Misteri Coretan di Jemuran

 

Misteri Coretan di Jemuran

Dzuhur itu matahari bersinar terik di atas pesantren Al-Barakah. Suara gemerisik daun akasia yang rindang berpadu dengan lantunan murotal dari mushalla pusat. Namun ketenangan sore itu tiba-tiba pecah oleh jeritan histeris dari arah jemuran putri.

"Astaghfirullahal 'adzim! Ya Allah, siapa yang berbuat ini?!"

Suara melengking itu milik Salsabila, santri putri semester lima yang dikenal sebagai ketua kamar asrama Ar-Rahman. Puluhan santri putri berlarian menuju jemuran, dikejutkan oleh teriakan yang memecah keheningan.

Pemandangan yang menyambut mereka sungguh mencengangkan. Seluruh pakaian yang tergantung di jemuran—mulai dari kerudung putih, baju kurung, rok panjang, hingga mukena—semuanya ternoda coretan hitam menggunakan spidol permanen. Coretan-coretan itu tidak membentuk pola tertentu, seolah dibuat asal-asalan namun dengan sengaja merusak.

"Subhanallah... siapa yang tega melakukan ini?" bisik Mariam, santri putri berkerudung pink yang baru saja selesai menghafalkan surah Al-Mulk.

"Pakaian seragamku untuk ujian semester rusak semua!" seru Khadijah sambil mengangkat kerudung putihnya yang penuh coretan. Air mata mulai menggenang di matanya.

Ratusan santri putri berkerumun di area jemuran. Ada yang menangis, ada yang marah, ada pula yang hanya terdiam syok. Ustadzah Aminah, pengasuh asrama putri, datang dengan tergesa-gesa setelah mendengar keributan.

"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un..." gumam Ustadzah Aminah sambil memandang jemuran yang kini seperti kanvas berisi coretan tak beraturan. "Siapa yang bisa berbuat keji seperti ini?"

"Ustadzah, semua pakaian kami rusak! Bagaimana ini?" tanya Salsabila dengan suara bergetar menahan amarah.

"Sabar, nak. Mari kita selidiki dulu dengan kepala dingin. Ingat, Allah Maha Melihat segala perbuatan hambanya. Siapapun pelakunya pasti akan mendapat balasan yang setimpal."

Di antara kerumunan santri yang geram, seorang gadis berkerudung abu-abu berdiri dengan tenang sambil mengamati jemuran. Namanya Zahra Ramadhani, santri putri semester enam yang terkenal cerdas dan analitis. Ia seperti detektif yang sedang mempelajari tempat kejadian perkara.

"Aneh..." gumam Zahra pelan sambil memeriksa setiap sudut jemuran.

"Kenapa aneh?" tanya Aisyah, teman sekamarnya yang penasaran.

"Lihatlah pola coretannya. Semua pakaian yang tergantung di tali jemuran bagian depan tidak terkena coretan. Yang rusak hanya pakaian di tali bagian belakang dan samping."

Zahra melangkah mendekati jemuran dengan hati-hati. Matanya yang tajam menangkap detail-detail kecil yang terlewat oleh yang lain.

"Dan lihatlah ketinggian coretannya. Semuanya berada di level yang sama, sekitar 150-160 cm dari tanah. Ini menunjukkan pelakunya memiliki tinggi badan tertentu."

"Jadi menurutmu siapa pelakunya, Ukh?" tanya Khadijah yang masih memegang kerudung rusak miliknya.

"Belum bisa dipastikan. Tapi ada satu hal lagi yang menarik." Zahra menunjuk ke arah tanah di bawah jemuran. "Tidak ada jejak kaki yang mencurigakan. Artinya pelaku sangat berhati-hati atau... ia sudah terbiasa berada di area ini."

Kerumunan santri semakin ramai membicarakan kemungkinan-kemungkinan pelaku. Ada yang mencurigai santri dari asrama lain, ada pula yang menduga ulah orang luar pesantren.

"Mungkin ada santri yang iri dengan prestasi kita," bisik seseorang.

"Atau mungkin ini ulah preman kampung yang sering melintas di depan pesantren," sahut yang lain.

Tapi Zahra tidak terbawa suasana. Ia terus mengamati dengan seksama, seperti Sherlock Holmes yang sedang memecahkan kasus rumit.

"Ukh Zahra, kamu kok diam aja? Pakaianmu juga rusak kan?" tegur Mariam.

"Justru karena itu aku harus berpikir jernih. Amarah hanya akan mengaburkan pikiran."

Sore itu, setelah shalat Ashar, Zahra memutuskan untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam. Ia mewawancarai beberapa santri yang biasa menjemur pakaian di area itu.

"Ukhti Fatimah, tadi pagi jam berapa terakhir kali antum ke jemuran?" tanya Zahra kepada santri berperawakan tinggi itu.

"Habis subuh sekitar jam 6 pagi. Waktu itu semua pakaian masih normal, tidak ada coretan."

"Bagaimana dengan antum, Ukhti Laila?"

"Aku ke jemuran jam 10 pagi untuk mengambil kerudung yang sudah kering. Waktu itu juga masih normal."

Zahra mencatat semua keterangan dalam buku kecilnya. Berarti kejadian itu terjadi antara jam 10 pagi hingga dzuhur.

"Ada yang melihat orang asing berkeliaran di sekitar jemuran?" tanya Zahra kepada sekelompok santri yang sedang duduk di teras asrama.

"Tidak ada," jawab Siti. "Tapi tadi sekitar jam 11 aku sempat melihat seseorang berlari dari arah jemuran. Tapi tidak jelas siapa, soalnya jauh."

"Berlari? Ke arah mana?"

"Ke arah asrama An-Nur, sepertinya."

Petunjuk baru! Zahra segera menuju asrama An-Nur untuk menyelidiki lebih lanjut. Di sana ia bertemu dengan Ustadzah Khadijah, pengasuh asrama An-Nur.

"Assalamu'alaikum, Ustadzah. Maaf mengganggu. Saya ingin bertanya, tadi sekitar jam 11 siang, apakah ada santri yang datang ke asrama ini dengan tergesa-gesa?"

Ustadzah Khadijah tampak berpikir sejenak. "Oh iya, ada. Ukhti Rania datang dengan nafas ngos-ngosan. Katanya habis lari pagi keliling pesantren."

"Rania?" Zahra mengernyitkan dahi. Rania adalah santri putri yang pendiam dan jarang bergaul. "Boleh saya bicara dengannya?"

"Silakan, dia ada di kamar 15."

Zahra mengetuk pintu kamar 15 dengan perasaan campur aduk. Ia tidak ingin berprasangka buruk, tapi petunjuk mengarah ke sana.

"Masuk," sahut suara dari dalam.

Zahra masuk dan melihat Rania sedang duduk di pojok kamar sambil membaca Al-Qur'an. Gadis itu terlihat pucat dan gelisah.

"Assalamu'alaikum, Ukhti Rania."

"Wa'alaikumussalam..." jawab Rania dengan suara hampir berbisik. "Ada apa, Ukh Zahra?"

"Aku ingin bertanya tentang kejadian tadi pagi. Katanya antum lari pagi sekitar jam 11?"

Rania terlihat semakin gelisah. "I-iya... memangnya kenapa?"

"Antum lari dari arah mana?"

"Dari... dari halaman belakang pesantren."

Zahra memperhatikan gerak-gerik Rania dengan seksama. "Ukhti, boleh aku lihat tas dan peralatan tulismu?"

"U-untuk apa?" Rania terlihat panik.

"Hanya memastikan sesuatu. Insya Allah tidak apa-apa."

Dengan tangan bergetar, Rania membuka tasnya. Di dalamnya, Zahra menemukan sebuah spidol hitam permanen dengan tutup yang sedikit terbuka.

"Ukhti Rania..." panggil Zahra dengan lembut. "Maukah antum bercerita yang sebenarnya?"

Tiba-tiba Rania menangis tersedu-sedu. "Maafkan aku, Ukh... aku yang melakukannya..."

"Kenapa? Kenapa antum melakukan itu?"

"Aku... aku iri," isak Rania. "Semua santri di asrama Ar-Rahman selalu terlihat sempurna. Kerudung mereka selalu putih bersih, pakaian mereka selalu rapi. Sementara aku... aku sering diejek karena pakaianku lusuh dan kerudungku sudah pudar warnanya."

Zahra terdiam mendengar pengakuan Rania. Hatinya terenyuh melihat kesedihan temannya itu.

"Tadi pagi aku lewat jemuran dan melihat semua pakaian mereka yang indah-indah. Tiba-tiba amarah menguasai hatiku. Aku mengambil spidol dari tas dan... dan mencoret semua pakaian itu tanpa sadar."

"Setelah itu antum langsung lari?"

"Iya... aku takut ketahuan. Tapi sekarang penyesalan ini sangat menyiksa batinku."

Zahra duduk di samping Rania dan mengelus punggungnya dengan lembut. "Ukhti, apakah antum ingat hadits Rasulullah tentang iri dengki?"

Rania menggeleng sambil terus menangis.

"Rasulullah SAW bersabda: 'Jauhilah iri dengki, karena iri dengki memakan kebaikan sebagaimana api memakan kayu bakar.' Iri dengki hanya akan merusak diri kita sendiri."

"Aku tahu itu, Ukh... tapi hatiku tidak bisa mengendalikan perasaan iri itu."

"Mari kita selesaikan ini dengan cara yang baik. Antum harus minta maaf kepada semua santri dan menganti kerugian mereka."

Rania mengangguk. "Tapi... tapi uang sakuku tidak cukup untuk mengganti semua pakaian yang rusak."

"Tidak apa-apa. Kita akan cari solusinya bersama-sama."

Malam itu, setelah shalat Maghrib, Rania dengan didampingi Zahra menghadap Ustadzah Aminah dan semua santri asrama Ar-Rahman. Dengan suara bergetar, ia mengaku dan meminta maaf.

"Ustadzah, ukhti-ukhti sekalian... saya yang merusak pakaian kalian. Saya minta maaf sebesar-besarnya. Saya siap mengganti kerugian kalian."

Awalnya suasana tegang. Beberapa santri tampak marah dan kecewa. Tapi kemudian Ustadzah Aminah bersuara dengan bijak.

"Anak-anakku, dalam Islam kita diajarkan untuk memaafkan. Ukhti Rania sudah berani mengaku dan menyesali perbuatannya. Ini menunjukkan masih ada iman dalam hatinya."

"Tapi Ustadzah, pakaian kami rusak semua. Bagaimana dengan ujian semester?" protes Salsabila.

"Untuk masalah ganti rugi, saya akan bantu sebisanya," kata Rania. "Dan mulai besok saya akan membantu mencuci dan menyetrika pakaian kalian sebagai bentuk penebusan dosa."

Zahra kemudian bersuara. "Ukhti-ukhti, sebenarnya Ukhti Rania melakukan ini karena merasa rendah diri. Mungkin selama ini kita tidak pernah memperhatikan bahwa ada teman kita yang merasa terasingkan."

"Maksudmu apa, Ukh?" tanya Mariam.

"Cobalah kita lihat ke dalam hati. Apakah selama ini kita sudah benar-benar memperlakukan semua santri dengan sama? Ataukah tanpa sadar kita membuat kelompok-kelompok berdasarkan status ekonomi?"

Pertanyaan Zahra membuat semua santri termenung. Beberapa di antara mereka mulai menyadari bahwa selama ini mereka memang kurang peduli dengan santri yang kurang mampu.

"Subhanallah..." bisik Khadijah. "Aku baru sadar, selama ini aku jarang mengajak Ukhti Rania ngobrol karena dia selalu diam."

"Aku juga," sahut Aisyah. "Mungkin diamnya itu karena merasa tidak percaya diri."

Ustadzah Aminah tersenyum melihat kesadaran yang mulai tumbuh di hati santri-santrinya. "Inilah hikmah dari musibah ini, anak-anakku. Allah mengizinkan kejadian ini terjadi agar kita semua belajar."

"Belajar apa, Ustadzah?" tanya Salsabila.

"Belajar untuk lebih peduli sesama, tidak melihat perbedaan status ekonomi, dan selalu menjaga hati dari penyakit iri dengki."

Malam itu, para santri sepakat untuk tidak melaporkan Rania ke pihak pesantren. Mereka akan menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan. Beberapa santri yang mampu bahkan rela membelikan pakaian baru untuk Rania.

"Jazakillahu khairan, ukhti-ukhti," kata Rania sambil menangis haru. "Kalian seperti malaikat bagi saya."

"Kita semua bersaudara, Ukh," sahut Zahra. "Kesalahan satu orang adalah kesalahan kita bersama. Kebaikan satu orang juga kebaikan kita bersama."

Sebulan kemudian, jemuran asrama Ar-Rahman kembali dipenuhi pakaian-pakaian putih bersih yang berkibar tertiup angin. Rania kini menjadi bagian dari komunitas santri yang solid. Ia tidak lagi merasa rendah diri karena telah diterima dengan tulus oleh teman-temannya.

"Alhamdulillah," gumam Zahra sambil memandang jemuran yang kini terlihat damai. "Kadang Allah menggunakan cara yang tidak terduga untuk mengajarkan kita tentang ukhuwah islamiyah."

"Benar sekali," sahut Rania yang kini berani berbicara lebih percaya diri. "Kejadian itu membuatku sadar bahwa iri dengki hanya akan menghancurkan diri sendiri. Sekarang aku lebih fokus untuk memperbaiki diri daripada iri dengan orang lain."

Sore itu, ketika adzan Maghrib berkumandang dari menara masjid pesantren, para santri putri berbaris rapi menuju mushalla. Di antara mereka, tidak ada lagi yang merasa terasingkan atau berbeda. Semuanya berjalan beriringan, seperti satu keluarga besar yang telah melalui ujian dan keluar sebagai pemenang.

Misteri coretan di jemuran telah terpecahkan, namun hikmah yang didapat jauh lebih berharga daripada sekedar mengetahui siapa pelakunya. Ia mengajarkan tentang pentingnya saling peduli, memaafkan, dan menjaga hati dari penyakit-penyakit yang merusak ukhuwah.


"Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah akan mengadakan baginya jalan keluar." (QS. At-Talaq: 2)

Wallahu a'lam bishawab

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi