penyampaiannya yang menyindir membuat ia tersinggung.

"Itu kebetulan," bantah Sari. "Dan memangnya kenapa kalau aku suka bersih-bersih masjid? Itu kan ibadah."

"Jangan munafik, Sari. Kita sama-sama perempuan, aku tahu motifmu." Laila tersenyum sinis. "Yang aku heran, kenapa kamu tidak sadar diri? Gus Fahri itu sudah ada yang lebih pantas untuknya."

"Maksudmu?"

"Aku." Laila mengangkat dagu dengan angkuh. "Ayahku seorang pengusaha besar di Jakarta, keluargaku punya kedekatan dengan keluarga Kyai Hasyim. Sedangkan kamu? Anak petani dari desa yang bahkan biaya mondoknya masih disubsidi pesantren."

Kata-kata Laila menohok hati Sari bagaikan pisau. Memang benar ia berasal dari keluarga sederhana, dan biaya mondoknya memang dibantu oleh donatur pesantren. Tapi bukan itu yang membuatnya sakit—melainkan cara Laila merendahkannya dengan begitu kejam.

"Astafirullah, Laila. Bagaimana bisa mulutmu mengeluarkan kata-kata seperti itu?" Sari berusaha menahan amarah. "Kita di sini untuk belajar agama, bukan untuk berkompetisi soal dunia."

"Oh, jadi sekarang kamu mau ceramah?" Laila bangkit berdiri. "Intinya, menjauh dari Gus Fahri. Dia akan jadi milikku."

Sebelum Sari sempat menjawab, Laila sudah beranjak pergi dengan langkah penuh kemenangan. Sari duduk terpaku, tangannya bergetar memegang mushaf. Ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan suci yang ia pendam bisa memicu konflik seperti ini.


Hari-hari berikutnya, suasana asrama menjadi tegang. Laila mulai melakukan berbagai cara untuk menarik perhatian Gus Fahri—mulai dari rajin bertanya setelah pengajian, menjadi sukarelawan di setiap kegiatan pesantren, hingga sering berkeliaran di area yang sering dilalui Gus Fahri.

Sari memilih untuk mengalah. Ia mengurangi aktivitas di sekitar masjid dan lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan pesantren. Namun, sikap mengalahnya justru ditafsirkan oleh Laila sebagai bentuk ketakutan dan kekalahan.

Suatu malam, setelah shalat isya, Sari sedang berjalan sendirian menuju asrama ketika Laila menghadangnya di lorong gelap antara gedung pengajian dan asrama.

"Kupikir kamu sudah menyerah," kata Laila dengan nada mengejek. "Tapi ternyata tadi aku melihatmu berbicara dengan Gus Fahri di perpustakaan."

"Aku hanya bertanya tentang kitab yang sedang aku baca," jawab Sari tenang, meski dalam hati ia merasa jengkel.

"Jangan berbohong!" Laila melangkah mendekat. "Aku melihat kalian tertawa bersama. Kamu pasti sedang merayu dia!"

"Laila, cukup. Kita di pesantren, jaga adab kita."

"Adab?" Laila tertawa sarkastis. "Memangnya ada adabnya cewek kampungan seperti kamu bermimpi mendapatkan putra kyai?"

Kesabaran Sari akhirnya habis. "Cukup, Laila! Kamu sudah keterlaluan!"

"Atau apa?" Laila mendorong bahu Sari. "Mau adu jotos? Ayo!"

Sari terdorong ke belakang, hampir terjatuh. Amarahnya memuncak. Tanpa sadar, ia mendorong balik Laila dengan kekuatan penuh. Laila yang tidak siap, terhuyung dan jatuh terduduk di tanah.

"Berani-beraninya kamu!" Laila bangkit dan menarik hijab Sari hingga lepas. Rambut panjang Sari tergerai, dan ia merasa sangat malu.

Pertengkaran fisik tak terhindarkan. Keduanya saling tarik-menarik, dorong-mendorong di lorong gelap itu. Sari mencoba melindungi kepalanya sambil berusaha melepaskan cengkeraman Laila pada lengannya.

"Hentikan!"

Suara tegas seorang laki-laki memecah keributan. Keduanya terhenti dan menoleh. Di ujung lorong, siluet Gus Fahri terlihat samar dalam kegelapan.

"Astafirullah, apa yang kalian lakukan?" Gus Fahri mendekati dengan langkah cepat.

Sari dan Laila saling melepaskan pegangan, wajah keduanya merah padam—entah karena malu atau karena sisa amarah. Sari cepat-cepat merapikan hijabnya yang berantakan.

"Gus Fahri..." Laila berusaha menata rambut dan pakaiannya. "Ini bukan seperti yang Gus bayangkan..."

"Saya tidak ingin tahu apa penyebabnya," potong Gus Fahri dengan nada dingin. "Yang jelas, kalian berdua telah melanggar adab pesantren. Esok pagi, kalian harus menghadap Ummi Khadijah untuk mempertanggungjawabkan perbuatan kalian."

Ummi Khadijah adalah istri Kyai Hasyim sekaligus pengasuh para santri putri. Wanita yang dikenal tegas itu tidak pernah main-main dalam menegakkan disiplin.

Gus Fahri memandang keduanya dengan tatapan kecewa. "Saya sangat menyesal melihat ini. Kalian adalah santri senior yang seharusnya menjadi teladan, bukan malah berkelahi seperti anak kecil."

Setelah berkata demikian, Gus Fahri berlalu meninggalkan keduanya dalam keheningan yang menyesakkan.


Keesokan paginya, Sari dan Laila dipanggil ke ruang kantor Ummi Khadijah. Wanita paruh baya itu duduk di belakang meja dengan wajah yang tidak bisa dibaca. Di sampingnya, Kyai Hasyim juga hadir dengan ekspresi yang sama tegasnya.

"Ceritakan apa yang terjadi tadi malam," perintah Ummi Khadijah.

Laila lebih dulu angkat bicara. "Ummi, sebenarnya ini adalah kesalahpahaman. Sari dan saya hanya berdiskusi tentang pelajaran, tapi entah kenapa jadi panas."

Sari menatap Laila tidak percaya. Gadis itu bahkan di hadapan ustadzah masih berani berbohong.

"Benarkah, Sari?" tanya Ummi Khadijah.

Sari terdiam sejenak. Ia bisa saja membela diri dan menceritakan yang sebenarnya, tapi apa gunanya? Toh reputasinya sudah hancur di mata Gus Fahri.

"Benar, Ummi. Saya minta maaf."

Kyai Hasyim menghela napas panjang. "Kalian berdua adalah santri senior yang seharusnya menjadi contoh bagi adik-adik tingkat. Perbuatan kalian sangat mengecewakan."

"Sebagai sanksi," lanjut Ummi Khadijah, "kalian berdua akan diberikan tugas khusus. Selama dua minggu ke depan, kalian akan membersihkan seluruh masjid setiap habis shalat, mulai dari subuh hingga isya. Dan setiap malam, kalian harus tahajud bersama untuk memohon ampun atas perbuatan kalian."

Sanksi itu cukup berat, tapi Sari menerimanya dengan lapang dada. Laila, meski terlihat keberatan, tidak berani membantah.

"Satu lagi," tambah Kyai Hasyim. "Selama masa sanksi, kalian dilarang mengikuti pengajian umum. Kalian hanya boleh mengikuti pengajian khusus dengan Ummi Khadijah."

Artinya, mereka tidak akan bisa melihat Gus Fahri selama dua minggu. Bagi Laila, ini adalah hukuman yang paling berat.


Hari pertama menjalani sanksi, Sari dan Laila bekerja dalam keheningan. Mereka membersihkan lantai masjid, menyapu halaman, dan merapikan rak-rak Al-Qur'an tanpa saling berbicara.

Namun pada hari ketiga, sesuatu yang aneh terjadi. Saat Sari sedang membersihkan mihrab setelah shalat maghrib, ia menemukan secarik kertas kecil terselip di belakang mimbar. Kertas itu berisi tulisan tangan yang tidak dikenalnya:

"Hati-hati dengan apa yang kamu lihat. Tidak semua yang berkilau adalah emas. Gus yang kamu puja memiliki rahasia kelam."

Sari mengernyitkan dahi. Siapa yang menulis ini? Dan apa maksudnya?

Ia menoleh ke arah Laila yang sedang mengepel di ujung masjid. Apakah Laila yang menulis ini untuk menakut-nakutinya? Tapi tulisan tangannya tidak mirip dengan tulisan Laila yang ia kenal.

Sari memutuskan untuk menyimpan kertas itu dan tidak menceritakannya kepada siapa pun.

Malam harinya, saat mereka sedang tahajud bersama, Sari memperhatikan Laila dengan seksama. Gadis itu tampak gelisah dan sering menoleh ke arah pintu masjid, seolah menunggu seseorang.

Setelah selesai tahajud, Laila berbisik kepada Sari, "Aku mau ke kamar mandi dulu. Kamu duluan saja ke asrama."

Sari mengangguk, tapi daripada langsung ke asrama, ia memutuskan untuk bersembunyi di balik pilar masjid. Naluri misteriusnya mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.

Beberapa menit kemudian, Sari melihat Laila keluar dari toilet dan berjalan ke arah yang berlawanan dari asrama. Gadis itu berjalan menuju gedung kantor ustadz yang seharusnya sudah sepi di waktu malam.

Sari mengikuti dari kejauhan, bersembunyi di balik pohon dan tembok. Ia melihat Laila berhenti di depan salah satu ruangan dan mengetuk pintu pelan. Pintu terbuka, dan siluet seorang laki-laki muncul.

Jantung Sari berdebar kencang. Dari kejauhan, sosok itu mirip dengan Gus Fahri. Tapi apa yang dilakukan Laila bertemu dengan Gus Fahri di tengah malam?

Laila masuk ke dalam ruangan, dan pintu tertutup kembali. Sari bingung harus berbuat apa. Apakah ia harus melaporkan ini kepada ustadzah? Atau sebaiknya ia pergi dan pura-pura tidak melihat apa-apa?

Setelah menimbang-nimbang, Sari memutuskan untuk menunggu. Ia bersembunyi di balik semak-semak sambil mengawasi ruangan itu.

Sekitar setengah jam kemudian, pintu terbuka lagi. Laila keluar dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya pucat pasi. Gadis itu tampak ketakutan dan terus menoleh ke belakang sambil berlari menuju asrama.

Sari menunggu beberapa menit lagi, tapi tidak ada yang keluar dari ruangan itu. Rasa penasarannya semakin besar. Siapa yang ada di dalam ruangan itu? Dan kenapa Laila tampak ketakutan?


Keesokan harinya, sikap Laila berubah drastis. Gadis yang biasanya sombong dan cerewet itu menjadi pendiam dan mudah terkejut. Ia sering melamun dan tampak gelisah, terutama saat melihat Gus Fahri dari kejauhan.

Sari mencoba menanyakan apa yang terjadi, tapi Laila selalu menghindar dan berkata tidak ada apa-apa.

Pada hari keenam sanksi mereka, Sari menemukan kertas aneh lagi. Kali ini kertas itu tergeletak di bawah tempat wudhu. Isinya:

"Tanyakan pada Laila tentang malam Selasa kemarin. Tanyakan apa yang ia lihat di ruang kantor. Tapi hati-hati, ada yang mengawasi kalian."

Sari semakin bingung. Siapa yang terus meninggalkan pesan-pesan misterius ini? Dan apa yang sebenarnya terjadi pada malam itu?

Malam harinya, setelah tahajud, Sari memberanikan diri untuk bertanya kepada Laila.

"Laila, aku mau tanya sesuatu."

Laila yang sedang melipat sajadah terhenti. "Apa?"

"Beberapa malam yang lalu, kamu kemana setelah tahajud?"

Wajah Laila langsung pucat. "Ke... ke kamar mandi. Kenapa?"

"Aku melihatmu berjalan ke arah gedung kantor."

Laila terdiam, tangannya bergetar memegang sajadah.

"Aku tidak kemana-mana," dustanya.

"Laila, aku melihatmu masuk ke salah satu ruangan. Ada apa sebenarnya?"

Air mata mulai mengalir di pipi Laila. Gadis itu duduk lemas di lantai masjid.

"Sari... aku takut."

"Takut kenapa?"

"Aku... aku melihat sesuatu yang tidak seharusnya aku lihat."

Sari duduk di samping Laila. "Ceritakan padaku."

Dengan suara bergetar, Laila mulai bercerita. "Malam itu, aku memang pergi ke gedung kantor. Aku... aku ingin meninggalkan surat untuk Gus Fahri di ruang kerjanya."

"Surat apa?"

"Surat cinta," jawab Laila malu. "Aku sudah tidak tahan lagi menyimpan perasaan ini. Aku pikir kalau aku tulis di surat, mungkin dia akan mengerti."

Sari tidak berkomentar, membiarkan Laila melanjutkan ceritanya.

"Tapi saat aku sampai di ruang kerjanya, pintunya tidak terkunci. Aku masuk sebentar untuk meletakkan surat di mejanya. Tapi saat aku akan keluar, aku mendengar suara langkah kaki."

"Terus?"

"Aku panik dan sembunyi di balik lemari. Lalu seseorang masuk ke ruangan itu."

"Gus Fahri?"

Laila menggeleng. "Bukan. Itu... Itu Ustadz Hakim."

Sari mengernyitkan dahi. Ustadz Hakim adalah salah satu pengajar senior di pesantren, laki-laki paruh baya yang terkenal alim dan disegani.

"Lalu?"

"Ustadz Hakim tidak sendirian. Ada orang lain bersamanya. Seorang perempuan."

"Siapa?"

"Aku tidak bisa melihat dengan jelas karena lampu dimatikan. Tapi dari suaranya... sepertinya salah satu ustadzah di sini."

Sari terkejut. "Maksudmu..."

"Mereka... mereka melakukan hal yang tidak sepatutnya, Sari." Laila menangis semakin keras. "Aku melihat mereka... astafirullah, aku tidak tahu harus bagaimana."

Sari terpana. Jika apa yang diceritakan Laila benar, maka ini adalah skandal besar yang bisa mengguncang pesantren.

"Lalu bagaimana kamu bisa keluar?"

"Aku menunggu sampai mereka selesai dan pergi. Tapi saat aku akan keluar, aku mendengar suara lagi. Kali ini... Gus Fahri."

"Gus Fahri?"

"Dia masuk ke ruangan itu dan... dan dia melihat bekas-bekas yang ditinggalkan. Dia tahu ada yang terjadi di sana."

"Terus?"

"Aku dengar dia menelepon seseorang. Dia bilang 'Rencana kita berhasil. Sekarang kita punya bukti.'"

Sari semakin bingung. "Maksudnya?"

"Aku tidak tahu. Tapi sepertinya... sepertinya Gus Fahri sudah tahu dari awal tentang hubungan gelap itu. Dan dia sengaja membiarkannya terjadi untuk... untuk tujuan tertentu."

Laila menatap Sari dengan mata yang merah. "Sari, aku takut. Aku takut mereka tahu bahwa aku melihat semuanya."

Sari memeluk Laila yang masih terisak. Dalam hatinya, ia memikirkan kertas-kertas misterius yang ia temukan. Apakah pemberi pesan itu tahu tentang kejadian ini?


Malam berikutnya, Sari tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan cerita Laila dan kertas-kertas aneh yang ia temukan. Siapa yang mengetahui rahasia ini? Dan mengapa orang itu berkomunikasi dengannya melalui pesan-pesan misterius?

Sekitar tengah malam, Sari mendengar suara langkah kaki pelan di lorong asrama. Ia mengintip dari balik tirai dan melihat seseorang berjalan menuju masjid dengan membawa sesuatu.

Rasa penasaran mengalahkan rasa takutnya. Sari keluar dari kamar dengan hati-hati dan mengikuti sosok itu dari kejauhan.

Di masjid, ia melihat sosok berkerudung itu meletakkan sesuatu di tempat yang biasa ia temukan kertas-kertas misterius. Setelah itu, sosok itu berjalan ke arah yang tidak terduga—menuju ruang pribadi Ummi Khadijah.

Sari terkejut. Jangan-jangan...

Ia menunggu sampai sosok itu menghilang, lalu bergegas ke tempat di mana kertas biasanya diletakkan. Kali ini, yang ia temukan bukan kertas, tapi sebuah foto kecil.

Dengan tangan bergetar, Sari melihat foto itu di bawah cahaya bulan. Foto itu menunjukkan Ustadz Hakim dan seorang wanita dalam posisi yang sangat kompromais di ruang kantor. Wajah wanita itu tidak terlalu jelas, tapi postur tubuhnya familiar.

Di belakang foto, ada tulisan: "Besok setelah shalat subuh, datang sendirian ke perpustakaan. Ada yang harus kamu ketahui."


Esok paginya, setelah shalat subuh, Sari bergegas ke perpustakaan dengan perasaan campur aduk. Ruangan itu sepi, hanya ada seseorang yang duduk di pojok belakang dengan kerudung menutupi sebagian wajahnya.

Sari mendekat dengan hati-hati. Ketika sosok itu mendongak, Sari terkejut.

"Ummi Khadijah?"

Istri Kyai Hasyim itu tersenyum sedih. "Duduklah, anakku."

Sari duduk dengan bingung. "Ummi yang selama ini meninggalkan pesan-pesan itu?"

Ummi Khadijah mengangguk. "Maafkan aku, Sari. Aku terpaksa melakukannya karena situasi yang sangat rumit."

"Situasi apa, Ummi?"

"Tentang foto yang kamu lihat tadi malam."

Sari mengeluarkan foto itu dari sakunya. "Ini tentang Ustadz Hakim dan..."

"Dan Ustadzah Fatimah," sambung Ummi Khadijah. "Mereka sudah menjalin hubungan gelap selama berbulan-bulan."

"Kenapa Ummi tidak langsung melaporkan kepada Kyai?"

Ummi Khadijah menghela napas panjang. "Karena Fatimah adalah adik kandungku, Sari."

Sari tertegun. Ia tidak pernah tahu bahwa Ustadzah Fatimah—pengajar yang terkenal alim itu—adalah adik Ummi Khadijah.

"Aku sudah berkali-kali menegurnya, tapi dia tidak mau mendengar. Dia bahkan mengancam akan membocorkan rahasia keluarga jika aku melaporkannya."

"Rahasia apa?"

"Tentang masa lalu suamiku sebelum menjadi kyai. Fatimah tahu bahwa dulu Kyai Hasyim pernah terlibat dalam bisnis yang... questionable. Meski sekarang dia sudah bertobat dan menjadi ulama yang baik, tapi jika rahasia itu bocor, reputasinya akan hancur."

Sari mulai memahami kompleksitas masalah ini.

"Lalu bagaimana dengan Gus Fahri? Laila bilang dia sudah tahu dan sepertinya punya rencana tertentu."

Wajah Ummi Khadijah mengeras. "Itulah yang paling aku khawatirkan. Fahri memang tahu tentang hubungan gelap itu. Tapi dia tidak melaporkannya kepada ayahnya."

"Kenapa?"

"Karena dia menggunakan informasi itu untuk menekan Ustadz Hakim agar mendukung rencananya."

"Rencana apa?"

"Fahri ingin mengambil alih pengelolaan pesantren dari ayahnya. Dia merasa ayahnya sudah tua dan tidak bisa mengikuti perkembangan zaman. Dengan ancaman akan membocorkan skandal Ustadz Hakim, dia bisa mendapat dukungan dari beberapa ustadz senior."

Sari terkejut. Selama ini ia mengagumi Gus Fahri sebagai sosok yang alim dan bermoral tinggi. Ternyata di balik wajah tampannya, tersimpan ambisi politik yang kotor.

"Jadi kejadian kemarin malam yang dilihat Laila..."

"Fahri sengaja mengatur agar Ustadz Hakim dan Fatimah bertemu di ruang itu. Dia sudah memasang kamera tersembunyi untuk merekam aktivitas mereka."

"Astafirullah..."

"Aku tahu semua ini karena Fatimah akhirnya mengaku padaku kemarin malam. Dia ketakutan karena Fahri mulai memeras mereka."

Sari terdiam, mencerna semua informasi yang baru saja ia terima. Dunia yang ia pikir hitam-putih ternyata penuh dengan nuansa abu-abu.

"Kenapa Ummi menceritakan semua ini padaku?"

"Karena aku butuh bantuanmu, Sari."

"Bantuan apa?"

"Aku ingin kamu dan Laila menjadi saksi. Aku akan mengungkap semua ini kepada suamiku, tapi aku butuh kesaksian dari orang yang melihat langsung."

"Tapi Ummi, bukankah ini akan merusak nama pesantren?"

"Lebih baik hancur dengan terhormat daripada terus hidup dalam kemunafikan," jawab Ummi Khadijah tegas. "Pesantren ini didirikan untuk mendidik generasi yang bermoral. Bagaimana bisa kita mendidik moral jika para pengasuhnya sendiri tidak bermoral?"


Sore harinya, Sari dan Laila dipanggil ke ruang keluarga Kyai Hasyim. Di sana sudah hadir Kyai Hasyim, Ummi Khadijah, Gus Fahri, Ustadz Hakim, dan Ustadzah Fatimah.

Suasana sangat tegang. Wajah Ustadz Hakim dan Ustadzah Fatimah pucat pasi, sementara Gus Fahri tampak gelisah.

"Saya sudah mendengar dari istri saya tentang apa yang terjadi," kata Kyai Hasyim dengan suara berat. "Sekarang saya ingin mendengar langsung dari kalian berdua."

Dengan gugup, Laila menceritakan apa yang ia lihat malam itu. Sari menambahkan tentang pesan-pesan misterius dan foto yang ia terima.

Gus Fahri mencoba membela diri. "Ayah, saya hanya ingin melindungi nama baik pesantren. Saya berniat melaporkan hal ini kepada Ayah setelah saya kumpulkan bukti yang cukup."

"Dengan cara memasang kamera tersembunyi dan memeras mereka?" sergah Ummi Khadijah. "Itu bukan cara yang diajarkan Islam, Fahri."

"Saya tidak memeras siapa-siapa!"

"Lalu apa ini?" Ummi Khadijah mengeluarkan secarik kertas. "Ini surat yang kamu kirim kepada Ustadz Hakim kemarin. Kamu meminta dia untuk mendukung rencana 'pembaruan' pesantrrenmu, dengan ancaman akan menyebarkan foto-foto itu."

Wajah Gus Fahri merah padam. Ia tidak bisa membantah lagi.

Kyai Hasyim duduk terdiam dalam waktu yang sangat lama. Ketika ia angkat bicara, suaranya penuh dengan kesedihan.

"Subhanallah... apa yang telah kalian lakukan terhadap amanah yang dipercayakan kepada kita?"

Ia menatap Ustadz Hakim dan

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi