Misteri Pakaian Hilang di Pesantren Al-Barokah

 

Misteri Pakaian Hilang di Pesantren Al-Barokah

Fajar mulai menyingsing di ufuk timur ketika suara adzan subuh mengalun dari menara masjid Pesantren Al-Barokah. Zahra Amalia, santri kelas 3 Aliyah, bergegas mengambil mukena dari almarinya. Namun, tangannya hanya menemui kekosongan di tempat biasa mukena putih kesayangannya tergantung.

"Subhanallah... ke mana mukena putihku?" gumamnya sambil menggeledah seluruh isi almari. Mukena itu bukan sembarang mukena—hadiah dari almarhum neneknya yang penuh berkah.

Dengan terpaksa, Zahra mengambil mukena cadangan dan bergegas menuju masjid. Di sana, ia mendapati beberapa santri lain terlihat gelisah.

"Zahra, kamu lihat kerudung seragam baruku tidak?" tanya Siti Aisyah, teman sekamarnya. "Kemarin masih ada, sekarang hilang."

"Mukena putihku juga hilang, Ais," sahut Zahra. Matanya yang tajam mulai mengamati ekspresi santri-santri lain. Ada yang berbisik-bisik, ada yang terlihat was-was.

Setelah shalat subuh, pengumuman mengejutkan datang dari Ustadzah Khodijah, pengasuh asrama putri.

"Assalamu'alaikum, santri-santriku. Ada hal penting yang harus saya sampaikan. Dalam tiga hari terakhir, sudah ada delapan laporan kehilangan pakaian—mukena, kerudung, dan bahkan beberapa baju. Saya harap pelakunya segera mengaku dan bertaubat."

Bisikan semakin keras terdengar. Zahra memperhatikan dengan seksama. Ia yang gemar membaca novel detektif dan menonton anime Detective Conan, mulai merasa tertantang.

.....................................

Sepulang dari kajian kitab Safinah An-Najah, Zahra mulai melakukan investigasinya. Ia mencatat semua informasi yang didapat:

Data Kasus:

  • 8 pakaian hilang dalam 3 hari
  • Yang hilang: mukena (4), kerudung seragam (2), baju tidur (2)
  • Waktu kehilangan: malam hari
  • Lokasi: kamar-kamar asrama putri

Zahra ingat perkataan Detective Conan: "Tidak ada kasus yang sempurna. Pasti ada jejak yang tertinggal."

Ia mulai mengunjungi kamar-kamar korban satu per satu dengan dalih menjenguk dan menghibur. Di kamar Fatimah, korban kedua, Zahra memperhatikan sesuatu yang aneh.

"Fatimah, almarimu tidak terkunci ya?" tanya Zahra sambil pura-pura membantu merapikan.

"Iya, kuncinya rusak sejak seminggu lalu. Aku sudah lapor ke pengurus, tapi belum diperbaiki," jawab Fatimah polos.

Zahra mencatat informasi ini. Ia lalu mengecek kamar korban lainnya. Ternyata, semua korban memiliki kesamaan: almari mereka tidak terkunci dengan sempurna, entah karena rusak atau kelupaan.

"Interesting..." gumam Zahra, meniru gaya Detective Conan. "Pelakunya pasti tahu kondisi almari-almari ini."

..................................

Malam harinya, Zahra berpura-pura tidur sambil mengamati pergerakan di asrama. Ia memposisikan diri dekat jendela yang menghadap koridor utama. Dari sana, ia bisa melihat siapa saja yang keluar masuk kamar.

Pukul 23.00, ketika semua santri sudah tidur, Zahra melihat sosok yang berjalan mengendap-endap di koridor. Karena gelap, ia tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Yang terlihat hanya siluet berkerudung panjang.

Sosok itu menghampiri kamar Maryam, korban terbaru. Zahra hendak mengikuti, namun sosok itu tiba-tiba berbalik dan kembali ke arah yang berlawanan.

Keesokan harinya, laporan baru datang. Maryam kehilangan mukena biru mudanya.

"Pelakunya pasti tahu aku hampir memergoki dia," pikir Zahra. "Tapi kenapa dia masih nekat mengambil mukena Maryam?"

Zahra mulai membuat daftar tersangka berdasarkan observasinya:

  1. Ustadzah Laila - Pengurus asrama yang punya akses ke semua kamar
  2. Dewi Sartika - Santri kelas 2 yang sering berkeliaran malam hari dengan alasan ke kamar mandi
  3. Nuraini - Ketua kamar yang punya informasi lengkap tentang kondisi almari semua santri

..................................

Zahra merancang sebuah jebakan. Ia menyebarkan informasi palsu bahwa ia akan meletakkan mukena mahal di almarinya yang sengaja tidak dikunci. Namun, ia memasang "alarm" sederhana—benang halus yang akan putus jika almari dibuka.

Selain itu, Zahra juga meminta bantuan Aisyah untuk berjaga di tempat tersembunyi.

Tengah malam, jebakan mereka berhasil. Sosok yang sama terlihat mendekati kamar Zahra. Kali ini, dengan bantuan senter kecil, Aisyah berhasil melihat wajahnya.

"Dewi Sartika!" bisik Aisyah kaget.

Dewi membuka almari Zahra dengan hati-hati, namun ia terkejut ketika melihat almari kosong dan secarik kertas bertuliskan: "Caught you red-handed! - Detective Zahra"

"Dewi, bisa kita bicara?" Zahra muncul dari balik pintu bersama Aisyah.

Dewi terperanjat dan langsung menunduk. Air mata mulai mengalir di pipinya.

..................................

Di ruang tamu asrama yang sepi, Dewi akhirnya bercerita dengan suara bergetar.

"Aku... aku minta maaf, Zahra. Aku yang mengambil semua pakaian itu," akunya sambil terisak.

"Kenapa, Dewi? Kamu kan berasal dari keluarga berkecukupan," tanya Zahra lembut.

"Justru itu masalahnya," jawab Dewi. "Orang tuaku bercerai bulan lalu. Ayah berhenti mengirim uang. Ibu harus bekerja keras untuk biaya hidup dan pesantrenku. Aku... aku malu meminta uang untuk beli pakaian baru, sementara pakaianku sudah lusuh."

Zahra terdiam. Ia tidak menyangka motif di balik pencurian ini.

"Aku tahu itu salah," lanjut Dewi. "Tapi aku tidak tahu harus bagaimana. Aku takut diejek teman-teman kalau pakai pakaian yang sudah tidak layak."

..................................

Keesokan harinya, Zahra menemui Ustadzah Khodijah dan menceritakan semua yang terjadi tanpa menyebut nama Dewi. Ia meminta agar masalah ini diselesaikan dengan pendekatan yang lebih bijaksana.

"Ustadzah, bagaimana kalau kita buat program tukar-menukar pakaian layak pakai antar santri? Atau mungkin program beasiswa pakaian untuk santri yang kurang mampu?" usul Zahra.

Ustadzah Khodijah tersenyum bangga. "Subhanallah, Zahra. Ide yang sangat baik. Ini justru bisa jadi pembelajaran buat kita semua tentang kepedulian sesama."

Dewi kemudian dipanggil secara pribadi oleh Ustadzah Khodijah. Dengan penuh kasih sayang, ustadzah tersebut membantu menyelesaikan masalah Dewi tanpa perlu mempermalukannya di depan santri lain.

Semua pakaian yang diambil Dewi dikembalikan dengan alasan "ditemukan di tempat yang salah". Program tukar-menukar pakaian pun segera direalisasikan.

..................................

Seminggu kemudian, Zahra duduk di taman pesantren sambil membaca Al-Qur'an. Dewi menghampirinya dengan wajah cerah.

"Jazakillahu khairan, Zahra. Terima kasih sudah menyelesaikan masalahku dengan cara yang tidak mempermalukanku," ucap Dewi tulus.

"Sama-sama, Dewi. Detective Conan selalu bilang: kebenaran harus ditegakkan, tapi dengan cara yang tidak melukai hati orang lain," jawab Zahra sambil tersenyum.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kamu bisa yakin aku pelakunya?" tanya Dewi penasaran.

Zahra tersenyum misterius. "Pertama, kamu satu-satunya yang tahu semua kondisi almari para korban karena kamu sering main ke kamar mereka. Kedua, waktu aku lihat kamu malam itu, kamu pakai kerudung panjang yang sebenarnya bukan milikmu—itu kerudung Fatimah yang hilang. Dan yang terakhir..." Zahra mengeluarkan sesuatu dari sakunya, "benang kecil dari kerudung Fatimah yang tersangkut di kancing bajumu kemarin."

Dewi takjub. "Masya Allah, kamu benar-benar seperti detektif sungguhan!"

Keduanya tertawa. Di pesantren Al-Barokah, misteri telah terpecahkan, dan yang terpenting, sebuah persahabatan baru telah terjalin dengan dilandasi nilai-nilai Islam yang sesungguhnya: kasih sayang, pengertian, dan saling membantu.

Seperti yang selalu dikatakan Detective Conan, "Ada hanya satu kebenaran!" Dan kebenaran itu telah membawa kedamaian kembali ke pesantren yang penuh berkah ini.

Tamat


"Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran." - QS. Al-Maidah: 2

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi