Pelajaran Tersembunyi


Pelajaran Tersembunyi

Sebuah cerpen karya inspirasi


Kyai Abdurrahim duduk termangu di teras rumahnya yang menghadap ke halaman pesantren Darul Hikmah. Matanya yang biasanya teduh kini dipenuhi kegelisahan. Sudah tiga hari putri semata wayangnya, Siti Aisyah, tidak pulang ke rumah. Gadis berusia tujuh belas tahun itu terakhir kali terlihat sedang berbelanja di pasar Madiun bersama temannya, Fitri.

"Pak Kyai, ada tamu," ujar Gus Wahid, santri senior yang membantu mengurus administrasi pesantren.

Kyai Abdurrahim menoleh. Di depannya berdiri seorang pria paruh baya dengan wajah kusut dan mata sembab. Itu Pak Sumardi, ayah Fitri.

"Assalamu'alaikum, Pak Kyai," sapa Pak Sumardi sambil mencium tangan sang kyai.

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Pak Sumardi? Wajahnya kok pucat begitu?"

Pak Sumardi duduk di kursi rotan sambil mengelap keringat di dahinya. "Pak Kyai, Fitri sudah pulang tadi malam. Tapi dia cerita... cerita yang sangat aneh."

Kyai Abdurrahim langsung menegakkan tubuhnya. "Cerita apa? Aisyah bagaimana?"

"Fitri bilang, waktu mereka di pasar kemarin, tiba-tiba ada tiga orang preman yang nyamperin. Katanya sih mau ngajak Mbak Aisyah ikut ke Jakarta, katanya ada tawaran kerja bagus. Tapi Mbak Aisyah nolak."

"Terus?"

"Terus mereka maksa, Pak Kyai. Fitri yang takut disuruh pulang duluan. Pas dia nengok dari jauh, dia lihat Mbak Aisyah dipaksa naik mobil." Pak Sumardi terdiam sejenak. "Tapi yang aneh, Pak Kyai... Fitri bilang, sebelum dipaksa naik, Mbak Aisyah kayak... kayak ngobrol sama salah satu premannya. Malah sempet senyum-senyum."

Kyai Abdurrahim mengerutkan dahi. Ada yang tidak beres. Aisyah bukan anak yang mudah ditipu, apalagi sampai mau ikut orang asing. Gadis itu cerdas dan waspada, hasil didikan pesantren sejak kecil.

"Pak Sumardi sudah lapor polisi belum?"

"Sudah, Pak Kyai. Tadi pagi. Katanya mereka akan cek CCTV di sekitar pasar."

Setelah Pak Sumardi pulang, Kyai Abdurrahim langsung memanggil beberapa santri seniornya. Gus Wahid, Gus Malik, dan Gus Yusuf—tiga santri yang sudah belasan tahun nyantri di situ dan dianggap seperti anak sendiri.

"Kalian bantu saya cari Aisyah," kata beliau dengan suara bergetar. "Saya tidak bisa diam saja. Itu anak satu-satunya yang saya punya."

Ketiga santri itu langsung bergerak. Mereka berkeliling kota, bertanya kepada pedagang pasar, sopir angkot, bahkan preman-preman kecil yang biasa nongkrong di terminal. Tapi tidak ada yang tahu keberadaan Aisyah.

Malam harinya, ketika Kyai Abdurrahim sedang shalat Isya sendirian di mushala, datanglah seorang tamu tak terduga. Kyai Mustofa, guru spiritualnya dulu ketika masih muda, berdiri di ambang pintu dengan senyum misterius.

"Assalamu'alaikum, Rahman," sapa Kyai Mustofa dengan suara yang masih kuat meski usianya sudah hampir delapan puluh tahun.

"Wa'alaikumussalam, Kyai," Kyai Abdurrahim langsung berdiri dan mencium tangan gurunya. "Subhanallah, kenapa tiba-tiba kesini? Dari Ponorogo kan jauh."

"Lha, saya kan tahu murid saya lagi susah," Kyai Mustofa duduk bersila di sajadah. "Aisyah hilang, ya?"

Kyai Abdurrahim terdiam. Gurunya ini memang terkenal memiliki kemampuan spiritual yang tinggi. Sering tahu hal-hal yang belum diceritakan orang lain.

"Iya, Kyai. Sudah tiga hari. Katanya diculik preman, dibawa ke Jakarta."

Kyai Mustofa mengangguk pelan sambil mengusap jenggot putihnya. "Kamu yakin dia diculik?"

"Lha, ada saksinya kok, Kyai. Fitri lihat sendiri."

"Hmm." Kyai Mustofa diam sejenak, seperti sedang merenung. "Rahman, coba kamu pikir. Selama ini, hubungan kamu sama Aisyah gimana?"

Pertanyaan itu membuat Kyai Abdurrahim tersentak. "Maksudnya gimana, Kyai?"

"Ya gimana. Sebagai bapak, sebagai guru, sebagai teman. Hubungan kalian dekat tidak?"

Kyai Abdurrahim terdiam. Sebenarnya, sejak istri tercintanya meninggal lima tahun lalu, hubungannya dengan Aisyah memang agak renggang. Dia terlalu sibuk mengurus pesantren, mengajar santri, ceramah ke sana-sini. Aisyah lebih sering diurus oleh Bu Khodijah, ibu asuh yang mengurus dapur pesantren.

"Saya... saya memang kurang perhatian sama dia, Kyai," akunya dengan suara pelan.

"Nah, itu dia." Kyai Mustofa tersenyum tipis. "Anak itu butuh perhatian ayahnya, Rahman. Bukan cuma nafkah dan pendidikan agama. Tapi perhatian sebagai manusia, sebagai anak perempuan yang lagi tumbuh dewasa."

"Tapi Kyai, apa hubungannya sama dia yang diculik?"

"Kamu yakin dia diculik?"

Pertanyaan yang sama diulang lagi. Kali ini dengan nada yang lebih menekan. Kyai Abdurrahim mulai merasakan ada sesuatu yang disembunyikan gurunya.

"Kyai tahu sesuatu tentang Aisyah?"

Kyai Mustofa bangkit dari duduknya. "Besok, kamu ikut saya ke Surabaya. Kita naik kereta pagi."

"Ke Surabaya? Kenapa?"

"Ikut saja. Tapi ingat, ini ujian buat kamu. Ujian sebagai bapak, sekaligus sebagai kyai."

Keesokan harinya, Kyai Abdurrahim berangkat ke Surabaya bersama gurunya. Selama perjalanan di kereta, Kyai Mustofa lebih banyak diam, sesekali membaca Al-Qur'an atau berdzikir pelan. Kyai Abdurrahim yang penasaran tidak berani banyak bertanya.

Sesampainya di Surabaya, mereka langsung menuju sebuah pesantren kecil di daerah Sukolilo. Pesantren itu tampak sederhana, dengan bangunan kayu yang sudah agak tua. Di halaman depan, beberapa santriwati sedang menjemur pakaian.

"Assalamu'alaikum," sapa Kyai Mustofa kepada seorang ibu paruh baya yang sedang menyapu halaman.

"Wa'alaikumussalam. Lho, Kyai Mustofa! Subhanallah, tamu istimewa," sahut ibu itu sambil mencium tangan kedua kyai.

"Bu Nur, itu anak yang kemarin datang gimana?"

"Alhamdulillah, sudah lebih tenang, Kyai. Tadi pagi masih nangis-nangis, tapi sekarang sudah mau makan."

Kyai Abdurrahim semakin bingung. Anak yang mana? Kenapa gurunya seperti sudah mengatur semuanya?

"Coba panggil dia kemari," pinta Kyai Mustofa.

Bu Nur masuk ke dalam, dan beberapa menit kemudian keluarlah seorang gadis berkerudung merah. Kyai Abdurrahim hampir tidak percaya dengan matanya sendiri.

"Aisyah!"

Gadis itu langsung berlari dan memeluk ayahnya sambil menangis. "Bapak! Maafin Aisyah, Pak!"

"Aisyah, kamu kenapa di sini? Katanya kamu diculik?"

Aisyah melirik ke arah Kyai Mustofa, yang mengangguk pelan memberi isyarat.

"Aisyah tidak diculik, Pak," katanya dengan suara bergetar. "Aisyah... Aisyah sengaja ikut sama mereka."

"Maksudnya gimana?"

"Kemarin di pasar, memang ada tiga orang yang nyamperin Aisyah. Tapi mereka bukan preman. Mereka utusan Kyai Mustofa." Aisyah menundukkan kepala. "Kyai Mustofa bilang, Bapak harus belajar jadi ayah yang lebih baik. Dan Aisyah juga harus belajar menghargai Bapak."

Kyai Abdurrahim terduduk lemas di kursi bambu. "Jadi... ini semua skenario?"

Kyai Mustofa mengangguk. "Rahman, kamu tahu tidak, anak ini sering curhat sama saya lewat surat? Dia bilang, dia merasa tidak punya ayah. Ayahnya sibuk sama santri-santri, sibuk ceramah, tapi tidak pernah tanya kabar dia. Tidak pernah tanya apa yang dia rasakan, apa yang dia mau."

"Bapak," Aisyah berlutut di depan ayahnya. "Selama ini Aisyah merasa Bapak lebih sayang sama santri-santri daripada sama Aisyah. Bapak lebih tahu masalah santri daripada masalah Aisyah. Makanya kemarin, pas Kyai Mustofa nawarin untuk ngajarin Bapak pelajaran, Aisyah setuju."

Air mata mulai mengalir di pipi Kyai Abdurrahim. Selama ini dia merasa sudah menjadi ayah yang baik dengan memberikan pendidikan terbaik untuk Aisyah, memastikan dia tidak kekurangan materi. Tapi dia lupa memberikan yang paling penting: waktu dan perhatian.

"Aisyah, maafin Bapak," katanya sambil memeluk putrinya. "Bapak memang salah. Bapak terlalu sibuk sama urusan luar, sampai lupa sama anak sendiri."

"Dan kamu, Rahman," kata Kyai Mustofa sambil duduk di sebelah mereka. "Ingat, santri-santri itu amanah. Tapi anak kandung sendiri juga amanah. Bahkan amanah yang lebih besar. Kamu akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat nanti, bukan cuma sebagai kyai, tapi juga sebagai ayah."

Sore itu, mereka bertiga duduk di teras pesantren sambil berbincang-bincang. Untuk pertama kalinya sejak lama, Kyai Abdurrahim benar-benar mendengarkan cerita Aisyah. Tentang sekolahnya, tentang teman-temannya, tentang cita-citanya, tentang kekhawatirannya.

"Aisyah mau jadi kyai seperti Bapak," kata gadis itu sambil tersenyum. "Tapi kyai perempuan. Yang bisa ngajar santri-santri putri, tapi juga bisa jadi ibu yang baik untuk anak-anaknya nanti."

"Insya Allah, Nak. Bapak akan bantu kamu meraih cita-cita itu. Dan Bapak berjanji, dari sekarang Bapak akan lebih perhatian sama kamu."

Kyai Mustofa tersenyum melihat pemandangan ayah dan anak yang sedang akrab itu. "Rahman, ini namanya hikmah. Kadang Allah kasih ujian yang pahit untuk ngajarin kita sesuatu yang manis."

"Tapi Kyai, cara ini kan... agak ekstrem. Saya sampai tidak bisa tidur tiga hari."

"Lha, kalau tidak ekstrem, kamu akan sadar tidak? Sudah berapa tahun kamu sibuk sendiri, lupa sama anak?"

Kyai Abdurrahim mengangguk malu. Memang betul. Kalau tidak dengan cara seperti ini, mungkin dia tidak akan pernah sadar betapa dia telah mengabaikan Aisyah.

"Kyai, yang jadi preman kemarin itu siapa sebenarnya?"

"Santri-santri saya yang sudah lulus. Sekarang mereka kerja di Jakarta, jadi saya minta tolong mereka untuk bermain peran," Kyai Mustofa terkekeh. "Makanya Aisyah sempat senyum-senyum sama mereka. Dia sudah tahu itu bukan preman beneran."

"Terus Fitri?"

"Fitri juga tahu. Dia yang saya minta untuk jadi saksi, biar ceritanya lebih meyakinkan. Tapi anak itu nervous, makanya ceritanya agak kacau."

Malam itu, ketika mereka sudah kembali ke Madiun dengan kereta malam, Kyai Abdurrahim duduk bersebelahan dengan Aisyah. Sepanjang perjalanan, mereka ngobrol tentang banyak hal. Tentang masa kecil Aisyah yang lucu, tentang almarhum ibunya, tentang rencana masa depan.

"Pak, sebenarnya Aisyah malu," kata gadis itu sambil menyandarkan kepala di bahu ayahnya.

"Malu kenapa?"

"Malu sama cara Aisyah. Harusnya Aisyah ngomong langsung sama Bapak, bukan malah ikut-ikutan skenario Kyai Mustofa."

"Tidak apa-apa, Nak. Yang penting, sekarang kita sudah saling mengerti. Dan Bapak berterima kasih sama kamu, karena kamu sudah sabar sama Bapak yang sering sibuk sendiri."

Sesampainya di pesantren, para santri langsung menyambut kedatangan mereka dengan suka cita. Gus Wahid, Gus Malik, dan Gus Yusuf yang sudah cemas setengah mati langsung lega melihat Aisyah pulang dengan selamat.

"Alhamdulillah, Mbak Aisyah sudah ketemu," kata Gus Wahid sambil mencium tangan Kyai Abdurrahim.

"Iya, sudah ketemu. Tapi ada pelajaran penting yang Bapak dapat dari kejadian ini," kata Kyai Abdurrahim sambil menatap para santrinya. "Kalian semua juga harus ingat, nanti kalau sudah nikah dan punya anak, jangan sampai sibuk mengurus orang lain tapi lupa sama keluarga sendiri."

Sejak kejadian itu, rutinitas di pesantren Darul Hikmah sedikit berubah. Setiap pagi setelah shalat Subuh, Kyai Abdurrahim selalu menyempatkan waktu untuk sarapan bersama Aisyah. Mereka ngobrol tentang rencana hari itu, atau sekedar bercanda.

Sore hari, setelah mengajar santri, beliau juga selalu menyempatkan waktu untuk menemani Aisyah belajar. Kadang membantu PR matematika, kadang ngaji bersama, kadang cuma duduk-duduk sambil menikmati teh hangat.

"Bapak, terima kasih ya," kata Aisyah suatu sore ketika mereka sedang duduk di teras sambil melihat santri-santri bermain bola di halaman.

"Terima kasih untuk apa?"

"Terima kasih sudah mau berubah. Sekarang Aisyah merasa punya ayah beneran, bukan cuma kyai yang kebetulan tinggal satu rumah."

Kyai Abdurrahim tersenyum sambil mengusap kepala putrinya. "Aisyah juga terima kasih ya, sudah sabar sama Bapak. Dan terima kasih sudah mau diajak main peran sama Kyai Mustofa, meski agak ribet."

"Hehe, iya. Tapi worth it kok, Pak. Sekarang hubungan kita jadi lebih deket."

Beberapa bulan kemudian, Kyai Mustofa datang lagi ke pesantren. Kali ini untuk melihat hasil "eksperimen" nya.

"Gimana, Rahman? Sudah jadi ayah yang baik belum?" tanyanya sambil tersenyum.

"Alhamdulillah, Kyai. Sekarang saya lebih paham, ternyata jadi kyai yang baik itu tidak cukup kalau tidak dibarengi jadi ayah yang baik juga."

"Nah, itu dia. Kamu ingat tidak, dulu waktu kamu mau nikah, saya pesen apa?"

Kyai Abdurrahim mencoba mengingat. "Kyai bilang, keluarga itu madrasah pertama. Kalau madrasah pertamanya rusak, susah untuk memperbaiki madrasah-madrasah yang lain."

"Betul. Makanya saya ajarin kamu pelajaran ini. Biar kamu sadar, sebelum mendidik santri, kamu harus bisa mendidik anak sendiri dulu. Sebelum jadi ayah rohani buat orang lain, kamu harus jadi ayah kandung yang baik dulu."

Aisyah yang mendengar percakapan itu dari dapur langsung keluar sambil membawa teh untuk kedua kyai.

"Kyai Mustofa, terima kasih ya sudah ngajarin Bapak pelajaran yang berharga. Meski caranya agak bikin jantungan," katanya sambil tersenyum nakal.

"Haha, ya sudah. Yang penting sekarang kalian bahagia kan?"

"Alhamdulillah, sangat bahagia."

Malam itu, setelah Kyai Mustofa pulang, Kyai Abdurrahim duduk di kamarnya sambil merenung. Dia teringat pesan gurunya dulu: "Rahman, ilmu yang paling tinggi itu bukan ilmu tentang Tuhan. Tapi ilmu tentang bagaimana menjadi manusia yang baik untuk sesama manusia."

Dulu dia tidak paham maksudnya. Sekarang dia mengerti. Menjadi kyai yang alim tidak ada artinya kalau dia gagal menjadi ayah yang baik untuk anaknya sendiri. Mengajar santri tentang akhlak tidak akan bermakna kalau dia tidak bisa menunjukkan akhlak yang baik kepada keluarganya.

"Ya Allah," gumamnya sambil berdoa. "Terima kasih sudah memberikan pelajaran berharga ini melalui guru dan anak saya. Jadikan saya hamba-Mu yang bisa menjadi kyai sekaligus ayah yang baik."

Dari kamar sebelah, terdengar suara Aisyah yang sedang membaca Al-Qur'an dengan suara merdu. Suara itu mengingatkannya pada almarhum istri yang dulu sering membaca Al-Qur'an dengan suara yang sama indahnya.

"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un," bisiknya pelan. "Mungkin ini juga hikmah dari kepergian istri saya. Biar saya belajar lebih dekat sama Aisyah, karena dia satu-satunya yang tersisa."

Hari-hari berikutnya, Kyai Abdurrahim semakin menikmati perannya sebagai ayah sekaligus kyai. Dia mulai mengintegrasikan pelajaran hidup dari pengalaman pribadi ke dalam ceramah-ceramahnya. Sering dia bercerita tentang pentingnya keseimbangan antara mengurus jamaah dan mengurus keluarga.

"Saudara-saudara," katanya dalam sebuah pengajian akbar. "Jangan sampai kita sibuk memperbaiki dunia, tapi rumah kita sendiri hancur. Jangan sampai kita jadi inspirasi buat orang lain, tapi keluarga sendiri tidak terinspirasi sama kita."

Ceramah-ceramah seperti itu selalu mendapat sambutan hangat dari jamaah, karena mereka merasakan ketulusan dan pengalaman nyata di balik setiap kata yang diucapkan.

Dan Aisyah, gadis yang dulu merasa diabaikan ayahnya, kini tumbuh menjadi remaja yang percaya diri dan bahagia. Dia bangga memiliki ayah yang tidak hanya alim, tapi juga perhatian dan pengertian.

"Pak, nanti kalau Aisyah udah besar dan nikah, Bapak jangan lupa sama menantu ya," candanya suatu hari.

"Insya Allah tidak, Nak. Sekarang Bapak sudah tahu, kalau keluarga itu prioritas utama. Yang lain itu bonus."

"Alhamdulillah. Semoga Bapak selalu ingat pelajaran dari Kyai Mustofa ini."

"Aamiin. Dan semoga kamu juga jadi istri dan ibu yang baik nanti, yang bisa menyeimbangkan antara karir dan keluarga."

Malam itu, ketika Kyai Abdurrahim sedang shalat malam sendirian di mushala, dia teringat lagi pada "penculikan" yang sebenarnya bukan penculikan itu. Dia tersenyum sendiri. Gurunya memang cerdik. Dengan cara yang tidak terduga, Kyai Mustofa berhasil mengajarkan pelajaran yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup.

"Subhanallah," gumamnya sambil bersujud. "Betapa kreatifnya cara Allah mengajar hamba-Nya. Lewat orang-orang yang dipilih-Nya, dengan cara-cara yang tidak pernah kita duga."

Dan dari kamar sebelah, masih terdengar suara Aisyah yang sedang bergumam membaca wirid malam. Suara yang dulu sering terdengar sedih, kini terdengar tenang dan bahagia.

Itulah pelajaran tersembunyi yang Allah berikan melalui skenario "penculikan" yang dibuat oleh seorang guru bijak. Pelajaran bahwa menjadi pemimpin umat tidak boleh mengorbankan kepemimpinan di keluarga sendiri. Dan bahwa kadang, cara terbaik untuk mengajar seseorang adalah dengan membuat mereka merasakan sendiri akibat dari kesalahan mereka.

Wallahu a'lam bisshawab.


Tamat

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi