Geger di Pondok Putri


 

Geger di Pondok Putri


Adzan subuh belum berkumandang ketika Ustadzah Khodijah sudah berlari-lari kecil menuju kamar Nyai Hj. Siti Aisyah. Wajahnya pucat, napasnya tersengal-sengal. Di tangannya tergenggam sehelai kertas yang gemetar.

"Nyai! Nyai!" panggilnya sambil mengetuk pintu dengan tidak sabaran.

"Loh, kenapa Ustadzah Khodijah? Masih subuh begini..." Nyai Aisyah membuka pintu dengan wajah masih mengantuk.

"Nyai, Siti Nur Halimah hilang!"

Mata Nyai Aisyah langsung terbuka lebar. "Hilang? Maksudnya gimana?"

"Dari kemarin sore dia tidak kelihatan. Tadi malam saya pikir dia tidur di kamar temannya. Tapi pagi ini saya cek semua kamar, dia tidak ada. Tempat tidurnya juga tidak dipakai. Dan... ini, Nyai." Ustadzah Khodijah menyodorkan sehelai kertas.

Nyai Aisyah membaca dengan cepat. Kertas itu berisi tulisan tangan: "Tolong jangan cari saya. Saya baik-baik saja. Maafkan saya."

"Ya Allah..." Nyai Aisyah langsung terduduk di kursi. "Kapan terakhir kali dia terlihat?"

"Kemarin ba'da ashar. Beberapa santri bilang lihat dia keluar lewat gerbang belakang. Saya pikir dia mau beli sesuatu di warung."

Nyai Aisyah langsung bangkit. "Kumpulkan semua pengurus. Sekarang juga!"


Dalam hitungan menit, kabar hilangnya Siti Nur Halimah—atau yang biasa dipanggil Ima—menyebar ke seluruh pesantren. Suasana yang biasanya tenang di pagi hari berubah menjadi riuh dengan bisikan-bisikan khawatir.

"Ima hilang?"

"Jangan-jangan diculik!"

"Kemarin dia keluar sendirian kan?"

"Ya Allah, kasihan orangtuanya nanti..."

Di ruang tamu pondok putri, Nyai Aisyah duduk dengan wajah tegang bersama para pengurus. Ustadzah Khodijah, Ustadzah Fatimah, dan beberapa santri senior berkumpul membahas langkah selanjutnya.

"Bagaimana, sudah dicek semua tempat?" tanya Nyai Aisyah.

"Sudah, Nyai. Musholla, perpustakaan, dapur, gudang, semua sudah dicek. Tidak ada," lapor Ustadzah Fatimah.

Siti Zahra, teman sekamar Ima, mengangkat tangan gemetar. "Nyai, boleh saya bicara?"

"Iya, Zahra. Ada apa?"

"Nyai... sebenarnya kemarin Ima agak aneh. Dia dapat telepon, terus keluar kamar sambil berbisik-bisik. Pas saya tanya siapa yang telepon, dia bilang temannya dari rumah."

"Temannya? Teman yang mana?"

"Tidak tahu, Nyai. Tapi... Ima akhir-akhir ini sering dapat telepon. Kadang malam-malam dia keluar kamar buat ngobrol telepon."

Nyai Aisyah dan para pengurus saling bertukar pandang. Ada yang tidak beres.

"Zahra, apa Ima pernah cerita tentang masalah pribadi? Atau tentang keluarganya?"

Zahra menggeleng. "Tidak, Nyai. Ima orangnya pendiam. Jarang cerita-cerita."

Ustadzah Khodijah bersuara, "Nyai, saya rasa kita harus hubungi orangtuanya dan polisi. Ini sudah hampir 12 jam dia hilang."

"Iya. Ustadzah Fatimah, tolong hubungi Bapak Imam, wali santri Ima. Saya akan telepon Kyai Hasan di pondok putera, minta tolong bantuan pencarian."


Berita hilangnya Ima menyebar tidak hanya di pesantren, tapi juga ke desa sekitar. Bapak Imam—ayah Ima—datang dengan wajah cemas bersama ibunya yang sudah menangis sejak di perjalanan.

"Bagaimana bisa hilang, Nyai? Ima kan anak baik, pendiam..." isak Bu Imam.

"Sabar, Bu. Kita sudah laporkan ke polisi. Insya Allah ketemu," hibur Nyai Aisyah sambil memeluk Bu Imam.

Pak Imam tampak lebih tenang meski wajahnya pucat. "Nyai, boleh saya lihat kamar Ima? Siapa tahu ada petunjuk."

"Boleh, Pak. Ustadzah Khodijah, antar ke kamar Ima."

Di kamar Ima, Pak Imam membuka lemari putrinya dengan hati-hati. Baju-baju masih tertata rapi, buku-buku masih di tempatnya. Tapi ada yang aneh.

"Bu," panggil Pak Imam pada istrinya, "tas kecil Ima yang biru itu mana? Yang biasa dia bawa kalau pulang?"

Bu Imam memeriksa lemari. "Loh, iya. Tidak ada. Terus... baju ganti juga sepertinya ada yang hilang."

Ustadzah Khodijah mengernyitkan dahi. "Maksud Bapak?"

"Kalau Ima beneran diculik, kenapa dia sempat ambil tas dan baju ganti? Penculik mana yang kasih waktu untuk packing?"

Pertanyaan itu membuat semua orang terdiam. Benar juga. Ada yang janggal.


Sementara itu, pencarian terus dilakukan. Santri putera dari pondok sebelah ikut membantu menyisir desa-desa sekitar. Polisi juga sudah turun tangan, memeriksa CCTV di beberapa titik jalan.

Tapi yang paling geger adalah para santri putri. Mereka berkumpul di serambi, membahas kemungkinan-kemungkinan yang terjadi pada Ima.

"Menurut kalian, Ima kenapa sih?" bisik Aisyah, santri kelas 2 Aliyah.

"Entahlah. Ima kan orangnya pendiam banget. Jarang ngobrol sama kita-kita," jawab Fatma.

"Tapi akhir-akhir ini dia memang agak beda," timpal Zahra. "Sering senyum-senyum sendiri, sering keluar kamar buat telepon-teleponan."

"Jangan-jangan..." Aisyah tidak melanjutkan kalimatnya, tapi semua tahu apa yang dia pikirkan.

"Jangan-jangan apa?" tanya Fatma tidak sabaran.

"Jangan-jangan dia punya cowok?"

Zahra langsung menggeleng keras. "Tidak mungkin! Ima kan alim. Rajin sholat, rajin ngaji. Mana mungkin dia pacaran."

"Lah, emang yang alim tidak bisa pacaran?" sahut Aisyah. "Kadang yang kelihatan alim itu justru yang paling..."

"Astaqfirullah, jangan gitu dong," potong Fatma. "Kita kan tidak tahu apa-apa. Jangan su'udzon sama teman sendiri."

Tapi benih keraguan sudah tertanam. Para santri mulai mengingat-ingat perilaku Ima akhir-akhir ini. Memang ada yang berubah, tapi mereka tidak terlalu memperhatikan.


Hari kedua, pencarian semakin intensif. Media lokal mulai memberitakan hilangnya santri putri. Pesantren yang biasanya tenang kini ramai dengan wartawan dan relawan pencari.

Kyai Hasan, pengasuh pondok putera, datang untuk memberikan dukungan moral kepada Nyai Aisyah.

"Nyai, sudah ada perkembangan?" tanyanya.

"Belum, Kyai. Polisi bilang CCTV di jalan utama tidak merekam Ima lewat. Tapi di gang-gang kecil memang tidak ada CCTV."

"Gimana menurut Nyai? Apa ini beneran penculikan?"

Nyai Aisyah terdiam sejenak. "Terus terang, Kyai, saya mulai ragu. Ada beberapa hal yang aneh."

"Aneh gimana?"

"Pertama, Ima sempat ambil tas dan baju ganti. Kedua, dia tinggalkan surat minta maaf. Ketiga, beberapa santri bilang dia akhir-akhir ini sering dapat telepon dan kelakuannya agak berubah."

Kyai Hasan mengangguk perlahan. "Jadi Nyai curiga dia kabur sendiri?"

"Wallahu a'lam, Kyai. Tapi kemungkinan itu ada."

"Kalau memang begitu, kenapa dia kabur? Ada masalah apa?"

"Itu yang belum kita tahu."


Jawaban atas pertanyaan itu datang dari arah yang tidak terduga. Sore itu, seorang ibu-ibu dari desa sebelah datang ke pesantren dengan wajah ragu-ragu.

"Permisi, Nyai. Saya Bu Marni dari Desa Sumberejo."

"Ada apa, Bu?"

"Begini, Nyai. Saya agak bingung mau bilang atau tidak. Tapi saya kasihan sama keluarga yang lagi nyari anaknya."

Nyai Aisyah langsung waspada. "Ada informasi tentang Ima?"

"Iya, Nyai. Kemarin sore, sekitar magrib, saya lihat ada cewek muda pakai kerudung putih naik motor sama cowok. Mereka lewat depan rumah saya. Pas saya lihat, kok mirip sama foto yang disebarin..."

"Naik motor sama cowok?" Nyai Aisyah hampir tidak percaya.

"Iya, Nyai. Cowoknya tinggi, pakai jaket item. Motornya Vixion merah. Mereka kayaknya lagi buru-buru."

"Arah mana, Bu?"

"Ke arah kota, Nyai."

Nyai Aisyah merasa dunia berputar. Jika informasi ini benar, berarti...

"Bu Marni, Ibu yakin itu Ima?"

"Saya tidak 100% yakin, Nyai. Tapi mirip banget. Makanya saya datang ke sini."


Malam itu, Nyai Aisyah tidak bisa tidur. Informasi dari Bu Marni terus mengganggu pikirannya. Jika benar Ima kabur dengan cowok, berarti selama ini dia sudah berbohong. Berarti dia sudah mengenal cowok itu sejak lama. Berarti...

"Ya Allah, semoga saya salah," gumamnya.

Keesokan paginya, Nyai Aisyah memutuskan untuk bicara empat mata dengan Zahra, teman sekamar Ima yang paling dekat.

"Zahra, Ustadzah mau tanya sesuatu. Dan tolong dijawab dengan jujur."

"Iya, Nyai."

"Apa Ima pernah cerita tentang cowok? Atau Zahra pernah curiga dia punya pacar?"

Zahra terdiam lama. Wajahnya tampak bergulat dengan sesuatu.

"Zahra?"

"Nyai... sebenarnya..."

"Iya?"

"Sebenarnya saya pernah curiga. Beberapa bulan terakhir, Ima sering dapat telepon. Kalau saya tanya siapa, dia bilang teman dari rumah. Tapi... caranya ngomong di telepon tuh beda. Suaranya lembut banget, kadang ketawa-ketawa kecil."

"Terus?"

"Terus satu kali, saya tidak sengaja dengar dia bilang 'iya sayang' di telepon. Pas saya tegur, dia langsung tutup telepon dan bilang itu sepupunya."

Nyai Aisyah mendesah panjang. "Kenapa tidak bilang dari awal?"

"Saya tidak mau su'udzon, Nyai. Dan... saya juga tidak yakin. Ima kan kelihatannya alim banget."

"Apalagi yang Zahra tahu?"

"Eh... ada satu lagi, Nyai. Seminggu sebelum hilang, Ima pernah bilang dia mau pindah pesantren. Katanya orangtuanya mau mindahin dia ke Jogja. Tapi pas saya tanya kenapa, dia bilang cuma wacana."

Puzzle mulai terbentuk di kepala Nyai Aisyah. Sepertinya Ima memang kabur karena tidak mau dipindah dari pesantren ini. Dan alasannya... karena ada cowok yang dia sayang di daerah ini.


Konfirmasi datang pada hari keempat. Polisi menelepon Nyai Aisyah dengan kabar yang mengejutkan.

"Nyai, kami sudah menemukan Siti Nur Halimah."

"Alhamdulillah! Dimana? Bagaimana keadaannya?"

"Dia ada di Malang, Nyai. Bersama seorang pemuda. Mereka menginap di rumah kos."

Nyai Aisyah hampir jatuh dari kursi. "Bersama pemuda?"

"Iya, Nyai. Nama pemudanya Andi Setiawan, 22 tahun. Mereka mengaku sudah pacaran hampir setahun."

"Ya Allah..."

"Ima dalam keadaan sehat. Dia minta maaf dan siap pulang. Tapi dia minta bicara dengan Nyai dulu sebelum ketemu orangtuanya."


Sore itu, Ima pulang dengan wajah tertunduk malu. Dia duduk di ruang tamu berhadapan dengan Nyai Aisyah, kedua orangtuanya, dan beberapa pengurus pesantren.

"Ima," Nyai Aisyah membuka pembicaraan dengan suara lembut, "ceritakan yang sebenarnya."

Ima menangis. "Maafkan saya, Nyai. Saya... saya sudah berbohong selama ini."

"Berbohong gimana?"

"Saya... saya punya pacar. Namanya Mas Andi. Kami kenal dari media sosial hampir setahun yang lalu."

Bu Imam langsung menangis keras. "Ya Allah, anakku... gimana bisa?"

Pak Imam tampak shock tapi berusaha tenang. "Terus kenapa kamu kabur?"

"Karena Bapak mau mindahin saya ke Jogja. Saya tidak mau pisah sama Mas Andi. Jadi... jadi saya kabur."

"Lalu kenapa kamu buat surat seolah-olah kamu diculik?" tanya Nyai Aisyah.

"Saya tidak bilang diculik, Nyai. Saya cuma bilang jangan dicari dan minta maaf."

"Tapi kamu tahu kan kalau dengan hilang tiba-tiba seperti itu, kami pasti mengira kamu diculik?"

Ima menangis semakin keras. "Saya tidak mikir sampai situ, Nyai. Saya cuma mikir pengen kabur."

Ustadzah Khodijah yang sedari tadi diam akhirnya bersuara. "Ima, apa kamu sadar kalau perbuatan kamu ini sudah meresahkan banyak orang? Pesantren jadi geger, orangtua stress, polisi repot, media memberitakan... semuanya karena kamu kabur sama cowok!"

Ima hanya bisa menangis dan meminta maaf berulang-ulang.


Pak Imam akhirnya bersuara dengan suara bergetar. "Ima... Bapak kecewa berat sama kamu. Bapak sekolahin kamu di pesantren biar jadi anak yang sholehah. Tapi ini... ini..."

"Maafin saya, Pak," isak Ima.

"Sekarang gimana? Kamu sudah merusak nama baik keluarga, merusak nama baik pesantren..."

Nyai Aisyah mengangkat tangan. "Pak Imam, Bu Imam, sekarang yang penting adalah bagaimana ke depannya. Ima sudah pulang dengan selamat, itu yang utama."

"Tapi, Nyai..."

"Saya tahu perasaan Bapak dan Ibu. Tapi sekarang kita harus fokus ke solusi, bukan menyesali yang sudah terjadi."

Nyai Aisyah kemudian menatap Ima. "Ima, apa kamu masih mau melanjutkan sekolah di sini?"

Ima mengangkat kepala. "Saya... saya mau, Nyai. Tapi saya tahu saya sudah salah besar."

"Kalau kamu masih mau sekolah di sini, ada beberapa syarat."

"Apa, Nyai?"

"Pertama, kamu harus putus total dengan Andi. Kedua, HP kamu disita dan dikembalikan hanya saat weekend dengan pengawasan. Ketiga, kamu tidak boleh keluar pesantren kecuali ada keperluan penting dan harus ijin. Keempat, kamu harus minta maaf ke semua santri dan mengakui kesalahan kamu."

Ima mengangguk. "Saya terima, Nyai."

"Dan yang terakhir, kamu harus mengikuti bimbingan khusus dengan Ustadzah Khodijah tentang akhlak dan adab."

"Baik, Nyai."


Keesokan harinya, pesantren kembali normal meski masih ada bisikan-bisikan tentang kejadian kemarin. Ima kembali mengikuti kegiatan seperti biasa, tapi dengan pengawasan ekstra.

Di serambi pesantren, beberapa santri berkumpul membahas kejadian yang baru saja terjadi.

"Ternyata Ima kabur sama cowok ya," bisik Aisyah.

"Iya. Kaget banget aku. Kirain dia alim," sahut Fatma.

"Ini pelajaran buat kita semua," kata Zahra. "Jangan sampai kita pacaran diam-diam kayak gitu."

"Kasihan juga sih orangtuanya. Malu banget pasti," timpal Aisyah.

"Tapi untung aja dia sadar dan mau balik. Kalau enggak, bisa lebih parah lagi."

Sementara itu, di kamar Ima, dia duduk sendirian sambil menulis surat. Bukan surat untuk kabur lagi, tapi surat untuk Andi, mengakhiri hubungan mereka.

Mas Andi,

Maaf atas semua yang terjadi. Saya sadar saya sudah salah. Saya mau fokus belajar dan memperbaiki diri. Tolong jangan hubungi saya lagi. Semoga Mas bisa memahami.

Siti Nur Halimah

Setelah menulis surat itu, Ima menyerahkannya kepada Ustadzah Khodijah untuk dikirim. Dia juga menyerahkan HP-nya dengan sukarela.

"Ustadzah, ini HP saya. Tolong disimpan."

"Ima, apa kamu yakin bisa berubah?" tanya Ustadzah Khodijah.

"Insya Allah, Ustadzah. Saya sudah sadar betapa salahnya perbuatan saya. Saya mau memperbaiki diri."

"Baik. Tapi ingat, berubah itu tidak mudah. Butuh perjuangan dan istiqomah."

"Saya siap, Ustadzah."


Tiga bulan kemudian, Ima sudah mulai menunjukkan perubahan positif. Dia lebih aktif dalam kegiatan pesantren, nilai-nilainya membaik, dan hubungannya dengan teman-teman juga mulai membaik.

Suatu sore, Nyai Aisyah memanggil Ima ke ruang kerjanya.

"Ima, gimana kabarmu akhir-akhir ini?"

"Alhamdulillah baik, Nyai. Saya merasa lebih tenang sekarang."

"Masih kangen sama Andi?"

Ima tersenyum tipis. "Kadang-kadang, Nyai. Tapi saya sadar itu bukan jalan yang benar. Saya masih harus belajar banyak."

"Syukurlah. Nyai bangga dengan perubahanmu."

"Nyai, boleh saya minta maaf sekali lagi? Atas semua kerepotan yang saya buat?"

"Sudah, Ima. Yang penting kamu sudah berubah. Dan ingat, kejadian ini adalah pelajaran berharga. Jangan sampai terulang."

"Insya Allah tidak, Nyai."


Epilog

Setahun kemudian, Ima lulus dari pesantren dengan nilai yang baik. Dia melanjutkan kuliah di fakultas syariah dan menjadi aktivis dakwah kampus. Sesekali dia kembali ke pesantren untuk membantu mengajar santri-santri junior.

Setiap kali ada santri baru yang bermasalah, Ima sering diminta untuk berbagi pengalaman. Dia selalu bercerita dengan jujur tentang kesalahannya dulu.

"Waktu itu saya pikir cinta sama cowok adalah segalanya," katanya pada para santri. "Tapi ternyata, kalau cinta itu tidak dilandasi dengan iman dan taqwa, jadinya malah merusak. Saya hampir merusak masa depan saya sendiri."

"Terus gimana cara ngejauh dari pacaran, Ukhti?" tanya salah satu santri.

"Pertama, jaga pergaulan. Kedua, isi waktu dengan kegiatan positif. Ketiga, selalu ingat tujuan kita mondok untuk apa. Dan yang paling penting, selalu minta perlindungan Allah dari fitnah yang bisa merusak iman."

Para santri mengangguk-angguk mendengar nasihat Ima.

"Dan yang paling penting," lanjut Ima, "jangan pernah berbohong sama orangtua dan guru. Kalau ada masalah, lebih baik jujur dari awal daripada nanti masalahnya jadi besar."

Setelah ceramah singkat itu, Ima berjalan ke makam kecil di belakang pesantren. Di sana terdapat makam para kyai pendahulu. Dia berdoa memohon ampun atas kesalahan masa lalu dan bersyukur atas kesempatan kedua yang Allah berikan.

Angin sore berhembus pelan, membawa aroma melati dari taman pesantren. Ima tersenyum. Dia bersyukur pada takdir yang membuatnya tersadar sebelum terlambat. Karena kadang, jalan kembali ke kebenaran dimulai dari kesalahan yang membuat kita jatuh dan bangkit dengan lebih kuat.

Wallahu a'lam bishawab.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi