Jejak Tersembunyi di Malang Batu
Jejak Tersembunyi di Malang Batu
Dinda menatap foto wisata Malang Batu yang dia simpan di balik kitab Fiqhnya. Foto-foto indah Jatim Park, Museum Angkut, dan air terjun Coban Rondo yang dia gunting dari majalah lama. Sudah dua tahun dia mondok di Pesantren Al-Barokah Kediri, dan impiannya untuk berlibur ke Malang Batu tak pernah padam.
"Dinda, ngapa kowe melamun terus?" tegur Siti Aisyah, teman sekamarnya. "Ngaji ae ora konsentrasi."
"Ora apa-apa, Mbak Ais. Mung capek," jawab Dinda sambil memasukkan foto-foto itu kembali ke dalam kitab.
Tapi malam itu, ketika semua santri sudah tertidur, Dinda tidak bisa memejamkan mata. Hari ini adalah hari terakhir libur sekolah umum. Kalau dia tidak pergi sekarang, entah kapan lagi dia bisa mewujudkan impiannya.
Dengan hati berdebar, Dinda mulai mengemas barang-barang penting ke dalam tas kecil. Uang tabungannya yang terkumpul selama dua tahun, bekal makanan, dan tentu saja foto-foto wisata yang menjadi panduannya.
Pukul tiga dini hari, ketika penjagaan pesantren paling longgar, Dinda menyelinap keluar melalui jendela kamar yang menghadap ke kebun belakang. Dia sudah merencanakan rute pelariannya berhari-hari: melewati kebun singkong, menyusuri jalan setapak menuju stasiun Kediri, lalu naik kereta ke Malang.
"Bismillah," bisiknya sambil melompat dari jendela. "Aku bakal bali esuk sadurunge subuh. Insya Allah ora ana sing ngerti."
Perjalanan menuju stasiun ternyata lebih menakutkan dari yang dia bayangkan. Jalan setapak yang dia lalui gelap gulita, hanya diterangi cahaya bulan sabit. Suara-suara malam yang asing membuatnya bergidik ngeri, tapi tekadnya untuk sampai ke Malang Batu lebih kuat dari rasa takutnya.
Di stasiun Kediri, dia menunggu kereta pertama yang berangkat pukul lima pagi. Hatinya deg-degan, takut ada yang mengenalinya. Untung dia sudah mengganti kerudung putih santri dengan kerudung berwarna dan baju bebas yang dia sembunyikan di tas.
"Kereta jurusan Malang, peron dua!" teriak petugas stasiun.
Dinda naik kereta dengan perasaan campur aduk—excited tapi juga was-was. Selama perjalanan, dia terus berdoa agar rencananya berjalan lancar dan dia bisa kembali ke pesantren tanpa ketahuan.
Sampai di Malang, Dinda langsung menuju terminal untuk mencari angkot ke Batu. Matanya berbinar melihat ramainya kota Malang. Ini pertama kalinya dia keluar dari lingkungan pesantren tanpa pengawasan.
"Nde, arep ning ngendi?" tanya tukang ojek yang menghampirinya.
"Ning Batu, Pak. Sing murah ae."
"Ya wes, tak anteri. Limang ewu."
Dinda mengangguk antusias. Akhirnya, impiannya akan terwujud!
Sesampainya di Batu, Dinda langsung menuju Jatim Park 1. Dia menghabiskan waktu berjam-jam di sana, menikmati wahana-wahana yang selama ini hanya dia lihat di foto. Tapi ada yang aneh—dia merasa terus diikuti oleh seseorang.
Setiap kali dia menoleh, ada sosok pria berjaket hitam yang selalu berada tidak jauh darinya. Awalnya dia pikir itu kebetulan, tapi ketika dia pindah ke Museum Angkut, pria itu masih mengikutinya.
"Dinda?" panggil seseorang dari belakang.
Dinda menoleh dan hampir pingsan melihat Ustadz Farid, salah satu pengajar di pesantrennya, berdiri di belakangnya dengan wajah kaget.
"Ustadz?" Dinda mundur selangkah, wajahnya pucat pasi.
"Subhanallah, Dinda! Ngapa kowe ning kene? Kowe ora ning pesantren?"
Dinda tidak bisa berkata apa-apa. Pikirannya kosong, hanya ada rasa panik yang memenuhi dadanya.
"Ustadz... aku..." gagapnya.
"Ayo, kita ngomong ning tempat sing tenang," kata Ustadz Farid sambil mengajak Dinda ke sebuah café di dekat museum.
Di café itu, Dinda menceritakan semuanya dengan air mata yang mengalir deras. Impiannya yang sudah lama terpendam, rasa penasarannya dengan dunia luar, dan keputusannya yang nekat untuk kabur.
"Aku ngerti kowe pengen rekreasi, Dinda. Tapi cara kowe salah. Kabur iku ora apik," kata Ustadz Farid dengan nada lembut tapi tegas.
"Nanging Ustadz, aku wes kepengen banget. Loro taun aku ora tau keluar pesantren."
"Terus saiki kepiye? Kowe wes ning kene, tapi apa kowe seneng? Apa ora kroso bersalah?"
Dinda terdiam. Benar, meski impiannya terwujud, ada perasaan bersalah yang mengganggu kesenangannya.
"Ustadz lagi ngapa ning kene?" tanya Dinda penasaran.
"Kebetulan ada acara pengajian akbar ning Masjid Agung Batu. Aku ditugaskan nyai Hj. Fatimah teka mrene. Ora nyangka ketemu kowe."
Tiba-tiba, pria berjaket hitam yang dari tadi mengikuti Dinda menghampiri meja mereka.
"Permisi, Ustadz. Maaf mengganggu," katanya sopan. "Saya Pak Budi, satpam Jatim Park. Dari tadi saya memperhatikan adik ini karena dia terlihat sendirian dan agak mencurigakan. Takut ada apa-apa."
Ustadz Farid mengangguk. "Terima kasih, Pak. Ini anak didik saya."
Setelah Pak Budi pergi, Ustadz Farid menatap Dinda dengan pandangan serius. "Kowe weruh ora, Dinda? Wong-wong malah curiga karo kelakuanmu. Apa sing bakal kelakon yen kowe bener-bener nemoni bahaya?"
Dinda merasa semakin menyesal. "Aku ora mikir nganti kono, Ustadz."
"Saiki kepiye? Pesantren wes ngono-ngono nggoleki kowe."
Dinda kaget. "Tenan, Ustadz?"
"Tenan. Nyai Hj. Fatimah nelpon aku mau, kandha kowe ilang. Kabeh ustadz lan santri lagi nggoleki kowe."
Air mata Dinda semakin deras. Dia membayangkan kepanikan di pesantren, Nyai yang khawatir, dan teman-temannya yang mungkin juga ikut mencari.
"Ustadz, aku pengen mulih. Aku menyesal."
"Alhamdulillah yen kowe sadar. Tapi sadurunge mulih, kowe kudu ngerti siji bab."
"Apa, Ustadz?"
Ustadz Farid mengeluarkan handphone-nya dan menunjukkan foto. "Iki foto pengajian akbar sing bakal diadakke sesuk ning Masjid Agung Batu. Kowe lihat ora, ana apa ning poster iku?"
Dinda memperhatikan poster di layar handphone. Matanya terbelalak kaget. Di poster itu tertulis: "Pengajian Akbar & Rekreasi Edukatif untuk Santri Se-Jawa Timur - Lokasi: Malang Batu - Tanggal: Besok."
"Maksude?"
"Nyai Hj. Fatimah wes ngrancang program rekreasi edukatif kanggo santri. Rencanane minggu ngarep, kabeh santri bakal diajak rekreasi ning Malang Batu, tapi sambil ngaji lan sinau. Kowe malah nekat kabur sedina sadurunge program iku diumumke."
Dinda merasa seperti disambar petir. Dia kabur untuk mewujudkan impian yang ternyata akan segera terwujud dengan cara yang halal dan aman.
"Berarti..."
"Berarti kesabaran kowe kurang sedina, Dinda. Yen kowe sabar, kowe bisa rekreasi ning kene bareng kanca-kanca, dibimbing ustadz, lan ora nglanggar aturan pesantren."
Dinda menangis semakin keras. Penyesalannya berlipat ganda. Dia sudah mengorbankan kepercayaan, membuat orang khawatir, dan mengambil risiko besar, padahal tinggal menunggu sehari saja.
"Ustadz, aku salah. Aku pengen mulih saiki juga."
"Ora bisa, Dinda. Kereta terakhir wes budhal. Kowe kudu nginep ning kene. Tapi tenang, aku bakal njaga kowe. Kita nginep ning penginapan sing deket karo masjid."
Malam itu, di kamar penginapan sederhana, Dinda tidak bisa tidur. Dia terus memikirkan kesalahannya dan membayangkan bagaimana dia akan menghadapi Nyai dan teman-temannya besok.
Ustadz Farid yang menginap di kamar sebelah mengetuk pintu. "Dinda, kowe durung turu?"
"Durung, Ustadz. Aku ora bisa turu."
"Keluar sebentar. Ana sing pengen tak kandha."
Mereka duduk di teras penginapan yang menghadap ke arah gunung. Udara malam Batu yang sejuk sedikit menenangkan hati Dinda yang kalut.
"Dinda, aku ngerti kowe kroso salah banget. Tapi coba kowe pikir, apa hikmah sing bisa kowe petik saka kejadian iki?"
Dinda terdiam, mencoba mencerna pertanyaan ustadznya.
"Mungkin... Allah pengen ngajari aku tentang kesabaran?"
"Apa maneh?"
"Tentang... kepercayaan. Aku wes ngiyanati kepercayaan nyai lan kanca-kanca."
"Bener. Lan apa maneh?"
Dinda berpikir lebih dalam. "Tentang... risiko. Aku ora mikir risiko sing bisa kelakon nalika aku kabur sendirian."
"Nah, iku pelajaran sing penting banget, Dinda. Impian iku apik, tapi cara nggayuhne kudu bener. Kesabaran lan kepercayaan iku luwih penting tinimbang kesenangan sementara."
Keesokan paginya, mereka kembali ke Kediri dengan kereta pagi. Selama perjalanan, Dinda mempersiapkan mental untuk menghadapi konsekuensi perbuatannya.
Sesampainya di pesantren, Nyai Hj. Fatimah sudah menunggu di ruang tamu dengan wajah yang mencampur kekhawatiran dan kelegaan.
"Dinda, kowe kemana wae, Le?" tanya Nyai dengan suara bergetar.
Dinda langsung sujud di kaki Nyai. "Nyuwun pangapura, Nyai. Kula lepat gedhe. Kula nekat tindak Malang Batu piyambak."
Nyai Hj. Fatimah terdiam lama, lalu mengelus kepala Dinda dengan lembut. "Panggah kowe selamat, Le. Nyai wedi banget."
"Nyai, kula sampun nglanggar kapercayan panjenengan. Kula siap nampa paukuman menapa kemawon."
"Hukuman kowe yaiku... kowe ora oleh melu rekreasi edukatif minggu ngarep."
Dinda mengangguk pasrah, meski hatinya perih. Ini adalah konsekuensi yang harus dia terima.
Tapi sore harinya, Nyai Hj. Fatimah memanggil Dinda lagi.
"Dinda, aku wes mikir maneh. Kowe tetep bisa melu rekreasi edukatif, nanging kowe kudu dadi ketua panitia keamanan. Tugasmu njaga supaya ora ana santri liyane sing nekat koyo kowe."
Dinda menangis terharu. "Matur nuwun, Nyai. Kula janji ora bakal nglanggar malih."
Seminggu kemudian, ketika rombongan santri Al-Barokah berkunjung ke Malang Batu secara resmi, Dinda menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab. Dia memastikan semua santri dalam pengawasannya dan tidak ada yang berkeluyuran sendirian.
Ironisnya, rekreasi yang dia jalani dengan cara yang benar ini jauh lebih menyenangkan daripada ketika dia kabur sendirian. Ada kebersamaan, ada pembelajaran, dan yang terpenting, ada berkah.
"Mbak Dinda," panggil salah satu santri junior, "kepiye rasane nalika kabur wingi? Seru ora?"
Dinda tersenyum bijak. "Ora seru, Dek. Malah serem lan nyesel. Luwih apik ngene iki, bareng-bareng, aman, lan diberkahi."
Di Coban Rondo, ketika semua santri sedang menikmati keindahan air terjun, Dinda berdiri agak terpisah sambil merenung. Ustadz Farid menghampirinya.
"Kepiye, Dinda? Wes ora nyesel kabur wingi?"
"Ustadz, aku malah bersyukur kabur wingi."
"Lho, kepiye maksude?"
"Amarga saka kesalahan iku, aku sinau akeh bab. Sinau babagan kesabaran, kepercayaan, lan tanggung jawab. Lan sing paling penting, aku ngerti yen berkah iku luwih penting tinimbang kesenangan."
Ustadz Farid tersenyum. "Alhamdulillah yen kowe wes ngerti. Iku tandane kowe wes diwasa."
Sore itu, ketika rombongan bersiap pulang, Dinda menatap pemandangan Malang Batu untuk terakhir kalinya. Kali ini, tidak ada perasaan was-was atau bersalah. Yang ada hanya rasa syukur dan ketenangan hati.
"Matur nuwun, Malang Batu," bisiknya. "Kowe wes ngajari aku pelajaran sing ora bakal bisa tak lali."
Epilog:
Tiga tahun kemudian, Dinda menjadi salah satu santri senior yang dipercaya membantu mengorganisir program-program pesantren. Setiap kali ada santri junior yang mengeluh ingin keluar atau merasa terkekang, Dindaa akan bercerita tentang pengalamannya kabur ke Malang Batu.
"Impian iku ora salah," katanya selalu. "Sing salah yaiku cara sing ora bener kanggo nggayuh impian iku. Kesabaran lan kepercayaan iku kunci utama kanggo nggayuh impian kanthi berkah."
Dan setiap tahun, ketika pesantren mengadakan rekreasi edukatif ke Malang Batu, Dinda selalu menjadi koordinator keamanan terdepan. Tidak ada santri yang bisa kabur di bawah pengawasannya, karena dia tahu persis semua celah dan risiko yang mungkin terjadi.
"Pengalaman memang guru terbaik," gumamnya sambil tersenyum, "meski harganya kadang mahal."
Comments