Jejak Kitab yang Tersembunyi
Jejak Kitab yang Tersembunyi
Hujan deras mengguyur atap genteng pesantren Al-Barokah ketika Farid menyadari kitab Ihya Ulumuddin miliknya menghilang. Kitab tebal bersampul cokelat tua itu bukan sekadar buku biasa—warisan dari kakeknya yang sudah almarhum, seorang kiai terpandang di Ponorogo.
"Mas Farid, kitabmu ketinggalan ga?" tanya Rizki, teman sekamarnya, sambil mengemas buku-buku setelah kajian malam.
Farid menggeleng sambil terus mengacak-acak tasnya. "Ora ana, Ki. Padahal tadi malem aku masih baca."
"Coba dinggolek neng perpustakaan. Mungkin ketinggalan pas nyalin hadits tadi sore."
Farid bergegas ke perpustakaan pesantren yang sudah sepi. Lampu neon berkedip redup, menciptakan bayangan-bayangan aneh di antara rak-rak kitab yang menjulang tinggi. Dia menyisir setiap sudut, memeriksa meja-meja baca, bahkan sampai ke gudang buku bekas di belakang.
Tidak ada.
"Aneh, kok bisa ilang?" gumamnya sambil mengusap keringat di dahi. Kitab itu tidak pernah lepas dari sisinya, bahkan ketika tidur selalu dia letakkan di bawah bantal.
Keesokan paginya, setelah shalat Subuh, Farid melaporkan kehilangan kitabnya kepada Ustadz Mahmud, pengasuh pesantren.
"Kitab Ihya Ulumuddin? Yang sampulnya cokelat tua dengan tulisan emas?" tanya Ustadz Mahmud sambil mengerutkan kening.
"Iya, Ustadz. Itu warisan almarhum mbah putri saya. Di dalamnya ada catatan-catatan penting dengan tulisan tangan beliau."
Ustadz Mahmud terdiam lama, wajahnya tampak gelisah. "Farid, kamu yakin kitab itu ada catatan tulisan tangan?"
"Iya, Ustadz. Kenapa?"
"Tidak apa-apa. Nanti saya bantu carikan. Kamu sekarang fokus ke pelajaran dulu."
Tapi Farid merasa ada yang aneh dari reaksi Ustadz Mahmud. Kenapa wajah beliau tampak terkejut ketika mendengar tentang catatan tulisan tangan di kitab itu?
Siang harinya, Farid menggeledah seluruh asrama. Dari kamar ke kamar, lemari ke lemari, bahkan tempat wudhu dan kamar mandi. Beberapa santri ikut membantu, tapi hasilnya nihil.
"Mas Farid, aku tadi liat ada orang asing masuk pesantren kemarin sore," kata Hanif, santri kelas satu yang masih polos. "Orangnya tinggi, pake baju hitam, mukanya aneh."
"Aneh gimana?"
"Kayak... kayak orang yang sering bergadang. Matanya cekung, wajahnya pucat. Terus dia nanya-nanya tentang kitab-kitab kuno."
Farid merasa ada petunjuk. "Dia ngomong sama siapa?"
"Sama Ustadz Mahmud. Mereka ngobrol lama di kantor. Aku kebetulan lewat mau ambil bola di gudang."
"Kamu dengar pembicaraan mereka?"
Hanif menggeleng. "Enggak, tapi aku lihat orang itu bawa tas besar. Pas pulang, tasnya kayak ada isinya."
Farid semakin curiga. Apa mungkin ada hubungan antara kedatangan orang asing itu dengan hilangnya kitabnya?
Malam harinya, Farid tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan kitab warisan kakeknya. Di dalam kitab itu tidak hanya ada tulisan Al-Ghazali, tapi juga catatan-catatan spiritual dari kakeknya yang ditulis dengan tinta emas. Catatan tentang ilmu-ilmu batin, wirid-wirid khusus, dan hal-hal yang tidak pernah diajarkan di pesantren biasa.
Tiba-tiba, dia teringat sesuatu. Kakeknya pernah bercerita bahwa kitab Ihya Ulumuddin milik keluarga mereka bukanlah kitab biasa. Itu adalah kitab yang pernah dimiliki oleh Sunan Kalijaga, kemudian turun-temurun di keluarga mereka.
"Jangan sampai kitab itu jatuh ke tangan yang salah, Farid," pesan kakeknya dulu. "Di dalamnya ada ilmu yang bisa disalahgunakan."
Farid bangkit dari tempat tidur. Dia harus menemukan kitab itu, bagaimana pun caranya.
Pagi-pagi sekali, sebelum adzan Subuh, Farid menyelinap ke kantor Ustadz Mahmud. Dia berharap bisa menemukan petunjuk tentang orang asing yang datang kemarin. Untung saja pintu kantor tidak dikunci.
Di atas meja kerja Ustadz Mahmud, Farid menemukan sebuah kartu nama: "Joko Susilo - Kolektor Kitab Kuno - Yogyakarta". Di belakang kartu ada nomor telepon dan alamat lengkap.
"Yogyakarta," gumam Farid. "Berarti orangnya sudah pergi jauh."
Farid menyalin alamat itu di secarik kertas, kemudian bergegas kembali ke kamar. Dia sudah memutuskan: hari ini juga dia harus pergi ke Yogyakarta mencari kitabnya.
Setelah shalat Subuh, Farid izin kepada Ustadz Mahmud dengan alasan ada keperluan keluarga mendadak. Ustadz Mahmud tampak gelisah ketika memberikan izin.
"Kamu hati-hati di jalan, Farid. Dan... kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya."
"Iya, Ustadz. Ada apa memangnya?"
"Tidak apa-apa. Hanya... hati-hati saja."
Farid berangkat ke Yogyakarta naik bus pagi. Perjalanan dari Madiun ke Yogya memakan waktu sekitar empat jam. Sepanjang perjalanan, dia terus berdoa agar bisa menemukan kitab kakeknya.
Sesampainya di Yogyakarta, Farid mencari alamat yang tertulis di kartu nama. Ternyata itu adalah sebuah toko buku antik di kawasan Malioboro. Toko yang cukup besar dengan papan nama "Pustaka Kuno Jawa".
Farid masuk ke toko dengan hati berdebar. Di dalam toko, ada ribuan buku kuno berjejer rapi di rak-rak kayu tua. Bau kertas lama dan dupa memenuhi ruangan.
"Selamat siang, Mas. Cari apa?" sapa seorang pria paruh baya yang duduk di belakang meja kasir.
"Permisi, saya cari Pak Joko Susilo."
"Oh, saya sendiri. Ada apa ya?"
Farid memperhatikan wajah pria itu. Tinggi, kurus, wajah pucat—persis seperti deskripsi Hanif.
"Pak, kemarin Bapak ke pesantren Al-Barokah di Madiun ya?"
Wajah Joko berubah waspada. "Iya, kenapa?"
"Saya santri di sana. Kitab saya hilang, dan saya curiga ada hubungannya dengan kedatangan Bapak."
"Kitab apa?"
"Ihya Ulumuddin, sampul cokelat tua dengan tulisan emas."
Joko terdiam lama. Matanya menatap Farid dengan tajam. "Kamu siapa?"
"Farid bin Ahmad Syafi'i. Cucu dari KH. Mursyid Syafi'i, Ponorogo."
Mendengar nama itu, wajah Joko langsung berubah pucat. "KH. Mursyid? Yang punya pesantren Darul Hikmah?"
"Iya. Kenapa Pak?"
Joko bangkit dari kursinya dan berjalan mondar-mandir. "Farid, kamu tahu tidak, kakekmu itu siapa sebenarnya?"
"Kyai besar yang sangat dihormati. Kenapa?"
"Bukan hanya itu. Kakekmu adalah salah satu pewaris tradisi spiritual Sunan Kalijaga. Kitab yang kamu cari bukan kitab biasa."
Farid mulai merasa tidak nyaman. "Maksud Bapak?"
"Di dalam kitab itu ada ilmu-ilmu yang sangat langka. Wirid untuk membuka hijab, mantra untuk berkomunikasi dengan alam gaib, dan yang paling penting—peta lokasi pusaka-pusaka Mataram yang tersembunyi."
"Bapak sudah baca kitab saya?"
Joko mengangguk. "Maaf, Farid. Aku memang mengambil kitab itu dari pesantrenmu. Tapi bukan untuk hal yang jahat."
"Lalu untuk apa?"
"Ada seseorang yang sangat membutuhkan kitab itu. Seseorang yang sudah lama mencari."
"Siapa?"
Sebelum Joko sempat menjawab, terdengar suara langkah kaki dari lantai atas toko. Seseorang turun dengan perlahan. Seorang wanita tua berkerudung putih, wajahnya berseri-seri meskipun sudah keriput.
"Assalamu'alaikum, Nak Farid," sapa wanita tua itu dengan suara lembut.
Farid terperanjat. "Wa'alaikumussalam. Maaf, Nenek siapa ya?"
"Aku Nyai Khodijah. Murid terakhir kakekmu, KH. Mursyid."
Farid terduduk lemas. Dia pernah dengar nama Nyai Khodijah dari kakeknya. Seorang wanita yang sangat cerdas dan alim, tapi tiba-tiba menghilang puluhan tahun lalu.
"Nenek... masih hidup?"
"Alhamdulillah, masih diberi umur panjang oleh Allah. Nak Farid, maafkan kami yang sudah mengambil kitab kakekmu tanpa izin. Tapi kami terpaksa melakukannya."
"Kenapa, Nek?"
Nyai Khodijah duduk di sebelah Farid. "Kakekmu, sebelum meninggal, pernah berpesan padaku. Dia bilang, suatu saat akan ada fitnah besar yang menimpa umat Islam. Dan untuk menghadapi fitnah itu, dibutuhkan ilmu-ilmu yang tersimpan dalam kitab warisan keluarga kalian."
"Fitnah apa, Nek?"
"Munculnya aliran-aliran sesat yang akan menyesatkan umat. Mereka akan menggunakan ilmu-ilmu batin untuk tujuan yang salah. Kitab kakekmu berisi counter untuk melawan ilmu-ilmu hitam seperti itu."
Farid mulai memahami. "Jadi kitab itu memang punya kekuatan khusus?"
"Bukan kekuatan, Nak. Tapi pengetahuan. Pengetahuan untuk membedakan mana ilmu yang benar dan mana yang bathil."
Joko mengangguk. "Nyai Khodijah sudah mempelajari kitab itu selama tiga hari. Sekarang beliau sudah siap menghadapi kelompok sesat yang akan datang ke Yogyakarta minggu depan."
"Kelompok sesat?"
"Iya, mereka menyebut diri sebagai 'Tarekat Nurbatin'. Dipimpin oleh seseorang yang mengaku sebagai waliyullah, tapi sebenarnya dia dalang ilmu hitam. Banyak orang yang sudah tertipu dan ikut aliran itu."
Nyai Khodijah bangkit. "Nak Farid, sekarang kitab kakekmu sudah aman. Kami sudah menyalin semua ilmu yang dibutuhkan. Kamu bisa membawa pulang kitab aslinya."
"Tapi Nek, saya juga ingin membantu melawan kelompok sesat itu."
"Kamu masih terlalu muda, Nak. Ilmu yang mereka pakai sangat berbahaya. Bisa membuat orang gila atau bahkan mati."
"Tapi ini juga tanggung jawab saya sebagai cucu KH. Mursyid. Saya tidak bisa membiarkan kitab kakek disalahgunakan."
Joko dan Nyai Khodijah saling bertatapan. "Baiklah," kata Nyai Khodijah akhirnya. "Tapi kamu harus berjanji akan mengikuti semua petunjuk kami. Jangan sekali-kali bertindak sendiri."
"Saya janji, Nek."
Malam itu, Farid menginap di rumah Nyai Khodijah yang berada di belakang toko Joko. Rumah sederhana dengan taman kecil yang dipenuhi tanaman obat.
"Nak Farid," kata Nyai Khodijah sambil menyeduh teh. "Sebelum tidur, ada yang ingin Nenek tunjukkan."
Nyai Khodijah membawa Farid ke sebuah kamar kecil yang dipenuhi kitab-kitab kuno. Di tengah ruangan, ada sebuah meja dengan kitab Ihya Ulumuddin milik Farid terbuka di atasnya.
"Lihat halaman ini," Nyai Khodijah menunjuk sebuah halaman yang dipenuhi tulisan Arab dengan tinta emas.
Farid membaca perlahan. Itu adalah doa perlindungan yang sangat panjang, ditulis dengan kaligrafi yang indah.
"Ini tulisan tangan kakek?"
"Iya. Dan lihat ini." Nyai Khodijah menyinari halaman itu dengan lampu khusus. Tiba-tiba, muncul tulisan-tulisan lain yang sebelumnya tidak terlihat.
"Subhanallah, ada tulisan tersembunyi."
"Kakekmu menulis dengan tinta khusus yang hanya bisa terlihat dengan cahaya tertentu. Di sini ada peta lokasi makam para wali, tempat-tempat yang memiliki kekuatan spiritual tinggi."
"Untuk apa peta itu?"
"Untuk melawan kelompok sesat. Mereka biasanya memilih tempat-tempat yang memiliki energi negatif untuk melakukan ritual. Dengan mengetahui lokasi tempat-tempat suci, kita bisa 'menetralkan' energi negatif itu."
Farid takjub. Ternyata kitab warisan kakeknya menyimpan rahasia yang sangat dalam.
"Nek, kelompok sesat itu kapan datang ke Yogya?"
"Menurut informasi yang kami dapat, mereka akan mengadakan ritual besar-besaran di Candi Ratu Boko, tiga hari lagi. Ritual untuk 'membuka gerbang kegelapan' kata mereka."
"Apa maksudnya?"
"Mereka percaya, dengan ritual itu mereka bisa memanggil kekuatan-kekuatan jahat dari alam gaib untuk membantu mereka menguasai dunia."
Farid merinding. "Dan kita harus menghentikan mereka?"
"Bukan menghentikan, Nak. Tapi menetralkan. Kita akan lakukan ritual perlawanan di tempat yang sama, untuk menutup kembali 'gerbang' yang mereka buka."
Tiga hari kemudian, malam bulan purnama, Farid bersama Nyai Khodijah dan Joko pergi ke Candi Ratu Boko. Mereka membawa kitab Ihya Ulumuddin dan beberapa perlengkapan ritual.
Candi Ratu Boko di malam hari terasa sangat menyeramkan. Reruntuhan batu kuno berdiri megah di atas bukit, disinari cahaya bulan yang terang. Angin bertiup kencang, membawa aroma dupa dan kemenyan.
"Mereka sudah mulai," bisik Joko sambil menunjuk ke arah candi utama.
Di sana, terlihat sekelompok orang berpakaian hitam sedang melakukan ritual. Mereka duduk melingkar mengelilingi api unggun, sambil membaca mantra-mantra dalam bahasa yang tidak dikenal.
"Kita tunggu sampai ritual mereka mencapai puncak," kata Nyai Khodijah. "Baru kita mulai ritual perlawanan."
Mereka bersembunyi di balik reruntuhan candi yang lain, sambil mengamati jalannya ritual kelompok sesat itu. Farid bisa merasakan aura negatif yang sangat kuat memancar dari tempat ritual.
"Nek, saya merasa mual," bisik Farid.
"Itu wajar. Energi negatif mereka sangat kuat. Makanya kamu baca surat Al-Falaq terus-menerus."
Tiba-tiba, angin bertiup semakin kencang. Langit yang tadinya cerah mulai mendung. Petir menyambar-nyambar di kejauhan.
"Sekarang!" teriak Nyai Khodijah.
Mereka bertiga berlari ke sebuah reruntuhan candi yang lebih tinggi, tepat di seberang tempat ritual kelompok sesat. Nyai Khodijah membuka kitab Ihya Ulumuddin di halaman yang berisi doa perlindungan dengan tinta emas.
"Farid, kamu baca doa ini dengan suara keras. Joko, kamu nyalakan dupa dan kemenyan."
Farid mulai membaca doa perlindungan dengan suara yang lantang. Suaranya bergema di antara reruntuhan candi, terdengar sampai ke tempat ritual kelompok sesat.
"Ada yang mengganggu ritual kita!" teriak salah satu anggota kelompok sesat.
Pemimpin mereka, seorang pria berjenggot panjang dengan mata yang menyala-nyala, menoleh ke arah Farid dan kawan-kawan.
"Kalian! Berhenti mengacaukan ritual kami!"
"Kami tidak akan berhenti!" sahut Nyai Khodijah. "Ritual kalian itu bathil dan merusak!"
Pemimpin kelompok sesat itu mengangkat tangannya. Tiba-tiba, angin bertiup sangat kencang ke arah Farid. Seperti ada kekuatan gaib yang mencoba menghentikan bacaan doanya.
Tapi Farid terus membaca. Bahkan ketika mulutnya terasa kaku dan tenggorokannya sakit, dia tetap melanjutkan bacaan doa perlindungan.
"Allahuma inna naj'aluka fi nuhurihim wa na'udzu bika min syururihim..."
Semakin keras Farid membaca, semakin lemah ritual kelompok sesat itu. Api unggun mereka mulai meredup, mantra-mantra mereka terganggu.
"Tidak mungkin!" teriak pemimpin kelompok sesat. "Kekuatan kami tidak mungkin kalah!"
Dia mengambil sebuah keris dari dalam jubahnya dan mengarahkannya ke udara. Keris itu memancarkan cahaya merah yang menyilaukan.
"Dengan kekuatan kegelapan, aku panggil roh-roh jahat untuk menghancurkan mereka!"
Tiba-tiba, muncul bayangan-bayangan hitam dari segala arah. Bayangan yang bergerak cepat dan mengeluarkan suara mengerikan.
"Nek, ada apa ini?" teriak Farid ketakutan.
"Mereka memanggil jin-jin jahat. Terus baca doa, jangan berhenti!"
Farid terus membaca meskipun bayangan-bayangan hitam itu semakin mendekat. Beberapa kali dia merasakan seperti ada yang mencakar wajahnya, tapi dia tidak peduli.
Nyai Khodijah juga ikut membaca, sambil memegang tasbih yang berkilauan. Joko membakar lebih banyak dupa, sampai asapnya memenuhi udara.
Pertarungan gaib itu berlangsung hampir satu jam. Di satu sisi, kelompok sesat terus memanggil kekuatan kegelapan. Di sisi lain, Farid dan kawan-kawan terus membaca doa perlindungan.
Perlahan, kekuatan kelompok sesat mulai melemah. Api unggun mereka padam, keris yang memancarkan cahaya merah mulai redup, dan bayangan-bayangan hitam mulai menghilang.
"Tidak! Ritual kami hampir berhasil!" teriak pemimpin kelompok sesat dengan putus asa.
Tapi sudah terlambat. Farid sudah menyelesaikan bacaan doa perlindungan yang panjang itu. Seketika, cahaya putih yang terang memancar dari kitab Ihya Ulumuddin, menerangi seluruh area candi.
Kelompok sesat itu terpaksa lari terbirit-birit, tidak tahan dengan cahaya putih yang menyilaukan. Pemimpin mereka sempat berteriak: "Ini belum selesai! Kami akan kembali!"
Setelah mereka pergi, suasana candi kembali tenang. Angin berhenti bertiup, langit kembali cerah, dan aura negatif yang tadi terasa sangat kuat sudah hilang.
"Alhamdulillah," ucap Nyai Khodijah sambil memeluk kitab Ihya Ulumuddin. "Ritual mereka berhasil kita gagalkan."
"Nek, apa mereka akan kembali lagi?" tanya Farid.
"Mungkin saja. Tapi setidaknya untuk sekarang, gerbang kegelapan yang ingin mereka buka sudah tertutup rapat."
Farid memandang kitab warisan kakeknya dengan perasaan bangga dan terharu. Ternyata kitab itu memang memiliki kekuatan luar biasa untuk melawan kejahatan.
"Nak Farid," kata Nyai Khodijah sambil menyerahkan kitab itu, "sekarang kamu sudah tahu betapa berharganya warisan kakekmu. Jaga baik-baik, dan gunakan untuk kebaikan."
"Insya Allah, Nek. Saya akan jaga dengan nyawa saya."
Keesokan harinya, Farid kembali ke pesantren Al-Barokah dengan perasaan lega. Kitab warisan kakeknya sudah kembali, dan dia juga sudah menjalankan amanah untuk melawan kelompok sesat.
"Farid, syukurlah kamu sudah kembali," sapa Ustadz Mahmud ketika melihat Farid turun dari bus. "Kitabmu sudah ketemu?"
"Alhamdulillah sudah, Ustadz. Dan saya juga sudah tahu kenapa kitab itu sangat berharga."
Ustadz Mahmud tersenyum. "Sebenarnya aku sudah tahu dari awal, Farid. Makanya waktu kamu bilang kitab itu hilang, aku sangat khawatir."
"Kenapa Ustadz tidak bilang dari awal?"
"Karena ada hal-hal yang harus kamu pelajari sendiri. Dan ternyata, Allah sudah menunjukkan jalan yang terbaik untukmu."
Malam itu, Farid duduk di teras asrama sambil membuka kitab Ihya Ulumuddin. Dia membaca catatan-catatan tulisan tangan kakeknya dengan perasaan haru.
"Farid, untuk cucu kesayangan. Semoga ilmu dalam kitab ini bermanfaat untuk agama dan umat. Ingat, ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah. Gunakan ilmu ini untuk kebaikan, jangan untuk kejahatan. - KH. Mursyid Syafi'i"
Farid tersenyum sambil mengusap tulisan itu dengan lembut. Sekarang dia paham mengapa kakeknya begitu menjaga kitab ini. Bukan karena nilainya yang mahal, tapi karena tanggung jawab yang melekat padanya.
Sejak hari itu, Farid menjadi lebih rajin mengaji dan memperdalam ilmu agama. Dia juga mulai mengajarkan ilmu-ilmu yang dia pelajari dari kitab kakeknya kepada adik-adik kelasnya, tentu saja hanya yang aman dan bermanfaat.
Beberapa bulan kemudian, Nyai Khodijah datang berkunjung ke pesantren Al-Barokah. Dia ingin melihat bagaimana perkembangan Farid setelah peristiwa di Candi Ratu Boko.
"Alhamdulillah, Nak Farid sudah menjadi santri yang lebih dewasa dan bijaksana," kata Ustadz Mahmud kepada Nyai Khodijah.
"Syukurlah. Berarti amanah KH. Mursyid sudah tersalurkan dengan baik."
"Nek," kata Farid, "kelompok sesat yang dulu itu bagaimana kabarnya?"
"Mereka sudah bubar, Nak. Pemimpinnya masuk penjara karena kasus penipuan. Anggota-anggotanya ada yang tobat, ada yang pindah mengikuti aliran lain."
"Alhamdulillah."
"Tapi kamu harus tetap waspada. Kelompok-kelompok seperti itu akan selalu bermunculan. Makanya, kamu harus terus belajar dan memperkuat ilmu agama."
Farid mengangguk. Dia sudah bertekad untuk menjadi penerus perjuangan kakeknya dalam menjaga kemurnian ajaran Islam.
Malam itu, setelah Nyai Khodijah kembali ke Yogyakarta, Farid duduk sendirian di taman pesantren sambil menatap bintang-bintang. Kitab Ihya Ulumuddin terbuka di pangkuannya, cahaya bulan menerangi halaman-halaman yang penuh dengan tulisan emas.
"Ya Allah," doanya dalam hati, "jadikanlah saya pewaris yang baik untuk ilmu yang telah kakek wariskan. Berikan saya kekuatan untuk melawan kebatilan dan menegakkan kebenaran."
Angin malam bertiup lembut, seolah membawa doa Farid ke langit yang tinggi. Di kejauhan, terdengar suara santri-santri yang sedang mengaji malam, menciptakan atmosfer yang damai dan tenteram.
Farid tersenyum. Kitab warisan kakeknya memang sudah kembali, tapi perjalanan untuk menjadi pewaris yang sejati baru saja dimulai.
Wallahu a'lam bishawab.
Comments