Jejak yang Hilang di Lawu
Jejak yang Hilang di Lawu
Sebuah cerpen karya inspirasi
Ustadz Mahmud mengusap jenggotnya yang sudah beruban sambil menatap keluar jendela. Hujan masih membasahi halaman pesantren Al-Hikmah sejak tadi malam, tapi yang membuatnya gelisah bukan cuaca—melainkan lima santri seniornya yang belum kembali dari pendakian Gunung Lawu.
"Harusnya kemarin sore mereka sudah balik," gumamnya sambil melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah enam pagi.
Ketukan di pintu membuatnya menoleh. "Masuk."
"Assalamu'alaikum, Ustadz," sapa Ustadz Hasan, guru muda yang bertanggung jawab atas kegiatan outdoor santri. Wajahnya terlihat pucat dan lelah, seperti tidak tidur semalaman.
"Wa'alaikumussalam. Sudah ada kabar dari Ahmad dan yang lainnya?"
Ustadz Hasan menggeleng lemah. "Belum, Ustadz. Saya sudah coba telepon berkali-kali, tapi tidak ada sinyal. Kemarin sore mereka terakhir SMS kalau sudah sampai pos dua."
Ustadz Mahmud bangkit dari kursinya dan berjalan menuju lemari. Ia mengambil jaket tebal berwarna hijau army yang sudah lama tidak dipakainya. "Siapkan lima santri yang kuat. Kita naik sekarang juga."
"Tapi Ustadz, cuacanya masih—"
"Hasan," potong Ustadz Mahmud dengan nada tegas namun lembut. "Mereka itu amanah. Kalau sampai terjadi apa-apa, bagaimana saya bisa mempertanggungjawabkan kepada orang tua mereka?"
Setengah jam kemudian, rombongan pencari yang terdiri dari Ustadz Mahmud, Ustadz Hasan, dan lima santri senior sudah berkumpul di halaman pesantren. Mereka adalah Faiz, ketua OSIS yang terkenal pemberani; Dani, anak Betawi yang jago panjat tebing; Arif dari Ponorogo yang hafal seluk-beluk gunung; serta dua santri asal Magelang, Budi dan Wahyu, yang sering ikut kegiatan pramuka.
"Bismillahirrahmanirrahim," Ustadz Mahmud memulai doa perjalanan. "Allahumma anta ash-shahibu fi as-safari..."
Suara mereka bersahut-sahutan melantunkan doa, sementara gerimis masih membasahi wajah-wajah yang dipenuhi kekhawatiran.
Perjalanan menuju basecamp Cemoro Sewu memakan waktu hampir dua jam karena jalanan yang licin. Sesampainya di sana, mereka langsung bertanya kepada Pak Tarno, penjaga pos yang sudah akrab dengan para santri pesantren.
"Oh, lima santri itu ya, Pak Ustadz?" Pak Tarno menggaruk kepalanya yang sudah botak. "Kemarin pagi sekitar jam tujuh mereka berangkat. Ahmad bilang mau sampai pos tiga aja, tidak ke puncak."
"Pos tiga?" Ustadz Hasan mengerutkan dahi. "Bukannya mereka bilang cuma sampai pos dua?"
"Lho, Ahmad kemarin bilang pos tiga kok. Malah dia tanya-tanya soal jalur alternatif ke arah timur."
Ustadz Mahmud dan Ustadz Hasan saling berpandangan. Ada yang aneh. Ahmad bukan tipe anak yang akan mengubah rencana tanpa memberitahu, apalagi mengambil jalur yang tidak biasa.
"Pak Tarno, ada pendaki lain yang naik kemarin tidak?" tanya Faiz.
"Ada sih, mas. Tapi aneh juga, orangnya tidak ngomong sama sekali. Pake sorban putih, mukanya... gimana ya, kayak orang yang lagi sakit keras. Pucat banget."
Bulu kuduk Ustadz Mahmud berdiri mendengar deskripsi itu. Ia pernah mendengar cerita serupa dari santri-santri yang pernah mendaki Gunung Lawu. Sosok bersorban putih yang sering menampakkan diri, tapi tidak semua orang bisa melihatnya.
"Yuk, kita berangkat sekarang," ajaknya sambil memakai tas carrier berwarna biru tua.
Pendakian dimulai dengan suasana yang berbeda dari biasanya. Biasanya, ketika naik gunung bersama santri, suasana selalu ramai dengan canda tawa dan dzikir bersahut-sahutan. Kali ini, semua orang terdiam, fokus pada setiap jejak kaki yang mungkin ditinggalkan lima santri yang hilang itu.
"Ustadz, ini jejak sepatu Ahmad," panggil Arif dari depan. Ia menunjuk bekas tapak sepatu dengan motif zigzag yang khas. "Masih segar, berarti kemarin."
Mereka mengikuti jejak itu sambil terus berdzikir. Cuaca mulai membaik, meski awan masih menggantung rendah di antara puncak-puncak cemara. Sesekali terdengar suara burung hantu yang aneh, padahal masih siang hari.
Di pos satu, mereka menemukan bungkus nasi gudeg yang sudah kosong. Jelas itu bekas makan Ahmad dan kawan-kawan. Tapi yang aneh, ada juga bekas api unggun yang masih hangat, padahal menurut Pak Tarno tidak ada pendaki lain yang bermalam di situ.
"Siapa yang buat api unggun ini ya?" bisik Dani sambil meraba abu yang masih mengeluarkan asap tipis.
"Entahlah," sahut Ustadz Hasan. "Yang penting, kita tetap ikuti jejak mereka."
Dari pos satu ke pos dua, jejak kaki mulai tidak jelas karena tanah yang berbatu. Tapi Arif, yang memang jago tracking, masih bisa menemukan petunjuk-petunjuk kecil: ranting yang patah, daun yang terinjak, bahkan serat kain dari seragam pesantren yang tersangkut di semak.
"Mereka lewat sini sekitar jam dua belas kemarin," analisa Arif sambil memeriksa daun yang masih layu. "Terus naik ke arah... pos tiga."
Di pos dua, mereka menemukan lebih banyak barang bekas. Botol air mineral, plastik bekas snack, bahkan topi Ahmad yang tersangkut di dahan pohon cemara. Tapi yang membuat mereka bingung, semua barang itu tersebar, seolah-olah pemiliknya terburu-buru atau dalam keadaan panik.
"La hawla wa la quwwata illa billah," gumam Ustadz Mahmud sambil mengambil topi Ahmad. "Sepertinya mereka mengalami sesuatu di sini."
"Ustadz, lihat ini," panggil Budi dari arah shelter kayu. "Ada tulisan di dinding."
Mereka mendekat dan membaca tulisan yang dicoret-coret dengan arang: "JANGAN NAIK KE ATAS. ADA YANG ANEH. AHMAD."
Tulisan itu terlihat tergesa-gesa, dengan huruf yang tidak rata. Di bawahnya ada tambahan dengan tulisan yang berbeda: "KAMI BAIK-BAIK SAJA. RIDHO."
"Kenapa mereka nulis begini?" bisik Wahyu dengan suara gemetar.
Ustadz Mahmud menatap tulisan itu dengan dahi berkerut. Dua tulisan dengan pesan yang bertentangan. Yang satu memperingatkan bahaya, yang satu menenangkan. Seolah-olah ditulis dalam situasi yang berbeda, atau oleh orang yang berbeda keadaan mentalnya.
"Kita lanjut," putusnya akhirnya. "Tapi hati-hati. Sepertinya mereka mengalami sesuatu yang tidak biasa."
Perjalanan dari pos dua ke pos tiga semakin menegangkan. Jalur mulai curam dan berbahaya, dengan tebing-tebing tajam di kiri kanan. Yang lebih aneh lagi, cuaca tiba-tiba berubah. Tadi cerah, sekarang kabut tebal mulai turun, membuat jarak pandang mereka sangat terbatas.
"Ustadz, kok rasanya dingin banget ya?" bisik Faiz sambil menggosok-gosok tangannya.
"Wajar, kita kan sudah tinggi," sahut Ustadz Hasan, tapi ia sendiri merasakan keanehan. Dingin yang mereka rasakan bukan dingin biasa karena ketinggian, tapi dingin yang menembus sampai tulang, seperti ada yang menghisap kehangatan tubuh mereka.
Tiba-tiba, dari arah depan, terdengar suara teriakan yang sangat familiar.
"TOLONG! ADA ORANG TIDAK?"
"Itu suara Ahmad!" seru Faiz sambil berlari ke arah suara.
"Tunggu!" teriak Ustadz Mahmud. "Jangan pisah dari kelompok!"
Tapi Faiz sudah terlanjur lari. Mereka terpaksa mengikutinya sambil berteriak-teriak memanggil nama Ahmad. Suara teriakan itu terdengar lagi, kali ini dari arah yang berbeda.
"USTADZ! KAMI DI SINI!"
"Di mana 'di sini'nya?" teriak Ustadz Hasan sambil menoleh ke segala arah. Kabut semakin tebal, sampai mereka hampir tidak bisa melihat satu sama lain meski jaraknya hanya beberapa meter.
"Ustadz," bisik Arif dengan suara gemetar. "Suara tadi kok kayak... kayak dari atas ya? Dari arah langit?"
Semua orang langsung mendongak, tapi yang terlihat hanya kabut putih yang semakin tebal. Suara teriakan itu terdengar lagi, dan kali ini mereka yakin—suara itu memang datang dari atas, bukan dari arah manapun di permukaan tanah.
"A'udzu billahi min al-syaithan al-rajim," Ustadz Mahmud langsung membaca ta'awudz dengan suara keras. "Berkumpul! Semua berkumpul dan pegang tangan!"
Mereka langsung membentuk lingkaran, saling bergandengan tangan sambil membaca dzikir. Anehnya, setelah mereka baca dzikir bersama-sama, kabut perlahan menyingkap dan suara-suara aneh itu berhenti.
"Subhanallah," bisik Dani. "Tadi kenapa ya?"
"Itu bukan suara mereka," kata Ustadz Mahmud dengan yakin. "Itu sesuatu yang lain. Sesuatu yang mencoba mengecoh kita."
Mereka melanjutkan pendakian dengan lebih hati-hati. Kali ini tidak ada yang boleh terpisah lebih dari dua meter. Ustadz Mahmud memimpin di depan sambil terus berdzikir, diikuti yang lain dengan suara pelan.
Di pos tiga, mereka akhirnya menemukan jejak yang lebih jelas. Ada bekas perkemahan yang baru, dengan abu api unggun yang masih hangat. Tas Ahmad tergeletak di dekat batu besar, isinya berserakan seperti habis dibongkar-bongkar.
"Ahmad! Ridho! Bayu!" teriak Ustadz Hasan sekuat tenaga.
Tidak ada jawaban. Hanya gema suara mereka sendiri yang bergema di antara tebing-tebing batu.
"Ustadz, lihat ini," panggil Wahyu sambil menunjuk ke arah semak-semak. "Ada jalur baru, kayaknya menuju ke arah gua."
Memang ada jalur setapak yang tidak terlihat di peta, menuju ke arah yang lebih dalam ke hutan. Jalur itu terlihat baru dilewati, dengan rumput-rumput yang masih rebah dan ranting-ranting yang baru patah.
"Mereka masuk ke sana," gumam Arif sambil memeriksa jejak kaki di tanah lembab. "Lima orang, kemarin sore."
Jalur menuju gua itu semakin sempit dan gelap. Pohon-pohon cemara tumbuh sangat rapat, sampai sinar matahari hampir tidak bisa menembus. Udara terasa pengap dan lembab, dengan bau tanah yang sangat menyengat.
"Ustadz, aku takut," bisik Budi. "Suasananya kayak kuburan."
"Tenang," kata Ustadz Mahmud sambil menyalakan senter. "Kita terus dzikir saja."
Setelah berjalan sekitar dua puluh menit, mereka sampai di mulut gua yang cukup besar. Gua itu gelap gulita, dengan stalaktit yang menggantung seperti gigi raksasa. Di dekat mulut gua, mereka menemukan sandal jepit milik Bayu dan botol minum milik Fahmi.
"Ahmad! Kalau kalian di dalam, jawab!" teriak Ustadz Hasan ke arah gua.
Yang menjawab bukan suara Ahmad, tapi gema yang aneh. Seperti ada puluhan suara yang menjawab bersamaan, tapi tidak jelas kata-katanya.
"Bismillahirrahmanirrahim," Ustadz Mahmud memberanikan diri melangkah masuk ke gua, diikuti yang lain dengan hati-hati.
Senter mereka menerangi dinding-dinding gua yang basah dan berlumut. Sesekali terdengar suara tetesan air dan suara kelelawar yang terganggu. Tapi yang membuat mereka bergidik, di dinding gua ada coretan-coretan aneh dengan bahasa yang tidak mereka mengerti.
"Itu bahasa apa ya?" bisik Faiz sambil menyinari tulisan di dinding.
"Kayak aksara Jawa kuno," sahut Arif. "Tapi aneh, seperti dicampur dengan bahasa Arab."
Semakin masuk ke dalam gua, semakin aneh suasananya. Udara semakin dingin, tapi bukan dingin biasa. Dingin yang membuat napas mereka terlihat seperti asap, padahal di luar tidak sedingin itu.
"Ustadz," bisik Dani sambil menunjuk ke depan. "Ada cahaya."
Memang ada cahaya redup di kedalaman gua, seperti cahaya lilin atau obor. Mereka mempercepat langkah, berharap menemukan lima santri yang dicari.
Tapi pemandangan yang mereka temui di ruang dalam gua itu membuat mereka terdiam dalam keterkejutan.
Lima santri itu duduk melingkar di tengah ruangan, dalam posisi bersila, mata tertutup, seolah sedang bermeditasi. Di tengah lingkaran mereka, ada api kecil yang menyala tanpa kayu bakar, hanya berupa nyala biru yang menari-nari.
"Ahmad!" teriak Ustadz Mahmud sambil berlari mendekat.
Tapi Ahmad tidak menjawab. Ia terus duduk dengan mata tertutup, bibir bergerak-gerak seperti sedang mengucapkan sesuatu, tapi tidak ada suara yang keluar. Begitu juga dengan keempat temannya.
"Ahmad, bangun!" Ustadz Hasan mengguncang bahu Ahmad, tapi tubuh santri itu kaku seperti patung.
"Mereka napasnya masih ada," lapor Faiz setelah memeriksa. "Tapi seperti tidak sadar."
Ustadz Mahmud melirik api biru di tengah lingkaran. Ada yang tidak beres. Api itu tidak natural, dan ruang gua ini... terlalu rapi untuk gua alami. Seperti ada yang mengatur, seperti ada yang menjadikannya tempat ritual.
"Kita pindahkan mereka keluar dulu," putusnya. "Jangan sampai berlama-lama di sini."
Tapi ketika mereka mencoba mengangkat Ahmad, tiba-tiba terdengar suara yang sangat keras dari dalam gua, seperti suara angin topan yang bergemuruh. Api biru di tengah ruangan membesar, dan suhu udara tiba-tiba turun drastis.
"SIAPA YANG BERANI MENGGANGGU?"
Suara itu begitu menggelegar sampai dinding gua berguncang. Batu-batu kecil mulai berjatuhan dari langit-langit gua.
"Kami santri, kami orang baik!" teriak Ustadz Mahmud sambil terus mencoba membangunkan Ahmad. "Kami hanya mau membawa anak-anak ini pulang!"
"MEREKA SUDAH DIPILIH! MEREKA SUDAH MENJADI BAGIAN DARI KAMI!"
Api biru semakin membesar, dan kelima santri itu mulai bergumam dengan suara yang tidak natural, seperti suara orang kerasukan.
Ustadz Mahmud langsung membaca ayat Kursi dengan suara keras, diikuti Ustadz Hasan dan para santri yang lain. Anehnya, setiap kali mereka membaca ayat-ayat Al-Qur'an, api biru itu mengecil, dan guncangan di gua mereda.
"Terus baca!" teriak Ustadz Mahmud. "Jangan berhenti!"
Mereka bergantian membaca surat-surat pendek sambil mencoba memindahkan kelima santri yang masih tidak sadar itu. Perlahan, tubuh Ahmad dan kawan-kawan mulai melunak, meski mata mereka masih tertutup.
Ketika mereka berhasil membawa kelima santri itu keluar dari ruang dalam, api biru tiba-tiba padam total. Gua menjadi gelap gulita, dan suara menggelegar itu berubah menjadi bisikan-bisikan halus yang terdengar marah.
"Cepat keluar!" seru Ustadz Hasan sambil menggendong Ridho di punggungnya.
Mereka berlari keluar gua sambil terus membaca dzikir. Di belakang mereka, terdengar suara gemuruh yang semakin keras, seolah-olah ada sesuatu yang mengejar.
Baru setelah mereka keluar dari mulut gua dan sampai di area terbuka, kelima santri itu perlahan membuka mata.
"Ustadz?" Ahmad mengucek matanya, bingung. "Kenapa saya di sini?"
"Alhamdulillah," Ustadz Mahmud memeluk santri seniornya itu dengan lega. "Kalian tidak apa-apa?"
"Kami... kami tadi seperti bermimpi," kata Ridho dengan suara lemah. "Mimpi bertemu dengan orang tua bersorban putih yang mengajak kami masuk ke gua. Katanya di dalam ada makam wali yang harus dijaga."
"Terus kami ikut masuk," sambung Bayu. "Tapi setelah itu... saya tidak ingat apa-apa lagi."
Ustadz Mahmud dan yang lain saling berpandangan. Jelas kelima santri itu mengalami sesuatu yang tidak natural di dalam gua. Sesuatu yang membuat mereka kehilangan kesadaran dan hampir... hampir menjadi bagian dari "sesuatu" yang ada di dalam sana.
"Yang penting kalian selamat sekarang," kata Ustadz Hasan sambil memeriksa kondisi mereka satu per satu. "Kita langsung turun."
Perjalanan turun gunung terasa seperti mimpi buruk yang berakhir. Kelima santri yang ditemukan masih terlihat lemah dan bingung, sesekali mereka menanyakan hal-hal aneh seperti "Kenapa saya tidak ingat hari kemarin?" atau "Kok rasanya baru kemarin saya naik ke sini?"
Baru setelah sampai di basecamp dan makan makanan hangat, mereka perlahan mulai mengingat kejadian sebelum masuk gua. Ahmad bercerita bahwa mereka memang bertemu sosok bersorban putih yang mengaku sebagai penjaga makam keramat di dalam gua.
"Orangnya baik sekali, Ustadz," kata Ahmad. "Wajahnya bersinar, seperti wali-wali yang sering kami dengar ceritanya. Dia bilang kami dipilih untuk menjaga makam itu, untuk berdzikir di sana setiap hari."
"Dan kami percaya begitu saja," tambah Fahmi dengan nada menyesal. "Tidak kepikiran untuk bertanya-tanya atau istikharah dulu."
Ustadz Mahmud mengangguk bijak. "Nak, tidak semua yang mengaku wali itu benar-benar wali. Ada makhluk-makhluk yang suka menyamar, suka mengecoh manusia dengan penampilan yang menipu. Makanya Allah perintahkan kita untuk selalu ber-tabayyun, selalu mengecek kebenaran sesuatu."
"Lalu yang di gua itu apa, Ustadz?" tanya Ridho penasaran.
"Wallahu a'lam. Yang pasti, itu bukan makhluk baik. Makhluk baik tidak akan memaksa, tidak akan menahan orang tanpa izin keluarga." Ustadz Mahmud menatap kelima santrinya dengan penuh kasih sayang. "Yang penting, kalian sudah belajar. Lain kali, kalau ada yang aneh-aneh, langsung baca Al-Qur'an dan dzikir. Jangan mudah percaya, meski yang mengajak terlihat seperti orang suci."
Malam itu, setelah sampai di pesantren, mereka mengadakan syukuran sederhana. Seluruh santri berkumpul untuk membaca tahlil dan mendoakan keselamatan. Ustadz Mahmud juga mengundang ustadz dari pesantren lain untuk memberikan tausiyah tentang hal-hal ghaib dan cara menghadapinya menurut Islam.
"Ingat, anak-anak," kata Ustadz Mahmud di akhir acara. "Alam ini memang luas. Ada yang kasat mata, ada yang ghaib. Tapi selama kita berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Sunnah, insya Allah kita akan selalu dilindungi Allah. Dan yang paling penting, jangan mudah tertipu oleh penampilan. Iblis pun bisa menyamar menjadi malaikat."
Ahmad mengangkat tangan. "Ustadz, berarti gua itu harus ditutup ya? Biar tidak ada yang tertipu lagi?"
"Tidak perlu, nak. Gua itu ciptaan Allah juga. Yang salah bukan guanya, tapi makhluk yang bersarang di dalamnya." Ustadz Mahmud tersenyum. "Tapi memang sebaiknya tempat-tempat seperti itu tidak didatangi sembarangan. Apalagi tanpa persiapan ilmu dan mental yang cukup."
Sejak kejadian itu, pesantren Al-Hikmah membuat aturan baru: setiap kegiatan outdoor harus didampingi ustadz, dan tidak boleh mengubah rencana tanpa izin. Para santri juga diwajibkan menghafal doa-doa perlindungan dan ayat-ayat ruqyah sebelum boleh ikut kegiatan di luar pesantren.
Ahmad dan keempat temannya menjadi lebih rajin mengaji dan berdzikir. Mereka juga sering bercerita kepada adik-adik kelasnya tentang pengalaman mereka, sebagai peringatan agar tidak mudah tertipu oleh penampilan luar.
"Yang paling penting," kata Ahmad suatu malam ketika sedang mengajar adik kelasnya. "Kalau ada sesuatu yang aneh, langsung ingat Allah. Baca Al-Qur'an, dzikir, dan jangan pernah merasa sendiri. Allah selalu bersama kita."
Dan setiap kali ada santri yang mau mendaki gunung, mereka selalu dibekali dengan nasihat: hati-hati dengan yang tidak kasat mata, tapi jangan takut berlebihan. Karena pada akhirnya, Allah-lah yang mengatur segalanya. Dan bagi orang yang beriman, tidak ada yang perlu ditakuti selain Allah.
Gunung Lawu tetap berdiri megah, dengan segala misterinya. Tapi sekarang para santri tahu bagaimana cara menghormatinya dengan benar—tidak dengan mengikuti bisikan-bisikan yang menyesatkan, tapi dengan dzikir dan doa yang tulus kepada Allah Yang Maha Esa.
Wallahu a'lam bisshawab.
Tamat
Comments