Rintihan dari gudang

 


Rintihan dari gudang

Rizka Dewi Nur Aini

 

Malam satu Syuro itu tiba. Bulan tertutup awan pekat, permukaan pesantren Maulana Malik Ibrahim Bojonegoro diselimuti kegelapan yang hanya disapu sedikit oleh cahaya lampu jalan yang temaram. Di kamar asrama putri, Rizka terbangun dari tidurnya. Perutnya terasa mulas dan kandung kemihnya penuh. Ia melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 01.30 dini hari.

"Aduh, harus ke kamar mandi," gumamnya pelan.

Rizka melihat teman-teman sekamarnya masih terlelap pulas. Ulfa yang biasanya cerewet bahkan mendengkur halus, Husna memeluk bantal dengan erat, sedangkan Khalila dan Izza tertidur dengan tenang di sudut ruangan. Rizka meraih ponselnya dan menyalakan senter, lalu melangkah keluar kamar dengan hati-hati.

Koridor asrama putri terasa lebih mencekam dari biasanya. Angin malam berhembus dari jendela yang sedikit terbuka, membuat tirainya bergerak-gerak seperti sosok yang menari. Rizka mempercepat langkahnya. Ia tak pernah suka dengan malam satu Syuro. Sejak kecil, ia selalu dengar dari orangtuanya bahwa malam pergantian tahun Jawa ini adalah waktu di mana makhluk gaib berkeliaran lebih bebas.

"Ah, itu cuma takhayul," Rizka meyakinkan dirinya sendiri.

Kamar mandi putri terletak di belakang asrama, sekitar dua puluh meter dari kamarnya. Ia harus melewati koridor panjang yang gelap. Padahal biasanya lampu koridor tetap menyala, tapi malam itu entah mengapa padam. Hanya ada cahaya remang dari lampu taman yang masuk lewat jendela.

"Bu Hawa pasti lupa mengganti lampu yang rusak," gumam Rizka, menyebut nama kepala asrama putri yang tegas namun berwibawa itu.

Sepanjang perjalanan ke kamar mandi, Rizka merasakan kegelisahan yang aneh. Seperti ada yang mengawasinya. Ia terus menoleh ke belakang, tapi tidak menemukan apapun selain bayangan pepohonan yang bergoyang tertiup angin.

Sesampainya di kamar mandi, Rizka cepat-cepat masuk ke salah satu bilik. Ia mendengar suara tetesan air dari keran yang tidak tertutup rapat. Tik... tik... tik... Suara itu menggema di ruangan yang kosong, menciptakan atmosfer yang semakin menegangkan.

Setelah selesai dengan urusannya, Rizka bergegas mencuci tangan dan wajahnya. Ketika ia mendongak menatap cermin di atas wastafel, jantungnya nyaris berhenti berdetak.

Di belakangnya, terpantul bayangan sosok tinggi besar dengan mata merah menyala. Sosok itu tampak seperti manusia namun dengan proporsi tubuh yang tidak wajar. Tangannya panjang menjuntai hampir menyentuh lantai, dan kulitnya berwarna hitam legam seperti arang.

"Astagfirullah..." Rizka berbisik ketakutan.

Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat di tenggorokan. Tubuhnya mendadak kaku, tak bisa digerakkan. Dengan susah payah, ia mencoba menoleh untuk memastikan apa yang dilihatnya bukan hanya ilusi.

Sosok itu nyata.

Berdiri tepat di belakangnya dengan mulut menganga lebar menampakkan deretan gigi tajam yang tidak beraturan. Aroma busuk menyengat tercium dari sosok tersebut.

"Riz...ka..." sosok itu memanggil namanya dengan suara serak yang tidak manusiawi.

Kaki Rizka gemetaran. Ia ingin lari, tapi tubuhnya seperti dipaku ke lantai. Air matanya mulai mengalir tanpa bisa ditahan.

"T-tolong..." suaranya terdengar sangat lirih.

Sosok itu mengulurkan tangannya yang panjang, menyentuh rambut Rizka perlahan. Ketika tangan dingin itu menyentuh kulitnya, Rizka merasakan sensasi tersengat yang menyakitkan.

"AAAAHHH!" Akhirnya ia berhasil berteriak sekuat tenaga.

Tapi teriakannya terpotong ketika sosok itu tiba-tiba mencengkeram kakinya dan menyeretnya keluar dari kamar mandi dengan kecepatan luar biasa. Rizka mencoba berpegangan pada apapun yang bisa diraihnya, tapi sia-sia. Tubuhnya terseret melewati koridor, melewati pelataran belakang, dan menuju ke arah yang tidak ia kenali.

Pandangannya kabur oleh air mata dan rasa takut yang luar biasa. Ia bisa merasakan kulitnya tergores dan terluka akibat terseret di tanah. Ia mencoba berteriak lagi, tapi suaranya seperti tertelan kegelapan malam.

Samar-samar ia melihat gudang tua yang terletak di sudut paling belakang kompleks pesantren. Gudang itu jarang dikunjungi siapapun karena kondisinya yang tidak terawat dan letaknya yang terpencil. Sosok itu menyeretnya masuk ke dalam gudang melalui celah pintu yang rusak.

Di dalam gudang yang gelap dan pengap, sosok itu akhirnya melepaskan cengkeramannya. Rizka terbatuk-batuk, mencoba mengatur napasnya yang tersengal.

"Apa... maumu?" tanyanya dengan suara bergetar.

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri menjulang di hadapan Rizka, mata merahnya menatap tajam seolah mengawasi setiap gerak-geriknya.

"Kami... menunggu... waktu..." bisik sosok itu akhirnya.

"Waktu apa?" tanya Rizka, berusaha mengulur waktu sembari mencari jalan keluar.

Sosok itu melangkah mendekat, membuat Rizka semakin ketakutan. Ia mundur hingga punggungnya menyentuh dinding gudang yang lembab.

"Waktu... pembebasan..." sosok itu berbisik lagi. "Kau... penghubung..."

Tiba-tiba sosok itu mengulurkan tangannya yang panjang dan menempelkannya ke dahi Rizka. Sensasi dingin yang luar biasa menjalar ke seluruh tubuhnya. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Suara-suara aneh terdengar bergema di kepalanya. Ia melihat kilasan-kilasan gambar yang tidak ia pahami. Rumah kosong di belakang pesantren, sebuah kitab kuno, ritual aneh, dan sosok-sosok mengerikan yang berkumpul melingkari sesuatu.

"AAAAHHH!" Rizka menjerit kesakitan saat kepalanya terasa seperti akan meledak. Lalu semuanya gelap.


"Rizka tidak ada di kamarnya!"

Ulfa berlari panik menuju kantor Bu Hawa pagi itu. Wajahnya pucat dan matanya berkaca-kaca.

"Apa maksudmu, Fa?" tanya Bu Hawa dengan dahi berkerut.

"Sejak pagi saya tidak melihatnya. Tempat tidurnya kosong, tapi tasnya masih ada. Ponselnya juga tertinggal di samping bantalnya," jelas Ulfa dengan napas tersengal.

Bu Hawa langsung berdiri dari kursinya. Ini bukan hal biasa. Rizka memang dikenal suka ikut campur urusan orang lain, tapi ia bukan tipe anak yang suka keluyuran tanpa izin.

"Sudah kau tanyakan ke teman-temannya yang lain? Mungkin dia sedang di perpustakaan atau kantin?" tanya Bu Hawa mencoba tenang.

"Sudah, Bu. Saya sudah bertanya ke mana-mana. Khalila dan Izza juga tidak melihatnya sejak bangun tidur tadi," jawab Ulfa cemas.

Bu Hawa segera menghubungi Pak Akom, kepala asrama putra yang galak itu, untuk meminta bantuan mencari Rizka. Berita tentang hilangnya Rizka dengan cepat menyebar ke seluruh pesantren. Para santri diminta untuk membantu pencarian, meskipun mereka tetap harus mengikuti kegiatan pesantren seperti biasa.

"Mungkin dia lagi ngambek terus sembunyi," kata Aldo dengan kalimatnya yang tajam seperti biasa.

"Jangan sembarangan bicara," tegur Alif yang kini lebih bijak setelah pengalamannya dengan rumah kosong itu. "Rizka bukan tipe orang yang seperti itu."

Kyai Ihsanuddin akhirnya turun tangan. Beliau mengumpulkan para ustadz dan kepala keamanan untuk mencari Rizka secara menyeluruh. Kang Wahab, khodam pak kyai yang pendiam itu, diminta untuk memeriksa seluruh sudut pesantren bersama Kang Alfan yang gemoy.

Bunyai Fifi tampak sangat cemas. Ia memimpin para santri putri untuk membaca doa bersama di musholla, memohon keselamatan Rizka.

"Ya Allah, lindungilah Rizka. Berikanlah petunjuk-Mu agar kami dapat menemukannya," doa Bunyai Fifi dengan khusyuk.

Pencarian berlangsung sepanjang hari. Dari pagi hingga menjelang Ashar, tidak ada tanda-tanda keberadaan Rizka. Pesantren mulai diselimuti kegelisahan. Beberapa santri putri bahkan menangis karena takut terjadi sesuatu yang buruk pada teman mereka.

"Bu Fika, bagaimana ini?" tanya Bu Hawa kepada kepala keamanan putri yang pendiam namun ahli memecahkan kasus itu.

Bu Fika yang sedari tadi mengamati situasi dengan tenang akhirnya angkat bicara. "Ada sesuatu yang janggal. Rizka menghilang tepat pada malam satu Syuro. Ini bukan kebetulan."

"Maksud Ibu?" tanya Bu Hawa penasaran.

"Saya pernah membaca kasus serupa di pesantren lain. Biasanya ini ada kaitannya dengan... hal-hal gaib," jawab Bu Fika dengan suara pelan.

Bu Hawa bergidik. Ia tidak suka membicarakan hal-hal berbau mistis, tapi mengingat kejadian Alif beberapa bulan lalu, ia tidak bisa mengabaikan kemungkinan tersebut.

"Sebaiknya kita beritahu Kyai dan minta pendapat Gus Iib," usul Bu Fika.

Sementara itu, di asrama putri, Husna sedang duduk termenung di tepi jendela. Tangannya terus mengetuk-ngetuk bingkai jendela, kebiasaannya ketika sedang berpikir keras. Tiba-tiba ia mendengar suara aneh dari kejauhan.

"Eh, kalian dengar itu?" tanya Husna pada Khalila dan Izza yang sedang berdiskusi di sampingnya.

"Dengar apa?" tanya Khalila yang jenius itu sambil memasang telinga.

"Seperti... suara rintihan," jawab Husna. "Dari arah gudang belakang."

"Masa sih? Aku tidak dengar apa-apa," kata Izza yang diam-diam suka dengan Gus Fiza itu.

Husna berdiri dan bergegas keluar kamar. "Aku yakin dengan apa yang kudengar. Ayo kita cek!"

Khalila dan Izza saling berpandangan ragu, tapi akhirnya mengikuti Husna. Mereka bertiga berjalan menuju arah gudang belakang yang jarang dikunjungi. Ketika semakin dekat, Khalila dan Izza mulai mendengar suara yang dimaksud Husna.

"Itu... seperti suara Rizka!" seru Khalila terkejut.

Mereka berlari secepat mungkin menuju gudang tua itu. Pintu gudang terlihat rusak, dengan sebagian kayunya yang lapuk. Dari celah pintu, terdengar jelas suara rintihan lemah.

"T-tolong... siapapun... tolong..."

"Rizka! Kamu di dalam?" teriak Husna panik.

"Hus... na... t-tolong..."

Tanpa pikir panjang, mereka mencoba membuka pintu gudang yang ternyata terkunci dari luar dengan gembok berkarat.

"Khalila, cari bantuan! Cepat!" perintah Husna.

Khalila langsung berlari mencari pertolongan, sementara Husna dan Izza mencoba menenangkan Rizka dari luar.

"Rizka, bertahanlah! Kami akan segera menolongmu!" teriak Izza.

Tidak lama kemudian, Khalila kembali bersama Pak Emi, kepala keamanan putra yang beringas namun selalu taat peraturan itu, dan beberapa santri putra termasuk Farel, Alif, dan Syauqi.

"Minggir!" perintah Pak Emi dengan suara lantang. Dengan sekali tendangan kuat, pintu gudang yang sudah lapuk itu terdobrak.

Pemandangan di dalam gudang membuat mereka semua terkesiap. Rizka terbaring lemah di lantai yang kotor dan lembab. Wajahnya pucat pasi, bibirnya membiru, dan tubuhnya penuh luka gores seolah telah diseret di tanah. Matanya terbuka lebar menatap kosong ke langit-langit gudang yang bocor.

"Ya Allah..." gumam Pak Emi terkejut.

Alif segera mendekati Rizka dan memeriksa nadinya. "Dia masih hidup, tapi sangat lemah!"

Pak Emi dengan sigap mengangkat tubuh Rizka dan membawanya keluar dari gudang. "Cepat beritahu Kyai dan Bunyai! Kita harus segera membawanya ke ruang kesehatan!"

Berita ditemukannya Rizka menyebar dengan cepat. Seluruh pesantren gempar. Rizka segera dibawa ke ruang kesehatan dan ditangani oleh Pak Nusa yang kebetulan juga memiliki pengetahuan medis selain hobi olahraganya.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Kyai Ihsan yang segera datang bersama Bunyai Fifi.

"Secara fisik, dia mengalami dehidrasi dan beberapa luka ringan, Kyai," jawab Pak Nusa. "Tapi saya khawatir ada sesuatu yang lebih dari itu. Lihat matanya, seperti orang yang mengalami trauma hebat."

Rizka berbaring dengan tubuh gemetaran. Matanya masih terbuka lebar, dan bibirnya terus menggumamkan kata-kata yang tidak jelas.

"Dia... mereka... akan... datang... satu... Syuro... depan..."

Bunyai Fifi menggenggam tangan Rizka yang dingin. "Rizka, sayang, kamu aman sekarang. Tidak ada yang akan menyakitimu..."

Tapi Rizka seperti tidak mendengar. Ia terus menggumam dan sesekali tersentak kaget seolah melihat sesuatu yang menakutkan.

"Sepertinya kita perlu memanggil Gus Iib," usul Pak Nusa.

Kyai Ihsan mengangguk setuju. Kang Wahab langsung bergegas memanggil Gus Iib, adik Kyai yang ahli dalam hal ghaib itu.

Tidak lama kemudian, Gus Iib datang dengan wajah serius. Ia meminta semua orang untuk keluar dari ruangan kecuali Kyai Ihsan dan Bunyai Fifi. Ia lalu mendekati Rizka dan membacakan beberapa ayat Al-Qur'an.

"Bismillahirrahmanirrahim..." Gus Iib mulai membaca ayat Kursi sambil meletakkan tangannya di dahi Rizka yang dingin.

Tubuh Rizka mendadak menegang, lalu bergetar hebat. Matanya terbalik, hanya menampakkan bagian putihnya saja. Mulutnya terbuka lebar, mengeluarkan suara yang bukan miliknya.

"KAMI AKAN KEMBALI! SATU SYURO DEPAN! PEMBEBASAN AKAN TERJADI!"

Gus Iib tidak gentar. Ia terus membaca ayat-ayat dengan suara yang semakin keras. "A'udzubillahi minasy syaithanir rajim..."

Tubuh Rizka mengejang beberapa kali, lalu mendadak lemas. Ia terbatuk-batuk, dan napasnya mulai teratur kembali. Perlahan, matanya kembali normal dan focus.

"Di... dimana aku?" tanyanya lemah.

"Alhamdulillah," ucap Bunyai Fifi lega.

Gus Iib menatap Rizka dengan wajah serius. "Rizka, apa yang terjadi padamu malam tadi?"

Rizka mencoba mengingat. Air matanya langsung mengalir deras saat kilasan-kilasan kejadian mengerikan itu kembali memenuhi benaknya.

"Ada... sosok mengerikan... di kamar mandi... Ia menyeretku ke gudang... lalu..." Rizka tidak sanggup melanjutkan kata-katanya. Ia terisak-isak ketakutan.

"Tenanglah, Nak. Kamu aman sekarang," Kyai Ihsan mencoba menenangkan.

"Tidak, Kyai... tidak ada yang aman..." Rizka tiba-tiba berbicara dengan suara bergetar. "Dia... mereka... memberitahuku sesuatu. Tentang pembebasan... pada malam satu Syuro tahun depan... di rumah kosong itu..."

Gus Iib dan Kyai Ihsan saling berpandangan dengan wajah cemas. Mereka teringat peringatan Pak Misqol beberapa bulan lalu setelah kejadian Alif.

"Rizka, apa lagi yang mereka katakan padamu?" tanya Gus Iib hati-hati.

"Mereka... menunjukkan gambar-gambar... ritual... kitab kuno... dan... sesuatu yang dikubur di bawah rumah kosong itu..."

Kyai Ihsan mengusap wajahnya yang tampak lelah. "Astagfirullah..."

"Kita harus menghubungi Pak Misqol segera," kata Gus Iib dengan nada serius. "Ini bukan kejadian biasa. Ada sesuatu yang besar sedang direncanakan."

Bunyai Fifi terus mengusap kepala Rizka dengan lembut, mencoba menenangkannya. "Sekarang istirahatlah dulu, Nak. Kami akan menjagamu."

Rizka mengangguk lemah. Tubuhnya masih gemetaran, tapi setidaknya ia sudah bisa bernapas normal. Matanya perlahan terpejam karena kelelahan.

Di luar ruang kesehatan, para santri berkumpul dengan wajah cemas. Husna, Khalila, dan Izza tidak mau beranjak dari depan pintu, menunggu kabar tentang kondisi teman mereka.

"Apa yang sebenarnya terjadi pada Rizka?" tanya Ulfa yang mulutnya tidak bisa diam itu.

"Entahlah, tapi pasti ada hubungannya dengan malam satu Syuro," jawab Khalila sambil berpikir.

"Seperti yang terjadi pada Alif dulu?" tanya Izza pelan.

Husna mengangguk. "Tapi sepertinya ini lebih serius. Lihat wajah Kyai dan Gus Iib saat keluar tadi."

Di sudut lain pesantren, tepatnya di rumah Kyai Ihsan, sebuah pertemuan darurat diadakan. Kyai Ihsan, Gus Iib, dan Pak Misqol yang baru saja tiba dari Balen duduk bersama dengan wajah serius.

"Ini seperti yang saya khawatirkan," kata Pak Misqol. "Segel darah Alif memang tidak akan bertahan lama. Dan makhluk-makhluk di rumah itu mulai mencari cara untuk membebaskan diri mereka sepenuhnya."

"Tapi kenapa mereka memilih Rizka?" tanya Kyai Ihsan.

"Karena dia memiliki kemampuan untuk 'melihat' yang tidak dia sadari sendiri," jawab Pak Misqol. "Kesukaannya ikut campur urusan orang lain bukan hanya sifat, tapi juga sebuah bakat spiritual yang tidak terasah."

"Jadi mereka menjadikannya sebagai medium?" tanya Gus Iib.

Pak Misqol mengangguk. "Dan mereka telah memberikan pesan melaluinya. Malam satu Syuro tahun depan, mereka akan mencoba keluar sepenuhnya."

"Kita harus melakukan sesuatu," kata Kyai Ihsan tegas. "Tidak bisa membiarkan hal ini terjadi."

"Ada satu cara," kata Pak Misqol perlahan. "Tapi sangat berisiko. Kita harus menemukan kitab kuno yang mereka tunjukkan pada Rizka. Kitab itu berisi cara untuk menyegel mereka secara permanen."

"Bagaimana kita bisa menemukannya?" tanya Gus Iib.

"Kita harus meminta Rizka untuk mengingat detail kitab itu," jawab Pak Misqol. "Dan mungkin... kita perlu bantuan Pak Sokhib untuk membuat alat pendeteksi yang lebih kuat."

Kyai Ihsan mengangguk setuju. "Kita akan melakukan apapun yang diperlukan untuk melindungi pesantren ini dan para santri."

Malam itu, pesantren Maulana Malik Ibrahim diselimuti kesunyian yang tidak biasa. Para santri diperintahkan untuk tidak keluar asrama setelah Isya kecuali untuk keperluan mendesak. Penjagaan diperketat, terutama di sekitar gudang dan area belakang pesantren.

Di ruang kesehatan, Rizka terbangun dari tidurnya dengan napas tersengal. Ia bermimpi tentang sosok mengerikan itu lagi. Dalam kegelapan ruangan, ia melihat ke arah jendela dan tersentak kaget. Di luar sana, di kejauhan, tepat di arah rumah kosong itu berada, sepasang mata merah menyala menatap ke arahnya. Seolah mengawasi. Seolah menunggu.

Rizka menarik selimutnya hingga menutupi wajah, tubuhnya gemetar hebat. Ia tahu, ini baru permulaan. Sesuatu yang lebih besar akan terjadi setahun lagi, pada malam satu Syuro berikutnya. Dan entah bagaimana, ia merasa dirinya terikat dengan kejadian yang akan datang itu.

"Ya Allah, lindungilah kami semua..." bisiknya gemetar sebelum kembali terlelap dalam tidur yang tidak tenang.

Di atas atap musholla pesantren, Gus Iib berdiri memandang ke arah rumah kosong itu dengan wajah serius. Ia bisa merasakan energi negatif yang menguar dari tempat tersebut. Lebih kuat dari sebelumnya. Pertarungan melawan kekuatan jahat belum berakhir. Bahkan, mungkin baru saja dimulai.

Sekian.

Comments

Popular posts from this blog

Sang Jenderal telah Menikah

Ketika Mentari Terakhir Terbit

Nada-Nada Sunyi di Balik Tembok Pesantren