Sang Pengabdi

 


Sang Pengabdi

Subuh masih menggantung di langit ketika Ahmad Fadhil bergegas menuju kamar Kyai Hasan. Langkahnya tergesa, seperti biasa, karena ia tahu betul bahwa sang kyai tidak suka menunggu. Di tangannya tergenggam segelas teh manis hangat dan sepiring pisang goreng yang masih mengepul.

"Assalamu'alaikum, Kyai," sapanya sambil menunduk dalam.

"Wa'alaikumussalam. Taruh saja di meja, Dhil." Kyai Hasan bahkan tidak mengangkat kepala dari kitab kuning yang sedang dibacanya.

Fadhil menata hidangan dengan hati-hati. Sudah dua tahun ia melayani Kyai Hasan, sejak ia masuk pesantren ini. Statusnya memang istimewa—seorang santri pengabdi yang mendapat kepercayaan khusus untuk mengurus kebutuhan sehari-hari sang kyai. Posisi yang dipandang mulia oleh santri lainnya, namun juga yang membuat hidupnya... rumit.

"Kyai, kulo nuwun permisi, mau ke kelas dulu," ujar Fadhil setelah memastikan semuanya tertata rapi.

"Hmm." Kyai Hasan hanya mengangguk tanpa melepas pandangan dari kitabnya.

Fadhil keluar dari kamar kyai dengan perasaan berat. Jam pelajaran pertama sudah dimulai lima belas menit yang lalu. Lagi. Ia berlari kecil menuju kelas, berharap Ustadz Mahmud tidak terlalu memperhatikan keterlambatannya.

Tapi harapan tinggal harapan.

"Fadhil, kenapa terlambat lagi?" Ustadz Mahmud menatapnya tajam dari balik kacamata tebal.

"Maaf, Ustadz. Tadi melayani Kyai dulu."

Beberapa santri berbisik-bisik. Ada yang iri, ada yang prihatin. Fadhil sudah terbiasa dengan tatapan-tatapan itu. Ia duduk di bangku paling belakang, membuka kitab Fiqh yang sudah sangat ia kenal, meski pelajaran hari ini tentang bab yang belum pernah ia pelajari dengan tuntas.

Pelajaran berlangsung begitu cepat. Fadhil berusaha fokus, tapi pikirannya terus melayang. Kyai Hasan pasti akan meminta makan siang jam sebelas. Lalu akan ada tamu dari Jakarta jam dua siang. Fadhil harus mempersiapkan ruang tamu, menyeduh teh, dan memastikan cemilan tersedia. Belum lagi, sore nanti ada pengajian khusus yang perlu dipersiapkan.

Tanpa sadar, mata Fadhil mulai tertutup. Semalam ia tidur hanya tiga jam karena harus membantu kyai mempersiapkan ceramah untuk acara walimahan di desa sebelah.

"Fadhil!"

Suara Ustadz Mahmud membangunkannya. Beberapa santri tertawa pelan. Muka Fadhil memerah.

"Coba jelaskan tentang rukun wudhu yang baru saya bahas!"

Fadhil terdiam. Ia tidak mendengar penjelasan Ustadz Mahmud sama sekali.

"Tidak bisa menjawab? Kalau begitu, besok bawa tugas tambahan. Tulis seratus kali rukun wudhu beserta dalilnya!"

Fadhil mengangguk pasrah. Kapan ia akan mengerjakan tugas sebanyak itu? Tapi ia tidak berani protes.


Hari-hari berikutnya berlalu dengan pola yang sama. Fadhil terlambat masuk kelas, tertidur saat pelajaran, atau bahkan tidak masuk sama sekali karena harus menemani kyai ke luar pesantren. Para ustadz mulai mencatat setiap ketidakhadirannya. Nilai-nilainya merosot drastis.

Teman-teman sekamarnya, Rizki dan Bayu, sering mengingatkannya.

"Dhil, kowe ki piye tho? Kok malah tambah jarang masuk kelas?" tanya Rizki suatu malam.

"Lha piye, Mas. Kyai butuh aku terus. Aku kan pengabdinya."

"Tapi sekolah juga penting, Dhil. Nanti kalo nilai jelek gimana?" Bayu ikut menimpali.

Fadhil hanya diam. Dalam hatinya, ia yakin Kyai Hasan pasti akan memahami situasinya. Bukankah mengabdi kepada kyai adalah bentuk ibadah yang mulia? Ia yakin Allah dan kyai akan membalasnya dengan kebaikan.


Bulan-bulan berlalu. Pengumuman kenaikan kelas tiba. Fadhil berdiri di depan papan pengumuman bersama ratusan santri lainnya. Matanya menyusuri daftar nama yang naik kelas. Ahmad Rizki, ada. Ahmad Bayu, ada. Ahmad Fadhil...

Tidak ada.

Fadhil membaca ulang daftar itu berkali-kali. Namanya benar-benar tidak ada di sana. Kakinya melemas. Beberapa santri menatapnya dengan tatapan simpati, ada juga yang berbisik-bisik.

"Sabar ya, Dhil," hibur Rizki sambil menepuk bahunya.

Tapi Fadhil tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia merasa diperlakukan tidak adil. Selama ini ia mengabdi dengan tulus kepada kyai, mengorbankan waktu belajarnya, dan inilah balasannya?

Malam itu, setelah magrib, Fadhil memberanikan diri menemui Kyai Hasan. Ia mengetuk pintu kamar kyai dengan tangan gemetar.

"Masuk!"

"Assalamu'alaikum, Kyai."

"Wa'alaikumussalam. Ada apa, Dhil? Wajahmu pucat sekali."

Fadhil menarik napas dalam. "Kyai, kulo... saya tidak naik kelas."

Kyai Hasan mengangkat alis. "Tidak naik kelas? Kenapa?"

"Entahlah, Kyai. Padahal saya sudah berusaha mengikuti pelajaran. Mungkin para ustadz tidak memahami situasi saya yang harus mengabdi kepada Kyai."

Wajah Kyai Hasan berubah. "Maksudmu?"

"Saya sering terlambat atau tidak masuk kelas karena melayani Kyai. Mungkin para ustadz tidak tahu bahwa itu adalah tugas mulia yang Kyai berikan kepada saya."

Kyai Hasan terdiam sejenak, lalu matanya berkilat marah. "Berarti para ustadz itu tidak memahami konsep pengabdian santri kepada kyai? Mereka terlalu kaku menerapkan aturan akademik?"

"Mungkin begitu, Kyai. Saya merasa diperlakukan tidak adil."

Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut, Kyai Hasan bangkit dari kursinya. "Besok pagi, panggil semua ustadz yang mengajar kelasmu. Saya akan bicara dengan mereka."


Keesokan harinya, ruang tamu pesantren dipenuhi ketegangan. Ustadz Mahmud, Ustadz Yusuf, Ustadz Ahmad, dan beberapa ustadz lainnya duduk berhadapan dengan Kyai Hasan. Fadhil berdiri di sudut ruangan, menunduk dalam.

"Saya dengar kalian tidak menaikkan Fadhil ke kelas selanjutnya," Kyai Hasan membuka pembicaraan dengan nada dingin.

"Benar, Kyai. Berdasarkan nilai dan kehadiran, Ahmad Fadhil belum memenuhi syarat untuk naik kelas," jawab Ustadz Mahmud dengan tenang.

"Kehadiran?" Kyai Hasan menaikkan suara. "Kalian tidak tahu bahwa Fadhil adalah santri pengabdi saya? Ia mengabdi untuk mencari ridha Allah melalui pelayanannya kepada kyai!"

"Kami memahami itu, Kyai. Tapi—"

"Tidak ada tapi-tapian!" Kyai Hasan memotong. "Kalian ini terlalu kaku! Tidak memahami esensi pendidikan pesantren yang sejati! Pengabdian kepada kyai adalah bagian dari pembelajaran akhlak yang tidak bisa diukur dengan angka-angka!"

Para ustadz saling bertukar pandang. Ustadz Yusuf memberanikan diri bersuara. "Kyai, kami menghormati tradisi pengabdian santri. Tapi Ahmad Fadhil absen hampir 40% dari total jam pelajaran. Nilainya juga sangat rendah karena sering tidak mengerjakan tugas dan tertidur di kelas."

"Itu karena ia capek melayani saya! Kalian tidak bisa menghargai pengorbanannya?"

"Kyai," Ustadz Mahmud mencoba bicara dengan nada hati-hati, "bolehkah kami menjelaskan situasi yang sebenarnya? Ahmad Fadhil memang sering terlambat karena melayani Kyai, tapi ia juga sering—"

"Cukup!" Kyai Hasan mengebrak meja. "Saya tidak mau mendengar alasan-alasan kalian! Yang jelas, Fadhil harus naik kelas. Titik!"

Ruangan sunyi sesaat. Para ustadz merasa tertekan dengan sikap kyai yang tidak mau mendengar penjelasan mereka.

Akhirnya Ustadz Mahmud berkata pelan, "Baik, Kyai. Kami akan mempertimbangkan keputusan ini kembali."

Setelah para ustadz keluar, Kyai Hasan menepuk bahu Fadhil. "Sudah, Dhil. Kyai sudah urus. Kamu naik kelas."

Fadhil tersenyum lega, tapi ada rasa aneh di dadanya. Kenapa ia merasa tidak sepenuhnya bahagia?


Malam itu, Fadhil tidak bisa tidur. Ia teringat wajah-wajah para ustadznya tadi siang. Ada kekecewaan di mata mereka. Ia juga teringat kata-kata Ustadz Mahmud yang terpotong: "Ahmad Fadhil memang sering terlambat karena melayani Kyai, tapi ia juga sering—"

Sering apa?

Fadhil mencoba mengingat-ingat perilakunya selama ini. Memang benar ia sering terlambat karena melayani kyai. Tapi... ia juga mengingat saat-saat ketika ia sengaja berlama-lama di warung dekat pesantren setelah berbelanja untuk kyai. Atau saat ia bersembunyi di perpustakaan untuk tidur siang alih-alih masuk kelas sore. Atau saat ia berbohong kepada Ustadz Yusuf bahwa kyai memintanya padahal sebenarnya tidak.

Dadanya sesak. Selama ini, ia memang mengabdi kepada kyai dengan tulus. Tapi ia juga sering memanfaatkan statusnya sebagai santri pengabdi untuk menghindari tanggung jawab akademiknya. Ia sering berlindung di balik jubah "pengabdian" untuk menutupi kemalasannya.

Dan kini, kyai bahkan tidak mau mendengar penjelasan para ustadz tentang perilakunya yang sebenarnya.


Tiga hari kemudian, Fadhil memberanikan diri menemui Ustadz Mahmud di ruang guru.

"Ustadz, boleh saya bicara sebentar?"

Ustadz Mahmud mengangkat kepala dari buku yang sedang dikoreksinya. "Ada apa, Fadhil?"

"Ustadz... waktu itu, saat Ustadz mau menjelaskan sesuatu tentang saya kepada Kyai, tapi terpotong... sebenarnya Ustadz mau bilang apa?"

Ustadz Mahmud terdiam sejenak, lalu melepas kacamatanya. "Kamu yakin mau tahu?"

Fadhil mengangguk.

"Selain sering terlambat karena melayani Kyai, kamu juga sering membolos tanpa alasan yang jelas. Berkali-kali kami lihat kamu main ke warung saat jam pelajaran. Kamu juga sering tidur di perpustakaan. Dan beberapa kali kamu berbohong, bilang kyai memanggil padahal tidak."

Setiap kata Ustadz Mahmud menusuk hati Fadhil. Ia tidak bisa menyangkal karena semuanya benar.

"Ustadz... kenapa tidak bilang ke Kyai?"

"Kami sudah mencoba, Fadhil. Tapi Kyai tidak mau mendengar. Bagi beliau, kamu adalah santri teladan yang mengabdi dengan tulus. Beliau tidak mau melihat kekuranganmu."

Fadhil terduduk lemas. "Lalu... apa yang harus saya lakukan?"

Ustadz Mahmud tersenyum tipis. "Kamu sudah menunjukkan langkah pertama dengan datang ke sini. Sekarang, pilihannya ada di tanganmu. Mau berubah atau tetap seperti ini?"


Malam itu, Fadhil duduk di teras asrama sambil menatap langit. Bintang-bintang berkilauan, seolah mengingatkannya pada kemurnian niat yang seharusnya ia miliki.

Ia teringat awal mula ia masuk pesantren. Orangtuanya berpesan, "Belajarlah dengan sungguh-sungguh, nak. Ilmu agama itu penting untuk dunia dan akhirat."

Ia juga teringat saat pertama kali dipilih menjadi santri pengabdi Kyai Hasan. Betapa bangganya ia. Betapa tulusnya niat awalnya untuk mengabdi. Tapi kapan mulai berubah? Kapan ia mulai memanfaatkan posisinya untuk bermalas-malasan?

"Dhil?"

Suara Rizki membuatnya tersentak. Temannya duduk di sebelahnya.

"Kowe piye tho? Kok dari kemarin murung terus?"

Fadhil menarik napas panjang. "Mas Rizki, aku... aku bingung."

"Bingung gimana?"

"Aku merasa... aku sudah salah selama ini. Tapi Kyai sudah terlanjur membela aku. Bagaimana ini?"

Rizki terdiam sejenak. "Lha terus, kowe pengen gimana?"

"Aku pengen jujur. Aku pengen minta maaf ke para ustadz. Aku pengen belajar dengan bener. Tapi... aku juga tidak mau mengecewakan Kyai."

"Dhil," Rizki menatapnya serius, "menurutku, Kyai pasti lebih seneng punya santri yang jujur daripada santri yang dibela tapi sebenarnya salah. Coba kowe pikir, apakah Kyai bakal bangga kalo tahu kowe naik kelas karena dibela, bukan karena prestasi?"

Kata-kata Rizki seperti tamparan yang membangunkan. Fadhil sadar, selama ini ia terlalu takut mengecewakan kyai hingga ia justru menjadi tidak jujur. Padahal, bukankah kejujuran adalah salah satu akhlak yang diajarkan di pesantren?


Pagi berikutnya, setelah melayani Kyai Hasan seperti biasa, Fadhil memberanikan diri berkata, "Kyai, boleh saya bicara sesuatu?"

"Tentu, ada apa?"

"Kyai... sebenarnya, para ustadz itu benar."

Kyai Hasan mengernyitkan dahi. "Maksudmu?"

"Saya memang sering membolos tanpa alasan yang jelas. Saya sering berbohong. Saya memanfaatkan status sebagai pengabdi Kyai untuk bermalas-malasan."

Wajah Kyai Hasan berubah. Campuran kaget, kecewa, dan marah tergambar jelas.

"Fadhil..."

"Maafkan saya, Kyai. Selama ini saya tidak jujur. Kepada Kyai, kepada para ustadz, dan kepada diri saya sendiri."

Kyai Hasan terdiam lama. Akhirnya ia berkata pelan, "Kalau begitu... kenapa kamu tidak bilang dari awal?"

"Saya takut mengecewakan Kyai. Saya takut kehilangan kepercayaan Kyai."

"Tapi dengan berbohong, kamu justru mengecewakan saya lebih dalam, Dhil."

Air mata mulai menggenang di mata Fadhil. "Saya tahu, Kyai. Dan saya minta maaf."

Kyai Hasan bangkit dari kursinya, berjalan ke jendela. "Fadhil, tahukah kamu apa yang paling saya hargai dari seorang santri?"

"Apa, Kyai?"

"Kejujuran. Bukan kepintaran, bukan pengabdian, tapi kejujuran. Karena tanpa kejujuran, semua yang lain tidak ada artinya."

Fadhil menunduk dalam. "Kyai... apa saya masih bisa dipercaya?"

Kyai Hasan berbalik menatapnya. "Itu tergantung apakah kamu benar-benar mau berubah atau hanya menyesal sesaat."

"Saya mau berubah, Kyai. Sungguh."

"Kalau begitu, mulai hari ini, kamu tetap jadi pengabdiku. Tapi kamu juga harus fokus belajar. Atur waktumu dengan baik. Dan yang paling penting, jangan pernah berbohong lagi."

"Baik, Kyai."

"Dan Fadhil?"

"Ya, Kyai?"

"Sore ini, kita akan menemui para ustadz. Saya akan minta maaf karena tidak mau mendengar penjelasan mereka. Dan kamu juga harus minta maaf atas perilakumu selama ini."


Sore itu, ruang tamu pesantren kembali menjadi saksi pertemuan yang berbeda. Kali ini, Kyai Hasan dan Fadhil duduk berhadapan dengan para ustadz dengan sikap yang berbeda.

"Para ustadz," Kyai Hasan membuka pembicaraan, "saya minta maaf karena kemarin saya tidak mau mendengar penjelasan kalian dengan baik."

Para ustadz terkejut mendengar permintaan maaf dari kyai mereka.

"Fadhil sudah menceritakan yang sebenarnya. Ternyata kalian benar. Saya terlalu mudah percaya tanpa mau menyelidiki lebih dalam."

Ustadz Mahmud tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Kyai. Kami memahami."

Kemudian Fadhil bangkit, membungkuk dalam. "Para ustadz, saya Ahmad Fadhil, minta maaf atas perilaku saya selama ini. Saya sering membolos, sering berbohong, dan memanfaatkan status saya sebagai pengabdi kyai untuk bermalas-malasan. Saya berjanji akan berubah."

Ustadz Yusuf berkata lembut, "Kami menghargai kejujuranmu, Fadhil. Tapi perubahan harus dibuktikan dengan tindakan, bukan hanya kata-kata."

"Saya siap membuktikannya, Ustadz."

"Kalau begitu," kata Ustadz Mahmud, "kamu tetap tidak naik kelas tahun ini. Itu konsekuensi dari pilihanmu. Tapi kami akan membantu kamu belajar dengan lebih baik di tahun yang akan datang."

Fadhil mengangguk. "Saya terima keputusan itu, Ustadz."


Setahun kemudian, Fadhil berdiri lagi di depan papan pengumuman. Kali ini, namanya tertera dengan jelas di daftar siswa yang naik kelas dengan nilai terbaik.

Rizki dan Bayu berlari menghampirinya.

"Dhil! Selamat! Nilai kamu bagus banget!"

Fadhil tersenyum. "Alhamdulillah."

"Gimana caranya? Padahal kowe masih ngabdi ke Kyai kan?"

"Mengatur waktu, Mas. Dan yang paling penting, jujur sama diri sendiri."

Sore itu, Fadhil menemui Kyai Hasan seperti biasa. Setelah menyajikan teh dan pisang goreng, ia berkata, "Kyai, alhamdulillah saya naik kelas."

Kyai Hasan tersenyum. "Alhamdulillah. Kyai bangga sama kamu, Dhil."

"Terima kasih, Kyai. Dan terima kasih sudah mengajarkan saya arti kejujuran yang sesungguhnya."

"Ingat, Dhil. Dalam hidup ini, kita boleh gagal, boleh jatuh, boleh salah. Tapi yang tidak boleh adalah berbohong pada diri sendiri dan pada Allah."

Fadhil mengangguk dalam. Di luar jendela, magrib mulai turun. Suara adzan berkumandang, mengingatkan pada keagungan Tuhan yang selalu memberi kesempatan kedua bagi hamba-Nya yang mau bertaubat.


Epilog

Lima tahun kemudian, Fadhil menjadi salah satu alumni terbaik pesantren. Ia melanjutkan kuliah di fakultas syariah dan kini mengajar di pesantren yang sama. Setiap kali ia menceritakan kisahnya kepada santri-santri baru, ia selalu menekankan satu hal:

"Ngabdi kepada kyai itu mulia. Tapi yang lebih mulia adalah jujur dalam ngabdi. Karena tanpa kejujuran, pengabdian kita hanya sandiwara."

Dan setiap kali ia berkata demikian, ia teringat wajah Kyai Hasan yang tersenyum bangga saat ia akhirnya memilih jalan kejujuran. Sebuah senyuman yang jauh lebih berharga daripada pujian palsu yang pernah ia terima.

Wallahu a'lam bishawab.

Comments

Popular posts from this blog

Terjemah Tausyeh Ibnu Qosim

Bisikan di Kamar Mandi

Petunjuk dari Mimpi