Jejak yang Hilang


Jejak yang Hilang

Azan Maghrib berkumandang dari masjid pesantren Al-Hikmah, membelah keheningan sore yang mulai beranjak gelap. Ustadz Wahyudi menghentikan langkahnya di depan asrama santri putra, matanya menyapu barisan sandal yang berjejer rapi. Satu pasang sandal jepit biru tua masih kosong di tempatnya.

"Ahmad Fauzi," gumamnya pelan, nama itu terasa berat di lidahnya.

Sudah tiga hari santri kelas dua aliyah itu tidak terlihat. Pertama kali menghilang setelah shalat Subuh, ketika yang lain masih terlelap dalam mimpi. Sandal Ahmad masih setia menunggu, seolah tuannya hanya pergi sebentar untuk berwudhu.

Ustadz Wahyudi melangkah menuju kantor pesantren. Lampu neon berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding berlumut. Pesantren yang sudah berusia puluhan tahun ini memang sering mengalami gangguan listrik, tapi malam ini rasanya berbeda. Ada yang tidak beres.

"Ustadz, sampun nemu Ahmad?" Pak Karno, penjaga pesantren, muncul dari balik pilar dengan wajah cemas.

"Durung, Pak Karno. Kowe wis takon wong-wong desa?"

"Wis, Ustadz. Ora ana sing weruh. Aneh tenan, kok bisa ilang begitu saja."

Ustadz Wahyudi menghela napas panjang. Ahmad Fauzi memang santri yang pendiam, tapi rajin dan taat. Tidak seperti anak-anak seusianya yang sering berulah. Justru karena itulah kehilangannya terasa janggal.

"Apa jangan-jangan..." Pak Karno menurunkan suaranya menjadi bisikan, "ada hubungannya dengan hutan Watu Ireng?"

Hutan Watu Ireng. Nama itu membuat bulu kuduk Ustadz Wahyudi berdiri. Hutan lebat di pinggir desa yang konon dihuni makhluk halus. Penduduk desa sudah puluhan tahun menghindari tempat itu, terutama ketika malam tiba.

"Kenapa kowe mikir begitu?"

"Kemarin subuh, aku lihat Ahmad jalan ke arah sana. Kupikir mau ke sungai untuk wudhu, tapi kok sampai sekarang tidak balik-balik."

Ustadz Wahyudi terdiam. Hutan Watu Ireng memang terletak di sebelah timur pesantren, dipisahkan oleh sungai kecil yang mengalir jernih. Banyak santri yang mandi dan berwudhu di sana karena airnya yang bersih. Tapi masuk ke dalam hutan? Itu hal yang tidak pernah terpikir oleh siapa pun.

"Kita harus cari dia, Pak Karno. Siapkan senter dan tali."

"Tapi Ustadz, sekarang sudah maghrib. Hutan itu angker, apalagi malam-malam."

"Justru karena itu kita harus terburu-buru. Kalau Ahmad benar-benar ada di sana, dia pasti ketakutan."

Pak Karno mengangguk dengan wajah pucat. Mereka bergegas menyiapkan perlengkapan. Senter, tali, pisau untuk memotong semak, dan tasbih untuk kekuatan batin.

Perjalanan menuju hutan Watu Ireng ditempuh dengan berjalan kaki sekitar lima belas menit dari pesantren. Cahaya senter mereka menari-nari di antara pepohonan yang semakin rapat. Suara jangkrik dan gemericik air sungai kecil yang mengalir di pinggir hutan menjadi pengiring langkah mereka.

"Lah, kok sepi banget ya, Ustadz? Biasanya kan ada suara burung atau apa."

Ustadz Wahyudi juga merasakan keanehan yang sama. Hutan ini terlalu sunyi, bahkan untuk ukuran malam hari. Tidak ada suara binatang nokturnal yang biasanya ramai di waktu seperti ini.

"Ahmad! Ahmad Fauzi!" Ustadz Wahyudi berteriak, suaranya menggema di antara pepohonan.

Tidak ada jawaban.

Mereka terus melangkah masuk ke dalam hutan. Semak-semak yang lebat menghalangi jalan, terpaksa mereka potong dengan pisau. Tanah di bawah kaki terasa lembap dan berbau humus. Akar-akar pohon yang besar menjulur ke mana-mana, menciptakan jebakan tersembunyi di kegelapan.

"Ustadz, lihat ini." Pak Karno menunjuk ke arah sebuah pohon besar yang batangnya hampir melingkari tiga orang dewasa. Di pangkal pohon itu, terlihat bekas perkemahan sederhana. Daun-daun kering tersusun rapi, seperti tempat tidur darurat.

"Ini pasti Ahmad," bisik Ustadz Wahyudi sambil menyinari bekas perkemahan itu. "Tapi kok dia bisa sampai sejauh ini?"

"Mungkin tersesat, Ustadz. Masuk hutan pas gelap, terus bingung cari jalan keluar."

Tapi sesuatu mengganjal di hati Ustadz Wahyudi. Ahmad adalah anak desa, dia pasti tahu betul tentang hutan ini. Masa iya dia nekat masuk sendirian tanpa persiapan?

"Ahmad! Nak Ahmad!" Pak Karno ikut berteriak.

Kali ini ada jawaban. Samar-samar, dari arah yang lebih dalam lagi ke dalam hutan. Suara yang lemah, seperti orang yang kehabisan tenaga.

"Ustadz... tolong..."

Tanpa berpikir panjang, Ustadz Wahyudi berlari ke arah suara itu. Pak Karno menyusul di belakang sambil terus menyinari jalan dengan senternya. Semak-semak dan dahan-dahan pohon menyapu wajah mereka, tapi mereka tidak peduli.

Setelah berlari sekitar sepuluh menit, mereka sampai di sebuah clearing kecil di tengah hutan. Di sana, duduk bersandar pada sebatang pohon, Ahmad Fauzi dengan wajah kusut dan pakaian compang-camping.

"Ahmad! Syukurlah..." Ustadz Wahyudi berlutut di samping santrinya. "Kowe kok bisa sampai kesini?"

Ahmad mengangkat kepalanya dengan susah payah. Matanya sayu, wajahnya pucat pasi. "Ustadz... aku... aku diajak..."

"Diajak siapa?"

"Aku... aku tidak tahu. Tiga hari yang lalu, setelah shalat Subuh, aku ke sungai untuk wudhu. Tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku dari dalam hutan. Suara yang familiar, tapi aku tidak bisa mengingat siapa."

Ustadz Wahyudi dan Pak Karno saling bertatapan. Ini bukan cerita yang wajar.

"Terus gimana?"

"Aku ikuti suara itu, Ustadz. Rasanya seperti ada yang menarik kakiku untuk terus berjalan masuk ke hutan. Aku tidak bisa berhenti, meskipun dalam hati aku tahu ini tidak benar."

Ahmad terdiam sejenak, napasnya terengah-engah.

"Sampai di tengah hutan, aku bertemu dengan... dengan orang yang memanggil-manggil aku. Tapi anehnya, Ustadz..."

"Apa?"

"Orangnya persis seperti aku. Wajah, suara, bahkan cara berpakaian. Seperti melihat cermin. Dia bilang dia adalah aku yang sebenarnya, dan aku yang sekarang ini adalah bayangan palsu."

Bulu kuduk Ustadz Wahyudi kembali berdiri. Cerita tentang doppelganger memang tidak asing di telinga, tapi mengalami langsung rasanya mengerikan.

"Terus gimana kowe bisa lepas?"

"Aku terus baca surat Al-Fatihah dan ayat Kursi, Ustadz. Berkali-kali. Makhluk itu marah besar, tapi lama-lama dia menghilang. Sejak itu aku tersesat di hutan ini, tidak bisa menemukan jalan keluar."

Pak Karno menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pantesan kok hutan ini jadi sepi banget. Pasti ada makhluk halus yang menguasai tempat ini."

"Yang penting Ahmad sudah ketemu," Ustadz Wahyudi membantu Ahmad berdiri. "Sekarang kita harus cepat-cepat keluar dari sini."

Tapi ketika mereka hendak beranjak, suara tawa menggelegar dari segala arah. Tawa yang dingin dan menusuk tulang. Ustadz Wahyudi memeluk Ahmad, sementara Pak Karno menggenggam erat senternya.

"Wah, wah, wah... sudah mau pergi? Padahal tamu baru saja datang."

Suara itu berbicara dengan logat Jawa yang kental, tapi ada sesuatu yang tidak natural dalam intonasinya.

"Siapa kowe?" Ustadz Wahyudi bertanya dengan suara bergetar.

"Aku adalah penunggu hutan ini. Sudah lama tidak ada yang mengunjungi tempat ini. Sepi, membosankan."

"Kita tidak bermaksud mengganggu. Kami hanya ingin membawa pulang santri kami."

"Oh, Ahmad? Dia sudah jadi temanku selama tiga hari ini. Sayang sekali kalau harus berpisah."

Angin bertiup kencang, menggoyangkan daun-daun di atas kepala mereka. Suara-suara aneh mulai bermunculan dari segala arah. Langkah kaki, bisikan-bisikan, dan suara seperti orang menangis.

"Ustadz, aku takut," Ahmad berbisik sambil meremas lengan gurunya.

"Tenang, Ahmad. Kita baca surat Al-Falaq dan An-Nas bareng-bareng."

Mereka bertiga mulai membaca surat-surat perlindungan dengan suara pelan. Anehnya, suara-suara mengerikan di sekitar mereka justru semakin keras.

"Tidak akan berhasil," suara penunggu hutan itu tertawa lagi. "Tempat ini sudah menjadi wilayahku selama ratusan tahun. Doa kalian tidak akan bisa menembus kekuatanku."

Ustadz Wahyudi terdiam. Memang benar, doa-doa yang biasanya ampuh untuk mengusir makhluk halus kali ini tidak berpengaruh. Pasti ada yang istimewa dengan tempat ini.

"Pak Karno, coba kowe inget-inget. Ada sejarah apa di hutan ini?"

"Lho, Ustadz tidak tahu? Ini kan bekas kuburan massal zaman Belanda. Konon banyak pejuang kemerdekaan yang dikubur di sini tanpa upacara agama yang layak."

Maka jelas sudah. Tidak heran kalau tempat ini menjadi sarang makhluk halus. Arwah-arwah yang tidak tenang karena tidak mendapat pemakaman yang layak menurut agama.

"Kalau begitu, kita harus mendoakan mereka dulu," Ustadz Wahyudi berbisik kepada Ahmad dan Pak Karno. "Kita baca surat Yasin dan Tahlil untuk arwah-arwah yang terkubur di sini."

"Tapi Ustadz, apa tidak berbahaya?"

"Justru ini yang harus kita lakukan. Mungkin selama ini mereka hanya ingin didoakan."

Mereka duduk melingkar di tengah clearing itu, kemudian mulai membaca surat Yasin dengan tartil. Suara-suara aneh di sekitar mereka perlahan mereda. Angin malam yang tadi bertiup kencang mulai tenang.

Setelah selesai membaca Yasin, mereka melanjutkan dengan tahlil dan doa untuk arwah. Ustadz Wahyudi memimpin dengan suara yang khusyuk, diikuti oleh Ahmad dan Pak Karno.

"Allahummaghfir li ahyaina wa mayyitina wa shahidina wa ghaibina wa shaghirina wa kabirina wa dzakarina wa unthana..."

Seiring dengan selesainya bacaan doa, suasana hutan berubah total. Suara jangkrik kembali terdengar, gemericik air sungai terasa lebih jernih, dan angin malam bertiup dengan lembut. Bahkan cahaya bulan yang tadi tertutup awan kini mulai menerangi hutan dengan terang.

"Terima kasih..."

Suara itu berbeda dari yang tadi. Lembut, penuh ketenangan, tidak ada lagi nada yang menakutkan.

"Sudah lama kami menunggu seseorang yang mau mendoakan kami. Terima kasih sudah membebaskan kami dari kegelisahan."

Cahaya putih yang lembut mulai bersinar dari berbagai arah, kemudian perlahan naik ke langit dan menghilang. Puluhan cahaya, mungkin ratusan, semuanya bergerak ke atas dengan damai.

"Sekarang kalian bisa pulang dengan tenang. Hutan ini sudah tidak angker lagi."

Ustadz Wahyudi, Ahmad, dan Pak Karno duduk terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak akan pernah mereka lupakan seumur hidup. Arwah-arwah yang selama ini gentayangan akhirnya mendapat ketenangan.

"Subhanallah," bisik Ahmad. "Jadi selama ini mereka hanya ingin didoakan?"

"Begitulah, Nak. Makanya dalam Islam, kita diajarkan untuk selalu mendoakan orang yang sudah meninggal. Karena doa kita bisa menjadi amal jariyah untuk mereka."

Perjalanan pulang terasa sangat berbeda. Hutan yang tadi terasa mencekam kini terasa damai. Bahkan jalanan yang sebelumnya sulit dilalui kini terasa mudah, seolah-olah ada yang membantu mereka menemukan jalan.

Ketika sampai di pesantren, sudah hampir tengah malam. Ahmad langsung dibawa ke UKS untuk diperiksa kesehatannya, sementara Ustadz Wahyudi dan Pak Karno masih duduk di teras pesantren, merenung atas kejadian yang baru saja mereka alami.

"Ustadz, apa yang terjadi pada Ahmad tadi itu benar-benar makhluk halus?" tanya Pak Karno.

"Mungkin saja, Pak Karno. Tapi yang jelas, semua ini adalah pelajaran bagi kita. Bahwa kematian itu nyata, dan kita harus selalu siap menghadapinya dengan amal yang baik."

"Iya, Ustadz. Untung saja kita ingat untuk mendoakan arwah-arwah di sana."

Ustadz Wahyudi mengangguk sambil memandang langit malam yang penuh bintang. "Dalam Islam, kita diajarkan bahwa kehidupan di dunia ini hanyalah sementara. Yang abadi adalah kehidupan di akhirat. Makanya kita harus selalu berbuat baik, tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain, bahkan untuk mereka yang sudah meninggal."

"Lalu bagaimana dengan hutan Watu Ireng? Apa sekarang sudah aman?"

"Insya Allah sudah aman. Tapi tetap saja kita harus hati-hati. Hutan tetap hutan, ada bahaya alamnya sendiri."

Keesokan harinya, Ahmad sudah mulai pulih. Dia bergabung kembali dengan kegiatan pesantren seperti biasa, meskipun masih terlihat sedikit lemah. Cerita tentang pengalamannya di hutan Watu Ireng dengan cepat menyebar di kalangan santri, menjadi pelajaran berharga tentang kekuatan doa dan pentingnya selalu berdzikir.

Sementara itu, penduduk desa juga mulai berani melewati hutan Watu Ireng, bahkan untuk mencari kayu bakar atau berburu. Hutan yang dulu angker kini menjadi tempat yang damai, seolah-olah beban berat yang selama ini menghantui tempat itu sudah terangkat.

Ustadz Wahyudi sering merenung tentang kejadian itu. Bagaimana Ahmad bisa terjebak selama tiga hari di hutan yang sebenarnya tidak begitu luas? Bagaimana makhluk halus bisa meniru wujud Ahmad dengan sempurna? Dan yang paling penting, bagaimana kekuatan doa bisa mengubah tempat yang angker menjadi damai?

"Mungkin memang ada hikmah di balik semua ini," pikirnya. "Allah menguji kita melalui berbagai cara, dan kali ini Dia mengajarkan kami tentang kekuatan doa dan pentingnya mendoakan orang yang sudah meninggal."

Sebulan kemudian, pesantren Al-Hikmah mengadakan acara tahlil besar-besaran di hutan Watu Ireng. Ratusan santri dan warga desa berkumpul untuk mendoakan arwah-arwah yang terkubur di sana. Acara ini kemudian menjadi tradisi tahunan, sebagai bentuk syukur dan pengingat akan pentingnya doa untuk orang yang sudah meninggal.

Ahmad Fauzi, yang kini sudah menjadi senior di pesantren, sering menceritakan pengalamannya kepada adik-adik kelasnya. Bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk mengingatkan bahwa kekuatan doa itu nyata, dan bahwa sebagai muslim, kita harus selalu peduli dengan sesama, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.

Hutan Watu Ireng kini menjadi tempat yang damai. Burung-burung berkicau dengan riang, air sungai mengalir jernih, dan pepohonan tumbuh subur. Tidak ada lagi cerita-cerita angker yang menakutkan. Yang ada hanyalah ketenangan dan kedamaian, seolah-olah tempat itu diberkati oleh doa-doa yang tulus.

Dan di setiap malam, ketika bulan purnama menerangi hutan dengan terangnya, kadang-kadang terdengar suara lembut yang mengucapkan "terima kasih" dibawa angin. Suara yang mengingatkan bahwa doa tidak pernah sia-sia, dan bahwa kebaikan selalu akan mengalahkan kegelapan.


Wallahu a'lam bishawab.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi