Sang Pencari Cahaya


Sang Pencari Cahaya

Subuh baru saja menyingsing ketika Kyai Hasan Mubarok menyelesaikan wirid terakhirnya. Manik tasbih kayu cendana masih bergerak perlahan di jemarinya yang mulai keriput, sementara mata tuanya menatap kosong ke arah mihrab masjid pesantren. Ada kegelisahan yang menggelayut di dadanya sejak berminggu-minggu, seperti bayangan tipis yang enggan pergi.

"Kyai," suara Ahmad Fauzi, khadam kepercayaannya, memecah keheningan. Pemuda berusia dua puluh lima tahun itu berdiri dengan hormat di ambang pintu masjid, menunggu izin untuk mendekat.

"Iya, Fauzi. Mlebu ae, nak." Kyai Hasan mengisyaratkan dengan gerakan halus.

Ahmad Fauzi melangkah dengan hati-hati di atas sajadah yang sudah lusuh. Dia telah mengabdi pada kyai selama tujuh tahun, sejak pertama kali tiba di pesantren ini sebagai santri yatim piatu. Kini, dia menjadi tangan kanan yang dipercaya untuk mengurus berbagai urusan pesantren.

"Ada apa, Kyai? Sampean kelihatan gelisah akhir-akhir ini," tanya Fauzi dengan suara lembut, menggunakan bahasa campuran yang biasa mereka pakai—Indonesia formal bercampur Jawa halus.

Kyai Hasan menghela napas panjang. "Fauzi, aku bermimpi aneh tiga malam berturut-turut. Dalam mimpi itu, ada sosok tua berjenggot putih yang memanggil-manggilku. Dia bilang, 'Hasan, ilmumu belum sempurna. Carilah aku di ujung pulau sebelah barat, di tempat yang tak ada namanya.' Setiap kali aku mau bertanya siapa dia, aku selalu terbangun."

Ahmad Fauzi mengerutkan dahi. Selama ini, Kyai Hasan dikenal sebagai ulama yang sangat rasional. Jarang sekali beliau mempercayai mimpi begitu saja, apalagi sampai meresahkan seperti ini.

"Mungkin itu hanya mimpi biasa, Kyai. Sampean mungkin kecapekan mengurus pesantren."

"Tidak, Fauzi. Aku merasakan ada sesuatu. Seperti ada yang memanggil jiwaku." Kyai Hasan bangkit dari posisi duduknya. "Aku sudah memutuskan. Kita akan melakukan perjalanan ke pulau sebelah barat. Kamu mau menemani?"

Ahmad Fauzi tidak ragu sedikitpun. "Tentu saja, Kyai. Ke manapun Kyai pergi, saya ikut."


Tiga hari kemudian, mereka sudah berada di atas kapal kayu yang mengapung di laut biru. Perjalanan dimulai dari pelabuhan kecil di ujung kabupaten, menuju pulau yang bahkan tidak ada di peta resmi—hanya dikenal oleh nelayan setempat sebagai "Pulau Kosong."

"Pak Karim," Kyai Hasan memanggil kapten kapal, seorang pria paruh baya dengan kulit legam terbakar matahari. "Apa betul di pulau itu tidak ada siapa-siapa?"

Pak Karim menggaruk janggutnya yang jarang. "Wallahu a'lam, Kyai. Nelayan sini jarang mendekati pulau itu. Katanya angker. Tapi ada yang bilang, kadang-kadang terlihat asap tipis naik dari tengah hutan. Entah api apa."

Ahmad Fauzi yang sedang duduk di pojok kapal sambil membaca Al-Qur'an kecil melirik kyai-nya. Ada kekhawatiran di matanya, tapi dia tidak berani bersuara. Dia tahu betul kalau Kyai Hasan sudah memutuskan sesuatu, tidak ada yang bisa mengubahnya.

Laut mulai bergelombang ketika mereka mendekati pulau yang dimaksud. Pulau itu memang tampak sepi, ditumbuhi hutan lebat dengan pantai berbatu yang curam. Tidak ada tanda-tanda kehidupan sama sekali.

"Kyai, saya tunggu di sini ya? Nanti kalau malam saya nyalakan lampu kapal sebagai tanda," kata Pak Karim sambil menurunkan jangkar.

"Tidak usah, Pak. Kami tidak tahu berapa lama akan di sana. Sampean pulang saja dulu. Nanti kalau sudah selesai, kami cari cara sendiri untuk pulang."

Pak Karim tampak ragu. "Tapi Kyai..."

"Percayalah pada Allah, Pak. Pasti ada jalan."


Hutan di pulau itu lebih lebat dari yang mereka bayangkan. Pohon-pohon besar dengan akar gantung membentuk lorong-lorong gelap, sementara suara burung dan serangga bersahut-sahutan menciptakan simfoni alam yang misterius.

Ahmad Fauzi berjalan di belakang kyai-nya, sambil sesekali menoleh ke kiri kanan. "Kyai, kita mau ke mana sebenarnya? Tidak ada petunjuk apa-apa."

"Sabar, Fauzi. Ikuti saja intuisi."

Mereka berjalan selama berjam-jam, melewati rimbun pepohonan, melintasi sungai kecil, dan mendaki bukit-bukit kecil. Matahari sudah mulai condong ke barat ketika mereka tiba di sebuah dataran yang agak terbuka.

Di tengah dataran itu, berdiri sebuah gubuk bambu yang sangat sederhana. Atapnya terbuat dari daun kelapa kering, dindingnya anyaman bambu yang sudah menguning. Yang aneh, gubuk itu tampak terawat, meski tidak ada tanda-tanda penghuni.

"Assalamu'alaikum," Kyai Hasan bersuara lantang.

Tidak ada jawaban.

"Assalamu'alaikum," ulang beliau, kali ini lebih keras.

Tiba-tiba, pintu gubuk terbuka. Keluar seorang pria tua dengan jenggot putih panjang, persis seperti yang dilihat Kyai Hasan dalam mimpi. Pakaiannya sangat sederhana—sarung putih dan baju koko lusuh. Tapi matanya, mata itu berkilau dengan cahaya yang sulit dijelaskan.

"Wa'alaikumussalam, Hasan. Sudah lama aku menunggu kedatanganmu."

Ahmad Fauzi merasa bulu kuduknya berdiri. Bagaimana orang ini bisa tahu nama kyai-nya? Dan kenapa dia berbicara seolah sudah mengenal mereka?

"Siapa sampean, Pak?" tanya Kyai Hasan dengan sopan.

Orang tua itu tersenyum tipis. "Namaku tidak penting. Yang penting, kamu datang ke sini karena ada yang harus kamu pelajari. Silakan masuk."

Interior gubuk itu mengejutkan. Dari luar tampak sangat kecil, tapi di dalam terasa lebih luas. Dindingnya dipenuhi dengan kaligrafi Arab yang ditulis dengan tinta emas, sementara di pojok terdapat tumpukan kitab-kitab kuno yang tidak pernah mereka lihat sebelumnya.

"Duduklah," kata orang tua itu sambil menunjuk tikar pandan yang terbentang di lantai.

Kyai Hasan dan Ahmad Fauzi duduk dengan ragu. Ada aura aneh di tempat ini—campuran antara kesakralan dan misteri yang membuat mereka tidak berani bersuara sembarangan.

"Hasan," orang tua itu mulai berbicara, "kamu sudah mengajar selama bertahun-tahun. Tapi ada ilmu yang belum kamu kuasai. Ilmu tentang mengenal diri sendiri."

"Maksud Pak Kyai?"

"Selama ini kamu mengajar orang lain tentang Allah, tentang agama, tentang akhlak. Tapi apakah kamu benar-benar mengenal dirimu sendiri? Apakah kamu tahu siapa Hasan yang sesungguhnya?"

Pertanyaan itu seperti panah yang menusuk tepat ke jantung. Kyai Hasan terdiam, merasa pertanyaan sederhana itu justru paling sulit dijawab.

Ahmad Fauzi memperhatikan gurunya dengan cemas. Dia melihat keraguan di mata kyai yang biasanya begitu yakin dan tegas.

"Aku... aku tidak tahu," jawab Kyai Hasan dengan suara parau.

"Nah, itulah mengapa kamu dipanggil ke sini." Orang tua itu bangkit dan mengambil sebuah cermin kuno dari rak bambu. "Lihatlah cermin ini."

Kyai Hasan menerima cermin itu dengan tangan gemetar. Ketika dia melihat ke dalam cermin, bukan wajahnya yang terpantul, melainkan bayangan seorang anak kecil yang sedang menangis.

"Apa yang kamu lihat?" tanya orang tua itu.

"Seorang anak kecil yang menangis."

"Itu adalah dirimu, Hasan. Dirimu yang selama ini kamu sembunyikan. Anak kecil yang takut, yang ragu, yang masih mencari."

Ahmad Fauzi yang melihat dari samping terkejut. Di cermin yang sama, dia hanya melihat pantulan wajah kyai-nya seperti biasa. Tidak ada anak kecil menangis.

"Sekarang," orang tua itu melanjutkan, "katakan padaku, apa yang paling kamu takuti?"

Kyai Hasan menatap cermin lebih dalam. Perlahan, air mata mulai mengalir di pipinya. "Aku takut... aku takut selama ini aku hanya menipu diri sendiri. Aku takut ilmu yang kuajarkan pada santri-santri tidak benar-benar aku pahami. Aku takut aku hanya menutupi kebodohanku dengan jubah kyai."

"Bagus. Itulah langkah pertama menuju pengenalan diri yang sejati."

Orang tua itu kemudian memberikan sebuah kitab kecil pada Kyai Hasan. Sampulnya polos, tanpa judul.

"Bacalah kitab ini malam ini. Besok pagi, kita akan berbicara lagi."


Malam itu, Ahmad Fauzi tidak bisa tidur. Dia mendengar kyai-nya berbisik-bisik membaca kitab yang diberikan orang tua misterius itu. Sesekali terdengar isak tangis pelan.

Ketika subuh tiba, Kyai Hasan tampak sangat berbeda. Wajahnya lebih tenang, matanya lebih jernih, seolah beban berat telah terangkat dari bahunya.

"Kyai, gimana?" tanya Ahmad Fauzi khawatir.

"Alhamdulillah, Fauzi. Aku mendapat pencerahan yang luar biasa."

Orang tua itu muncul dari dalam gubuk dengan membawa secangkir teh hangat. "Bagaimana, Hasan? Sudah menemukan jawabannya?"

"Iya, Pak Kyai. Terima kasih. Sekarang aku paham. Selama ini aku mengajar dengan ego, bukan dengan keikhlasan. Aku ingin dilihat sebagai orang alim, bukan benar-benar ingin menyampaikan kebenaran."

"Dan sekarang?"

"Sekarang aku tahu bahwa mengajar adalah amanah. Seorang guru sejati adalah yang terus belajar, yang tidak malu mengakui ketidaktahuannya."

Orang tua itu mengangguk puas. "Perjalananmu baru dimulai, Hasan. Pulang lah ke pesantrenmu. Ajarkan pada santri-santrimu bahwa ilmu yang paling berharga adalah mengenal diri sendiri."

"Pak Kyai, siapa sebenarnya sampean? Dan bagaimana sampean bisa tahu tentang mimpi saya?"

Orang tua itu tersenyum misterius. "Aku hanya seorang hamba Allah yang ditugaskan untuk membantu orang-orang sepertimu. Adapun mimpi, itu adalah cara Allah memanggil hamba-Nya yang sudah waktunya untuk berubah."


Ketika mereka hendak pamit, Ahmad Fauzi menoleh ke belakang. Gubuk itu masih ada, tapi tampak kosong. Seolah tidak pernah ada penghuni di dalamnya.

"Kyai, kok gubuknya kayak kosong ya?"

Kyai Hasan tersenyum. "Mungkin kita memang sudah tidak memerlukannya lagi, Fauzi."

Perjalanan pulang terasa berbeda. Mereka menemukan perahu nelayan yang kebetulan lewat, dan dengan mudah mendapat tumpangan pulang. Sepanjang perjalanan, Kyai Hasan lebih banyak diam, tapi wajahnya memancarkan kedamaian.


Ketika tiba di pesantren, para santri menyambut dengan gembira. Mereka sudah khawatir karena kyai dan khadam mereka menghilang berhari-hari tanpa kabar.

"Kyai, kemana saja? Kami cari sampai ke mana-mana," kata salah satu santri senior.

"Kami pergi belajar, nak. Dan sekarang saatnya saya mengajar kalian dengan cara yang berbeda."

Sejak hari itu, cara mengajar Kyai Hasan benar-benar berubah. Dia lebih sering mengajukan pertanyaan kepada santri daripada memberikan ceramah panjang. Dia tidak malu mengatakan "saya tidak tahu" ketika ada pertanyaan yang tidak bisa dijawabnya. Dan yang paling mengejutkan, dia mulai mengajarkan pentingnya mengenal diri sendiri sebelum mempelajari hal-hal lain.

Ahmad Fauzi yang menyaksikan perubahan itu merasa bangga sekaligus kagum. Kyai-nya memang menemukan sesuatu yang berharga dalam perjalanan misterius itu.

Suatu malam, ketika mereka berdua sedang duduk di teras pesantren sambil menikmati semilir angin malam, Ahmad Fauzi memberanikan diri bertanya.

"Kyai, sebenarnya siapa orang tua di pulau itu?"

Kyai Hasan menatap langit yang bertabur bintang. "Wallahu a'lam, Fauzi. Yang pasti, dia adalah guru yang dikirim Allah untuk mengajarkan sesuatu yang tidak bisa kupelajari dari kitab manapun."

"Terus, apakah kita akan bertemu lagi dengan beliau?"

"Mungkin tidak, mungkin ya. Tapi yang terpenting, kita harus terus belajar dari apa yang sudah beliau ajarkan."

Ahmad Fauzi mengangguk paham. Dia mulai memahami bahwa perjalanan mereka bukan hanya sekedar petualangan fisik, tapi juga perjalanan spiritual yang akan terus berlanjut.

Di kejauhan, suara adzan maghrib dari masjid pesantren mulai berkumandang. Kyai Hasan dan Ahmad Fauzi bangkit untuk menunaikan shalat, membawa dalam hati pelajaran berharga dari sang guru misterius di pulau yang tak bernama itu.

Dan sampai sekarang, setiap kali ada santri yang bertanya tentang perjalanan misterius kyai mereka, Ahmad Fauzi hanya akan tersenyum dan berkata, "Yang penting bukan siapa yang kita temui, tapi apa yang kita pelajari dari pertemuan itu."

Pesantren itu pun menjadi berbeda. Para santri tidak hanya belajar tentang fiqih, hadist, dan tafsir, tapi juga belajar tentang hakikat diri mereka sendiri. Dan mereka semua tahu, perubahan itu dimulai dari sebuah perjalanan misterius yang dilakukan kyai mereka bersama khadam kepercayaannya ke pulau yang bahkan tidak ada di peta.


- Tamat -

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi