Bayangan di Cermin Pesantren


Bayangan di Cermin Pesantren

Zahra terbangun tengah malam dengan perasaan aneh yang menggigit dadanya. Ada sesuatu yang tidak beres di Pondok Pesantren Al-Hikmah ini. Bukan hanya karena kamarnya yang terasa dingin meski sudah bulan Juni, tapi ada sensasi lain—seperti seseorang sedang memandanginya dari kejauhan.

"Ngapa kowe tangi, Zah?" Siti Aminah, teman sekamarnya, bergumam sambil setengah tertidur.

"Ora apa-apa, Mbak Min. Mung pengen minum," jawab Zahra pelan sambil bangkit dari kasur.

Tapi ketika dia berjalan menuju dispenser air di ujung koridor, langkahnya terhenti. Di ujung lorong yang remang-remang, dia melihat sosok yang membuatnya hampir berteriak kaget. Seorang gadis berkerudung putih berdiri memunggunginya, dengan postur tubuh yang persis seperti dirinya.

"Hei!" panggil Zahra, tapi sosok itu menghilang begitu saja ke balik tikungan.

Zahra mengejar, tapi koridor di ujung lorong kosong melompong. Yang tersisa hanya bau wangi melati yang samar, persis seperti minyak wangi yang selalu dia pakai.

Keesokan paginya, setelah salat subuh berjamaah, Zahra memberanikan diri bertanya pada Ustadzah Halimah yang mengajar mengaji.

"Ustadzah, kemarin ada santri baru yang masuk ya?"

Ustadzah Halimah mengerutkan kening. "Ora ana, Le. Santri sing paling anyar ya kowe, telung minggu kepungkur."

"Tapi aku weruh ana bocah wadon sing..." Zahra menghentikan kata-katanya. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa dia melihat seseorang yang sangat mirip dengannya?

"Weruh apa, Zahra?"

"Mboten, Ustadzah. Mungkin aku salah lihat."

Tapi Ustadzah Halimah menatapnya dengan pandangan aneh, seolah dia tahu sesuatu tapi tidak mau mengatakannya.

Hari-hari berikutnya, Zahra semakin sering merasakan kehadiran "sosok lain" itu. Ketika dia bercermin di kamar mandi, sesekali dia melihat pantulan yang sedikit berbeda—seolah cermin itu menunjukkan versi lain dari dirinya. Ketika mengaji di mushola, dia merasakan seseorang duduk di sebelahnya meski tempat itu kosong. Dan yang paling aneh, teman-teman santri mulai bertanya hal yang membingungkan.

"Zahra, wingi kowe ning perpustakaan jam pitu bengi ya?" tanya Fatimah suatu pagi.

"Ora, aku wes turu jam setengah sanga."

"Lho, aku yakin weruh kowe ning kono. Malah kowe nyapa aku."

Zahra merinding. Dia sama sekali tidak ke perpustakaan malam itu.

Kejadian serupa terus berulang. Ada yang melihat "Zahra" di dapur malam-malam, ada yang mengaku diajak ngobrol oleh "Zahra" di taman, padahal Zahra yakin dia sedang tidur di kamar.

Suatu malam, ketika Zahra sedang shalat tahajud sendirian di mushola, dia mendengar suara tilawah yang sangat merdu dari arah mihrab. Suara itu familiar sekali—seperti suaranya sendiri, tapi ada perbedaan halus yang membuatnya berbeda.

Dengan hati-hati, Zahra mengintip ke arah mihrab. Di sana, seorang gadis berkerudung putih sedang tilawah dengan khusyuk. Punggungnya menghadap Zahra, tapi dari postur dan gerak-geriknya, gadis itu sangat mirip dengannya.

"Assalamu'alaikum," sapa Zahra dengan suara bergetar.

Gadis itu menoleh, dan Zahra hampir pingsan. Wajah yang menatapnya adalah wajahnya sendiri, tapi dengan ekspresi yang lebih tenang, lebih dewasa, seolah telah melewati penderitaan yang dalam.

"Wa'alaikumussalam, ukhti," jawab gadis itu dengan senyum yang menyedihkan.

"Kowe... kowe sapa?" tanya Zahra, kakinya gemetar.

"Aku Zahrah. Kembarmu."

Dunia Zahra berputar. "Kembar? Aku ora duwe sedulur kembar!"

Zahrah bangkit dari sajadahnya, wajahnya dipenuhi kesedihan yang mendalam. "Kowe ora ngerti, ya? Kowe ora ngerti kenapa kowe krungu suara angin sing nangis saben wengi? Kenapa kowe kerep kroso kosong, koyo ana sing ilang ing atimu?"

Zahra mundur selangkah. Semua yang dikatakan Zahrah benar. Sejak kecil, dia selalu merasa ada yang kurang dalam hidupnya, seolah ada bagian dari jiwanya yang hilang.

"Tapi kowe urip... kowe ana ning kene," bisik Zahra.

Zahrah menggeleng perlahan. "Aku wes ora urip, Zahra. Aku mati nalika umur telung taun. Kowe lali, nanging aku ora."

Air mata mulai mengalir di pipi Zahra. "Mati? Kepiye carane?"

"Kita tenggelam ning kali mburi omah. Kowe bisa diselamatkan, nanging aku ora. Wong tuwa kita ora kandha apa-apa marang kowe amarga dheweke ora pengen kowe sedih."

Zahra jatuh terduduk. Kenangan-kenangan samar mulai bermunculan. Dirinya bermain di tepi sungai dengan seorang gadis kecil yang wajahnya sama persis. Teriakan minta tolong. Air yang dingin dan dalam. Lalu kegelapan.

"Kenapa kowe ning kene? Kenapa kowe muncul saiki?"

Zahrah duduk di samping Zahra, meski tubuhnya terasa dingin seperti angin malam. "Amarga kowe lagi butuh aku. Kowe lagi ngadhepi masalah gedhe, kan?"

Zahra mengangguk. Benar, dia sedang bingung dengan masa depannya. Orang tuanya menginginkan dia menikah setelah lulus pesantren, tapi dia ingin melanjutkan kuliah. Konflik itu membuatnya stress dan sering menangis sendirian.

"Aku teka mrene kanggo pamit, Zahra. Lan kanggo kandha marang kowe, aja takut nggayuh impenmu. Aku wes ora bisa nggayuh impenku, nanging kowe isih bisa."

"Impian apa?"

"Dadi ustadzah. Ngajar bocah-bocah cilik. Kowe uga duwe impian sing padha, kan?"

Zahra terkejut. Benar, sejak kecil dia bermimpi menjadi guru mengaji untuk anak-anak. Tapi dia tidak pernah menceritakan impian itu pada siapa pun.

"Kepiye kowe ngerti?"

"Amarga kita kembar. Nyawa kita nyambung, senajan awakku wes ora ana. Aku ngerti kabeh sing kowe rasake, kabeh sing kowe impenake."

Mereka terdiam lama. Zahra merasakan kedamaian yang aneh, seolah puzzle yang selama ini hilang akhirnya ditemukan.

"Zahrah, apa kowe bakal terus ning kene?"

"Ora. Saiki kowe wes ngerti sing sejatine, aku kudu lunga. Nanging elinga, aku bakal tansah ana ing atimu. Setiap kali kowe ragu, elinga aku. Elinga impian kita."

Zahrah berdiri dan menghampiri Zahra. Dia memeluk adik kembarnya itu, meski pelukannya terasa seperti hembusan angin sejuk.

"Aja lali, Zahra. Kowe ora sendirian. Kowe duwe kekuatan loro wong. Kekuatanku lan kekuatanmu."

Ketika Zahra membuka mata, dia sudah sendirian di mushola. Yang tersisa hanya bau wangi melati dan perasaan damai yang tak pernah dia rasakan sebelumnya.

Keesokan paginya, Zahra memutuskan untuk menelepon orang tuanya.

"Bapak, Ibu, aku pengen kandha sesuatu."

"Apa, Le?" suara ibunya terdengar khawatir dari telepon.

"Aku pengen neruske kuliah. Aku pengen dadi guru ngaji."

Hening sejenak di ujung telepon.

"Zahra," suara ayahnya pelan, "kowe wes ngerti tentang Zahrah, ya?"

Zahra terkejut. "Bapak ngerti?"

"Kowe kembar, Le. Zahrah adikmu sing mati nalika umur telung taun. Kita ora tau kandha amarga kita ora pengen kowe nangis terus. Nanging kayane saiki wes waktune kowe ngerti."

Air mata Zahra mengalir. "Kenapa Bapak Ibu ora kandha?"

"Amarga kita sayang kowe. Kita ora pengen kowe kroso burden. Nanging yen kowe wes siap ngerti, kita uga wes siap kandha."

"Zahrah teka ning kene, Pak. Dheweke kandha yen aku kudu nggayuh impenku."

Suara ibunya terdengar bergetar. "Zahrah tansah pinter, wiwit cilik. Dheweke seneng banget ngajar bocah-bocah cilik sing lagi sinau ngaji."

"Terus kepiye babagan rencana nikah?"

"Yen kowe pengen sekolah dhisik, yo ora apa-apa, Le. Sing penting kowe seneng lan bisa nggayuh impenmu. Impian Zahrah uga."

Malam itu, Zahra tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya sejak mondok di pesantren. Dalam mimpinya, dia bermain dengan seorang gadis kecil di tepi sungai yang jernih. Kali ini, mereka tidak tenggelam. Kali ini, mereka tertawa bersama di bawah sinar matahari yang hangat.

Tiga tahun kemudian, Zahra lulus dari Universitas Islam Negeri dengan predikat cumlaude. Dia membuka TPA (Taman Pendidikan Al-Qur'an) untuk anak-anak di desanya. Di plang nama TPA itu tertulis: "TPA Zahrah - Untuk Mimpi yang Tak Pernah Mati."

Setiap hari, ketika mengajar anak-anak mengaji, Zahra merasakan kehadiran Zahrah di sampingnya. Tidak lagi menyeramkan, tapi menenangkan. Seperti mendapat kekuatan dua kali lipat untuk mewujudkan impian yang sempat tertunda.

Dan kadang-kadang, anak-anak TPA bertanya, "Ustadzah, kenapa Ustadzah sering senyum sendiri?"

Zahra hanya tersenyum. "Ora apa-apa, nak. Ustadzah lagi ngobrol sama sahabat terbaik Ustadzah."

Sahabat yang akan selalu bersamanya, meski tak kasat mata. Sahabat yang mengajarkannya bahwa cinta sejati tidak pernah mati, bahkan ketika kematian memisahkan. Dan bahwa mimpi yang tulus akan selalu menemukan jalan untuk terwujud, meski harus melalui dua jiwa yang terpisah ruang dan waktu.


Epilog:

Di makam kecil di belakang masjid desa, ada nisan sederhana bertuliskan: "Zahrah - Malaikat Kecil yang Kembali ke Surga." Setiap Jumat, Zahra datang membawa bunga melati putih dan mendoakan adik kembarnya.

"Makasih, Zahrah," bisiknya setiap kali. "Makasih wes nuntun aku nemokake jalan."

Dan angin yang bertiup di pemakaman itu selalu berbau wangi melati, seolah-olah menjawab: "Sama-sama, kakak. Kita tansah bareng, kok."

Cinta kembar memang tak pernah terpisah, bahkan oleh batas kehidupan dan kematian.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi