Jejak Kembar yang Hilang


Jejak Kembar yang Hilang

Senja itu terasa berbeda bagi Sari Dewananda. Gadis berusia dua puluh tahun itu duduk termangu di teras Pesantren Putri Al-Hikmah, menatap langit yang berubah dari jingga menjadi ungu kelam. Di tangannya tergenggam sebuah surat tua yang barusan diterimanya dari kampung halaman.

"Sari, kenapa murung terus sejak tadi?" tanya Ustadzah Khadijah, pengasuh pesantren yang sudah seperti ibu sendiri baginya.

"Ini, Ustadzah," Sari menyodorkan surat itu dengan tangan gemetar. "Simbah saya meninggal kemarin. Dan ini... wasiat terakhir beliau untuk saya."

Ustadzah Khadijah membaca surat itu dengan alis berkerut. Tulisan tangan nenek Sari yang sudah gemetar itu menyampaikan sesuatu yang mengejutkan:

Sari sayang, ketika kamu membaca surat ini, Simbah sudah tidak ada. Ada rahasia besar yang selama ini Simbah simpan. Kamu punya saudara kembar, namanya Fitri. Kalian dipisahkan sejak bayi karena keadaan yang sulit. Sekarang, waktunya kalian bertemu. Carilah dia di Pesantren Nurul Hidayah, di lereng Gunung Merbabu. Bawa jimat perak yang Simbah berikan padamu dulu. Itu kunci untuk menemukan saudaramu.

"Astafirullah," bisik Ustadzah Khadijah. "Sari, kamu tidak pernah cerita kalau punya saudara kembar."

"Karena saya juga tidak tahu, Ustadzah." Air mata mulai menetes di pipi Sari. "Selama ini saya merasa ada yang kurang dalam hidup saya. Seperti... separuh jiwa saya hilang. Ternyata ini alasannya."

Sari mengingat jimat perak yang dimaksud neneknya—sebuah liontin berbentuk bulan sabit yang sejak kecil selalu dia pakai. Neneknya dulu bilang itu pemberian mendiang ibunya, tapi tidak pernah menceritakan detail lebih lanjut.

"Ustadzah, boleh saya ijin pulang sebentar? Saya harus mencari saudara saya."

Ustadzah Khadijah menatap Sari dengan penuh kasih sayang. "Tentu saja, nak. Tapi ingat, berhati-hatilah. Dan jangan lupa selalu berdoa."


Keesokan harinya, Sari sudah berada di bus menuju Magelang. Perjalanan dari Yogyakarta ke lereng Gunung Merbabu memakan waktu sekitar tiga jam. Sepanjang jalan, pikirannya terus melayang pada sosok saudara kembar yang tidak pernah dia kenal.

"Apa dia mirip dengan saya? Apa dia juga merasakan kekosongan yang sama?" gumam Sari sambil meremas jimat perak di lehernya.

Sampai di terminal Magelang, Sari bertanya pada beberapa orang tentang Pesantren Nurul Hidayah. Yang aneh, tidak ada yang tahu pesantren dengan nama itu.

"Mbak, saya sudah puluhan tahun jadi sopir angkot di sini. Pesantren di lereng Merbabu ada beberapa, tapi Nurul Hidayah... kok saya tidak pernah dengar ya?" kata Pak Bambang, sopir angkot yang ditanyai Sari.

"Mungkin pesantren kecil, Pak?"

"Bisa jadi. Ayo, saya antar ke arah lereng gunung. Nanti kita tanya-tanya lagi."

Perjalanan dengan angkot berlanjut melewati jalan berkelok-kelok menuju lereng gunung. Pemandangan sawah bertingkat dan kebun teh membentang hijau di kiri kanan jalan. Udara mulai sejuk ketika mereka naik semakin tinggi.

"Pak, berhenti di sini saja," kata Sari ketika melihat sebuah warung kecil di pinggir jalan.

Di warung itu, Sari bertanya pada ibu penjual. "Bu, tahu Pesantren Nurul Hidayah tidak?"

Ibu itu mengerutkan kening. "Pesantren Nurul Hidayah... nama itu familiar. Eh, tapi kok kayaknya sudah lama tidak ada ya? Dulu sih ada pesantren dengan nama serupa, tapi sudah tutup bertahun-tahun."

Hati Sari mulai cemas. "Tutup? Kenapa, Bu?"

"Konon sih karena ada kejadian aneh. Santri-santrinya pada menghilang satu per satu. Akhirnya kyai dan keluarganya juga pergi. Sekarang tempatnya kosong."

"Di mana tempatnya, Bu?"

"Naik lagi ke atas, lewat jalan setapak di sebelah pohon jambu air besar itu. Tapi mbak, jangan ke sana deh. Tempat itu angker."

Sari tidak peduli dengan peringatan itu. Dia sudah bertekad menemukan saudara kembarnya, apapun risikonya.


Jalan setapak yang dimaksud ibu warung ternyata cukup terjal dan berliku. Sari harus berjalan kaki sekitar satu jam melewati semak belukar dan pepohonan yang lebat. Semakin naik, semakin sepi dan misterius tempat itu.

Ketika senja mulai turun, Sari akhirnya melihat sebuah bangunan tua di kejauhan. Kompleks bangunan itu tampak terbengkalai—cat dinding sudah mengelupas, genteng banyak yang bocor, dan halaman dipenuhi rumput liar.

"Pesantren Nurul Hidayah," Sari membaca papan nama yang sudah pudar di depan gerbang.

Gerbang besi berkarat itu terbuka sedikit. Sari mendorongnya pelan, dan pintu berderit keras memecah kesunyian. Halaman pesantren yang dulu mungkin asri, kini tampak seperti hutan kecil.

"Assalamu'alaikum," Sari bersuara, meski yakin tidak akan ada jawaban.

Tiba-tiba, dia mendengar suara langkah kaki dari dalam salah satu bangunan. Jantung Sari berdebar keras. Apa masih ada penghuni di tempat ini?

"Assalamu'alaikum," ulang Sari, kali ini lebih keras.

"Wa'alaikumussalam," sahut suara perempuan dari dalam bangunan utama.

Keluar seorang wanita tua berkerudung putih, wajahnya tampak bijaksana meski keriput. Yang mengejutkan, dia sama sekali tidak tampak terkejut melihat kedatangan Sari.

"Kamu Sari, ya?" tanya wanita itu dengan suara lembut.

Sari tercenung. "Iya... tapi bagaimana ibu bisa tahu?"

"Aku Nyai Khotimah, dulunya pengasuh pesantren ini. Sudah lama aku menunggu kedatanganmu."

"Menunggu saya?"

"Iya. Fitri, saudara kembarmu, sudah memberitahu bahwa suatu hari nanti kamu akan datang."

Hati Sari seolah berhenti berdetak. "Fitri... dia ada di sini?"

Nyai Khotimah tersenyum tipis. "Ada. Tapi untuk bertemu dengannya, kamu harus melewati ujian terlebih dahulu."

"Ujian apa, Nyai?"

"Ikut aku."


Nyai Khotimah memimpin Sari masuk ke dalam bangunan utama pesantren. Interior bangunan itu mengejutkan—dari luar tampak rusak, tapi di dalam bersih dan terawat. Lampu minyak menyala di beberapa sudut, menciptakan suasana hangat namun misterius.

"Duduklah," kata Nyai Khotimah sambil menunjuk tikar di tengah ruangan.

Di hadapan Sari, tergantung sebuah cermin tua dengan bingkai kayu ukir yang indah. Cermin itu tampak berkilau meski ruangan cukup redup.

"Sari, coba lihat cermin itu. Apa yang kamu lihat?"

Sari menatap cermin dengan ragu. Pada awalnya, dia hanya melihat pantulan wajahnya sendiri. Tapi perlahan, bayangan di cermin mulai berubah.

"Astafirullah," bisik Sari.

Di cermin itu, dia melihat dirinya sendiri, tapi dengan rambut yang sedikit berbeda dan mata yang tampak lebih teduh. Sosok itu tersenyum dan melambai pada Sari.

"Itu Fitri, saudara kembarmu," kata Nyai Khotimah. "Dia terkurung di dimensi lain. Untuk membebaskannya, kamu harus menunjukkan jimat yang dibawa."

Dengan tangan gemetar, Sari mengeluarkan liontin perak berbentuk bulan sabit dari lehernya. Begitu liontin itu ditunjukkan ke cermin, bayangan Fitri tampak sangat gembira.

"Nyai, mengapa Fitri bisa terkurung? Apa yang terjadi di pesantren ini dulu?"

Nyai Khotimah menghela napas panjang. "Ceritanya panjang, nak. Dulu, pesantren ini memang khusus untuk anak-anak yang memiliki kemampuan spiritual tinggi. Fitri salah satunya. Dia bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk gaib."

"Terus?"

"Suatu malam, dia mencoba membuka pintu dimensi untuk membantu arwah-arwah yang tersesat. Tapi sesuatu salah. Dia malah terjebak di dimensi lain. Sejak itu, santri-santri lain mulai takut dan satu per satu pergi."

Sari menatap bayangan Fitri di cermin dengan hati teriris. "Bagaimana cara membebaskannya?"

"Kalian kembar, berarti jiwa kalian tersambung. Jimat itu adalah kunci. Tapi untuk membuka pintu dimensi, kamu harus rela berkorban."

"Korban apa?"

"Separuh dari usiamu."

Sari terdiam. Itu bukan keputusan mudah. Tapi melihat sosok Fitri di cermin yang tampak memohon dengan mata berkaca-kaca, hatinya sudah bulat.

"Saya rela, Nyai."

"Kamu yakin? Ini keputusan yang tidak bisa diubah."

"Yakin. Dia saudara saya. Kami kembar. Seharusnya kami bersama."


Nyai Khotimah bangkit dan mengambil sebuah tasbih tua dari rak kayu. "Kalau begitu, kita mulai ritualnya. Pegang jimat itu erat-erat, dan baca doa yang akan aku ajarkan."

Dengan suara yang gemetar, Nyai Khotimah mulai melantunkan doa dalam bahasa Arab yang tidak familiar bagi Sari. Anehnya, Sari bisa mengikuti lafalnya dengan sempurna, seolah doa itu sudah tersimpan dalam alam bawah sadarnya.

Cermin di hadapan mereka mulai berkilau semakin terang. Bayangan Fitri tampak semakin jelas, seolah benar-benar ada di balik kaca.

"Sari... akhirnya..." suara Fitri terdengar samar dari balik cermin.

"Fitri! Saya datang menjemput kamu!"

Cahaya dari cermin semakin menyilaukan. Tiba-tiba, Sari merasakan sesuatu tertarik dari dalam dadanya—seperti ada bagian jiwanya yang ditarik keluar. Rasa sakit yang luar biasa menyerang tubuhnya.

"Bertahanlah, Sari!" teriak Nyai Khotimah.

Dengan kekuatan terakhir, Sari memegang jimat perak itu erat-erat sambil terus membaca doa. Cahaya dari cermin meledak, memenuhi seluruh ruangan dengan kilau keemasan.

Ketika cahaya itu redup, Sari melihat sosok yang sangat familiar berdiri di hadapannya. Fitri—saudara kembarnya—akhirnya bebas dari kungkungan dimensi lain.

"Sari..." Fitri berlari memeluk saudara kembarnya dengan erat. Mereka berdua menangis tersedu-sedu, merasakan kerinduan yang terpendam selama dua puluh tahun.

"Fitri, akhirnya kita bertemu," bisik Sari sambil memeluk erat saudara kembarnya.

"Maafin aku, Sari. Gara-gara kebodohanku, kita terpisah selama ini."

"Tidak apa-apa. Yang penting sekarang kita sudah bersama."


Nyai Khotimah memandang kedua saudara kembar itu dengan mata berkaca-kaca. "Alhamdulillah, akhirnya kalian bersatu kembali."

"Nyai," kata Sari sambil masih memeluk Fitri, "apa yang terjadi dengan pesantren ini sekarang?"

"Dengan terbebasnya Fitri, kutukan di tempat ini sudah hilang. Pesantren bisa beroperasi normal kembali."

Anehnya, ketika Sari menoleh ke sekeliling, bangunan pesantren tampak berubah. Dinding yang tadi mengelupas kini tampak bersih, lantai yang retak sudah rata kembali. Seolah kerusakan selama bertahun-tahun itu hanya ilusi.

"Tapi Nyai, bagaimana dengan korban yang harus saya berikan?"

Nyai Khotimah tersenyum bijaksana. "Allah Maha Adil, nak. Pengorbananmu tidak sia-sia. Memang usiamu berkurang separuh, tapi sekarang kalian berdua berbagi umur yang sama. Kalian akan hidup dan mati bersama, seperti seharusnya saudara kembar."

Fitri menatap Sari dengan mata yang penuh rasa bersalah. "Sari, kamu mengorbankan terlalu banyak untuk aku."

"Tidak, Fitri. Kita kembar. Hidup kita memang seharusnya jadi satu."


Malam itu, kedua saudara kembar tidur berdampingan di kamar yang disediakan Nyai Khotimah. Mereka berbincang sampai larut, menceritakan kehidupan masing-masing selama terpisah.

"Sari, kamu tahu tidak, selama terkurung di dimensi lain, aku selalu bisa merasakan apa yang kamu rasakan," kata Fitri. "Ketika kamu sedih, aku juga sedih. Ketika kamu bahagia, aku juga ikut bahagia."

"Aku juga merasakan hal yang sama! Makanya selama ini aku selalu merasa ada yang kurang. Ternyata itu karena kamu tidak ada."

"Dan jimat yang kamu pakai... aku juga punya yang sama."

Fitri mengeluarkan liontin perak yang identik dengan milik Sari, hanya bentuknya matahari, bukan bulan sabit.

"Bulan dan matahari," gumam Sari. "Simbah memang bijaksana."

"Simbah bilang, kalau suatu hari kita bertemu, gabungin kedua jimat itu. Katanya akan terjadi sesuatu yang istimewa."

Dengan penasaran, mereka menempelkan kedua jimat itu. Begitu bulan sabit dan matahari bertemu, kedua jimat itu menyatu menjadi satu liontin yang sempurna—bulan sabit memeluk matahari dengan harmonis.

Cahaya lembut memancar dari jimat gabungan itu, memberikan kehangatan yang luar biasa pada kedua saudara kembar.

"Sekarang kita benar-benar jadi satu," bisik Fitri.


Keesokan harinya, Nyai Khotimah mengumpulkan mereka di pendopo pesantren.

"Anak-anakku, kalian punya pilihan. Kalian bisa pulang ke kehidupan normal, atau kalian bisa tinggal di sini dan membantu aku menghidupkan kembali pesantren ini."

Sari dan Fitri saling bertatapan. Tanpa perlu berunding lama, mereka sudah tahu jawabannya.

"Kami ingin tinggal di sini, Nyai," kata Sari. "Rasanya ini sudah jadi takdir kami."

"Iya, Nyai. Kami ingin membantu anak-anak yang punya kemampuan spiritual seperti dulu Fitri. Supaya mereka tidak mengalami hal yang sama," tambah Fitri.

Nyai Khotimah tersenyum lega. "Alhamdulillah. Berarti pesantren ini akan hidup kembali."


Bulan-bulan berikutnya, Pesantren Nurul Hidayah benar-benar bangkit dari keterpurukan. Sari dan Fitri bekerja sama dengan sempurna—Sari mengajar mengaji dan akhlak, sementara Fitri membantu anak-anak yang memiliki kemampuan spiritual khusus untuk mengendalikan karunia mereka.

Kehadiran kedua saudara kembar itu seperti membawa berkah. Santri-santri berdatangan, tidak hanya dari sekitar Merbabu, tapi juga dari berbagai daerah. Yang unik, sebagian besar santri yang datang adalah anak-anak dengan kemampuan spiritual yang membutuhkan bimbingan khusus.

"Fitri, kamu tidak menyesal tinggal di sini?" tanya Sari suatu sore ketika mereka sedang mengajar anak-anak mengaji.

"Tidak sama sekali. Justru aku merasa ini panggilan hidup kita. Membantu anak-anak ini menemukan jalan yang benar."

"Aku juga merasa begitu. Seperti semua yang terjadi memang sudah direncanakan oleh Allah."

Ustadzah Khadijah dari Pesantren Al-Hikmah pernah berkunjung untuk melihat Sari. Dia takjub melihat perubahan anak didiknya.

"Sari, kamu tampak berbeda. Lebih tenang, lebih bijaksana," kata Ustadzah Khadijah.

"Karena sekarang saya sudah lengkap, Ustadzah. Saya menemukan separuh jiwa saya yang hilang."


Beberapa tahun kemudian, Pesantren Nurul Hidayah menjadi terkenal sebagai tempat pendidikan untuk anak-anak berkebutuhan spiritual khusus. Sari dan Fitri, yang sekarang dipanggil Ustadzah Kembar oleh santri-santri, menjadi figur yang disegani dan dicintai.

Mereka mengembangkan metode pendidikan unik yang menggabungkan pembelajaran agama konvensional dengan bimbingan spiritual khusus. Anak-anak yang dulunya merasa aneh karena kemampuannya, kini bisa mengembangkan bakat mereka dengan positif.

"Ustadzah, kok kalian bisa selalu kompak? Kayak satu pikiran gitu," tanya Aisyah, salah satu santri yang memiliki kemampuan melihat masa depan.

Sari dan Fitri tersenyum. "Karena kami memang satu jiwa dalam dua tubuh, sayang. Allah menciptakan kami untuk saling melengkapi."

"Dan yang terpenting," tambah Fitri, "kami belajar bahwa kemampuan khusus yang kalian miliki itu bukan kutukan, tapi karunia. Tinggal bagaimana kalian menggunakannya untuk kebaikan."

Suatu malam, ketika mereka sedang duduk di teras pesantren menikmati hembusan angin sejuk dari lereng Merbabu, Sari berkata pada Fitri.

"Fitri, aku bersyukur Simbah memberikan wasiat itu."

"Kenapa?"

"Kalau tidak, mungkin kita tidak akan pernah bertemu. Dan anak-anak ini juga tidak akan punya tempat untuk belajar."

Fitri mengangguk sambil menatap jimat gabungan yang kini mereka pakai bergantian. "Iya. Ternyata semua kejadian dalam hidup kita punya maksud dan tujuan. Yang penting, kita selalu percaya pada rencana Allah."

Di kejauhan, suara anak-anak mengaji terdengar merdu. Sari dan Fitri tersenyum, merasakan kebahagiaan yang sempurna. Mereka tidak hanya menemukan satu sama lain, tapi juga menemukan tujuan hidup yang mulia.

Dan hingga kini, Pesantren Nurul Hidayah terus berdiri kokoh di lereng Gunung Merbabu, menjadi mercusuar bagi anak-anak berkebutuhan spiritual khusus. Semua berkat wasiat seorang nenek bijaksana dan keberanian seorang cucu yang rela mengorbankan segalanya demi saudaranya.

Karena cinta sejati, seperti yang diajarkan kedua saudara kembar itu, tidak pernah menghitung untung rugi. Cinta sejati adalah kerelaan untuk berkorban demi kebahagiaan orang yang dicintai.


- Tamat -

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi