Piring yang Hilang

 

Piring yang Hilang

Suara adzan maghrib dari masjid Pondok Pesantren Putri Baitul Hikmah baru saja usai berkumandang ketika para santri mulai bergegas menuju ruang makan. Aroma nasi gudeg dan sayur lodeh yang harum menyeruak dari dapur membuat perut-perut kosong semakin berbunyi nyaring.

Namun, seperti hari-hari sebelumnya, pemandangan yang menyambut di ruang makan tidaklah menyenangkan. Puluhan santri mengular panjang di depan meja prasmanan, sementara beberapa gadis di ujung barisan hanya bisa gigit jari—makanan sudah habis sebelum giliran mereka tiba.

"Astafirullah, lagi-lagi makanannya kurang," keluh Sari, santri kelas dua aliyah yang sudah ketiga kalinya dalam minggu ini tidak kebagian lauk.

"Iya nih, padahal mbak dapur bilang udah ngitung piring sesuai jumlah santri," sahut Dewi, sahabat karibnya yang nasibnya tak jauh berbeda.

Zahra, santri senior yang menjadi ketua asrama, menghampiri kerumunan santri yang kecewa. Gadis berusia delapan belas tahun itu mengernyitkan dahi melihat situasi yang berulang hampir setiap hari.

"Ukhti-ukhti, sabar ya. Nanti saya bicarakan lagi dengan mbak-mbak dapur," kata Zahra sambil berusaha menenangkan adik-adik tingkatnya.

"Tapi ini udah berapa kali, Kak Zahra," protes Nia, santri kelas satu yang perutnya sudah keroncongan. "Setiap hari pasti ada yang tidak kebagian makan."

Zahra menghela napas panjang. Sebagai ketua asrama, ia merasa bertanggung jawab atas kesejahteraan seluruh santri. Masalah kekurangan makanan ini sudah berlangsung hampir sebulan, dan ia belum menemukan penyebabnya.

"Baiklah, besok pagi saya akan investigasi langsung ke dapur," janji Zahra.


Keesokan harinya, setelah shalat subuh, Zahra bergegas menuju dapur yang terletak di belakang gedung asrama. Ia ingin berbicara dengan Mbak Umi, kepala tukang masak yang sudah mengabdi di pesantren selama hampir dua puluh tahun.

Dapur pesantren pada pagi hari adalah tempat yang paling ramai. Para ibu-ibu tukang masak sudah mulai mempersiapkan sarapan untuk lebih dari dua ratus santri putri. Suara pisau memotong sayuran, desis minyak di wajan, dan ocehan para ibu bercampur menjadi simfoni pagi yang khas.

"Mbak Umi," panggil Zahra kepada seorang wanita paruh baya yang sedang mengaduk bubur kacang hijau.

"Oh, Zahra. Ada apa pagi-pagi begini?" Mbak Umi tersenyum ramah sambil terus mengaduk bubur.

"Mbak, saya mau tanya tentang porsi makan kemarin. Para santri banyak yang komplain karena makanan habis sebelum semua kebagian."

Wajah Mbak Umi berubah kusut. "Lho, aneh itu, Zahra. Kemarin saya udah ngitung betul-betul. Dua ratus lima puluh porsi untuk dua ratus empat puluh lima santri. Harusnya lebih malah."

"Tapi kenyataannya kemarin sekitar dua puluh santri tidak kebagian lauk."

"Itu yang bikin saya bingung," Mbak Umi menggaruk kepalanya. "Udah berkali-kali saya hitung ulang, tapi tetap aja kurang. Padahal saya masak sesuai resep yang udah bertahun-tahun dipake."

Zahra mengernyitkan dahi. "Jangan-jangan ada yang salah dalam perhitungan jumlah santri?"

"Udah saya cek ke kantor tata usaha. Jumlah santri yang tercatat memang segitu."

"Kalau begitu, boleh saya bantu ngecek persiapan makan siang hari ini?"

Mbak Umi mengangguk setuju. "Boleh-boleh. Mungkin mata saya udah rabun, jadi salah ngitung."


Sepanjang pagi hingga menjelang dhuhur, Zahra membantu di dapur sambil mengamati proses persiapan makanan. Ia ikut menghitung beras yang dimasak, sayuran yang dipotong, dan bumbu yang diracik. Semuanya sesuai dengan resep untuk dua ratus lima puluh porsi.

"Mbak, saya ikut ngecek waktu pembagian makanan ya," kata Zahra ketika para santri mulai berdatangan ke ruang makan.

"Iya, silakan. Kamu bisa bantu ngawasi di sana."

Zahra memposisikan dirinya di sudut ruang makan yang memungkinkannya melihat seluruh area dengan jelas. Ia memperhatikan setiap santri yang mengambil makanan, menghitung berapa porsi yang diambil.

Yang ia lihat tampak normal pada awalnya. Para santri mengantri dengan tertib, mengambil nasi, lauk, dan sayur sesuai dengan jatah masing-masing. Namun, Zahra mulai memperhatikan sesuatu yang aneh.

Ada beberapa santri yang kembali mengantri untuk mengambil makanan lagi setelah selesai makan. Mereka tidak duduk di meja makan seperti biasanya, tapi langsung keluar ruang makan setelah mengambil makanan kedua.

"Aneh," gumam Zahra. Sepengetahuannya, aturan pesantren tidak memperbolehkan santri mengambil makanan lebih dari satu porsi, kecuali jika masih ada sisa setelah semua kebagian.

Ia mencoba mengingat wajah-wajah yang mengambil makanan dua kali. Ada Fatma dari kelas satu, Indah dari kelas dua, dan beberapa santri lain yang tidak terlalu ia kenal.

Ketika makanan sudah habis dan beberapa santri di belakang tidak kebagian, Zahra menghampiri Mbak Umi yang sedang membereskan peralatan dapur.

"Mbak, tadi saya lihat ada beberapa santri yang mengambil makanan lebih dari sekali."

"Masa?" Mbak Umi terkejut. "Tapi biasanya mbak-mbak yang jaga prasmanan tidak bolehkan ambil dua kali kalau belum semua kebagian."

"Itu yang aneh. Sepertinya mereka mengambil saat penjaganya tidak memperhatikan."

Mbak Umi menghela napas. "Pantas aja makanannya selalu kurang. Tapi masa iya ada santri yang sengaja berbuat curang gitu?"

"Saya juga tidak mau berprasangka buruk. Tapi buktinya memang ada yang aneh."

"Terus gimana dong, Zahra?"

"Besok saya akan coba investigasi lebih dalam. Mungkin saya perlu bantuan beberapa santri senior untuk mengawasi."


Malam harinya, setelah shalat isya, Zahra mengumpulkan beberapa santri senior yang ia percaya. Ada Khadijah dari kelas tiga, Aisyah dari kelas dua, dan Maryam yang menjadi wakil ketua asrama.

"Ukhti-ukhti, saya butuh bantuan kalian untuk menyelesaikan masalah kekurangan makanan ini," kata Zahra di ruang pertemuan kecil yang biasa digunakan untuk rapat pengurus asrama.

"Apa yang bisa kita bantu, Kak Zahra?" tanya Khadijah.

"Tadi siang saya mengamati proses pembagian makanan, dan saya curiga ada beberapa santri yang mengambil makanan lebih dari sekali."

"Astafirullah, masa sih?" Aisyah tidak percaya. "Para santri di sini kan udah dididik untuk jujur dan tidak serakah."

"Itu juga yang saya pikirkan. Tapi bukti yang saya lihat seperti itu. Makanya saya butuh bantuan kalian untuk mengawasi lebih cermat."

"Oke, rencana kita gimana?" tanya Maryam.

"Besok waktu makan siang, kalian berpencar di berbagai sudut ruang makan. Perhatikan siapa saja yang mengambil makanan, terutama yang mengambil lebih dari sekali. Catat namanya jika perlu."

"Tapi gimana kalau ternyata mereka ada alasan khusus? Misalnya sakit atau apa gitu?" tanya Aisyah.

"Kalau memang ada alasan medis, seharusnya mereka lapor ke pengurus dulu. Ada prosedur khusus untuk santri yang butuh porsi tambahan karena kondisi kesehatan."

Keempat gadis itu sepakat untuk menjalankan misi investigasi pada hari berikutnya.


Hari ketiga investigasi berlangsung dengan lebih terorganisir. Zahra dan teman-temannya memposisikan diri di berbagai titik strategis di ruang makan. Mereka berpura-pura sedang makan atau ngobrol santai, padahal mata mereka tajam mengawasi setiap gerakan.

Awalnya, tidak ada yang mencurigakan. Para santri mengantri dengan tertib dan mengambil makanan sesuai jatah. Namun, sekitar lima belas menit setelah waktu makan dimulai, Zahra melihat Fatma—santri kelas satu yang kemarin juga ia perhatikan—berdiri dari mejanya meski piring masih setengah berisi.

Gadis itu berjalan ke arah pintu keluar, tapi kemudian berputar dan kembali mengantri di barisan pengambilan makanan. Kali ini ia tidak mengambil nasi, hanya lauk dan sayur yang ia masukkan ke dalam kotak plastik kecil yang ia sembunyikan di balik roknya.

Zahra memberikan isyarat mata kepada Khadijah yang berada di dekat pintu. Khadijah mengangguk dan bersiap mengikuti Fatma dari kejauhan.

Setelah mengambil makanan kedua, Fatma keluar dari ruang makan dengan langkah tergesa-gesa. Khadijah mengikutinya dengan hati-hati, berusaha tidak terlihat mencurigakan.

Sementara itu, Aisyah dan Maryam juga melaporkan temuan mereka kepada Zahra melalui kode-kode yang sudah mereka sepakati sebelumnya. Ada setidaknya empat santri lain yang melakukan hal serupa dengan Fatma.


Setelah waktu makan selesai, keempat investigator berkumpul di tempat yang sama seperti malam sebelumnya.

"Gimana, Khadijah? Kamu berhasil ikutin Fatma?" tanya Zahra penasaran.

"Iya, dan temuannya mengejutkan banget," jawab Khadijah dengan napas masih tersengal-sengal. "Fatma tidak makan makanan yang ia ambil kedua kali itu."

"Lalu diapain?"

"Dia bawa ke belakang gedung asrama, di daerah yang jarang dilalui orang. Di sana ada gubuk kecil bekas gudang yang udah tidak terpakai."

"Terus?"

"Dia masuk ke gubuk itu sebentar, terus keluar lagi dengan tangan kosong."

"Maksudnya dia buang makanannya?" tanya Maryam tidak percaya.

"Itu yang aneh. Kenapa dia repot-repot ambil makanan cuma buat dibuang? Tidak masuk akal."

Zahra termenung. "Atau jangan-jangan dia tidak membuangnya, tapi memberikan kepada orang lain?"

"Orang lain? Siapa?"

"Entahlah. Besok kita investigasi lebih lanjut."

Aisyah melaporkan temuannya, "Saya juga lihat Indah dan dua santri lain melakukan hal serupa. Mereka ambil makanan dua kali, tapi yang kedua dibawa keluar ruang makan."

"Pola yang sama," gumam Zahra. "Sepertinya ini memang sudah terorganisir."


Keesokan harinya, setelah shalat subuh, Zahra memutuskan untuk menjelajahi area belakang gedung asrama sendirian. Ia ingin melihat gubuk yang dimaksud Khadijah dan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.

Pagi masih sangat pagi, kabut tipis masih menyelimuti area pesantren. Zahra berjalan dengan hati-hati di antara pepohonan dan semak-semak yang memisahkan gedung asrama dengan area belakang yang jarang dikunjungi.

Gubuk bekas gudang itu memang ada, terletak di sudut yang tersembunyi di balik rimbunnya pohon mangga tua. Bangunan kecil berlantai tanah itu tampak sudah lama tidak terawat, dengan dinding kayu yang mulai lapuk dan ateng genteng yang beberapa lembarnya sudah retak.

Zahra mendekat dengan hati-hati. Pintu gubuk tertutup, tapi tidak terkunci. Ia menempelkan telinga ke dinding untuk mendengarkan apakah ada suara dari dalam.

Samar-samar, ia mendengar suara seperti orang sedang makan—suara sendok yang bersentuhan dengan piring dan suara kunyahan pelan.

Jantung Zahra berdebar kencang. Ada orang di dalam gubuk itu!

Dengan perlahan, ia mendorong pintu yang berderit pelan. Melalui celah pintu yang terbuka sedikit, ia bisa melihat ke dalam gubuk yang remang-remang.

Pemandangan yang ia lihat membuatnya terkejut bukan main.

Di sudut gubuk, seorang wanita paruh baya duduk di atas tikar lusuh sambil makan dari beberapa kotak plastik yang berisi makanan pesantren. Rambut wanita itu kusut dan pakaiannya compang-camping. Di sampingnya, seorang anak laki-laki berusia sekitar sepuluh tahun juga sedang makan dengan lahap.

"Astafirullah," bisik Zahra tidak sengaja.

Wanita itu menoleh dengan terkejut. Mata mereka beradu sejenak sebelum wanita itu panik dan bersiap untuk lari.

"Tunggu, Bu!" Zahra cepat-cepat masuk ke dalam gubuk. "Saya tidak akan menyakiti Ibu."

Wanita itu terdiam, memeluk anak laki-laki itu dengan erat. Wajahnya pucat karena ketakutan.

"Siapa Ibu? Kenapa ada di sini?" tanya Zahra dengan lembut.

Wanita itu tidak menjawab, hanya menatap Zahra dengan mata yang penuh kewaspadaan.

Zahra duduk dengan jarak yang cukup jauh agar tidak membuat mereka semakin takut. "Ibu, saya tidak akan melaporkan Ibu kepada siapa pun. Saya hanya ingin tahu, apa yang terjadi?"

Setelah beberapa menit keheningan, wanita itu akhirnya membuka suara dengan suara yang parau.

"Saya... saya dan anak saya tidak punya tempat tinggal. Sudah seminggu ini kami tidur di gubuk ini."

"Kenapa bisa begitu, Bu?"

"Suami saya meninggal bulan lalu karena sakit. Rumah kontrakan kami disita oleh pemilik karena kami tidak bisa bayar. Saya tidak punya keluarga yang bisa dimintai bantuan."

Air mata mulai mengalir di pipi wanita itu. Anak laki-laki di sampingnya juga ikut menangis meski mungkin tidak sepenuhnya mengerti situasi yang sedang terjadi.

"Jadi selama ini, makanan yang hilang dari pesantren..."

"Saya minta maaf," wanita itu menundukkan kepala. "Saya tahu ini salah, tapi anak saya sudah dua hari tidak makan. Saya tidak tahu harus minta bantuan kepada siapa."

Zahra terdiam, hatinya terenyuh melihat kondisi ibu dan anak itu. Ia baru menyadari bahwa di balik misteri kekurangan makanan yang mereka selidiki, tersimpan kisah kemanusiaan yang menyentuh.

"Siapa yang memberikan makanan kepada Ibu?"

"Ada beberapa santri baik hati yang kasihan melihat kondisi kami. Mereka sering memberikan makanan secara diam-diam."

"Fatma, Indah, dan yang lainnya?"

Wanita itu mengangguk. "Mereka bilang tidak apa-apa, karena makanan di pesantren selalu banyak. Tapi sepertinya sekarang sudah ketahuan ya?"

Zahra menghela napas panjang. Situasi ini jauh lebih kompleks daripada yang ia bayangkan. Di satu sisi, para santri telah melanggar aturan dengan mengambil makanan lebih dari jatah mereka. Tapi di sisi lain, mereka melakukannya untuk membantu sesama yang sedang kesusahan.


Setelah berbincang lebih lanjut dengan ibu dan anak itu—yang ternyata bernama Bu Siti dan Reza—Zahra kembali ke asrama dengan perasaan campur aduk. Ia harus mengambil keputusan yang tidak mudah.

Malam itu, Zahra mengumpulkan kembali tim investigasinya untuk melaporkan temuannya.

"Subhanallah, jadi ternyata ada cerita sedih di balik semua ini," kata Khadijah setelah mendengar laporan Zahra.

"Iya, sekarang saya dilema. Di satu sisi, para santri memang melanggar aturan. Tapi di sisi lain, mereka melakukannya untuk kebaikan," ujar Zahra.

"Menurutku, yang mereka lakukan itu mulia. Membantu sesama yang kesusahan kan memang diperintahkan agama," kata Aisyah.

"Tapi tetap aja mereka tidak boleh mengambil makanan secara sembunyi-sembunyi. Harusnya mereka lapor ke pengurus atau ustadzah dulu," tambah Maryam.

"Mungkin mereka takut tidak diizinkan makanya tidak lapor," kata Khadijah.

Zahra termenung. "Besok saya akan bicara dengan Fatma dan yang lainnya. Saya ingin dengarkan penjelasan mereka langsung."


Keesokan harinya, setelah shalat maghrib, Zahra memanggil Fatma, Indah, dan dua santri lain yang ia ketahui terlibat dalam "operasi" pemberian makanan kepada Bu Siti.

Keempat gadis itu datang dengan wajah cemas ke ruang pertemuan. Mereka sepertinya sudah menduga bahwa perbuatan mereka sudah ketahuan.

"Ukhti-ukhti, duduk dulu," kata Zahra dengan nada yang tidak menakutkan.

Mereka duduk dengan gugup, saling melempar pandangan satu sama lain.

"Saya sudah tahu tentang Bu Siti dan anaknya yang tinggal di gubuk belakang asrama," kata Zahra langsung to the point.

Wajah Fatma langsung pucat. "Kak Zahra, kami bisa jelasin..."

"Saya tidak marah," potong Zahra. "Saya hanya ingin tahu, kenapa kalian tidak melaporkan hal ini kepada pengurus atau ustadzah?"

Fatma dan yang lainnya saling berpandangan. Akhirnya Indah yang menjawab.

"Kami takut, Kak. Takut kalau dilaporkan, Bu Siti dan anaknya malah diusir dari pesantren."

"Terus kalian pikir cara terbaik adalah mengambil makanan secara diam-diam?"

"Maaf, Kak. Kami tahu itu salah. Tapi kami tidak tahu cara lain," kata Fatma dengan mata berkaca-kaca.

"Awalnya kami mau patungan beli makanan sendiri, tapi uang saku kami terbatas. Sedangkan di pesantren kan makanannya selalu banyak, jadi kami pikir tidak masalah kalau kami ambil sedikit lebih banyak," tambah salah satu santri yang bernama Sinta.

Zahra menghela napas. "Kalian tahu tidak, karena perbuatan kalian, santri lain jadi tidak kebagian makanan?"

Keempat gadis itu menundukkan kepala dengan malu.

"Kami minta maaf, Kak. Kami tidak kepikiran sampai kesitu," kata Fatma.

"Sekarang gimana, Kak? Kami harus dikeluarkan dari pesantren?" tanya Indah dengan suara bergetar.

Zahra terdiam sejenak. Ia melihat keempat gadis di hadapannya yang jelas-jelas menyesal atas perbuatan mereka. Mereka memang salah dalam cara, tapi niat mereka mulia.

"Saya akan bicarakan hal ini dengan ustadzah dan pengurus lainnya. Tapi sebelum itu, kalian harus berjanji tidak akan mengambil makanan secara diam-diam lagi."

"Kami janji, Kak!"

"Dan kalian juga harus meminta maaf kepada teman-teman yang tidak kebagian makanan karena perbuatan kalian."

"Siap, Kak Zahra."


Malam itu juga, Zahra melaporkan seluruh hasil investigasinya kepada Ustadzah Nur, pengasuh utama pesantren putri. Wanita paruh baya yang bijaksana itu mendengarkan dengan seksama tanpa memotong cerita Zahra.

"Astafirullah, ternyata ada keluarga yang sedang kesusahan di sekitar pesantren kita," kata Ustadzah Nur setelah Zahra selesai bercerita.

"Iya, Ustadzah. Kondisi mereka sangat memprihatinkan."

"Dan para santri kita, meski caranya salah, tapi hati mereka baik. Mereka tergerak untuk membantu sesama."

"Menurut Ustadzah, bagaimana sebaiknya kita sikapi masalah ini?"

Ustadzah Nur terdiam sejenak, tampak sedang berpikir.

"Begini, Zahra. Untuk para santri yang mengambil makanan secara diam-diam, mereka memang harus diberi teguran dan sanksi ringan. Tapi sanksinya bukan untuk menghukum, melainkan untuk mendidik mereka agar ke depan menyelesaikan masalah dengan cara yang benar."

"Sanksi seperti apa, Ustadzah?"

"Mereka harus mengikuti kuliah khusus tentang adab dan etika dalam membantu sesama. Dan mereka juga harus meminta maaf secara terbuka kepada seluruh santri."

"Bagaimana dengan Bu Siti dan anaknya?"

"Nah, ini yang lebih penting. Kita sebagai lembaga pendidikan Islam tidak boleh menutup mata terhadap penderitaan sesama. Bu Siti dan anaknya harus kita bantu."

"Dibantu bagaimana, Ustadzah?"

"Besok pagi kita akan mengadakan rapat dengan seluruh pengurus dan perwakilan santri. Kita akan mencari solusi terbaik untuk membantu Bu Siti tanpa melanggar aturan pesantren."


Rapat yang dimaksud Ustadzah Nur diselenggarakan keesokan harinya setelah shalat subuh. Hadir dalam rapat tersebut Kyai Muhammad (pengasuh putra), Ustadzah Nur, beberapa ustadz dan ustadzah senior, serta perwakilan santri putra dan putri.

Zahra diminta untuk menceritakan kembali hasil investigasinya di hadapan forum tersebut. Reaction para peserta rapat beragam—ada yang terkejut, ada yang terenyuh, dan ada yang langsung berpikir mencari solusi.

"Masalah ini mengingatkan saya pada sabda Rasulullah saw tentang orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan," kata Kyai Muhammad setelah mendengar laporan Zahra.

"Benar, Kyai. Sebagai lembaga yang mendidik calon-calon pemimpin umat, kita harus memberikan contoh dalam kepedulian sosial," sambung Ustadzah Nur.

Ustadz Hakim, pengurus bagian kesantrian, mengangkat tangan. "Saran saya, kita bentuk tim khusus untuk menangani kasus-kasus sosial seperti ini. Jadi kalau ada masyarakat sekitar yang butuh bantuan, mereka bisa datang langsung kepada tim tersebut."

"Ide bagus," angguk Kyai Muhammad. "Bagaimana dengan kondisi Bu Siti saat ini? Apakah mereka masih di gubuk itu?"

"Masih, Kyai. Mereka tidak punya tempat lain untuk tinggal," jawab Zahra.

"Kalau begitu, langkah pertama, kita harus memberikan tempat tinggal yang layak untuk mereka. Apakah ada ruang kosong di area pesantren yang bisa digunakan sementara?"

Ustadz Farid, bagian sarana prasarana, menjawab, "Ada ruang kosong di gedung tamu yang bisa digunakan sementara, Kyai. Tapi perlu sedikit renovasi."

"Oke, segera lakukan renovasi. Berapa biayanya?"

"Sekitar dua juta rupiah untuk perbaikan dan pembelian perabot sederhana."

"Baik, anggarannya akan saya ambil dari kas sosial pesantren."

Zahra merasa lega mendengar respons positif dari para pengasuh. Ternyata mereka sangat peduli dengan nasib Bu Siti dan anaknya.

"Untuk jangka panjang, Bu Siti perlu pekerjaan agar bisa mandiri," kata Ustadzah Nur. "Apakah beliau punya keahlian khusus?"

"Menurut pengakuannya, beliau bisa memasak dan menjahit, Ustadzah," jawab Zahra.

"Kalau begitu, kita bisa pertimbangkan untuk memberikan pekerjaan di pesantren. Kebetulan dapur kita memang butuh tenaga tambahan."

"Bagaimana dengan anaknya? Umurnya masih sekolah kan?"

"Iya, Kyai. Namanya Reza, umur sepuluh tahun. Harusnya kelas lima SD."

"Oke, kita akan bantu daftarkan dia di SD terdekat. Biaya pendidikannya bisa kita tanggung melalui program beasiswa sosial pesantren."

Rapat berlangsung hampir dua jam, dan menghasilkan program bantuan komprehensif untuk Bu Siti dan Reza. Mulai dari tempat tinggal, pekerjaan, pendidikan anak, hingga pembinaan mental spiritual.


Tiga hari kemudian, Bu Siti dan Reza sudah pindah ke ruang tamu pesantren yang telah direnovasi. Ruangan sederhana namun bersih dan layak huni itu dilengkapi dengan tempat tidur, lemari, meja kecil, dan peralatan dapur sederhana.

Bu Siti mulai bekerja di dapur pesantren sebagai pembantu Mbak Umi. Gaji yang ia terima cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan menabung untuk masa depan anaknya.

Reza didaftarkan di SD Negeri yang berjarak sekitar satu kilometer dari pesantren. Ia sangat antusias bersekolah karena sudah lama tidak bisa mengenyam pendidikan formal.

Sementara itu, Fatma, Indah, dan dua santri lainnya menjalani sanksi yang telah ditetapkan. Mereka mengikuti kuliah khusus tentang etika membantu sesama dan meminta maaf secara terbuka kepada seluruh santri putri.

"Kami minta maaf kepada semua ukhti karena perbuatan kami yang telah menyebabkan kekurangan makanan," kata Fatma di hadapan seluruh santri putri saat apel malam.

"Kami sadar bahwa niat baik tidak bisa membenarkan cara yang salah. Ke depan, jika ada masalah sosial yang perlu ditangani, kami akan melaporkan kepada pengurus terlebih dahulu," tambah Indah.

Para santri menerima permintaan maaf mereka dengan lapang dada. Bahkan beberapa santri senior menyatakan kekaguman terhadap kepedulian sosial yang mereka tunjukkan.


Sebulan kemudian, masalah kekurangan makanan di pesantren sudah teratasi sepenuhnya. Bahkan dengan bertambahnya tenaga kerja di dapur, kualitas dan kuantitas makanan menjadi lebih baik.

Bu Siti yang awalnya pemalu dan pendiam, kini sudah mulai akrab dengan para santri putri. Ia sering bercerita tentang pengalamannya kepada santri-sant

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi