Bisikan di Pucuk Lawu
Bisikan di Pucuk Lawu
Sebuah cerpen karya inspirasi
Subuh belum benar-benar tiba ketika lima santri putra itu sudah berkumpul di halaman belakang pesantren. Embun masih menggantung di dedaunan ketela pohon yang merambat di pagar bambu, dan suara ayam jantan mulai bersahut-sahutan dari kejauhan. Ahmad, yang paling senior di antara mereka, sibuk mengecek isi tas gunung berwarna hijau tua yang sudah compang-camping.
"Wis siap kabeh?" tanyanya sambil melirik ke arah empat temannya yang masih terlihat mengantuk.
Ridho mengangguk sambil menguap lebar. "Siap, Kang. Tapi kok rasane deg-degan ya?"
"Lha kenapa?" sahut Bayu, santri paling bungsu yang baru berusia lima belas tahun. "Kan cuma naik gunung biasa."
Ahmad tersenyum tipis. Ia sudah beberapa kali mendaki Gunung Lawu bersama ayahnya dulu, sebelum masuk pesantren. Tapi kali ini rasanya berbeda. Sejak kemarin malam, ia terus bermimpi tentang sosok bersorban putih yang memanggil-manggil namanya dari puncak gunung. Mimpi yang sama terulang tiga kali, sampai ia terbangun dengan keringat dingin.
"Bismillah," gumam Ustadz Hasan yang tiba-tiba muncul dari arah mushala. "Kalian yakin mau berangkat sekarang? Cuaca belum stabil akhir-akhir ini."
"InsyaAllah aman, Ustadz," jawab Ahmad sambil mencium tangan guru mengajinya itu. "Kami hanya sampai pos dua saja, tidak ke puncak."
Ustadz Hasan mengangguk pelan, tapi matanya masih terlihat khawatir. "Hati-hati. Jangan lupa dzikir dan jangan pisah dari kelompok. Gunung Lawu itu... istimewa."
Kelima santri itu berangkat ketika adzan subuh mulai berkumandang. Mereka naik ojek sampai ke basecamp Cemoro Sewu, titik awal pendakian yang paling populer. Di sana, udara sudah terasa dingin menusuk, meski matahari belum sepenuhnya terbit.
"Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad," Ahmad memulai zikir perjalanan yang langsung diikuti keempat temannya. Suara mereka bersahut-sahutan dengan suara burung-burung yang mulai berkicau di rimbunan cemara.
Jam pertama pendakian berjalan lancar. Jalur yang mereka lalui masih cukup landai, melewati kebun-kebun penduduk dan hutan pinus yang rindang. Fahmi, santri asal Yogya yang terkenal cerewet, mulai bercerita tentang legenda Gunung Lawu yang pernah ia dengar dari kakeknya.
"Katanya sih, Kang, dulu Raja Brawijaya V moksa di puncak sana. Makanya sampai sekarang masih banyak peziarah yang naik ke makam Sukuh sama Cetho."
"Ojo ngomong sembarangan, Dhim," tegur Ridho. "Kita kan muslim. Nggak percaya sama yang begituan."
"Lha aku cuma cerita kok. Lagian kan memang sejarah."
Ahmad diam saja mendengar perdebatan kedua temannya. Ia lebih fokus memperhatikan jalan setapak yang semakin curam. Entah kenapa, perasaannya semakin tidak enak. Seperti ada yang mengawasi mereka dari balik pepohonan cemara yang mulai lebat.
Di pos satu, mereka beristirahat sebentar. Bekal nasi gudeg yang dibungkus daun pisang terasa sangat nikmat dimakan sambil menikmati pemandangan lembah di bawah. Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama.
"Kang, itu siapa?" bisik Bayu sambil menunjuk ke arah hutan di sebelah kiri mereka.
Ahmad mengikuti arah telunjuk Bayu. Di antara rimbunan cemara, ia melihat sosok berpakaian putih yang berdiri diam. Terlalu jauh untuk bisa melihat wajahnya dengan jelas, tapi sosok itu seperti sedang memperhatikan mereka.
"Mungkin pendaki lain," sahut Fahmi, tapi suaranya terdengar ragu.
"Kok diam saja?" Ridho ikut memperhatikan. "Biasanya kan pendaki saling menyapa."
Ketika mereka berkedip sebentar, sosok itu sudah menghilang. Seperti tertelan kabut tipis yang mulai turun dari puncak gunung.
"Yallah, kita lanjut," ajak Ahmad, mencoba mengusir perasaan aneh yang semakin menguat di dadanya.
Perjalanan dari pos satu ke pos dua semakin menantang. Jalur mulai berbatu dan berkelok-kelok tajam. Kabut semakin tebal, membuat jarak pandang mereka terbatas. Suara langkah kaki di atas bebatuan bercampur dengan desir angin yang semakin kencang.
"Subhanallah," gumam Ahmad ketika mereka sampai di sebuah clearance yang memberikan pemandangan spektakuler ke arah Gunung Merapi dan Merbabu di kejauhan. "Memang benar, Allah Maha Indah lagi mencintai keindahan."
Tapi keindahan itu tidak berlangsung lama. Kabut tiba-tiba semakin tebal, sampai mereka hampir tidak bisa melihat jalan setapak di depan. Yang lebih aneh lagi, suara-suara hutan yang tadi ramai tiba-tiba hening. Tidak ada kicau burung, tidak ada gemerisik daun, bahkan angin pun seperti berhenti bertiup.
"Kang, rasane aneh banget nih," bisik Ridho. "Kayak kita lagi diawasi."
Ahmad berhenti melangkah. Ia juga merasakan hal yang sama. Ada mata-mata yang mengikuti setiap gerakan mereka. Ia menoleh ke belakang, dan hampir berteriak ketika melihat sosok bersorban putih yang sama, kali ini berdiri hanya sekitar sepuluh meter di belakang mereka.
"Assalamu'alaikum, Pak," sapa Ahmad dengan suara bergetar, mencoba menguatkan diri.
Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, wajahnya tidak terlihat karena tertutupi kabut. Tapi Ahmad bisa merasakan tatapannya yang tajam, seperti menembus sampai ke tulang.
"Kang, aku takut," bisik Bayu sambil menarik lengan Ahmad.
"Kita bacain ayat Kursi, yuk," ajak Fahmi dengan suara gemetar.
Kelima santri itu langsung membaca ayat Kursi bersama-sama, suara mereka bergema di tengah kesunyian hutan yang mencekam. Anehnya, setelah mereka selesai membaca, sosok bersorban putih itu perlahan mundur ke belakang dan menghilang di balik kabut.
"Alhamdulillah," helah Ahmad lega. "Kita lanjut terus ya, jangan berhenti."
Tapi ujian mereka belum berakhir. Semakin mendekati pos dua, jalan setapak seperti berubah-ubah. Tadi mereka yakin jalur yang benar ke kanan, tapi tiba-tiba di depan ada jalur yang menuju ke kiri yang terlihat lebih jelas. GPS di handphone Ahmad juga mulai error, tidak bisa menangkap sinyal satelit.
"Kang, kita tersesat ya?" tanya Ridho cemas.
Ahmad mencoba tetap tenang, meski jantungnya berdebar kencang. "Tidak apa-apa. Kita istirahat dulu, baca dzikir, terus lihat lagi jalurnya."
Mereka duduk di bawah pohon cemara besar yang batangnya bisa dipeluk berlima. Ahmad membuka Al-Qur'an saku yang selalu ia bawa, dan mulai membaca surat Al-Baqarah dengan suara pelan. Keempat temannya ikut mendengarkan sambil berdzikir dalam hati.
Perlahan, kabut mulai menyingkap. Jalan setapak yang tadi membingungkan kini terlihat jelas. Hanya ada satu jalur, yang menuju ke arah kanan sesuai arah yang Ahmad yakini sejak tadi.
"Subhanallah," bisik Fahmi. "Tadi kok bisa beda ya?"
"Mungkin kita tadi lelah, jadi mata kayak berkunang-kunang," sahut Ridho, meski ia sendiri tidak yakin dengan penjelasannya.
Ketika mereka sampai di pos dua, matahari sudah mulai condong ke barat. Pos dua ini adalah area yang cukup luas, dengan beberapa shelter sederhana untuk pendaki yang bermalam. Tapi anehnya, tempat yang biasanya ramai itu terlihat sepi. Hanya ada mereka berlima.
"Kang, kita mau balik sekarang atau gimana?" tanya Bayu. "Udah mulai sore nih."
Ahmad melihat ke arah puncak Gunung Lawu yang masih tersembunyi di balik awan. Entah kenapa, ia merasa ada yang memanggilnya dari sana. Bukan suara yang bisa didengar dengan telinga, tapi seperti bisikan di dalam hatinya.
"Sebentar ya, aku mau shalat Ashar dulu," katanya sambil mengambil mukena dari tas.
Keempat temannya ikut mengambil wudhu di mata air kecil yang mengalir di dekat shelter. Air itu jernih dan dingin, menyegarkan tubuh mereka yang sudah lelah. Mereka shalat berjamaah dengan Ahmad sebagai imam, suara takbir mereka bergema di tengah kesunyian gunung.
Setelah shalat, Ahmad merasa lebih tenang. Ia duduk sebentar di atas batu besar sambil memandangi pemandangan lembah di bawah. Tiba-tiba, dari arah puncak gunung, terdengar suara adzan Maghrib yang sangat merdu. Suara itu bergema di antara puncak-puncak bukit, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
"Kang, itu suara adzan dari mana ya?" bisik Ridho. "Kan tidak ada masjid di puncak."
Ahmad terdiam. Ia juga heran mendengar suara adzan itu. Suaranya begitu indah, seperti suara muadzin terbaik yang pernah ia dengar. Tapi ketika mereka cek jam, ternyata masih pukul empat sore. Masih terlalu siang untuk waktu Maghrib.
"Mungkin dari desa di bawah," sahut Fahmi, tapi suaranya ragu. "Suara kan bisa terbawa angin."
Tapi Ahmad tahu itu bukan suara dari desa. Suara itu datang dari arah puncak, dari tempat yang menurut peta tidak ada pemukiman apa pun. Ia mulai merasa bahwa pendakian mereka kali ini memang tidak biasa.
"Yuk, kita turun sekarang," ajaknya akhirnya. "Biar tidak terlalu gelap di jalan."
Perjalanan turun lebih cepat, tapi tidak kalah menegangkan. Berkali-kali mereka mendengar suara langkah kaki yang mengikuti dari belakang, tapi ketika menoleh, tidak ada siapa-siapa. Kadang terdengar juga bisikan-bisikan halus dalam bahasa yang tidak mereka mengerti, seperti bahasa Jawa kuno.
"La hawla wa la quwwata illa billah," Ahmad terus berdzikir sambil mempercepat langkah.
Ketika mereka sampai di pos satu, hari sudah mulai gelap. Untungnya mereka membawa senter, jadi perjalanan terakhir menuju basecamp tidak terlalu sulit. Tapi di sinilah kejadian paling mencekam terjadi.
Di tengah-tengah hutan pinus, tiba-tiba senter Ahmad mati. Padahal tadi baterainya masih penuh. Senter yang lain juga ikut padam satu per satu, sampai mereka terjebak dalam kegelapan total.
"Kang, aku takut," bisik Bayu dengan suara gemetar.
"Tenang, kita bacain surat Al-Falaq sama An-Nas," bisik Ahmad sambil merangkul bahu adik kelasnya itu.
Ketika mereka mulai membaca surat-surat tersebut, tiba-tiba dari arah depan terdengar suara yang sangat jernih:
"Ahmad... Ahmad... mari naik ke puncak... ada yang menunggumu..."
Suara itu begitu nyata, seperti seseorang yang berdiri tepat di depan mereka. Tapi ketika Ahmad menyalakan korek api, tidak ada siapa-siapa di sana.
"Siapa itu?" teriak Ahmad dengan suara bergetar. "Kami santri, kami orang baik!"
"Ahmad... kamu sudah dipanggil... sudah waktunya..."
Kali ini suara itu terdengar dari arah belakang. Ahmad langsung memutar tubuh, tapi tetap saja tidak ada siapa-siapa. Keempat temannya sudah mengerubungi dia dengan wajah pucat pasi.
"A'udzu billahi min al-syaithan al-rajim," Ahmad mulai membaca ta'awudz dengan suara keras, diikuti keempat temannya.
Anehnya, setelah mereka selesai membaca ta'awudz, semua senter langsung menyala kembali. Jalanan yang tadi gelap gulita kini terang benderang. Dan yang paling mengejutkan, mereka melihat sosok bersorban putih yang sama berdiri di tengah jalan, tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Kali ini mereka bisa melihat wajahnya dengan jelas. Seorang pria tua dengan jenggot putih panjang, matanya memancarkan cahaya aneh. Pakaiannya putih bersih, seperti kain kafan. Ia menatap Ahmad dengan pandangan yang dalam, lalu perlahan tersenyum.
"Ahmad, anak sholeh," katanya dengan suara yang begitu lembut, berbeda dengan bisikan menakutkan tadi. "Jangan takut. Aku hanya ingin menyampaikan pesan."
Ahmad memberanikan diri melangkah satu langkah ke depan. "Pesan apa, Mbah?"
"Sampaikan kepada ustadzmu, bahwa Gunung Lawu ini perlu dijaga. Banyak orang yang datang dengan niat tidak baik. Mereka mengganggu ketenangan tempat ini." mata tua itu menatap Ahmad dengan penuh makna. "Kalian, santri-santri muda ini, harus jadi penjaga. Dengan dzikir kalian, dengan shalat kalian, dengan akhlak kalian."
Ahmad mengangguk pelan, meski tubuhnya masih gemetar. "Baik, Mbah. Insya Allah kami sampaikan."
Sosok tua itu tersenyum lagi, lalu perlahan mundur ke belakang sampai tubuhnya mulai transparan. "Ingat, jagalah alam ini. Jagalah kesucian tempat-tempat yang Allah muliakan. Dan jangan lupa... sering-seringlah naik ke sini untuk berdzikir."
Setelah itu, sosok itu benar-benar menghilang, meninggalkan lima santri yang masih terdiam dalam keterkejutan.
"Kang... tadi itu siapa ya?" bisik Ridho setelah lama terdiam.
Ahmad menggeleng pelan. "Wallahu a'lam. Yang penting, kita sudah dengar pesannya. Ayo kita turun, nanti kita ceritakan ke Ustadz Hasan."
Sisa perjalanan menuju basecamp berjalan lancar. Tidak ada lagi kejadian aneh, tidak ada lagi bisikan-bisikan misterius. Seperti setelah menyampaikan pesannya, sosok tua tadi membiarkan mereka pulang dengan tenang.
Ketika sampai di pesantren, sudah hampir tengah malam. Mereka langsung menuju kamar Ustadz Hasan dan menceritakan seluruh pengalaman mereka. Sang ustadz mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk-angguk, seperti tidak terlalu terkejut dengan cerita mereka.
"Alhamdulillah," kata Ustadz Hasan setelah mereka selesai bercerita. "Kalian bertemu dengan salah satu wali yang menjaga Gunung Lawu. Beliau memang sering menampakkan diri kepada orang-orang yang hatinya bersih."
"Jadi memang benar ada, Ustadz?" tanya Fahmi dengan mata melebar.
"Nak, alam ini luas. Ada yang kasat mata, ada yang ghaib. Yang penting, selama kita berpegang pada Al-Qur'an dan Sunnah, insya Allah kita akan dilindungi Allah." Ustadz Hasan tersenyum bijak. "Dan pesan yang disampaikan kepada kalian itu benar. Kita sebagai muslim memang harus menjaga kelestarian alam, termasuk gunung-gunung yang Allah ciptakan ini."
Ahmad mengangguk dalam-dalam. Pengalaman malam itu mengubah pandangannya tentang alam dan spiritualitas. Ia merasa mendapat amanah besar untuk menjaga kesucian Gunung Lawu dan mengajak orang lain untuk menghormati alam.
Sejak hari itu, kelima santri itu rutin naik ke Gunung Lawu setiap bulan, tidak untuk mendaki ke puncak, tapi untuk berdzikir bersama di pos dua. Mereka juga sering mengajak santri lain untuk ikut, sambil menyampaikan pesan tentang pentingnya menjaga alam.
Dan anehnya, setiap kali mereka naik, cuaca selalu bersahabat. Tidak pernah ada kabut tebal seperti hari pertama mereka mendaki. Seolah-olah alam sudah mengenal mereka sebagai sahabat.
"Subhanallah," gumam Ahmad suatu pagi ketika mereka sedang berdzikir di pos dua sambil menyaksikan matahari terbit. "Memang benar kata Ustadz, kalau kita menghormati alam, alam pun akan menghormati kita."
Ridho yang duduk di sebelahnya mengangguk sambil tersenyum. "Dan yang paling penting, kita jadi lebih dekat sama Allah lewat keindahan ciptaan-Nya ini."
Dari kejauhan, burung-burung mulai berkicau, seolah ikut berdzikir bersama kelima santri itu. Dan kalau diperhatikan dengan seksama, kadang masih terlihat sosok bersorban putih yang berdiri di antara pepohonan cemara, tersenyum bangga melihat anak-anak muda yang sudah mengerti akan amanah yang diberikan kepadanya.
Gunung Lawu kembali tenang, dijaga oleh para santri yang tahu akan kesuciannya. Dan bisikan-bisikan aneh yang dulu sering mengganggu pendaki mulai jarang terdengar, karena sekarang sudah ada yang rutin "membersihkan" tempat itu dengan dzikir dan shalat.
Wallahu a'lam bisshawab.
Tamat
Comments