Khodam dari Guci Emas

 




Khodam dari Guci Emas

Rado Satriya Putra

 

Rado mengusap keringat di dahinya sambil membersihkan gudang pesantren. Sebagai hukuman karena terlambat mengikuti pengajian subuh, ia ditugaskan membersihkan gudang yang sudah bertahun-tahun tidak tersentuh. Di antara tumpukan barang usang, sesuatu menarik perhatiannya – sebuah guci emas kecil yang tertutup debu.

"Subhanallah, sepertinya antik," gumamnya sambil mengambil guci tersebut. Saat ia mengusap debu yang menempel, tiba-tiba asap kebiruan keluar dari mulut guci.

Asap itu perlahan membentuk sosok tinggi besar. "Assalamu'alaikum, wahai tuanku yang baru," sapa sosok itu sambil membungkuk.

Rado terkejut hingga terduduk. "Wa-wa'alaikumsalam," jawabnya terbata-bata.

"Saya adalah Shohib, jin yang ditugaskan menjaga guci ini. Siapapun yang menemukan dan membersihkan guci ini akan menjadi tuan saya," jelasnya.

"Tapi... tapi saya hanya santri biasa," kata Rado masih tidak percaya.

Shohib tersenyum. "Justru itu yang istimewa. Saya akan menjadi khodam yang membantu tuanku selama di pesantren ini."

Awalnya Rado ragu, tapi Shohib meyakinkannya bahwa ia adalah jin muslim yang taat. "Saya hanya akan membantu dalam hal-hal yang baik dan tidak melanggar syariat," jelasnya.

Sejak hari itu, kehidupan Rado di pesantren berubah. Shohib membantunya bangun untuk tahajud, mengingatkannya hafalan Al-Qur'an, dan bahkan membantunya memahami kitab-kitab yang sulit. Namun, Shohib menolak ketika Rado memintanya mengerjakan tugas-tugasnya.

"Maaf tuan, saya tidak bisa mengerjakan tugas tuan. Itu akan menghilangkan berkah ilmu," katanya tegas.

Suatu hari, Ustadz Hamid, guru senior di pesantren, memanggil Rado ke kantornya.

"Rado, saya perhatikan kamu banyak berubah. Lebih rajin ibadah dan lebih cepat memahami pelajaran. Apa rahasianya?"

Rado bingung harus menjawab apa. Tiba-tiba ia mendengar bisikan Shohib, "Katakan yang sebenarnya, tuan. Ustadz Hamid adalah orang yang bijak."

Dengan gugup, Rado menceritakan tentang guci emas dan Shohib. Di luar dugaan, Ustadz Hamid tersenyum.

"Alhamdulillah. Guci itu memang warisan dari pendiri pesantren ini. Konon, hanya orang yang memiliki hati bersih yang bisa menemukan dan membuka guci tersebut."

"Tapi ustadz, apakah tidak apa-apa saya dibantu jin?"

"Selama jin tersebut muslim dan membantumu dalam kebaikan, tidak ada masalah. Tapi ingat, jangan bergantung padanya. Anggap saja ini ujian bagimu untuk tetap istiqomah."

Sejak percakapan itu, Rado semakin memahami tujuan Shohib hadir dalam hidupnya. Jin itu bukan untuk memudahkan jalannya, tapi untuk membimbingnya menjadi muslim yang lebih baik.

Tahun-tahun berlalu, Rado tumbuh menjadi santri teladan. Kehadirannya membawa berkah bagi pesantren. Ia sering membantu santri-santri lain yang kesulitan dalam pelajaran, aktif dalam kegiatan pesantren, dan menjadi contoh dalam hal ibadah.

Menjelang kelulusannya, Shohib memberitahu bahwa tugasnya sudah selesai.

"Tuan sudah menjadi muslim yang baik. Saya harus kembali ke dalam guci menunggu orang berikutnya yang Allah pilih."

Rado menitikkan air mata. "Terima kasih atas semua bantuanmu, Shohib. Semoga Allah membalas kebaikanmu."

"Sama-sama, tuan. Ingatlah, kekuatan terbesar bukan dari jin atau makhluk lain, tapi dari kedekatan dengan Allah."

Guci emas itu kembali disimpan di gudang pesantren, menunggu santri berikutnya yang Allah pilih untuk menemukan dan belajar darinya. Sementara Rado melanjutkan hidupnya dengan ilmu dan kebijaksanaan yang ia dapatkan, tak hanya dari pelajaran pesantren, tapi juga dari persahabatannya dengan Shohib, sang khodam dari guci emas. Selesai.

Comments

Popular posts from this blog

Sang Jenderal telah Menikah

Ketika Mentari Terakhir Terbit

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren