Fitnah di Balik Selendang Putih


Fitnah di Balik Selendang Putih

Maghrib telah berkumandang ketika jeritan memilukan kembali menggema di koridor pesantren putri Al-Hikmah. Siti Maryam berlari menuju asal suara, jantungnya berdegup kencang. Sudah lima hari berturut-turut, santri putri mengalami kesurupan yang aneh dan mengerikan.

Kali ini giliran Khadijah, santri kelas dua yang biasanya pendiam dan shalihah. Gadis itu tergeletak di lantai mushalla, tubuhnya kejang-kejang seperti ikan yang tersengat listrik. Matanya memutih, mulutnya berbusa, dan dari tenggorokannya keluar suara serak yang tidak seperti manusia.

"Dia... dia yang menyebabkan semua ini!" teriak Khadijah dengan suara yang bukan suaranya, jari telunjuknya menunjuk ke arah Maryam yang baru saja tiba. "Dialah yang membawa setan ke pesantren ini!"

Bu Nyai Hajjah Fatimah dan beberapa ustadzah segera membaca ayat-ayat suci untuk menenangkan Khadijah. Setelah hampir setengah jam, gadis itu akhirnya pingsan dan dibawa ke ruang kesehatan.

Maryam terpaku di tempatnya. Bisikan-bisikan mulai terdengar di antara santri-santri yang berkumpul.

"Sudah lima orang yang kesurupan, dan semuanya menunjuk Maryam."

"Pasti dia yang memanggil jin."

"Makanya dia selalu mendapat perhatian khusus dari Gus Hasan."

"Mungkin dia pakai ilmu hitam biar disukai putra Kyai."

Hati Maryam terasa tertusuk ribuan jarum. Dia tidak mengerti mengapa semua tuduhan itu ditujukan kepadanya. Memang benar, Gus Hasan, putra sulung Kyai Abdurrahman, sering berbincang dengannya tentang kajian kitab. Tapi itu murni karena Maryam adalah santri terpandai di angkatannya, bukan karena hal-hal yang tidak-tidak.

"Maryam," panggil Bu Nyai dengan suara dingin. "Ikut Ibu ke ruang tamu."

Dengan langkah berat, Maryam mengikuti Bu Nyai. Di ruang tamu, Kyai Abdurrahman sudah menunggu dengan wajah yang sulit dibaca.

"Duduklah, Nak," kata Kyai sambil menunjuk kursi di hadapannya.

"Assalamu'alaikum, Kyai. Assalamu'alaikum, Bu Nyai," sapa Maryam dengan suara bergetar.

"Wa'alaikumussalam. Maryam, sudah lima santri yang kesurupan dalam seminggu ini, dan semuanya menyebut namamu. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kyai dengan tatapan yang menusuk.

"Saya tidak tahu, Kyai. Wallahi, saya tidak melakukan apa-apa yang bisa menyebabkan hal ini."

"Tapi mengapa mereka semua menunjukmu?"

"Saya benar-benar tidak tahu, Kyai. Mungkin... mungkin ada yang memfitnah saya."

Bu Nyai mengernyitkan dahi. "Memfitnah? Siapa yang akan memfitnah santri sepertimu?"

Maryam terdiam. Dia memang punya dugaan, tapi tidak berani mengatakannya tanpa bukti yang kuat.

"Baiklah," kata Kyai akhirnya. "Untuk sementara, kamu tidak usah mengikuti kajian khusus dengan Gus Hasan. Dan jangan keluar kamar dulu sampai masalah ini selesai."

Maryam mengangguk dengan mata berkaca-kaca. "Baik, Kyai."

Kembali ke kamar, Maryam disambut oleh tatapan dingin dari ketiga teman sekamarnya. Hanya Aisyah yang menyapanya dengan senyum tipis.

"Maryam, kamu baik-baik saja?" tanya Aisyah sambil mengelus bahu sahabatnya.

"Alhamdulillah," jawab Maryam singkat.

Sementara itu, Laila dan Zulaikha berbisik-bisik di sudut kamar. Maryam bisa mendengar gumaman mereka yang menyebutkan kata "sihir" dan "jin".

Malam itu, Maryam tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan siapa yang mungkin memfitnahnya. Dalam keheningan, dia mendengar suara langkah kaki yang sangat pelan di koridor. Seseorang berjalan menuju mushalla.

Dengan hati-hati, Maryam mengintip dari balik tirai jendela. Dia melihat sosok berselendang putih berjalan dengan langkah yang aneh, seperti orang yang sedang kerasukan. Tapi ada yang janggal. Langkah orang itu terlalu teratur untuk orang yang benar-benar kesurupan.

Keesokan harinya, saat subuh, lagi-lagi terdengar jeritan dari mushalla. Kali ini giliran Nurhasanah. Gadis itu menunjuk-nunjuk ke arah kamar Maryam sambil berteriak tentang setan dan kutukan.

Maryam sudah muak. Dia memutuskan untuk mencari tahu sendiri siapa dalang dari semua kejadian aneh ini.

Malam itu, dia berpura-pura tidur sambil mengawasi teman-teman sekamarnya. Sekitar pukul satu dini hari, dia melihat Laila bangun perlahan. Gadis itu mengenakan selendang putih dan berjalan keluar kamar dengan langkah yang sama seperti yang Maryam lihat semalam.

Dengan hati berdebar, Maryam mengikuti Laila dari kejauhan. Gadis itu berjalan menuju kamar santri kelas satu, tempat Nurhasanah tidur. Maryam bersembunyi di balik pilar sambil mengamati.

Laila mengetuk pintu kamar dengan pola tertentu. Pintu terbuka, dan keluar seorang gadis yang Maryam kenali sebagai Salma, santri baru yang selalu tampak takut-takut.

"Sudah siap?" bisik Laila.

"Sudah, Kak. Tapi saya takut ketahuan," jawab Salma dengan suara gemetar.

"Tidak akan ketahuan kalau kamu pintar akting. Ingat, kamu harus teriak-teriak dan menyebut nama Maryam. Katakan dia yang membawa setan ke sini."

Maryam terperangah. Jadi selama ini Laila yang mengatur semua kesurupan palsu itu! Dan dia menggunakan adik-adik kelas yang polos dan mudah dipengaruhi.

"Kenapa harus Kak Maryam sih? Dia kan baik," tanya Salma ragu-ragu.

"Kamu tidak perlu tahu. Yang penting kamu lakukan seperti yang sudah saya ajarkan. Nanti aku kasih kamu uang jajan tambahan."

Maryam tidak bisa menahan diri lagi. Dia keluar dari persembunyiannya.

"Laila!"

Kedua gadis itu tersentak kaget. Laila langsung melepas selendang putihnya dan menatap Maryam dengan mata membelalak.

"Maryam? Kamu... kenapa ada di sini?"

"Pertanyaannya, kenapa kamu yang ada di sini? Dan mengapa kamu menyuruh Salma untuk memfitnahku?"

Salma langsung menangis ketakutan. "Maafin saya, Kak Maryam. Saya tidak tahu kalau yang saya lakukan salah. Kak Laila bilang cuma main-main."

"Main-main?" Maryam menatap Laila dengan tatapan kecewa. "Kamu bilang ini main-main? Merusak nama baik orang itu main-main?"

Laila terdiam sejenak, lalu wajahnya berubah menjadi merah padam. "Kamu memang layak difitnah! Kamu pikir kamu siapa? Baru setahun di pesantren ini, sudah jadi kesayangan semua orang. Ustadzah sayang sama kamu, Bu Nyai bangga sama kamu, bahkan Gus Hasan selalu memuji-muji kamu!"

"Jadi ini karena kamu iri?"

"Iri? Tentu saja aku iri!" teriak Laila dengan mata berkaca-kaca. "Aku sudah tiga tahun di sini, tapi tidak pernah dapat perhatian seperti yang kamu dapat. Gus Hasan bahkan tidak pernah berbicara langsung denganku, tapi sama kamu dia bisa ngobrol berjam-jam!"

Maryam merasa iba melihat teman sekamarnya itu. "Laila, kalau kamu mau belajar lebih giat, pasti kamu juga akan mendapat perhatian yang sama. Aku tidak pernah merasa lebih dari kamu atau yang lain."

"Bohong! Kamu pasti bangga bisa dekat dengan Gus Hasan!"

"Gus Hasan hanya mengajariku kajian kitab, tidak lebih. Dan itu pun atas perintah Kyai karena aku memang butuh bimbingan khusus untuk persiapan lomba."

Salma menghapus air matanya. "Kak Laila, kenapa Kakak bohong sama saya? Kakak bilang Kak Maryam itu jahat dan perlu dihukum."

Laila terduduk di lantai, menangis tersedu-sedu. "Aku... aku tidak tahan melihat dia selalu jadi yang terdepan. Aku pikir kalau dia jadi dibenci semua orang, mungkin aku bisa mengambil posisinya."

Maryam duduk di samping Laila. "Laila, kita ini saudara seiman. Seharusnya kita saling mendukung, bukan saling menjatuhkan. Kalau kamu iri dengan pencapaianku, kenapa tidak bilang? Aku bisa ajarin kamu."

"Kamu... kamu tidak marah sama aku?"

"Tentu saja aku sedih dan kecewa. Tapi aku lebih sedih melihat kamu sampai melakukan hal seperti ini hanya karena iri. Kita bisa memperbaiki semuanya kalau kamu mau."

Pagi itu, di hadapan Kyai Abdurrahman dan Bu Nyai, Laila mengaku segala perbuatannya. Dia menjelaskan bagaimana dia mengajari adik-adik kelas untuk berpura-pura kesurupan dan menyebut nama Maryam. Salma dan tiga santri lainnya juga mengaku bahwa mereka hanya menuruti perintah Laila.

Kyai Abdurrahman menggeleng dengan sedih. "Laila, fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Kamu hampir menghancurkan masa depan Maryam di pesantren ini."

"Maafkan saya, Kyai. Saya benar-benar menyesal."

"Penyesalan saja tidak cukup. Kamu harus meminta maaf kepada semua orang yang kamu libatkan dalam kejahatanmu ini. Dan kamu harus mengumumkan kebenaran kepada seluruh santri."

Siang itu, di hadapan seluruh santri putri, Laila berdiri dengan kepala tertunduk. Dengan suara bergetar, dia menceritakan semua kebohongannya. Dia meminta maaf kepada Maryam, kepada adik-adik kelas yang dia manfaatkan, dan kepada seluruh santri yang dia bohongi.

"Saya yang menyebabkan semua kekacauan ini. Maryam tidak bersalah sama sekali. Saya melakukan ini karena iri dan dengki. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya."

Maryam berdiri dan memeluk Laila. "Aku sudah memaafkanmu, Laila. Semoga kita bisa menjadi saudara yang lebih baik lagi."

Air mata mengalir di pipi banyak santri yang menyaksikan adegan itu. Mereka menyadari betapa mudahnya prasangka buruk menyebar dan betapa pentingnya mencari kebenaran sebelum menghakimi seseorang.

Bu Nyai naik ke mimbar. "Anak-anakku, kejadian ini menjadi pelajaran berharga untuk kita semua. Fitnah adalah dosa yang sangat berat. Dan prasangka buruk bisa menghancurkan persaudaraan. Mari kita jaga lisan dan hati kita, dan selalu berhusnudzon kepada saudara kita."

Malam itu, di kamar yang sama, empat santri putri duduk melingkar sambil mengaji. Laila mendapat hukuman tambahan hafalan dan khidmah selama tiga bulan, tapi dia menerimanya dengan lapang dada.

"Maryam," panggil Laila pelan. "Makasih ya, sudah memaafkan aku. Aku janji akan jadi orang yang lebih baik."

"Kita semua belajar dari kesalahan, Laila. Yang penting kita tidak mengulanginya lagi."

Aisyah tersenyum. "Alhamdulillah, kamar kita kembali tentram."

"Dan mudah-mudahan tidak ada lagi kesurupan-kesurupan aneh," tambah Zulaikha sambil tertawa kecil.

Mereka berempat tertawa bersama, mengembalikan kehangatan persaudaraan yang sempat retak karena fitnah dan prasangka buruk.

Di kejauhan, Gus Hasan yang sedang lewat mendengar tawa mereka. Dia tersenyum dan berdo'a dalam hati, "Ya Allah, jagalah santri-santri putri ini dari godaan syaitan yang terkutuk. Dan berikanlah mereka kekuatan untuk selalu bersatu dalam kebenaran."

Angin malam bertiup pelan, membawa do'a-do'a khusyu' dari pesantren yang kembali tentram setelah terungkapnya kebenaran di balik misteri kesurupan massal yang menggegerkan.


Wallahu a'lam bishawab.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi