Jejak Darah di Pondok Baitul Hikmah
Jejak Darah di Pondok Baitul Hikmah
Subuh masih menggelayut di langit Jombang ketika Aisyah terbangun dari mimpi yang sama. Mimpi tentang perempuan berkerudung putih yang memanggil namanya dari balik pintu kayu tua. Suaranya lembut, tapi matanya—matanya selalu kosong, seperti sumur tanpa dasar.
"Nggak papa, Ais?" Siti Khadijah, teman sekamarnya, menoleh dengan wajah khawatir. "Kowe mimpi aneh maneh, ya?"
Aisyah mengelap keringat di dahinya. Sudah tiga bulan dia mondok di Pondok Pesantren Baitul Hikmah, tapi mimpi itu tak pernah berhenti. Bahkan semakin jelas setiap malam.
"Biasa, Mbak Dijah. Mungkin kangen rumah," bohongnya sambil melipat sajadah.
Tapi Aisyah tahu itu bukan kerinduan biasa. Ada yang janggal dengan masa lalunya. Ayah dan ibu angkatnya di Surabaya selalu menghindar setiap kali dia bertanya tentang orang tua kandungnya. Yang mereka katakan hanya: "Wong tuwo mu wes ora ana, Le. Kowe anggep wae aku ibu mu."
Setelah salat subuh berjamaah, Aisyah memutuskan untuk menjelajahi bagian pesantren yang jarang dikunjungi santri. Ada perpustakaan tua di lantai tiga gedung utama yang katanya menyimpan arsip-arsip lama pesantren. Mungkin di sana dia bisa menemukan sesuatu.
Perpustakaan itu sunyi dan berdebu. Rak-rak kayu tinggi menjulang hingga langit-langit, dipenuhi kitab-kitab kuning dan dokumen-dokumen usang. Aisyah mulai membuka laci demi laci, mencari apa pun yang mungkin terkait dengan namanya atau keluarganya.
Di laci paling bawah, tersembunyi di balik tumpukan surat-surat lama, dia menemukan sebuah amplop cokelat dengan tulisan tangan yang sudah memudar: "Aisyah binti Abdullah - Dokumentasi Khusus."
Tangannya gemetar saat membuka amplop itu. Di dalamnya ada sebuah foto hitam putih seorang perempuan muda berkerudung putih—wajahnya persis seperti dalam mimpi Aisyah. Di belakang foto tertulis: "Khadijah binti Sholeh - Ibu kandung Aisyah - Wafat 1427 H."
Jantung Aisyah berdegup kencang. Jadi perempuan dalam mimpinya adalah ibunya? Tapi kenapa ayah dan ibu angkatnya bilang dia sudah tidak ada orang tua kandung?
Ada surat lain dalam amplop itu. Surat wasiat dengan stempel pesantren, ditulis dengan tinta biru yang sudah memudar:
"Aku, Khadijah binti Sholeh, dengan sadar menitipkan putriku Aisyah kepada keluarga Pak Mahmud di Surabaya. Tetapi aku mohon, kelak jika dia sudah dewasa, biarkan dia tahu siapa orang tuanya yang sebenarnya. Ada rahasia keluarga yang harus dia ketahui untuk keselamatannya..."
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di tangga. Aisyah dengan panik memasukkan kembali dokumen-dokumen itu dan berpura-pura membaca kitab.
"Aisyah?" Suara Nyai Zahra, pengasuh pesantren, menggemakan di ruangan sunyi itu. "Ngapa kowe mrene? Perpustakaan iki jarang dienggo."
"Nyuwun sewu, Nyai. Kula badhe nyuwun kitab," jawab Aisyah sopan, menyembunyikan kegugupannya.
Nyai Zahra menatapnya lama, seolah mencoba membaca sesuatu di wajah Aisyah. "Kowe... rupane koyo wong sing wes tau weruh. Jeneng ibumu sapa, Le?"
Pertanyaan itu mengejutkan Aisyah. "Ibu angkat kula jenenge Bu Siti, Nyai."
"Ibu angkat?" Mata Nyai Zahra menyipit. "Berarti kowe duwe ibu kandung liyane?"
Aisyah mengangguk ragu. "Nanging kula mboten ngertos, Nyai."
Nyai Zahra terdiam lama, kemudian menghela napas panjang. "Ayo, kowe ikut aku. Ana sing kudu kowe ngerteni."
Mereka berjalan menuju kamar Nyai Zahra di ujung koridor. Kamar yang sederhana, hanya berisi kasur tipis, lemari kecil, dan meja tulis. Nyai Zahra membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah tasbih kayu dengan ukiran yang rumit.
"Iki tasbih ibumu, Khadijah," kata Nyai Zahra pelan. "Dheweke ninggalke iki kanggo kowe."
Aisyah menerima tasbih itu dengan tangan gemetar. "Nyai ngertos ibuku?"
"Khadijah iku santri favoritku. Pinter, solehah, lan tulus. Tapi..." Nyai Zahra menghentikan kata-katanya.
"Tapi kenapa, Nyai?"
"Dheweke mati ora wajar, Le."
Dunia Aisyah seolah berhenti berputar. "Maksude piye, Nyai?"
Nyai Zahra duduk di tepi kasur, wajahnya tampak tua dan lelah. "Khadijah mati pas kowe umur setaun. Dheweke diracun."
"Diracun?" Aisyah tidak bisa menyembunyikan kengerinya.
"Wong sing ngeracun dheweke yaiku pamanmu dhewe, adik ibumu. Jenenge Abdullah. Dheweke pengen ngrebut warisan saka mbahmu sing akeh banget. Khadijah dadi alangan amarga dheweke ahli waris utama."
Aisyah merasa kepalanya pusing. "Terus aku?"
"Kowe diselamatkan. Pak Mahmud lan Bu Siti iku sedulur sepupuku. Aku sing njaluk dheweke ngopeni kowe. Tapi aku ora kandha apa-apa amarga aku takut Abdullah bakal nggoleki kowe."
"Terus saiki piye? Abdullah isih urip?"
Mata Nyai Zahra berbinar gelap. "Dheweke sakit parah. Karma, Le. Wong jahat bakal nampa balasane. Tapi kowe kudu ati-ati. Dheweke duwe anak sing padha jahat karo bapake."
Malam itu, Aisyah tidak bisa tidur. Dia memeluk tasbih ibunya sambil memandang langit berbintang dari jendela kamar. Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki di luar. Langkah yang aneh, terseok-seok, seperti orang sakit.
Dia mengintip dari celah jendela dan melihat sosok pria tua berjanggut putih yang berjalan menuju gedung utama. Ada yang familiar dari sosok itu, tapi dia tidak bisa mengingat apa.
Keesokan paginya, Nyai Zahra ditemukan tergeletak di lantai kamarnya, sudah tidak bernyawa. Di tangannya tergenggam secarik kertas dengan tulisan: "Abdullah sudah datang."
Aisyah merasa dunianya runtuh. Satu-satunya orang yang tahu tentang masa lalunya sudah tiada. Tapi dia tahu, ini bukan kebetulan.
Saat pemakaman Nyai Zahra, Aisyah memperhatikan para pelayat. Matanya terhenti pada seorang pria tua berjanggut putih yang berdiri agak jauh dari kerumunan. Mata mereka bertemu sejenak, dan Aisyah melihat sorot kebencian yang dalam.
Abdullah. Pamannya.
Setelah pemakaman, pria itu menghampiri Aisyah. "Kowe Aisyah, ya? Anak keponakkanku, Khadijah?"
Aisyah mundur selangkah, instingnya mengatakan ada bahaya. "Inggih, Pak Dhe."
"Apik. Wes suwe aku nggoleki kowe. Saiki wektune kowe mulih, ning omahmu sing asli."
"Mboten, Pak Dhe. Kula seneng ning kene."
Mata Abdullah menyala. "Kowe ora duwe pilihan, Le. Kowe putu mbahmu. Duwe hak warisan sing akeh. Aku sing bakal njaga kowe."
Tapi Aisyah sudah berlari, meninggalkan pria tua itu dengan amarah yang membara.
Malam itu, Aisyah memutuskan untuk kabur dari pesantren. Dia tahu Abdullah akan kembali, dan kali ini mungkin tidak sendirian. Dia mengemas barang-barangnya dalam tas kecil, menyimpan tasbih ibunya di saku, dan menyelinap keluar melalui jendela.
Di gerbang pesantren, dia terkejut melihat sosok perempuan berkerudung putih berdiri di bawah pohon beringin tua. Wajahnya sama persis dengan ibunya dalam foto.
"Ibu?" bisik Aisyah.
Sosok itu mengangguk dan memberi isyarat agar Aisyah mengikutinya. Mereka berjalan melalui jalan setapak yang gelap, menuju sebuah makam tua di belakang pesantren.
Di depan sebuah nisan sederhana dengan nama "Khadijah binti Sholeh", sosok ibunya berhenti.
"Ibuku?" Aisyah berlutut di depan makam.
Sosok itu menunjuk ke arah nisan, lalu ke arah sebuah pohon mangga tua di samping makam. Di sana, tertanam sebuah kaleng kecil.
Dengan tangan gemetar, Aisyah menggali tanah di bawah pohon. Dia menemukan kaleng berisi surat-surat dan sebuah kunci kecil.
Surat terakhir ibunya:
"Anakku Aisyah, jika kamu membaca surat ini, berarti kamu sudah tahu kebenaran tentang kematianku. Kunci ini untuk membuka brankas di Bank Mandiri Jombang. Di sana ada semua bukti kejahatan Abdullah dan warisan yang seharusnya menjadi hakmu. Tapi ingat, Le, jangan dendam membutakan hatimu. Gunakan kebenaran ini untuk keadilan, bukan untuk balas dendam. Ibu akan selalu menjagamu."
Ketika Aisyah mendongak, sosok ibunya sudah menghilang. Yang tersisa hanya angin malam yang berbisik di antara daun-daun.
Keesokan harinya, Aisyah bersama polisi membuka brankas di bank. Di dalamnya terdapat semua bukti pembunuhan ibunya: rekaman percakapan, dokumen warisan yang dipalsukan, dan bahkan contoh racun yang digunakan Abdullah.
Abdullah ditangkap di rumahnya yang mewah di Surabaya. Ternyata, selama ini dia telah menggunakan warisan yang seharusnya menjadi hak Aisyah dan ibunya.
Di persidangan, Abdullah mengaku semua kejahatannya. Dia telah meracuni kakaknya sendiri karena iri dengan warisan yang diterima Khadijah dari orang tua mereka.
Aisyah akhirnya mendapatkan kebenaran dan keadilan untuk ibunya. Dia memutuskan untuk kembali ke pesantren, menggunakan sebagian warisannya untuk memperbaiki fasilitas pesantren sebagai sedekah untuk ibunya.
Setiap malam, sebelum tidur, Aisyah memegang tasbih ibunya dan berbisik, "Matur nuwun, Bu. Akhirnya aku ngerti sapa ibuku sing sejati."
Dan mimpi tentang perempuan berkerudung putih itu tidak pernah datang lagi. Yang ada hanya mimpi indah tentang seorang ibu yang tersenyum bangga pada putrinya.
Di makam Khadijah binti Sholeh, bunga-bunga mawar putih selalu bermekaran, bahkan di musim kemarau. Santri-santri percaya itu adalah tanda bahwa arwah Nyai Khadijah telah tenang, karena kebenaran telah terungkap dan keadilan telah ditegakkan.
Epilog:
Lima tahun kemudian, Aisyah telah menjadi seorang ustadzah muda di Pondok Pesantren Baitul Hikmah. Dia menggunakan kisah hidupnya untuk mengajarkan para santri tentang pentingnya mencari kebenaran, memaafkan, dan tidak membiarkan dendam meracuni hati.
"Kadang-kadang," katanya pada para santri, "Allah menunjukkan jalan-Nya dengan cara yang tidak kita duga. Yang penting, kita harus percaya bahwa kebenaran akan selalu terungkap, dan keadilan akan selalu ditegakkan, meskipun butuh waktu."
Dan setiap kali dia bercerita, angin sepoi-sepoi berhembus dari arah makam Nyai Khadijah, seolah-olah mengaminkan setiap kata yang diucapkan putrinya.
Comments