Jejak Tobat di Ujung Senja


Jejak Tobat di Ujung Senja

Matahari senja menyapu wajah Darmo dengan cahaya jingga yang redup. Dia berdiri di persimpangan jalan tanah yang berdebu, memandang papan nama yang lapuk: "Desa Wonorejo - 2 km". Tas kain compang-camping di punggungnya terasa semakin berat seiring perjalanan yang sudah berlangsung tiga bulan.

Tiga bulan mencari pesantren yang mau menerima mantan preman seperti dirinya.

"Astaga, kok angel tenan," gumamnya sambil mengusap keringat di dahi. Bahasa Jawa yang kasar masih sering terucap dari mulutnya, warisan masa kelam yang sulit dihilangkan.

Darmo melangkah pelan menuju desa. Kakinya yang berluka-luka akibat berjalan jauh tanpa alas kaki yang layak mulai terasa perih. Sandal jepit yang dia pakai sudah putus di beberapa bagian, disambung dengan tali rafia seadanya.

Di sepanjang jalan, dia melewati sawah-sawah yang menguning. Petani-petani yang sedang memanen padi menatapnya dengan pandangan waspada. Postur tubuh Darmo yang besar, bekas luka di wajah, dan tato naga di lengan kanannya memang tidak bisa menyembunyikan masa lalunya.

"Permisi, Pak," sapa Darmo kepada seorang petani tua yang sedang mengangkut padi. "Apa di desa ini ada pesantren?"

Petani tua itu menatap Darmo dari atas ke bawah, kemudian menggeleng. "Ora ana, Mas. Wong kene akeh sing islam abangan, ora kepikiran gawe pesantren."

"Kalau sekitar sini, tahu pesantren yang terdekat dimana?"

"Hmm..." Petani tua itu berpikir sejenak. "Setauku ya di Ngawi sana. Tapi adoh, Mas. Bisa sehari jalan kaki."

Darmo mengangguk sambil menahan kecewa. Ngawi. Kota yang sudah pernah dia datangi dua minggu lalu. Pesantren di sana menolaknya mentah-mentah setelah melihat penampilannya.

"Tapi..." petani tua itu melanjutkan, "aku dengar-dengar ada kyai aneh di ujung desa sana. Rumahnya di pinggir hutan jati. Katanya sih menerima siapa saja yang mau belajar agama."

"Kyai aneh?"

"Ya, orangnya eksentrik. Dulu konon dia juga orang berandal, terus tobat jadi kyai. Makanya dia tidak pernah menolak murid, apalagi yang nasibnya seperti dia dulu."

Mata Darmo berbinar. Setelah tiga bulan ditolak oleh puluhan pesantren, akhirnya ada secercah harapan.

"Dimana rumahnya, Pak?"

"Lurus terus sampai ujung desa, belok kiri ikuti jalan setapak sampai ketemu rumah kayu tua di tepi hutan. Tapi hati-hati, Mas. Katanya di sana sering ada kejadian aneh-aneh."

"Kejadian aneh?"

Petani tua itu menurunkan suaranya. "Kata orang-orang, di rumah kyai itu sering terdengar suara-suara aneh di malam hari. Ada yang bilang suara orang ngaji, ada yang bilang suara orang menangis. Pokoknya serem."

Darmo mengangguk. Setelah hidup di jalanan bertahun-tahun, dia sudah tidak takut dengan hal-hal mistis. Yang terpenting adalah ada kyai yang mungkin mau menerimanya.

"Makasih, Pak. Saya kesana sekarang."

"Wah, sekarang? Wis sore, Mas. Mendingan nginep dulu di rumahku, besok pagi baru kesana."

"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah terbiasa jalan malam."

Darmo melanjutkan perjalanan menuju ujung desa. Matahari semakin tenggelam, meninggalkan langit dengan warna ungu kemerahan. Suara jangkrik mulai bersahutan, bercampur dengan suara angin yang bertiup melalui daun-daun jati.

Setelah berjalan sekitar satu jam, dia sampai di ujung desa. Sebuah jalan setapak tanah merah membentang ke arah hutan jati yang gelap. Darmo menyalakan senter kecil yang sudah redup baterainya, lalu melangkah masuk ke jalan setapak.

Hutan jati di malam hari terasa menyeramkan. Pohon-pohon tinggi berdiri tegak seperti penjaga yang mengawasi setiap langkah. Suara-suara binatang malam bergema dari segala arah. Kadang-kadang terdengar suara seperti orang berbisik, tapi mungkin hanya angin yang bertiup di antara daun.

Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, Darmo melihat cahaya remang-remang di kejauhan. Sebuah rumah kayu tua berdiri di sebuah clearing kecil, dikelilingi oleh pohon-pohon jati yang tinggi. Dari jendela rumah, terlihat cahaya lampu minyak yang berkedip-kedip.

"Ini pasti rumahnya," gumam Darmo sambil mempercepat langkah.

Ketika dia mendekat, terdengar suara seseorang sedang membaca Al-Qur'an dengan tartil. Suara yang dalam dan merdu, membuat hati Darmo tiba-tiba terasa tenang. Sudah lama dia tidak mendengar bacaan Al-Qur'an yang sebagus ini.

Darmo berdiri di depan pintu rumah kayu tua itu, ragu-ragu untuk mengetuk. Bagaimana kalau kyai ini juga menolaknya seperti yang lain?

"Silakan masuk, Nak. Pintunya tidak dikunci."

Suara itu datang dari dalam rumah, mengagetkan Darmo. Kok bisa tahu kalau dia ada di depan pintu?

Dengan hati-hati, Darmo membuka pintu. Di dalam rumah yang sederhana itu, seorang pria berusia sekitar lima puluhan sedang duduk bersila di atas tikar pandan. Dia mengenakan sarung batik dan baju koko putih yang sudah lusuh. Wajahnya tenang dan bersahaja, tapi matanya memancarkan kedamaian yang dalam.

"Assalamu'alaikum, Kyai," sapa Darmo sambil membungkuk hormat.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Silakan duduk, Nak Darmo."

Darmo tersentak. "Kyai kok tahu nama saya?"

Kyai tua itu tersenyum. "Aku sudah menunggu kedatanganmu sejak tiga hari yang lalu. Dalam mimpi, aku melihat seorang pemuda tinggi besar dengan tato naga di lengan akan datang kesini mencari bimbingan."

"Kyai bisa melihat masa depan?"

"Tidak, Nak. Aku hanya peka dengan bisikan-bisikan gaib. Lagipula, wajahmu sudah kukenal sejak lama."

"Maksud Kyai?"

Kyai tua itu bangkit dan mengambil sebuah foto lama dari lemari kayu. Di foto itu, terlihat dua orang pemuda yang sedang berkelahi di sebuah pasar. Salah satunya adalah Darmo yang masih muda, dan yang satunya...

"Itu saya," kata kyai tua itu sambil menunjuk foto. "Dua puluh tahun yang lalu, kita pernah berkelahi di Pasar Klewer Solo. Kamu menghajar saya habis-habisan karena aku mengganggu lapak dagang temanmu."

Darmo memandang foto itu dengan mata terbelalak. Ingatan tentang kejadian itu tiba-tiba merasuk ke dalam benaknya. Pemuda yang dia hajar habis-habisan dua puluh tahun lalu ternyata adalah kyai yang sekarang duduk di hadapannya.

"Kyai... saya..."

"Sudahlah, Nak. Itu semua sudah berlalu. Justru dari situlah aku tersadar dan mulai bertobat. Pukulanmu waktu itu membuatku sadar bahwa hidup di jalanan tidak akan membawa kebaikan."

Darmo terduduk lemas. Rasa bersalah yang selama ini dia pendam tiba-tiba meluap. "Saya minta maaf, Kyai. Saya..."

"Tidak perlu minta maaf. Justru aku yang berterima kasih. Tanpa kejadian itu, mungkin aku tidak akan pernah tobat dan menjadi seperti sekarang."

Kyai tua itu kembali duduk di hadapan Darmo. "Sekarang ceritakan padaku, apa yang membuatmu mencari pesantren?"

Darmo menghela napas panjang. Kemudian dia mulai bercerita tentang masa lalunya. Bagaimana dia menjadi preman jalanan sejak remaja, bagaimana dia menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk berkelahi, menodong, dan berbuat kriminal. Bagaimana hidupnya berubah setelah melihat kematian sahabatnya yang ditembak polisi dalam sebuah penggerebekan.

"Waktu itu aku melihat jenazah Budi tergeletak di jalan dengan darah berceceran. Tiba-tiba aku sadar, ini bisa saja terjadi padaku. Aku bisa mati kapan saja dengan cara yang sama. Dan kalau aku mati, apa yang akan aku bawa ke akhirat?"

Kyai tua itu mengangguk-angguk sambil mendengarkan.

"Sejak itu aku bertekad untuk tobat. Tapi masalahnya, tidak ada yang mau menerima mantan preman seperti saya. Sudah puluhan pesantren saya datangi, semua menolak. Kata mereka, saya ini membahayakan santri-santri yang lain."

"Dan sekarang kamu sampai di sini."

"Iya, Kyai. Saya berharap Kyai mau menerima saya. Saya tidak minta apa-apa, hanya ingin belajar agama dan memperbaiki hidup saya."

Kyai tua itu terdiam lama. Matanya memandang Darmo dengan seksama, seolah-olah sedang membaca isi hatinya.

"Baiklah, aku terima kamu menjadi muridku. Tapi dengan syarat."

Darmo tersenyum lega. "Apa saja syaratnya, Kyai. Saya akan melakukan apa pun."

"Pertama, kamu harus tinggal di sini bersamaku. Kedua, kamu harus mengikuti semua aturan yang aku buat. Ketiga, kamu harus berani menghadapi ujian yang akan aku berikan."

"Ujian apa, Kyai?"

"Kamu akan tahu nanti. Yang penting, kamu harus berjanji akan taat dan tidak akan lari meskipun ujiannya berat."

"Saya berjanji, Kyai."

"Bagus. Sekarang kamu istirahat dulu. Besok kita mulai pelajaran."

Kyai tua itu menunjukkan sebuah kamar kecil di belakang rumah. Kamar yang sangat sederhana, hanya ada kasur tipis dan bantal kapuk. Tapi bagi Darmo yang sudah terbiasa tidur di emperan toko atau di bawah jembatan, kamar ini sudah sangat mewah.

Malam itu Darmo tidur dengan nyenyak untuk pertama kalinya dalam berbulan-bulan. Tidak ada rasa cemas atau takut seperti yang biasa dia rasakan. Ada kedamaian yang aneh di rumah kyai tua ini.

Tapi di tengah malam, dia terbangun karena mendengar suara aneh. Suara seperti orang-orang sedang mengaji bersama, tapi samar-samar dan tidak jelas. Darmo bangkit dari tempat tidur dan mengintip melalui celah pintu.

Di ruang utama, kyai tua itu sedang shalat malam sendirian. Tapi anehnya, di sekelilingnya terlihat bayangan-bayangan samar yang ikut shalat bersamanya. Puluhan bayangan, semuanya bergerak serempak mengikuti gerakan kyai.

Darmo mengucek matanya, mengira dia sedang bermimpi. Tapi ketika dia lihat lagi, bayangan-bayangan itu masih ada. Bahkan beberapa di antaranya menoleh ke arahnya dan tersenyum.

"Jangan takut, Nak Darmo," bisik kyai tanpa menghentikan shalatnya. "Mereka adalah teman-temanku. Arwah-arwah orang yang sudah meninggal dan belum tenang."

Darmo merinding. "Kyai sedang apa?"

"Aku sedang mendoakan mereka. Setiap malam aku shalat hajat untuk arwah-arwah yang gentayangan di hutan ini. Mereka datang kesini mencari ketenangan."

Setelah selesai shalat, kyai tua itu duduk di tengah bayangan-bayangan itu dan mulai membaca tahlil. Suara tahlilnya yang merdu membuat bayangan-bayangan itu tampak semakin tenang. Beberapa di antaranya mulai bersinar terang, kemudian perlahan menghilang ke udara.

"Mereka sudah mendapat ketenangan," kyai tua itu berkata kepada Darmo. "Dan akan pergi ke tempat yang seharusnya."

"Kyai tidak takut dengan arwah-arwah?"

"Kenapa harus takut? Mereka juga makhluk Allah seperti kita. Hanya saja mereka sudah berada di alam yang berbeda. Yang perlu kita lakukan adalah membantu mereka dengan doa, seperti halnya kita membantu sesama yang masih hidup."

Darmo kagum dengan kebijaksanaan kyai tua ini. Orang yang dulu dia hajar habis-habisan kini menjadi sosok yang sangat mulia dan bijaksana.

"Kyai, kenapa Kyai mau menerima saya? Padahal saya pernah menyakiti Kyai."

"Karena aku melihat ketulusan dalam hatimu, Nak. Lagipula, Allah maha pengampun. Kalau Allah bisa mengampuni dosa-dosa kita, kenapa kita tidak bisa mengampuni sesama?"

Pagi harinya, Darmo mulai menjalani kehidupan barunya sebagai murid kyai tua. Rutinitas dimulai dengan shalat Subuh berjamaah, dilanjutkan dengan membaca Al-Qur'an, belajar fiqih, dan membantu kyai dalam kegiatan sehari-hari.

Yang mengejutkan Darmo, ternyata kyai tua ini memiliki banyak murid lain. Tapi mereka bukan manusia biasa. Setiap sore, datang puluhan anak-anak dari desa yang sudah meninggal dunia. Mereka duduk rapi di depan kyai, mendengarkan pelajaran agama dengan khusyuk.

"Mereka adalah anak-anak yang meninggal sebelum baligh," jelaskan kyai kepada Darmo. "Mereka masih membutuhkan bimbingan untuk bisa masuk surga dengan sempurna."

Darmo awalnya merasa takut dan aneh. Tapi lama-kelamaan dia terbiasa. Bahkan dia mulai ikut mengajar anak-anak arwah itu cara membaca Al-Qur'an dan berhitung.

"Aneh ya, Kyai," kata Darmo suatu hari. "Dulu saya sering melukai orang, sekarang saya justru mengajar arwah anak-anak."

"Itulah kuasa Allah, Nak. Dia bisa mengubah orang yang paling jahat menjadi yang paling baik. Yang penting adalah ketulusan dalam bertobat."

Bulan-bulan berlalu. Darmo semakin mahir dalam ilmu agama. Dia sudah hafal beberapa surat dalam Al-Qur'an, menguasai dasar-dasar fiqih, dan yang terpenting, hatinya semakin tenang dan damai.

Tapi suatu malam, kyai tua itu memanggil Darmo dengan wajah serius.

"Nak Darmo, saatnya kamu menghadapi ujian terakhir."

"Ujian apa, Kyai?"

"Kamu harus kembali ke tempat asalmu. Kembali ke Solo, temui teman-teman lamamu, dan ajak mereka untuk bertobat seperti kamu."

Darmo terdiam. Kembali ke Solo berarti menghadapi masa lalu yang sudah dia tinggalkan. Bertemu dengan teman-teman preman yang mungkin masih menganggapnya sebagai penghianat.

"Tapi Kyai, bagaimana kalau mereka tidak mau mendengarkan saya? Bagaimana kalau mereka malah menyakiti saya?"

"Itulah ujiannya, Nak. Seorang yang sudah tobat harus berani kembali ke lingkungan lamanya, bukan untuk berbuat jahat lagi, tapi untuk mengajak orang lain berbuat baik."

"Tapi saya takut, Kyai. Saya takut tidak kuat menghadapi godaan di sana."

Kyai tua itu tersenyum. "Kalau kamu takut, berarti kamu belum benar-benar tobat. Tobat yang sejati adalah ketika kamu sudah tidak takut lagi dengan godaan dunia."

Darmo menunduk. Memang benar, selama ini dia merasa nyaman tinggal di rumah kyai yang tenang dan damai. Tapi apakah dia sudah cukup kuat untuk menghadapi dunia luar?

"Baiklah, Kyai. Saya akan pergi."

"Bagus. Tapi ingat, kamu tidak pergi sendirian. Doa-doa kami akan selalu menyertaimu."

Keesokan harinya, Darmo bersiap untuk berangkat ke Solo. Kyai tua itu memberikan padanya sebuah Al-Qur'an kecil dan sehelai kertas berisi doa-doa pelindung.

"Ini untuk bekal perjalananmu. Dan ingat, kalau kamu sudah berhasil mengajak minimal satu orang untuk bertobat, kembalilah kesini. Aku masih banyak yang ingin ajarkan padamu."

Darmo berpamitan dengan kyai dan juga dengan arwah-arwah yang sudah menjadi teman sehari-harinya. Beberapa anak arwah bahkan menangis karena tidak rela dia pergi.

"Jangan sedih," kata Darmo sambil mengusap kepala salah satu anak arwah. "Aku akan kembali lagi."

Perjalanan dari hutan jati menuju Solo ditempuh dengan naik bus antar kota. Darmo duduk di kursi paling belakang, memegang erat Al-Qur'an pemberian kyai. Dalam hatinya, dia terus berdoa agar diberi kekuatan untuk menghadapi ujian ini.

Setibanya di Solo, Darmo langsung menuju kawasan Pasar Klewer. Tempat dimana dia dulu sering berkumpul dengan geng premannya. Tidak banyak yang berubah. Pedagang masih berjualan dengan riuh, becak masih berlalu-lalang, dan di sudut-sudut tertentu masih terlihat kelompok-kelompok preman yang sedang nongkrong.

"Darmo! Astaga, kowe isih urip ta?"

Suara itu membuat Darmo menoleh. Seorang pria berusia tiga puluhan menghampirinya dengan wajah terkejut. Itu adalah Bambang, mantan rekan seperjuangannya di dunia hitam.

"Bambang... iya, aku masih hidup."

"Lha kowe ilang kemana ae? Wis pirang-pirang bulan ora katon."

"Aku... aku tobat, Bang. Aku belajar agama."

Bambang tertawa terbahak-bahak. "Tobat? Kowe? Hahaha! Kowe lali ya, kowe ki setan mbarang."

"Aku serius, Bang. Aku sudah tidak mau hidup seperti dulu lagi."

"Lha terus kowe arep piye? Urip saka apa?"

"Aku mau ajak kamu dan teman-teman yang lain untuk tobat juga. Kita bisa belajar agama, bisa hidup lebih baik."

Wajah Bambang berubah serius. "Darmo, kowe ki edan ya? Kowe ngerti ora, geng kita saiki wis dadi sing paling disegani neng kene? Omset kita saben dino jutaan. Kowe malah ngajak tobat?"

"Omset jutaan tapi untuk apa, Bang? Untuk beli narkoba? Untuk foya-foya? Ujung-ujungnya kita tetap miskin dan sengsara."

"Wis, wis. Kowe ki wis edan. Mending kowe lunga saka kene, atau tak gebug kowe."

Darmo tidak mundur. Dia mengeluarkan Al-Qur'an kecil dari sakunya dan mulai membaca surat Al-Fatihah dengan suara keras. Beberapa orang di sekitar pasar menoleh, ada yang terenyuh mendengar bacaan Al-Qur'an yang merdu.

"Hei, apa yang kamu lakukan?" Bambang marah.

"Aku mendoakan kamu, Bang. Mendoakan kita semua."

Tiba-tiba, datang lima orang anggota geng lama Darmo. Mereka mengerumuni Darmo dengan wajah mengancam.

"Lho, iki kan Darmo si penghianat," kata salah satu dari mereka. "Kowe wani balik mrene?"

"Aku bukan penghianat. Aku hanya mencari jalan hidup yang lebih baik."

"Jalan hidup yang lebih baik? Dengan jadi kyai gadungan?"

Mereka mulai mendorong-dorong Darmo. Situasi semakin panas. Pedagang-pedagang di sekitar mulai ketakutan dan menjauh.

"Kalian mau menghajar aku? Silakan," kata Darmo dengan tenang. "Tapi setelah itu, dengarkan apa yang ingin aku sampaikan."

"Wani tenan kowe," Bambang mengacungkan tinjunya.

Tapi sebelum dia sempat memukul, tiba-tiba ada suara dentuman keras dari arah timur pasar. Suara ledakan yang membuat semua orang panik dan berlarian.

"Ada apa itu?" teriak salah satu preman.

"Kayaknya ada bom!" sahut yang lain.

Dalam kepanikan itu, Darmo melihat seorang anak kecil yang terjatuh dan terinjak-injak orang. Tanpa berpikir panjang, dia berlari menuju anak itu dan menggendongnya ke tempat yang aman.

"Mama... mama..." anak itu menangis ketakutan.

"Tenang, Dik. Kakak akan carikan mamamu," kata Darmo sambil mengelus kepala anak itu.

Darmo berlari ke segala arah mencari orangtua anak itu. Di tengah kepanikan dan kerumunan orang, dia akhirnya menemukan seorang ibu yang sedang menangis histeris.

"Bu, ini anaknya?"

"Anakku! Anakku!" ibu itu memeluk anaknya dengan erat. "Terima kasih, Mas. Terima kasih sudah menyelamatkan anakku."

"Tidak apa-apa, Bu. Yang penting anaknya selamat."

Ketika situasi mulai tenang, ternyata yang terjadi bukan ledakan bom, tapi ledakan tabung gas di salah satu warung makan. Tidak ada korban jiwa, hanya beberapa orang yang luka-luka ringan.

Bambang dan geng premannya mendekati Darmo lagi. Tapi kali ini wajah mereka tidak lagi marah.

"Darmo," kata Bambang pelan, "kowe... kowe pancen wis beda."

"Beda gimana, Bang?"

"Biyen kowe ki mung mikir awakmu dhewe. Saiki kowe malah nolongin wong liya."

"Itulah yang diajarkan agama, Bang. Kita harus peduli sama sesama."

Bambang terdiam lama. Teman-temannya yang lain juga tampak berpikir.

"Darmo, ceritain dong gimana kowe bisa berubah kayak gini."

Darmo kemudian menceritakan perjalanannya mencari pesantren, pertemuannya dengan kyai tua, dan bagaimana dia belajar agama selama berbulan-bulan. Dia juga cerita tentang arwah-arwah yang datang belajar agama setiap sore.

"Arwah? Kowe ora takut?"

"Dulu takut, sekarang tidak. Mereka juga makhluk Allah, hanya saja sudah di alam yang berbeda."

"Terus kyai kowe ngajarin apa ae?"

"Banyak. Tapi yang paling penting, dia ngajarin aku untuk memaafkan dan mengasihi sesama. Dia bilang, kalau kita mau diampuni Allah, kita juga harus bisa mengampuni orang lain."

Satu per satu, anggota geng lama Darmo mulai tertarik. Mereka bertanya ini-itu tentang agama, tentang cara tobat, tentang bagaimana memulai hidup baru.

"Darmo, aku pengen ikut kamu," kata Bambang tiba-tiba. "Aku udah bosen hidup kayak gini. Tiap hari cuma mikirin gimana caranya dapetin duit, tapi hati ga pernah tenang."

"Beneran, Bang?"

"Iya. Tadi waktu kowe nolongin anak kecil itu, aku ngerasa malu sama diri sendiri. Kapan ya aku bisa berbuat baik kayak kowe?"

"Sekarang juga bisa, Bang. Tobat itu tidak pernah terlambat."

Akhirnya, lima orang mantan anggota geng preman itu memutuskan untuk ikut Darmo kembali ke rumah kyai tua. Mereka berjanji akan belajar agama dan memperbaiki hidup mereka.

Perjalanan kembali ke hutan jati terasa berbeda. Darmo tidak sendirian lagi. Dia ditemani oleh lima teman yang sama-sama ingin bertobat. Mereka naik bus yang sama, duduk berdekatan, dan sepanjang perjalanan membicarakan rencana hidup baru mereka.

"Darmo, kyai kowe bakal mau nerima kita ga ya?" tanya Bambang cemas.

"Pasti mau, Bang. Kyai bilang, siapa saja yang tulus ingin belajar agama, pasti akan diterima."

"Tapi kita kan bekas preman semua. Pasti nyusahin."

"Justru itu keahlian kyai. Dia spesialis ngubah orang-orang kayak kita."

Sesampainya di rumah kyai tua, mereka disambut dengan hangat. Kyai tidak menunjukkan rasa terkejut atau penolakan ketika melihat lima orang asing yang ikut bersama Darmo.

"Assalamu'alaikum, Kyai," sapa Darmo. "Saya membawa teman-teman yang ingin belajar agama."

"Wa'alaikumussalam. Alhamdulillah, kamu berhasil menjalankan ujianmu dengan baik."

"Kyai, kami..." Bambang mulai berbicara dengan gugup.

"Tidak perlu banyak bicara, Nak. Kalian kesini dengan hati yang tulus, itu sudah cukup. Sekarang kalian istirahat dulu, besok kita mulai belajar."

Malam itu, enam orang mantan preman itu tidur berjejer di ruang utama rumah kyai. Mereka berbicara sampai larut malam, membicarakan masa lalu yang kelam dan masa depan yang penuh harapan.

"Darmo, aku ga nyangka hidup bisa berubah kayak gini," bisik Bambang.

"Aku juga ga nyangka, Bang. Tapi alhamdulillah."

"Besok kita mulai belajar agama ya. Aku pengen bisa baca Al-Qur'an kayak kamu."

"Pasti bisa, Bang. Yang penting niatnya tulus."

Keesokan harinya, kehidupan baru dimulai. Enam orang mantan preman itu mulai belajar baca-tulis Al-Qur'an dari nol. Mereka bangun Subuh, shalat berjamaah, mengaji, dan membantu kyai dalam kegiatan sehari-hari.

Yang paling menarik, ketika sore hari tiba dan anak-anak arwah datang untuk belajar, mereka tidak takut

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi